klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Thursday 17 December 2015

Islam, Cinta dan Kebahagiaan




Dengan memberi itulah kita akan memperoleh makna hidup yang lebih luas dan semakin melapangkan hidup kita. Sedang sebaliknya sikap rakus, sombong ,dan membusungkan dada justru akan membawa kita pada defisit makna hidup

Oleh Arif saifudin yudistira*)

            Tokoh moncer dan pengajar tasawuf Haidar Bagir memberi persembahan buku ini sebagai hadiah dan sebagai permenungan untuk dirinya dan para pembaca semua yang menginginkan kebahagiaan. Pengalamannya sebagai pengajar tasawuf bukan berarti membuatnya hidup bahagia, mulus dan tak ada ujian. Justru di saat itulah, Haidar bagir pernah mengalami depresi berat memikirkan aktifitas, kesibukan dan masalah yang ia hadapi. Buku ini hadir untuk melawan musuh yang harus ia hadapi yakni yang berbau duniawi termasuk dirinya sendiri. Permenungan, pergulatannya itulah yang menjadi kisah yang dikemas ciamik dalam buku ini.
            Buku yang bertajuk Islam, Risalah Cinta dan Kebahagiaan adalah petuah, nasehat dan permenungan dari penulis untuk dibagi kepada publik pembaca. Sebagai seorang muslim, ia merasa ada kebahagiaan dan kepuasan batin tersendiri bila hidup penuh dengan keberbagian dan selalu memberi. Sikap selalu memberi dan berbagi inilah yang merupakan salah satu kunci dan rahasia dari kebahagiaan. Dengan keberbagian itulah kita semakin menyadari bahwa kehidupan di dunia ini tak ada artinya tanpa orang lain, tak ada orang yang bisa hidup sendiri. Sebagaimana ajaran Islam bahwa islam adalah rahmat bagi semua, melalui jalan keberbagian dan memberi itulah Islam akan membawa berkah bagi pemeluknya maupun umat lian. Pesan cinta itulah yang disampaikan oleh Haidar Bagir dalam buku ini.
            Haidar bagir tak hanya mengupas bagaimana hal-hal yang kecil dan sepele sering dilupakan oleh kita. Penulis menyadari bahwa yang ia tulis adalah permenungan, ruang jeda dan hal yang sudah umum ada dalam kehidupan kita. Tapi yang membedakan dari buku yang lain barangkali adalah kesederhanaan dan cara bertutur penulisnya yang tak menggurui dan memberikan kisah-kisah teladan yang bisa kita ambil hikmahya. Orang sering mencari kebahagiaan adalah hal yang bersifat material dan kepuasan yang berupa harta dan hal yang duniawiah semata. Inilah yang sebenarnya godaan duniawi yang menjadi ujian dari keimanan seseorang.
            Maka dari itu, Islam menuntunkan bahwa kecintaan terhadap duniawi adalah ujian yang diberikan Alloh kepada umatnya agar ia semakin dekat dan tumbuh dengan cinta yang hak yakni cinta kepada penciptanya. Mengutip Jalaludin Rumi yang mengatakan : “setiap orang yang tinggal jauh dari sumbernya ingin kembali ke saat ketika dia bersatu dengannya“. Haidar bagir memberikan gambaran pada kita,  bahwasannya Islam memiliki ajaran bahwa Tuhan menciptakan dunia dan seisinya untuk kebahagiaan dan kebaikan manusia.
            Hanya saja yang terjadi justru sebaliknya, manusia tak memanfaatkan dunia dengan bijak. Kebahagiaan pun berubah menjadi kesenangan semata dan hanya sekadar untuk memuaskan kebutuhan jasmani semata. Sebagaimana pesan Gandhi bahwa dunia sanggup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tidak untuk keserakahannya. Sebab dunia ini memang diciptakan untuk kebutuhan manusia, tetapi manusialah yang karena kelalaian dan kedzalimannya mengakibatkan alam menjadi tak bersahabat dengan kita. Buku ini memang sarat dengan inti ajaran tasawuf itu sendiri, sebagaimana Komaruddin hidayat menyebut buku ini sebagai buku yang berisikan ajaran tasawuf yang mendalam tapi sekaligus ringan dan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam buku inilah kita akan menemukan uraian dan contoh-contoh kisah teladan yang bisa kita petik hikmahnya.
Dalam kehidupan di dunia ini manusia tak bisa melepaskan diri dari masalah. Masalah memang bagian dari bumbu kehidupan ktia. Tergantung manusia yang menyikapi masalah itu, sebab sebagaimana yang kita tahu, Tuhan tak akan memberikan beban kepada kita melebihi kesanggupan kita. Bila manusia menyikapi ujian dan masalah tanpa keimanan, maka orang akan memandang ujian dan masalah sebagai beban. Sebaliknya bila ujian dipandang sebagai cara Tuhan meningkatkan kualitas kemanusiaan kita, maka kita akan beroleh hikmah dan kebahagiaan. Sebagaimamana yang dikatakan oleh Sayyidina Ali Karamallaha wajhah : “Seorang tidak akan merasakan manisnya kebahagiaan sebelum dia merasakan pahitnya kesedihan”.
            Haidar bagir memberikan penjelasan bahwasannya Tuhan pada sejatinya menciptakan alam dan seisinya adalah untuk kebahagiaan dan kebaikan manusia. Agama pun tak jauh berbeda, Islam dicipta agar manusia memahami betapa Tuhan mencintai hambanya. Kecintaan Tuhan inilah yang membuat Tuhan memberikan ujian dan cobaan kepada manusia. Untuk membuktikan seberapa cinta manusia pada Tuhannya. Sebab rata-rata manusia lebih memilih cintanya pada dunia daripada kecintaan yang haqiqi kepada Tuhannya.
            Hidup sebagaimana yang dikatakan Haidar bagir dalam buku ini, kebahagiaan hidup itu sebenarnya sederhana. Kebahagiaan hidup akan dapat diperoleh dengan cinta dan kasih sayang dan spirit memberi pada sesama. Dengan memberi itulah kita akan memperoleh makna hidup yang lebih luas dan semakin melapangkan hidup kita. Sedang sebaliknya sikap rakus, sombong ,dan membusungkan dada justru akan membawa kita pada defisit makna hidup. Defisit makna hidup itulah yang merupakan sumber kesengsaraan (hal.19).
            Melalui buku inilah Haidar bagir menjelaskan secara utuh bahwa Islam adalah agama yang penuh dengan risalah cinta yang menuntunkan kepada kebahagiaan kita(manusia),dengan memperlakukan dunia secara bijak dan sewajarnya. Sebab sebagaimana ajaran agama lain, kebaikan pun akan bertumbuh menjadi kebajikan kebajikan yang lain pada diri kita. Sebagaimana makna cinta yang sesungguhnya yakni hubb- benih kehidupan yang akan bertumbuh bagi penanamnya.

*)Penulis adalah Mahasiswa UMS pegiat di bilik literasi solo

Wednesday 16 December 2015

Meruntuhkan Mitos Kolonialisme




Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

              Sejarah kolonialisme selalu menciptakan mitos.  Terkadang mitos itu lebih dipercaya ketimbang fakta sejarah. Sebut saja ketika Amerika menyerang habis-habisan Vietnam di kala itu, meskipun Amerika sempat kalah, tetapi sampai sekarang Amerika tetap menciptakan mitos sebagai pemenang. Tak beda dengan peristiwa kolonialisme di negeri ini. Bahkan indonesia di jajah Belanda begitu lama pun tetap diyakini hanya 350 tahun saja.
              Pada akhirnya fakta sejarah pun ditulis, disusun dan dikisahkan untuk menerangkan realitas kolonialisme di masa itu. Akan tetapi sebagus apapun fakta sejarah ditulis, kepercayaan orang atau masyarakat kita kepada mitos lebih dominan ketimbang mempercayai fakta sejarah. Begitu pula dengan kisah yang dituturkan oleh Hannigan di bukunya Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa(2015) ini. 
         Buku ini pada dasarnya lahir dari kegelisahan untuk membantah mitos dan kepercayaan orang indonesia sendiri yang sering mengatakan bahwa mereka dengan mudahnya mengatakan :”Pasti akan lebih baik seandainya kami dijajah inggris ketimbang Belanda”.
            Buku yang disusun Hannigan ini tak hanya dikisahkan dengan bahasa yang apik, sehingga membuat kita seperti menonton film dan menyaksikan apa yang ada di masa lampau. Buku ini juga didukung dengan ketekunan menggali referensi yang tajam mengenai apa yang terjadi selama lima tahun penjajahan inggris (1811-1816).
            Hannigan melancarkan kritik tajamnya mengenai betapa Inggris yang dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles ternyata menunjukkan watak yang selama ini tak banyak diketahui oleh kita. Raffles yang dikenal sebagai seorang liberal, visioner, dan ahli botani ternyata jauh beda dengan apa yang digambarkan oleh Hannigan di buku ini.
            Sebelum sampai di Batavia, Raffles lebih dulu tiba di Malaka. Disini ia menyusun dan merencanakan strateginya. “ Pekerjaan paling penting di Malaka menurut Raffles adalah memulai korespondensi dengan istana-istana pribumi Indonesia. Dia yakin bahwa istana-istana pribumi tersebut akan menjadi sekutu alami melawan orang Belanda yang jahat” (h. 59).
           Sesampainya di Batavia, Raffles pun berkorespondensi dengan Sultan badarudin untuk mengusir Belanda dan komunitas Eropa kecil di Palembang. Dengan mengirim senjata dan peralatan perang modern, Raffles pelan-pelan merayu Sultan Badarudin agra mau mengusir Belanda. Di saat itulah Raffles melakukan kejahatan yang keji pada masa ia menginjakkan kaki di jawa.
            Kekejaman Raffles pun berlanjut tatkala ia mengutus utusannya untuk berunding menalkukkan dua kerajaan yakni Surakarta dan Yogyakarta. Surakarta sendiri lebih memilih untuk berkompromi. Sedangkan Yogyakarta sendiri susah sekali untuk ditundukkan dengan cara diplomasi. Akhirnya pada 20 Juni 1812, Yogyakarta berada dalam kekuasaan Raffles. Keraton yang dikenal sebagai simbol kekuasaan Jawa itu pun ditaklukkan dengan cara yang begitu kejam. Bahkan kolonialisme sebelum Inggris tak berani melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh Inggris.
            Penaklukkan Yogyakarta bahkan sampai pada mempermalukan Sultan Hamengku buwono dua untuk mencium kaki Raffles. Barang berharga, dokumen, arsip dan senjata serta pusaka keraton dijarah dan disita Raffles. Barang-barang itu pun menjadi bahan dan kajian Raffles untuk menyusun buku The History of Java yang disanjung-sanjung itu.
            Semasa lima tahun itu pula Raffles pada kenyataannya digambarkan oleh Hannigan sebagai sosok yang tak semulus pendahulunya. Ia harus berhadapan dengan konflik internal antara Crawfurd, dan Gillespie. Disamping itu, Raffles sendiri terlihat kurang tekun dalam urusan keuangan sehingga banyak tanah dijual ke pengusaha tanpa sepengetahuan banyak orang.
            Hal ini kelak mengakibatkan Raffles harus menghadapi kenyataan pahit di akhir kepemimpinannya menghadapi pemberontakan dari rakyat di satu sisi, dan konflik dengan para pegawainya di sisi lain.
            Dengan menempatkan Raffles sebagai tokoh utama di buku ini, Hannigan mencoba untuk menampik apa yang telah ditulis oleh para sejarawan sebelumnya yang menyembunyikan, menutup-nutupi kekejaman dan kekejian Raffles. Buku ini tak hendak mengajukan kesimpulan tentang sosok Raffles, tetapi buku ini memberikan gambaran utuh mengenai bagaimana kekejaman dan kekejian Inggris selama ia berada di wilayah jajahannya utamanya Indonesia.
            Pada akhirnya buku ini hendak membantah mitos kuno tentang pernyataan yang sembrono mengenai “lebih enak dijajah siapa”. Kolonialisme tetaplah sebuah kenyataan pahit yang menyisakan trauma dan tragedi yang akibatnya bisa berdampak lama sebagaimana penyerbuan Inggris ke Yogyakarta yang dampaknya bisa kita lihat sampai sekarang. 


*) Resensi dimuat di SOLO POS Minggu 13 Desember 2015, versi lengkapnya. 

Thursday 15 October 2015

Masa Lalu dan Kritik Modernitas




Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Kampung yang selama ini dipandang sebagai sesuatu yang tak menarik tiba-tiba dijadikan sebagai dunia yang lekat bersama kita. Melalui kumcer Anak-Anak Masa Lalu(2015) kita diajak untuk memunguti yang tercecer dan tercerai berai dari tubuh kita. Kampung, masa lalu adalah bagian dari tubuh pengarang yang coba dihadirkan kembali ke dalam cerita-ceritanya. Meski secara terang diakui pengarang, masa lalu, dan kampung justru menghadirkan sakit dan perih, tetapi dari itulah, justru pengarang menerokanya menjadi cerita yang menakjubkan. Kita bisa menengok pengakuan pengarang di buku ini : “kampung yang sejak lama hendak saya hindari untuk berpulang kepadanya, namun kenangan masa kecil itu rupanya telah menjadi fosil dalam kepala saya. Setiap kali saya hendak merancang sebuah cerita, fosil-fosil itu bagai mengepung saya, mendesak saya untuk memberi nyawa, hingga akhirnya semua cerita yang saya teroka terkepung dalam arus deras kenangan tentang kampung halaman” (h.119).
            Dunia kampung tentu masih lekat dengan hal yang berbau tradisi, mitos, sampai dengan pergunjingan. Pergunjingan di kampung memang tak semenarik seperti di layar kaca kita. Tetapi di kampung, setiap orang bisa jadi penggosip atau sebaliknya orang yang digosipkan dengan begitu cepat. Kampung lekat dengan yang social, yang jamak itu. Di kampung kita mesti hidup dengan kehati-hatian dan penuh toleransi. Gosip, pergunjingan di kampung kemudian menjadi ide menarik di cerita Damhuri seperti di cerpen Banun. Di cerpen Banun kita menemui bagaimana dendam personal yang ada di kampung justru menjadi gossip yang menuntut seorang nenek tua harus bersabar dan berteguh kepada nasib dan prinsipnya sebagai seorang tani. Gunjingan itu pun tak pernah berhenti sampai kepada anaknya, untunglah si nenek mau membuka kisah yang sebenarnya kepada anaknya. “ Ia menjelaskan kata “tani” berasal dari “tahani” yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa orang kini berarti “menahan diri”. Menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang dapat diperoleh dari bercocok tanam “ (h.26). Sifat dan keteguhan Banun itulah yang kemudian membuatnya menjadi semakin kaya dan terpandang di kampungnya. Dari itulah, ia mendapat gunjingan yang tak sedap dari orang yang tak suka dengan menjulukinya “Banun kikir”.
            Di cerita lain, kita akan menemui betapa mitos menjadi hal menarik tatkala dihubungkan dengan yang modern. Di cerita berjudul anak-anak masa lalu yang juga menjadi—judul kumcer ini—kita akan menemukan bagaimana cerita pembangunan jembatan kemudian ditautkan dengan kisah dan mitos anak-anak yang mati dikorbankan dan dimasukkan ke dalam beton jembatan. Cerita ini justru menjadi sindiran bagi modernitas dan pembangunan yang selama ini justru mengorbankan rakyat kita.
            Bila ingin menemui mitos dan cerita tentang orang sakti, kita bisa menengok cerita berjudul Badar Besi yang mengisahkan bagaimana orang kemudian begitu percaya dengan batu yang membuat kebal. Melalui kisah ini, kita bisa melihat di masa sekarangpun batu tetap dipercaya dan digandrungi karena ada kekuatan di dalamnya. Melalui cerita ini kita semakin diajak untuk tak mengelak antara yang modern dan yang lampau. Simak saja cerita bertajuk Dua Rahasia, Dua Kematian. Cerita diawali dengan mitos dan kepercayaan orang desa bahwa seorang adik tak boleh melanggar kakaknya dalam urusan pernikahan. Sebab mereka percaya akan ada musibah ketika pantangan itu dilanggar. Cerita ini ditutup dengan pasangan sejoli yang belum menikah ini harus menghadapi kematian di kota Jakarta. Penyesalan orangtua pun menjadi tak terperi ketika mendengar anaknya harus mati bersama kekasihnya. Ada keyakinan dan keinginan pengarang untuk mencoba menautkan antara kepercayaan orang kampung dengan hal yang modern.

            Masa lalu bagi penulis justru menjadi mata air imajinasi yang unik. Hal yang sebenarnya berbau kampungan seperti mitos, takhyul, justru dikemas dengan menarik oleh penulis menjadi cerita yang bisa kita resapi. Penulis seperti ingin menegaskan bahwa yang lampau, yang lalu, justru merupakan bagian dari tubuh kita saat ini. Selain itu, keteguhan dan prinsip orang kampung tak melulu merupakan sikap yang rendah seperti di cerpen Rumah Amplop. Di cerpen ini kita justru menemukan sikap dan keteguhan seorang nenek yang harus mempertahankan prinsipnya untuk tak mau menerima uang dari anaknya yang berasal dari uang suap. Rumah amplop menjadi cerita yang menghantam dan menohok kepada situasi masyarakat kita yang menganggap orang kampung bisa dibeli dengan uang.
            Meski cerita-cerita ini ditulis bertahun yang lalu, namun daya tarik dan daya pikat cerita ini tetap memikat kita. Penulis justru menjadikan masa lalu yang traumatik, kampungan menjadi cerita yang mengkritisi sikap dan modernitas kita.


*) Penulis adalah Pegiat Bilik Literasi, Pengasuh MI Muhammmadiyah Kartasura
*) tulisan pernah dimuat di bukuonlinestore.com 

Monday 12 October 2015

Kisah Tentang Moralitas




Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
           
Akhirnya lukisan itu membunuh pelukisnya sendiri dan seorang model yang dilukis. Begitulah akhir dari kisah Dorian Gray(2015) karya Oscar Wilde. Novel ini mengisahkan bagaimana Basil seniman yang melukis Dorian Gray harus mati di tangan modelnya sendiri. Semula lukisan itu diminta oleh Dorian Gray dan sang pelukis pun memberinya begitu saja, karena teramat sangat memuja sosok Dorian Gray. Lukisan terbaik yang pernah dibuatnya ini pun pada akhirnya menjadi biang masalah. Semula Dorian Gray memang hanya seorang pemuda yang biasa saja, baik hati, dan begitu polos. Namun, semenjak pergaulannya dengan teman Basil yakni Lord Henry, ia pun jadi berubah. Ia mulai mengenali gaya orang kelas menengah, citra seni, dan juga urusan gaya hidup. Ia begitu mengidolakan sosok Lord henry sebagai seorang yang cukup faham mengenai gaya hidup kelas menengah dan kaum elite.
Sadar dengan kemampuan dan potensinya, Dorian Gray pun tak ingin menyia-nyiakan masa mudanya dan ketampanannya. Ia pun menuruti kata-kata Lord Henry yang menganggap bahwa ia adalah cerminan dari sosok hedonisme baru. “Sebuah hedonisme model baru itulah yang diinginkan abad ini. Kau ini mungkin adalah perlambangannya yang paling nyata. Dengan kepribadianmu itu, tidak ada yang tidak mungkin kau lakukan. Dunia ini menjadi milikmu karena suatu alasan”. Ia pun menjadi dikagumi di kalangan elit, datang dengan jamuan dan pertemuan makan malam dengan para seniman dan orang-orang kelas atas. Ia pun kemudian ditunjuk sebagai konsultan model dan pakaian, semua orang terpikat dengan apa yang ia kenakan dari atas sampai bawah.
Pergaulannya dengan kalangan kelas atas semakin membuatnya menjadi bintang, dan sosok yang dipuja. Ia pun terpikat dengan gadis yang tampil di sebuah opera. Sybil namanya. Sybil ini semula dikagumi dan dicintai oleh Dorian Gray, bahkan mereka hampir berencana menikah. Akan tetapi setelah kedua temannya yakni Basil dan Lord Henry diajak menonton dramanya, Dorian dengan seketika tak lagi memuja gadis itu karena menganggap aktingnya begitu buruk menurut teman-temannya. Pada akhirnya gadis itu bunuh diri karena ditolak cintanya oleh Dorian Gray. Mendengar berita bahwa gadis yang dicintainya telah mati bunuh diri, Dorian Gray akhirnya seperti dikejar perasaan cemas yang begitu dalam. Ia pun melampiaskan rasa cemasnya dengan melihat lukisannya sendiri.
Saat melihat lukisan itulah, ia merasa ada yang berubah dengan lukisan itu. Lukisan wajahnya pun menjadi berubah, seperti ada kotoran yang melekat di lukisan itu. Singkat cerita ia pun akhirnya membunuh pelukisnya sendiri Basil Halward. Basil akhirnya dibunuh setelah bercakap ketika ia berencana mengunjungi pameran di Perancis. Setelah membaca buku (baca: novel) yang dipinjamkan padanya dari Lord Henry, ia pun semakin berubah menjadi semakin dingin. Ia tak lagi menyadari siapa dirinya, ia seperti menjadi pribadi yang kejam tapi tak merasa berdosa seperti tokoh di novel yang ia baca. Ia mencoba menghilangkan jejak pembunuhan yang dia lakukan dengan rapi. Tetapi ia tak bisa menyembunyikan dosa-dosa dan kesalahannya dari publik saat ia disadarkan oleh Lord Henry yang menanyakan banyak hal kejadian yang muncul di koran-koran. Ia pun seperti dikejar dosa-dosa yang ia lakukan. Tragisnya, Dorian Gray pun bunuh diri. Nasib model Dorian Gray yang semula dipuja dan dikagumi pun akhirnya berakhir tragis.
Novel ini menggambarkan sisi moralitas dalam jiwa manusia. Ada sisi buruk dan baik dalam jiwa manusia. Pertarungan inilah yang kelak akan terus terjadi dalam kehidupan kita. Pada akhirnya, moralitas kita tak bisa ditentukan oleh kita secara “individu” tetapi juga ditentukan oleh masyarakat sosial atau lingkungan kita sebagaimana tokoh utama dalam novel ini. Dorian Gray akhirnya harus menanggung nasib tragis dari efek pergaulan dan selera masyarakat yang memuja tubuh, memuja luar, dan tanpa kita tahu, ada yang rapuh, ada yang terluka di dalam jiwanya. Di dalam jiwa Dorian Gray menyimpan luka yang teramat dalam, tentu luka Dorian Gray tak hanya lukanya secara pribadi, tetapi juga luka masyarakat yang memuja kepada sesuatu yang luar, sesuatu yang nampak. Pada sisi inilah, kritik novel ini begitu keras tentang gaya dan sikap manusia modern di abad 19. Begitu.

 *) Penulis adalah Alumnus UMS, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
*) Tulisan dimuat di SOLO POS

Tuesday 22 September 2015

Membaca Serat Centhini dalam Kacamata Sekarang





       Serat Centhini  dikenal sebagai karya sastra  masyur yang memuat berbagai ensiklopedia tentang Jawa. Isinya  urusan kerajaan, dongeng,  berbagai falsafah tentang tanaman dan hewan di Jawa. Ada juga nasihat, pitutur, dan  ajaran kebijaksanaan. Sayang, serat Centhini hanya disentuh dan dipelajari sedikit orang. Kuhitung siapa yang mampu menguraiku: hanya beberapa ratus orang di muka bumi ini (hal 5).

             Centhini sejatinya semacam suluk, tembang yang dikarang pujangga kerajaan yang  dihimpun dari khazanah dan pengembaraan panjang. Serat Centhini disusun  pujangga Jawa masa itu seperti Sastranagara, Ranggasutrasna, dan Sastradipura. Sebagaimana kisah Centhini yang dilahirkan dari pengembaraan, tokoh-tokoh di dalamnya  tak pernah berhenti dari sebuah pengembaraan spiritual. 
              Generasi saat ini tidak banyak mengenal Centhini, apalagi mereka juga asing dengan  bahasa ibu. Centhini jadi semacam karya sastra sepi dan sunyi di ruang perpustakaan. Beruntung Elizabeth D Inandiak menerjemahkan ulang
        Centhini lahir kembali sebagai sebuah serat yang tak hanya ditembangkan dan dipentaskan, tetapi juga menjadi teks dan bacaan  sastrawi. Meski menjadi teks sastra, Serat Centhini yang dihadirkan Elizabeth D Inandiak tak mengurangi aura mistisisme ceritanya. Serat Centhini mengajak pembaca  berkelana dalam pengembaraan spiritual yang tak terperi. Melalui tokoh-tokohnya, pembaca  tak hanya melihat karakteristik sufistik, tetapi juga sifat  orang  linglung, yang mencari  jati diri.
           Sebagaimana kisah Cebolang dalam jilid satu sampai empat,  dikenal sebagai suluk tembang raras, dia  lebih dikenal sebagai suluk yang penuh cerita erotis. Tetapi di tangan Elizabeth, penggambaran Cebolang menjadi demikian normal dan tampak biasa. Hal ini tak hanya karena  Cebolang hadir dengan karakter  mirip manusia biasa, di mana masa remaja penuh pencarian jati diri dan spiritual. Kisah Cebolang diakhiri dengan pertobatan  kembali ke jalan ilahi. 
             Serat Centhini yang penuh simbol dan tafsir menjadikannya sebuah suluk yang akrab dan enak dibaca. Bahasa Indonesia menjadikan anak muda lebih dekat dan membuat Centhini bisa dijangkau lebih banyak orang sekarang. Serat Centhini hadir dengan kisah wayang, Sunan Giri, perjalanan ke hutan, dan kosmologinya yang membuat pembaca  belajar lebih banyak tentang kehidupan. 
        Menurut Elizabeth, dalam sebuah diskusi di Balai Soedjatmoko (19/9/15), “Serat Centhini mengajarkan untuk tidak lekas menilai  seseorang sebelum mati. Hal ini ada dalam Centhini yang digambarkan melalui tokoh Cebolang yang akhirnya bertobat. Berbeda dengan Amongraga yang semula tokoh sufistik, tetapi berakhir secara menyedihkan tatkala titisannya menjelama sebagai raja dan memerintah membunuh semua kiai. 
              Semua  patut hormat pada  upaya Elizabeth membawa Centhini ke  Festival buku di Frankfurt, Jerman 2015. Semua  berharap Centhini menemui banyak pembaca agar lebih banyak dimengerti. Melalui bahasa yang puitik, serta referensi mutakhir dari berbagai buku dan karya klasik, Elizabeth berhasil menghadirkan kembali tafsir Centhini masa sekarang. Meski karya ini sudah memasuki usia yang lebih dari seabad, daya tariknya tetap mempesona. 



Diresensi  Arif Saifudin Yudistira, alumnus UMS

Dimuat di Koran Jakarta Rubrik Perada 22 September 2015