Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Elif Shafak seorang novelis Turki, dalam novelnya yang
berkisah tentang Rumi menuliskan kalimat indahnya : “ketika kau melangkah ke
wilayah cinta, kau tidak akan membutuhkan bahasa” (Shafak, 2014 :510). Shafak
mengurai bagaimana ketika seseorang berada dalam tahap mencintai, maka ia tidak
lagi membutuhkan bahasa untuk mengungkapkan ekspresinya. Karena itulah, gerak
bisa menjadi wujud dari ekspresi cinta. Dari kecintaan itulah, kita menemukan
bahwa sebuah gerak tak sekadar gerak, melainkan kesatuan antara alam, manusia
dan Tuhan. Kita bisa melihat kesatuan ini melalui penelitian Richard Dawkins
yang dalam kondisi tenang pun, DNA kita sudah menari-nari, melakukan gerak
dengan ritme yang indah, apalagi ketika tubuh manusia menari. Meski demikian,
gerakan tubuh belum tentu kita sebut tari, tari kita sebut demikian karena ia
memiliki pancaran keindahan. Goenawan Mohammad mengatakan bahwa jika hari-hari
ini tari, terutama sebagai ekspresi, penting, itu karena yang terjadi adalah
sebuah penemuan yang sering dianggap terlalu lumrah : kita menemukan kembali
tubuh, dan bersama itu kita juga menemukan kemerdekaan. Lebih lanjut GM
mengatakan metafisika, agama, ekonomi,
dan ilmu kedokteran sering meleset melihat fenomena ini-salah pandang yang
telah meninggalkan banyak trauma. Di dalam tarian kita akan berada pada
satu titik, “kita tak tahu darimana awal dan akhirnya”.
Dari pengertian tentang tari itulah, kita menemukan bahwa
apa yang menjadi kerja kreatif Suprapto Suryo Darmo dengan Joged Amartanya
menemui apresiasi dan penghargaan dari rekan-rekan, teman dan para
murid-muridnya dari sebelas negara. Apresiasi dan pengakuan yang diberikan oleh
murid dan teman-temannya itu terangkum dalam buku Embodied Lives (2014). Mereka bercerita tentang pengalaman mereka
ketika bertemu dengan Suprapto Suryo darmo dari saran guru mereka, dari
inisiatif mereka untuk belajar tentang Joged Amerta.
Mbah
Prapto dan Amerta
Saya mengenal Suprapto
Suryo Darmo sebagai seorang yang bersahaja, sulit disangkal sangat tak mungkin
seorang yang sudah di usia tuanya masih saja menekuni tari dan juga masih
melakukan jalan-jalan sebagai mana anak muda yang rajin berkunjung ke toko
buku. Satu ketika saya bertemu dengan Mbah Prapto di kala pameran buku di
gramedia belum lama ini, mbah prapto berbagi tentang pengalamannya yang senang
melihat orang lalu-lalang bergerak kesana-kemari, asyik-masyuk memilah dan
memilih buku. Pertemuan saya dengan Mbah Prapto sendiri tergolong belum lama,
baru sekitar satu setengah tahun, pertemuan saya hanya sesekali saja ketika ia
tampil di Gramedia, beberapa tahun silam atau di acara-acara yang ada di Solo.
Pernah Prapto menampilkan tarian yang sangat unik, mungkin itulah yang
dinamakan jogged amarta. Sebagaimana Laura teman mbah prapto yang dari jerman,
kita memperagakan jogged dengan mempertimbangkan tak hanya meditasi, ekspresi,
konektifitas, hingga kesatuan bunyi. Gerak itu menjadi demikian indah dan
membuat kita seperti lahir kembali. Tak salah ketika salah seorang pengulas
tentang Joged Amarta menyebut bahwa salah satu aspek dalam jogged amarta adalah
kita menjadi bergerak seperti anak-anak. Proses jogged amarta mirip dengan
deskripsi Beate Stiihm yang bercerita tentang kebunnya, ia beristirahat disana,
ia berhenti, mendengarkan, dan melihat. Ini mengingatkannya pada aktifitas
manusia, sehingga ia mengalami petualangan yang menakjubkan dan merasakan
sesuatu yang luar biasa.
Berbeda dengan Beate Stiihm, Keith Miller menyebut Joged
Amarta sebagai practice of living
measurement( praktek mengukur hidup kita). Dinamis,subjektif dari tubuh,
pikiran dan hubungan yang mengambil gerakan dasar dari kehidupan sehari-hari,
berjalan, duduk, merangkak, dan berbaring sebagai referensi. Keith miller
mengatakan bahwa technik amerta, adalah titik,
tempat, dan ruang hal ini memungkinkan baginya untuk bekerja dengan posisi
yang berbeda dan banyak perspektif, fokus pada satu titik untuk konteks yang lebih
luas. Christina Stelzer menceritakan bahwa ia mengalami perubahan besar setelah
belajar jogged amarta, ia mengakui bahwa ia
tidak pernah kembali melihat dunia dengan cara yang saya telah lihat
sebelumnya. Ia mulai melihat sesuatu yang bersifat cultural, ia menemukan
ilmu menunggu, mendengar dunia dan memberikan respek terhadapnya dari Joged
Amarta. Christina memaknai “menunggu” sebagai sesuatu yang begitu pelan. Dalam
kehidupan yang pelan itu, kita melihat, merasakan ke dalam lingkungan kita.
meninggalkan terowongandan melihatnya. Dalam menunggu itu pula kita menemukan
harapan.
Para murid dan teman-teman Mbah Prapto mengingatkan saya
dengan bilik literasi. Di bilik literasi teman-teman mengobrol, berbincang
tentang sesuatu dan menuliskannya ke dalam catatan masing-masing. Cara belajar
yang demikian juga dilakukan oleh teman-teman Mbah Prapto dari luar negeri,
mereka juga melakukan pencatatan, melakukan kajian dan strukturisasi dan
merumuskan pengetahuan dari Joged amarta dan Mbah Prapto sendiri. Sebagaimana
catatan Steve Hopkins, Me, it’s not
movement first (saya bukan gerakan pertama). Ini mengingatkan saya pada apa
yang ditulis Goenawan Mohammad tentang tari, tari mengingatkan kita bahwa
manusia bukanlah “aku” yang berada di luar tubuh. Ia bukan “aku” yang dari
posisinya = lebih tinggi. Dalam tari, tubuh dan dunia tak sepenuhnya bisa kita
kuasai;kita tak kunjung mengetahui apa yang akan terjadi. Karena itulah, dalam
tari, kita seperti menjadi wayang. Kita hanyalah digerakkan oleh sesuatu di
luar tubuh kita. Hal ini pun sejalan dengan yang dikatakan Mbah Prapto : tubuh dipandang sebagai titik pusat di
mana planet-planet vertikal dan horisontal bertemu. sumbu vertikal mewakili
spiritualitas, hubungan kita dengan Allah, kosmos dan di bawah dunia. Sumbu
horizontal mewakili kehidupan sehari-hari dan komunikasi ... kita diingatkan
untuk menjaga hubungan dengan titik pusat ini, dengan tubuh kita di bumi di
sini dan sekarang.
Melalui Joged Amerta
Mbah Prapto sudah memberikan pengaruh yang cukup besar dalam pelbagai kajian.
Tak hanya dari sisi psikologi, tapi juga dari sisi kajian tubuh, dan teologi,
music, autism bahkan, keluarga, dan bidang yang lainnya. Prapto mengatakan
bahwa selama satu dekade yang lalu,
ia mencoba untuk mengeksplorasi suara
menjadi bunyi, menjadi kata-kata, dan menjadi kalimat. pada awalnya itu hanya
terdengar. Seiring waktu berlalu, suara menjadi ekspresi. Kemudian, ekspresi
itu , ia benar-benar merasakan keinginan untuk berkomunikasi, untuk
menyampaikan sesuatu, untuk mencipta kata-kata ... dalam proses tersebut ada
kesadaran diri sebagai sebuah kata; kehadiran saya bisa membuat kata-kata dan
mengatur kata-kata. Kerja Mbah Prapto yang mengelaborasikan tarian dengan
khazanah kebudayaan jawa dengan menempatkan candi, serta tempat-tempat
kebudayaan lainnya seperti sungai, gunung, yang tak lain mendekatkan kembali
kepada yang hidup ( kehidupan) di sekitar kita. Untuk mengembalikan hidup kita
kepada kehidupan yang lebih tenang, tenteram dan lebih kreatif.
*)
Penulis adalah Santri BILIK LITERASI SOLO , Alumnus UMS
No comments:
Post a Comment