klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Thursday 17 December 2015

Islam, Cinta dan Kebahagiaan




Dengan memberi itulah kita akan memperoleh makna hidup yang lebih luas dan semakin melapangkan hidup kita. Sedang sebaliknya sikap rakus, sombong ,dan membusungkan dada justru akan membawa kita pada defisit makna hidup

Oleh Arif saifudin yudistira*)

            Tokoh moncer dan pengajar tasawuf Haidar Bagir memberi persembahan buku ini sebagai hadiah dan sebagai permenungan untuk dirinya dan para pembaca semua yang menginginkan kebahagiaan. Pengalamannya sebagai pengajar tasawuf bukan berarti membuatnya hidup bahagia, mulus dan tak ada ujian. Justru di saat itulah, Haidar bagir pernah mengalami depresi berat memikirkan aktifitas, kesibukan dan masalah yang ia hadapi. Buku ini hadir untuk melawan musuh yang harus ia hadapi yakni yang berbau duniawi termasuk dirinya sendiri. Permenungan, pergulatannya itulah yang menjadi kisah yang dikemas ciamik dalam buku ini.
            Buku yang bertajuk Islam, Risalah Cinta dan Kebahagiaan adalah petuah, nasehat dan permenungan dari penulis untuk dibagi kepada publik pembaca. Sebagai seorang muslim, ia merasa ada kebahagiaan dan kepuasan batin tersendiri bila hidup penuh dengan keberbagian dan selalu memberi. Sikap selalu memberi dan berbagi inilah yang merupakan salah satu kunci dan rahasia dari kebahagiaan. Dengan keberbagian itulah kita semakin menyadari bahwa kehidupan di dunia ini tak ada artinya tanpa orang lain, tak ada orang yang bisa hidup sendiri. Sebagaimana ajaran Islam bahwa islam adalah rahmat bagi semua, melalui jalan keberbagian dan memberi itulah Islam akan membawa berkah bagi pemeluknya maupun umat lian. Pesan cinta itulah yang disampaikan oleh Haidar Bagir dalam buku ini.
            Haidar bagir tak hanya mengupas bagaimana hal-hal yang kecil dan sepele sering dilupakan oleh kita. Penulis menyadari bahwa yang ia tulis adalah permenungan, ruang jeda dan hal yang sudah umum ada dalam kehidupan kita. Tapi yang membedakan dari buku yang lain barangkali adalah kesederhanaan dan cara bertutur penulisnya yang tak menggurui dan memberikan kisah-kisah teladan yang bisa kita ambil hikmahya. Orang sering mencari kebahagiaan adalah hal yang bersifat material dan kepuasan yang berupa harta dan hal yang duniawiah semata. Inilah yang sebenarnya godaan duniawi yang menjadi ujian dari keimanan seseorang.
            Maka dari itu, Islam menuntunkan bahwa kecintaan terhadap duniawi adalah ujian yang diberikan Alloh kepada umatnya agar ia semakin dekat dan tumbuh dengan cinta yang hak yakni cinta kepada penciptanya. Mengutip Jalaludin Rumi yang mengatakan : “setiap orang yang tinggal jauh dari sumbernya ingin kembali ke saat ketika dia bersatu dengannya“. Haidar bagir memberikan gambaran pada kita,  bahwasannya Islam memiliki ajaran bahwa Tuhan menciptakan dunia dan seisinya untuk kebahagiaan dan kebaikan manusia.
            Hanya saja yang terjadi justru sebaliknya, manusia tak memanfaatkan dunia dengan bijak. Kebahagiaan pun berubah menjadi kesenangan semata dan hanya sekadar untuk memuaskan kebutuhan jasmani semata. Sebagaimana pesan Gandhi bahwa dunia sanggup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tidak untuk keserakahannya. Sebab dunia ini memang diciptakan untuk kebutuhan manusia, tetapi manusialah yang karena kelalaian dan kedzalimannya mengakibatkan alam menjadi tak bersahabat dengan kita. Buku ini memang sarat dengan inti ajaran tasawuf itu sendiri, sebagaimana Komaruddin hidayat menyebut buku ini sebagai buku yang berisikan ajaran tasawuf yang mendalam tapi sekaligus ringan dan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam buku inilah kita akan menemukan uraian dan contoh-contoh kisah teladan yang bisa kita petik hikmahnya.
Dalam kehidupan di dunia ini manusia tak bisa melepaskan diri dari masalah. Masalah memang bagian dari bumbu kehidupan ktia. Tergantung manusia yang menyikapi masalah itu, sebab sebagaimana yang kita tahu, Tuhan tak akan memberikan beban kepada kita melebihi kesanggupan kita. Bila manusia menyikapi ujian dan masalah tanpa keimanan, maka orang akan memandang ujian dan masalah sebagai beban. Sebaliknya bila ujian dipandang sebagai cara Tuhan meningkatkan kualitas kemanusiaan kita, maka kita akan beroleh hikmah dan kebahagiaan. Sebagaimamana yang dikatakan oleh Sayyidina Ali Karamallaha wajhah : “Seorang tidak akan merasakan manisnya kebahagiaan sebelum dia merasakan pahitnya kesedihan”.
            Haidar bagir memberikan penjelasan bahwasannya Tuhan pada sejatinya menciptakan alam dan seisinya adalah untuk kebahagiaan dan kebaikan manusia. Agama pun tak jauh berbeda, Islam dicipta agar manusia memahami betapa Tuhan mencintai hambanya. Kecintaan Tuhan inilah yang membuat Tuhan memberikan ujian dan cobaan kepada manusia. Untuk membuktikan seberapa cinta manusia pada Tuhannya. Sebab rata-rata manusia lebih memilih cintanya pada dunia daripada kecintaan yang haqiqi kepada Tuhannya.
            Hidup sebagaimana yang dikatakan Haidar bagir dalam buku ini, kebahagiaan hidup itu sebenarnya sederhana. Kebahagiaan hidup akan dapat diperoleh dengan cinta dan kasih sayang dan spirit memberi pada sesama. Dengan memberi itulah kita akan memperoleh makna hidup yang lebih luas dan semakin melapangkan hidup kita. Sedang sebaliknya sikap rakus, sombong ,dan membusungkan dada justru akan membawa kita pada defisit makna hidup. Defisit makna hidup itulah yang merupakan sumber kesengsaraan (hal.19).
            Melalui buku inilah Haidar bagir menjelaskan secara utuh bahwa Islam adalah agama yang penuh dengan risalah cinta yang menuntunkan kepada kebahagiaan kita(manusia),dengan memperlakukan dunia secara bijak dan sewajarnya. Sebab sebagaimana ajaran agama lain, kebaikan pun akan bertumbuh menjadi kebajikan kebajikan yang lain pada diri kita. Sebagaimana makna cinta yang sesungguhnya yakni hubb- benih kehidupan yang akan bertumbuh bagi penanamnya.

*)Penulis adalah Mahasiswa UMS pegiat di bilik literasi solo

Wednesday 16 December 2015

Meruntuhkan Mitos Kolonialisme




Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

              Sejarah kolonialisme selalu menciptakan mitos.  Terkadang mitos itu lebih dipercaya ketimbang fakta sejarah. Sebut saja ketika Amerika menyerang habis-habisan Vietnam di kala itu, meskipun Amerika sempat kalah, tetapi sampai sekarang Amerika tetap menciptakan mitos sebagai pemenang. Tak beda dengan peristiwa kolonialisme di negeri ini. Bahkan indonesia di jajah Belanda begitu lama pun tetap diyakini hanya 350 tahun saja.
              Pada akhirnya fakta sejarah pun ditulis, disusun dan dikisahkan untuk menerangkan realitas kolonialisme di masa itu. Akan tetapi sebagus apapun fakta sejarah ditulis, kepercayaan orang atau masyarakat kita kepada mitos lebih dominan ketimbang mempercayai fakta sejarah. Begitu pula dengan kisah yang dituturkan oleh Hannigan di bukunya Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa(2015) ini. 
         Buku ini pada dasarnya lahir dari kegelisahan untuk membantah mitos dan kepercayaan orang indonesia sendiri yang sering mengatakan bahwa mereka dengan mudahnya mengatakan :”Pasti akan lebih baik seandainya kami dijajah inggris ketimbang Belanda”.
            Buku yang disusun Hannigan ini tak hanya dikisahkan dengan bahasa yang apik, sehingga membuat kita seperti menonton film dan menyaksikan apa yang ada di masa lampau. Buku ini juga didukung dengan ketekunan menggali referensi yang tajam mengenai apa yang terjadi selama lima tahun penjajahan inggris (1811-1816).
            Hannigan melancarkan kritik tajamnya mengenai betapa Inggris yang dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles ternyata menunjukkan watak yang selama ini tak banyak diketahui oleh kita. Raffles yang dikenal sebagai seorang liberal, visioner, dan ahli botani ternyata jauh beda dengan apa yang digambarkan oleh Hannigan di buku ini.
            Sebelum sampai di Batavia, Raffles lebih dulu tiba di Malaka. Disini ia menyusun dan merencanakan strateginya. “ Pekerjaan paling penting di Malaka menurut Raffles adalah memulai korespondensi dengan istana-istana pribumi Indonesia. Dia yakin bahwa istana-istana pribumi tersebut akan menjadi sekutu alami melawan orang Belanda yang jahat” (h. 59).
           Sesampainya di Batavia, Raffles pun berkorespondensi dengan Sultan badarudin untuk mengusir Belanda dan komunitas Eropa kecil di Palembang. Dengan mengirim senjata dan peralatan perang modern, Raffles pelan-pelan merayu Sultan Badarudin agra mau mengusir Belanda. Di saat itulah Raffles melakukan kejahatan yang keji pada masa ia menginjakkan kaki di jawa.
            Kekejaman Raffles pun berlanjut tatkala ia mengutus utusannya untuk berunding menalkukkan dua kerajaan yakni Surakarta dan Yogyakarta. Surakarta sendiri lebih memilih untuk berkompromi. Sedangkan Yogyakarta sendiri susah sekali untuk ditundukkan dengan cara diplomasi. Akhirnya pada 20 Juni 1812, Yogyakarta berada dalam kekuasaan Raffles. Keraton yang dikenal sebagai simbol kekuasaan Jawa itu pun ditaklukkan dengan cara yang begitu kejam. Bahkan kolonialisme sebelum Inggris tak berani melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh Inggris.
            Penaklukkan Yogyakarta bahkan sampai pada mempermalukan Sultan Hamengku buwono dua untuk mencium kaki Raffles. Barang berharga, dokumen, arsip dan senjata serta pusaka keraton dijarah dan disita Raffles. Barang-barang itu pun menjadi bahan dan kajian Raffles untuk menyusun buku The History of Java yang disanjung-sanjung itu.
            Semasa lima tahun itu pula Raffles pada kenyataannya digambarkan oleh Hannigan sebagai sosok yang tak semulus pendahulunya. Ia harus berhadapan dengan konflik internal antara Crawfurd, dan Gillespie. Disamping itu, Raffles sendiri terlihat kurang tekun dalam urusan keuangan sehingga banyak tanah dijual ke pengusaha tanpa sepengetahuan banyak orang.
            Hal ini kelak mengakibatkan Raffles harus menghadapi kenyataan pahit di akhir kepemimpinannya menghadapi pemberontakan dari rakyat di satu sisi, dan konflik dengan para pegawainya di sisi lain.
            Dengan menempatkan Raffles sebagai tokoh utama di buku ini, Hannigan mencoba untuk menampik apa yang telah ditulis oleh para sejarawan sebelumnya yang menyembunyikan, menutup-nutupi kekejaman dan kekejian Raffles. Buku ini tak hendak mengajukan kesimpulan tentang sosok Raffles, tetapi buku ini memberikan gambaran utuh mengenai bagaimana kekejaman dan kekejian Inggris selama ia berada di wilayah jajahannya utamanya Indonesia.
            Pada akhirnya buku ini hendak membantah mitos kuno tentang pernyataan yang sembrono mengenai “lebih enak dijajah siapa”. Kolonialisme tetaplah sebuah kenyataan pahit yang menyisakan trauma dan tragedi yang akibatnya bisa berdampak lama sebagaimana penyerbuan Inggris ke Yogyakarta yang dampaknya bisa kita lihat sampai sekarang. 


*) Resensi dimuat di SOLO POS Minggu 13 Desember 2015, versi lengkapnya.