klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Wednesday 13 February 2013

Mempertanyakan Ulang Jati Diri Indonesia








Judul buku :  Menggali Jati Diri Indonesia
Penulis         : Prof.Dr.Bambang Setiadji,M.S
Penerbit : Suara Muhammadiyah 
Hal         : 172 halaman
ISBN : 978-602-9417-13-5
Tahun : 2012

Mempertanyakan Ulang Jati Diri Indonesia
Oleh As.yudhistira*)


Persoalan ekonomi di negeri kita menjadi kajian penting untuk menemukan kembali jati diri negeri ini. Penemuan jati diri ini mengapa mesti dilakukan,barangkali sebagaimana dugaan ekonom kita bambang setiadji dalam buku ini yang dikatakan sudah melenceng dan jauh dari konsepsi ekonomi kita yang sebenarnya. Para bapak pejuang kemerdekaan kita sudah merumuskan bagaimana konsepsi ekonomi kita harus disusun. Untuk itulah, barangkali kumpulan essai ini hadir untuk menjawab dengan gagasan-gagasan yang kecil tapi berimplikasi besar. Jati diri ekonomi kita sebagaimana diungkap dalam UUD 45 tak lain adalah negara kesejahteraan yang sangat sosialis sebagaimana dituliskan oleh penulis dalam buku ini. 
Buku kumpulan essai “menggali jati diri Indonesia” ini memberikan ajakan dan permenungan mendalam apa yang sebenarnya terjadi di negeri kita. 64 tahun kemerdekaan yang belum membawa negeri ini bebas dan terlepas dari jeratan kolonialisme dan neoliberalisme menjadi kegelisahan sang penulis untuk menulis dan menjawab berbagai persoalan kebangsaan. Bambang setiadji sebagaimana kita tahu adalah rector universitas muhammadiyah Surakarta, sekaligus pegiat ekonomi islam Indonesia. Sebagai akademisi, nuraninya terusik melihat berbagai kejadian,persoalan dan apa yang terjadi di negeri ini. Kegelisahannya ia ungkapkan untuk menanggapi segudang persoalan mulai dari pajak, korupsi, BBM, isu liberalism hingga masalah buruh dan persoalan pendapatan. Sebagai ekonom ia dikenal sebagai ekonom yang konsisten dalam mengawal tegaknya UUD 45. 
Keteguhan prinsip ini ia tuangkan dalam esai-esai ekonomi-politiknya dalam buku ini. Buku ini mengurai bagaimana sebenarnya pajak, pendapatan ekonomi negara yang mencapai 300U$ lebih mestinya digunakan untuk berbagai program yang berorientasi mensejahterakan rakyat dan mengentaskan kemiskinan. Sebagai orang yang pernah berkelana ke berbagai negara dan mencermati fenomena ekonomi berbagai negara ia memandang bahwa negara kesejahteraan dipandang sebagai alternative di tengah liberalism yang sangat gencar menyerang di negeri ini. 

Peran Negara

Berbeda dengan orang yang mengambil konsepsi “masyarakat madani” yang membiarkan negara tak bercampur tangan, atau system ekonomi kapitalisme yang setengah-setengah.Di buku ini penulis memandang bahwa negara perlu berperan dan wajib berperan dan turun tangan terhadap pelbagai persoalan kebangsaan yang tengah melanda. Misalnya dalam urusan pendidikan, pemerintah mestinya mengurusi sekolah swasta dan mengembangkannya daripada ribut membangun sekolah negeri yang lebih banyak. Sebab dengan begitu, setidaknya pendidikan akan mudah terjangkau dan berkualitas dengan menyediakan guru bermutu. Kepedulian dan peran negara dalam hal lain bisa dilihat dalam mekanisme pengelolaan APBN,  penerapan system “pajak progressif” yang mengontrol konsumsi mobil kelas menengah, juga kepedulian pemerintah kepada ekonomi rakyat kecil bukan para ekonomi kelas menengah dan pasar modal semata. 
Di dalam buku ini penulis juga menawarkan alternative solutif terhadap persoalan buruh dan TKW. Keprihatinan ini lahir dari kegelisahannya sebagai akademisi yang menggeluti persoalan buruh dan upah di negerinya. Menurut penulis, persoalan buruh di negeri ini seringkali anomaly yang hanya senang ketika mendapat kenaikan upah meskipun harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Ia menyebut : “buruh umumnya mengalami ilusi uang”(hal.77). Melalui essai-essai singkat yang ada di buku ini kita akan menyelami fenomena kebangsaan baik politik dan ekonomi dan memikirkan ulang bagaimana negara ini mesti dikonsep ulang. Kita akan menemui berbagai persoalan upah, tki, anggaran negara hingga persoalan buruh dan kemiskinan. Ada kegelisahan, dan satu ketegasan prinsip yang ingin disuarakan terkait kondisi kebangsaan kita. Dengan tegas penulis menyatakan “ Mengapa citra kita buruk di mata asing?, karena kita barbar! Kita tidak berusaha keras mengadopsi prinsip negara kesejahteraan yang bertujuan melindungi rakyat dan sumber daya manusianya”.
Kumpulan essai di buku ini menegaskan kembali dan mencoba membaca kembali Indonesia yang sudah jauh berbeda dari Indonesia di masa dulu berdiri di awal kemerdekaan. Di tengah hantaman globalisasi, westernisasi, kapitalisme dan neoliberalisme, ada semacam alternative-alternatif yang bisa dijalankan sebagai solusi terhadap pelbagai persoalan bangsa tersebut. Mengingat sebagaimana penulis buku ini ungkapkan, Indonesia adalah negara yang dari dulu diperhitungkan dimata ASEAN maupun dunia. Apalagi di masa kini Indonesia menjadi motor penggerak di negara asia tenggara. Dari fenomena kebebasan pasar ada kesimpulan menarik yang menggelitik. “Menjadi pasar bukanlah hal yang salah karena pasar juga akan menarik bagi sumber pertumbuhan baru. Tapi menjadi pasar adalah salah jika dibarengi pengangguran tinggi dan terkurasnya sumber daya alam saja”.(h.11).



*)Penulis adalah Mahasiswa Universitas Muhamamdiyah Surakarta, Pegiat Bilik Literasi Solo, 

*) Tulisan di muat di Suara muhammadiyah edisi februari -maret 2013

Sunday 3 February 2013

HANNAH ARENDT DAN POLITIK ALTERNATIF



Oleh arif saifudin yudistira*)

Fenomena politik yang ada di negeri ini dipandang oleh hampir semua orang yang memiliki kegelisahan akan situasi negerinya sebagai politik yang tak sehat, bahkan rizal ramli menyebut “politik kita adalah politik yang banal”. Sebutan ini hampir sama dengan apa yang dikatakan oleh arendt yang menyebut “banalitas kejahatan”. Kejahatan korupsi layak untuk disebut banal, bukan hanya karena efek yang ditimbulkan, melainkan penyakit .mentalitas inilah yang membuat Indonesia hancur lebur dengan sendirinya. 

Bagaimana bisa negeri yang dikaruniai kekayaan sumber daya alam, tetapi dirampok oleh politik kartel yang didukung oleh dinasti politik untuk merampok kekayaan alam ini demi kemakmuran golongan, keluarga dan kelompoknya. Kita mengilhami bahwa politik saat ini jauh dari misi suci politik yang sebenarnya. Berbeda dengan para politikus saat ini syahrir menilai politik adalah “jalan sekaligus alat untuk memenangkan perjuangan”. Akan tetapi politik saat ini lebih condong pada sesuatu yang beringas, tak pandang kawan dan lawan alias abu-abu, hingga menjadikan “kuasa” sebagai tujuan. Maka tak heran, di akhir kepemimpinannya di PSI, syahrir lebih memilih partainya sebagai perkaderan terhadap rakyat, sehingga mereka yang dari luar lebih mengejek syahrir partai yang hanya makan “gagasan” tanpa menggrubis kekuasaan. Oleh karena itulah, partai sosialis Indonesia pun mengalami nasib tak mengenakkan dibubarkan soekarno.(Anwar,Rosihan :2012)

Untuk itulah, buku “politik otentik” ini dihadirkan oleh sang penulis. Agus sudibyo yang semula hobi akhirnya mencintai filsafat membedah arendt untuk situasi politik masa kini. Menurutnya, kajian arendt masih relevan untuk membongkar bagaimana situasi politik negeri ini dibaca dan ditafsirkan. Agus membedah arendt dalam konteks bagaimana kebebasan dan pemikiran manusia itu ditempatkan. Dalam buku politik otentik ini, kita bisa menelisik pemikiran arendt tentang mentalitas, manusia tindakan, hingga factor-faktor yang menyebabkan politik itu tak lagi otentik. 

Vita activa

Arendt mendefinisikan bahwa politik itu tak sekadar vita contempativa, sebagaimana yang diuraikan oleh plato dan para filsuf lainnya. Arendt mengartikan politik sebagai suatu tindakan. Tindakan disini diartikan sebagai aktifitas yang melebihi dari kegiatan kontemplatif semata. Ia memiliki konsekuensi selanjutnya yakni berbuat. Arendt mengartikan politik itu vita activa yakni kerja,karya, dan tindakan. Arendt mengartikan politik ini sebagai politik yang strategis, dengan menyuarakan wicara dan dialog. Menurut arendt manusia itu memiliki sifat plural, sehingga dari kepluralan itulah maka akan ditemukan satu alternative gagasan yang bermacam-macam untuk satu tindakan politis. 

Dalam human condition arendt memiliki pandangan bahwa distingsi ruang di dunia ini ada ruang privat dan ruang public. Arendt menilai, selama ini manusia lebih cenderung mengejar ruang public sebagai sarana mencapai ruang privat. Sehingga, tujuan dari tindakan politik tak lain adalah mengembalikan fungsi ruang public itu agar kembali sebagaimana seharusnya tetap plural dan mengembalikan naturalisme manusia. Sehingga politik itu bisa dimaknai dengan nilai-nilai kerjasama,saling memahami, dan tanpa dominasi satu dengan yang lain. Akan tetapi agus sudibyo dalam bukunya ini juga menegaskan satu sintesa dari pemikiran arendt, bahwa ide arendt itu dipandang terlalu utopis, karena setiap manusia memiliki hasrat politik yang tinggi dengan meletakkan dominasi sebagai cara untuk memenangkan politik. 

Alternative 

Tujuan dari buku ini tak lain adalah menguaraikan kembali relevansi pemikiran politik Hannah arendt, bahwa politik itu mesti dikembalikan pada hakikat politik yakni politik otentik. Politik otentik dimaknai sebagai satu tindakan kebebasan manusia, yang mempertimbangkan penilaian dan pemikiran untuk satu tujuan yakni meletakkan kembali manusia sebagai makhluk yang mampu berfikir diluar batas-batas dan berdasarkan kata hati(hal.177). Untuk itulah, arendt menyarankan manusia yang bertindak dengan politik otentik, tak mungkin meninggalkan dua aktifitas yakni berfikir, dan melakukan penilaian sebelum melakukan tindakan politik. 

Selain itu, manusia politik yang diuraikan dalam buku “politik otentik” mesti memerhatikan bagaimana kebersamaan dan keragaman itu bisa berjalan beriringan dan demi mencapai satu tujuan bersama. Maka sudah tentu manusia politik menurut Hannah arendt menghilangkan nilai-nilai dominasi, individualism hingga pengejaran akan kekuasaan semata. Buku ini memberikan satu pemahaman jernih tentang bagaimana arendt memandang, sebab dari timbulnya kejahatan atau korupsi selama ini tak lain dari hilangnya (absennya) pikiran dari manusia itu sendiri.  

Maka kita pun melihat, bagaimana para politisi sering tebar pesona dan tersenyum riang ketika mereka tertangkap oleh kamera televise, diwawancarai, dan dipenjara. Tak ada penyesalan, raut muka sedih pun tak muncul, itu semua disebabkan dari absennya pikiran tadi. Bukan karena mereka bodoh dan mereka tak mengerti, melainkan hilangnya pikiran kemanusiaannya. Begitu juga ketika kita melihat kasus yang baru-baru terjadi, seorang siswa yang telah menewaskan saudaranya dalam tragedy tawuran beberapa waktu lalu dijakarta pun tak jauh beda. Ia pun mengatakan dengan leganya “saya puas”. Pernyataan itu adalah wujud bagaimana politik berubah menjadi “ekspansi ruang privat”. Ruang public jadi hilang, tapi dominasi ruang-ruang privat itulah yang lebih muncul melalui media dan alat-kuasa politik. 

Agus sudibyo menyajikan bagaimana arendt menyajikan “politik alternative” yang memungkinkan manusia itu menyusun kembali hakikatnya. Yakni sebagai makhluk yang plural, penuh keberagaman, dan menyatu dalam satu tujuan bersama tanpa menonjolkan kepentingan privat. Barangkali buku ini lebih terdengar sebagai seruan fantastis sebagaimana ungkapan Dr. B.Herry-Priyono. Akan tetapi usaha agus setidaknya adalah satu alternative di tengah kebuntuan politik yang selama ini kaku, penuh abu-abu, dan banal. Buku ini setidaknya adalah jawaban bahwa masih ada alternative, untuk mewujudkan politik yang otentik yang penuh kelenturan, yang penuh kebersamaan, tapi juga menyatukan tujuan dan hakikat politik itu sendiri yakni mengembalikan manusia sebagai manusia sebagaimana yang tertulis dalam max havelar. Begitu.



*)penulis adalah Presidium kawah institute Indonesia, santri di bilik literasi solo 
*) dimuat di retakan kata.com  2 februari 2013