klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!
Wednesday 8 May 2013
Sang Penggerak Ilmu
Data buku
Biografi Ibnu Khaldun: Kehidupan dan Karya Bapak Sosiologi Dunia
Muhammad Abdullah Enan
Machnun Husein
Zaman, Jakarta, 2013
224 hlm
IBNU KHALDUN, mahaguru dan penghimpum pelbagai pengetahuan. Ibnu Khaldun terus diingat, tercatat di lembaran sejarah peradaban di Timur dan Barat. Pengakuan dan penghormatan diberikan atas segala ikhtiar penulisan dan sebaran pelbagai pengetahuan, melintasi negara dan menapaki waktu ratusan tahun.
Buku-buku ampuh terwariskan, menjadi rujukan sejarah, sosiologi, ekonomi, politik. Ibnu Khaldun telah mengajarkan gairah literasi, tampil sebagai intelektual mumpuni.
Buku-buku biografi tentang Ibnu Khaldun atau ulasan-ulasan untuk sekian buku telah dituliskan, beredar di Timur Tengah, Afrika, Eropa, Amerika, Asia. Arus sejarah keilmuan selalu menempatkan Ibnu Khaldun di urutan depan, sang pemula dalam perumusan pelbagai ilmu modern. Lakon Ibnu Khaldun bermula di Tunisia, 27 Mei 1332. Tokoh ini memiliki silsilah keluarga dari kalangan terhormat, pejabat dan intelektual. Ibnu Khaldun tumbuh dalam keluarga berliterasi, menggerakkan hidup dengan pergulatan intelektual.
Biografi Ibnu Khaldun selalu berurusan dengan kekuasaan. Sang mahaguru ini adalah manusia ambisius dalam ilmu dan jabatan. Pelbagai peran telah dijalankan selama mengabdi ke para penguasa. Poisisi sebagai penasihat, hakim, dosen dijadikan sebagai jenis pekerjaan untuk mendapatkan otoritas dan kehormatan. Situasi perebutan kekuasaan dan konflik politik di pelbagai negeri di Afrika Utara-Timur Tengah menempatkan Ibnu Khaldun dalam situasi pelik, bertendensi memilih merapat ke penguasa-penguasa resmi. Ambisi ini mengesankan ada hasrat politis berkaitan keinginan menekuni ilmu, mempersembahkan buku-buku fenomenal bagi laju peradaban modern. Ibnu Khaldun mengabdi ke sekian penguasa, berkelana ke pelbagai negara demi pengetahuan dan kehormatan.
Keterlibatan Ibnu Khaldun dalam konflik politik dan laku intelektual mengandung risiko, popularitas dan hukuman. Ibnu Khaldun pernah mengalami dipenjara selama dua tahun berdalih politik. Penghukuman ini memicu Ibnu Khaldun mencari keselamatan dan kebebasan, berpamrih agar masih bisa menekuni ilmu. Ibnu Khaldun memerlukan menulis puisi sepanjang 200 bait, berisi permintaan pengampunan dan belas kasihan. Puisi itu memang menjadi siasat mencari keselamatan. Ibnu Khaldun pun dibebaskan dari hukuman politik, melenggang terus ke jalan pengetahuan. Sejarah keintelektualan memang sering terkait dengan sejarah politik dan perlakuan penguasa terhadap kaum intelektual.
Kesibukan di dunia politik membuat Ibnu Khaldun jenuh. Pilihan untuk menjauh dari politik dialami selama dua tahun. Ikhtiar mencari ketenangan merangsang ambisi-ambisi keintelektualan. Ibnu Khaldun saat usia 45 tahun mulai rajin menulis risalah-risalah sejarah, menggarap tema-tema penting dalam pelbagai kajian pengetahuan. Keterpencilan dan kesepian justru meluapkan hasrat pengetahuan.
Buku fenomenal, Muqaddimah, dipersembahkan pada penguasa, Sultan Abul Abbas (1382). Prosesi untuk memberikan buku itu diawali pembacaan puisi sepanjang 100 bait gubahan Ibnu Khaldun. Persembahan buku berkaitan nasib Ibnu Khaldun, bersinggungan dengan hasrat berpolitik. Ibnu Khaldun mengucap puisi: “Di sini dalam sejarah waktu dan bangsa-bangsa/ Terselip pelajaran-pelajaran dan nilai-nilai diikuti orang adil/ Aku meringkas semua buku tentang bangsa-bangsa kuno.” Di bait-bait lanjutan, Ibnu Khaldun sengaja menjadikan Muqaddimah sebagai persembahan bagi penguasa dan negara.
Kehidupan sebagai intelektual berlanjut di Mesir. Ibnu Khaldun hidup di Mesir selama 23 tahun. Agenda-agenda politik ditinggalkan, Ibnu Khaldun memilih menekuni urusan intelektualitas. Di Mesir, Ibnu Khaldun melakukan koreksi-koreksi Muqaddimah. Keberadaan sekian perpustakaan memberi rangsangan untul lacak referensi. Pekerjaan sebagai dosen dan hakim semakin membesarkan otoritas keintelektualan. Pemikiran-pemikiran dan buku telah mendahului sampai ke Mesir, sebelum Ibnu Khaldun tiba dan hidup di Mesir.
Episode-episode kehidupan Ibnu Khaldun melahirkan buku-buku ampuh. Muqaddimah adalah warisan terbesar, rujukan pengetahuan bagi kaum intelektual di Timur dan Barat, selama ratusan tahun. Kemonceran Ibnu Khaldun di Eropa bermula dari publikasi buku Blibliotheque Oerientale (1697) susunan D’Harbelot. Buku ini memuat biografi dan pemikiran Ibnu Khaldun. Di abad XIX, terjemahan Muqaddimah mulai beredar di Eropa dalam pelbagai bahasa. Ibnu Khaldun jadi rujukan pengetahuan di Eropa. Kalangan sarjana Eropa menemukan warisan intelektual memukau di buku-buku garapan Ibnu Khladun. Eropa seolah menemukan terang bermula dari ensiklopedia pemikiran Ibnu Khaldun, mahaguru dari Timur.
Muhammad Abdullah Enan menganggap kebesaran Ibnu Khaldun mendahului-melampaui popularitas Machiavelli. Perbandingan ini dimaksudkan untuk mengerti kadar pengaruh Ibnu Khaldun bagi Eropa, makna Machiavelli bagi dunia. Machiavelli, penulis buku Il Prince, muncul seabad sesudah Ibnu Khaldun. Dua pemikir besar ini memiliki konsentrasi dalam pemikiran politik. Dunia seolah berubah oleh sebaran pemikiran mereka, dunia bergerak dengan buku. Ibnu Khaldun adalah sang pemula, perintis keilmuan bagi dunia. Jejak juga dimiliki oleh Machiavelli meski terlambat seabad.
Penerjemahan Muqaddimah dan buku-buku tentang Ibnu Khaldun di Indonesia juga menjadi selebrasi literasi mengacu ke sejarah peradaban Islam. Pembacaan dan tafsiran atas pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun memang tak pernah usang, memikat sepanjang masa. Di abad XXI, kita adalah ahli waris dari kerja literasi Ibnu Khaldun. Kita memiliki hak untuk menafsirkan mozaik pemikiran Ibnu Khaldun sesuai situasi zaman. Begitu. n
Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 April 2013
Menjadi Guru Panutan Murid
SEORANG guru, sebagaimana dirumuskan negara dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, haruslah memiliki kompetisi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Namun, dewasa ini perkembangan profesionalisme guru tampaknya mengarah pada hal lain. Sebagian dari mereka lebih banyak bergelut dengan persoalan teknis dan legal formal portofolio yang harus dikumpulkan untuk mendapatkan predikat ?profesional? melalui program sertifikasi guru.
Pada saat yang sama, pelatihan guru lebih banyak berkaitan dengan kemampuan pedagogik semata, seperti kompetensi untuk menyusun rencanan pengajaran, metode mengajar, dan mengevaluasi. Sedangkan kompetensi kepribadian dan sosial yang berkaitan erat dengan penanaman nilai-nilai hidup bagi siswa sangat sedikit dibahas.
Kondisi demikian rupanya membuat gelisah seorang guru Bahasa Indonesia bernama Sigit Setyawan sehingga dalam tesis S-2-nya sebagaimana yang tertuang dalam buku yang diberi judul Guruku Panutanku ini, penulis berusaha secara singkat mengingatkan serta menjelaskan peran guru dalam menanamkan nilai kepada siswa berdasarkan teori kognitif sosial Albert Bandura.
Guru sebagai model dalam konteks teori kognitif sosial dijelaskan dalam konsep modeling, siswa sebagai pihak yang mengamati dan terpengaruh dalam konteks ini dianggap sebagai human agency, dan proses terjadinya pengaruh itu telah dipolakan dalam proses pembelajaran observasional.
Teori kognitif sosial berangkat dari pembelajaran observasional. Manusia belajar dari interaksinya dengan manusia lain. Seorang anak akan belajar dari orang dewasa dengan cara mengamati tindakan orang dewasa. Dari pengamatan, seorang anak dapat membuat imitasi atas tindakan tersebut. Observasional biasanya dipakai untuk memostulatkan tendensi natural manusia untuk meniru apa yang dilakukan orang lain. (hlm. 11)
Hasil penelitian di IPEKA International Christian School Jakarta ini, Sigit Setyawan menyimpulkan peran guru dalam mendidik karakter siswa sangat penting. Keteladanan dalam sikap disiplin merupakan temuan paling kuat dalam hal ini.
Memberikan nasihat kepada siswa juga ternyata merupakan salah satu cara efektif dalam memengaruhi siswa. Namun, yang tak kalah penting adalah pendekatan individual dengan memahami kebutuhan tiap siswa sangat efektif mempengaruhi siswa dengan tipe pendiam atau pasif di kelas. (hlm. 71-85)
Berjam-jam waktu yang dihabiskan para siswa di kelas setiap harinya, menjadikan guru sosok model dalam kelas. Apa yang dilihat siswa kemudian diabstraksikan ke dalam pikiran mereka. Modeling merupakan salah satu hal paling kuat dalam mentransfer nilai-nilai, sikap, pola pikir, dan perilaku. Keteladanan adalah faktor utama dalam mendidik remaja, tanpa keteladanan, ajaran atau didikan akan dicemooh dan dianggap munafik oleh siswa.
Sayangnya, tidak sedikit guru cenderung tidak menyadari bahwa mereka memengaruhi siswa. Apa pun mata pelajaran yang diajar oleh seorang guru, nilai-nilai yang dihayati akan memancar dari diri guru.
Teladan yang buruk akan membuat siswa menangkap hal-hal yang buruk pula, demikian sebaliknya teladan yang baik akan membuat siswa menangkap nilai positif dari diri sang guru. (hlm. 127)
Sebagaimana dikatakan oleh Paul Suparno, S.J. dalam pengantarnya, kehadiran buku ini dapat memberikan inspirasi kepada pembaca dan pendidik cara membantu siswa mengembangkan nilai kehidupan. Selain itu, juga dapat menjadi inspirasi bagi para guru untuk sadar bahwa tugas mereka bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, melainkan juga menanamkan nilai kehidupan, termasuk nilai karakter, kepada siswa.
Dengan kata lain, tugas seorang guru bukan hanya masuk kelas dan menjejali para murid dengan teori-teori dengan tujuan sekadar mengejar target kurikulum, atau meng-install isi kepala mereka dengan transfer pengetahuan. Lebih dari itu, guru juga seharusnya menjadi sosok yang patut diteladani dan memberikan contoh positif kepada para muridnya. Mari menjadi guru panutan para murid.
Hilyatul Auliya, alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Namun, dewasa ini perkembangan profesionalisme guru tampaknya mengarah pada hal lain. Sebagian dari mereka lebih banyak bergelut dengan persoalan teknis dan legal formal portofolio yang harus dikumpulkan untuk mendapatkan predikat ?profesional? melalui program sertifikasi guru.
Pada saat yang sama, pelatihan guru lebih banyak berkaitan dengan kemampuan pedagogik semata, seperti kompetensi untuk menyusun rencanan pengajaran, metode mengajar, dan mengevaluasi. Sedangkan kompetensi kepribadian dan sosial yang berkaitan erat dengan penanaman nilai-nilai hidup bagi siswa sangat sedikit dibahas.
Kondisi demikian rupanya membuat gelisah seorang guru Bahasa Indonesia bernama Sigit Setyawan sehingga dalam tesis S-2-nya sebagaimana yang tertuang dalam buku yang diberi judul Guruku Panutanku ini, penulis berusaha secara singkat mengingatkan serta menjelaskan peran guru dalam menanamkan nilai kepada siswa berdasarkan teori kognitif sosial Albert Bandura.
Guru sebagai model dalam konteks teori kognitif sosial dijelaskan dalam konsep modeling, siswa sebagai pihak yang mengamati dan terpengaruh dalam konteks ini dianggap sebagai human agency, dan proses terjadinya pengaruh itu telah dipolakan dalam proses pembelajaran observasional.
Teori kognitif sosial berangkat dari pembelajaran observasional. Manusia belajar dari interaksinya dengan manusia lain. Seorang anak akan belajar dari orang dewasa dengan cara mengamati tindakan orang dewasa. Dari pengamatan, seorang anak dapat membuat imitasi atas tindakan tersebut. Observasional biasanya dipakai untuk memostulatkan tendensi natural manusia untuk meniru apa yang dilakukan orang lain. (hlm. 11)
Hasil penelitian di IPEKA International Christian School Jakarta ini, Sigit Setyawan menyimpulkan peran guru dalam mendidik karakter siswa sangat penting. Keteladanan dalam sikap disiplin merupakan temuan paling kuat dalam hal ini.
Memberikan nasihat kepada siswa juga ternyata merupakan salah satu cara efektif dalam memengaruhi siswa. Namun, yang tak kalah penting adalah pendekatan individual dengan memahami kebutuhan tiap siswa sangat efektif mempengaruhi siswa dengan tipe pendiam atau pasif di kelas. (hlm. 71-85)
Berjam-jam waktu yang dihabiskan para siswa di kelas setiap harinya, menjadikan guru sosok model dalam kelas. Apa yang dilihat siswa kemudian diabstraksikan ke dalam pikiran mereka. Modeling merupakan salah satu hal paling kuat dalam mentransfer nilai-nilai, sikap, pola pikir, dan perilaku. Keteladanan adalah faktor utama dalam mendidik remaja, tanpa keteladanan, ajaran atau didikan akan dicemooh dan dianggap munafik oleh siswa.
Sayangnya, tidak sedikit guru cenderung tidak menyadari bahwa mereka memengaruhi siswa. Apa pun mata pelajaran yang diajar oleh seorang guru, nilai-nilai yang dihayati akan memancar dari diri guru.
Teladan yang buruk akan membuat siswa menangkap hal-hal yang buruk pula, demikian sebaliknya teladan yang baik akan membuat siswa menangkap nilai positif dari diri sang guru. (hlm. 127)
Sebagaimana dikatakan oleh Paul Suparno, S.J. dalam pengantarnya, kehadiran buku ini dapat memberikan inspirasi kepada pembaca dan pendidik cara membantu siswa mengembangkan nilai kehidupan. Selain itu, juga dapat menjadi inspirasi bagi para guru untuk sadar bahwa tugas mereka bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, melainkan juga menanamkan nilai kehidupan, termasuk nilai karakter, kepada siswa.
Dengan kata lain, tugas seorang guru bukan hanya masuk kelas dan menjejali para murid dengan teori-teori dengan tujuan sekadar mengejar target kurikulum, atau meng-install isi kepala mereka dengan transfer pengetahuan. Lebih dari itu, guru juga seharusnya menjadi sosok yang patut diteladani dan memberikan contoh positif kepada para muridnya. Mari menjadi guru panutan para murid.
Hilyatul Auliya, alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 April 2013
Wednesday 13 February 2013
Mempertanyakan Ulang Jati Diri Indonesia
Judul buku : Menggali Jati Diri Indonesia
Penulis : Prof.Dr.Bambang Setiadji,M.S
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Hal : 172 halaman
ISBN : 978-602-9417-13-5
Tahun : 2012
Mempertanyakan Ulang Jati Diri Indonesia
Oleh As.yudhistira*)
Persoalan ekonomi di negeri kita menjadi kajian penting untuk menemukan kembali jati diri negeri ini. Penemuan jati diri ini mengapa mesti dilakukan,barangkali sebagaimana dugaan ekonom kita bambang setiadji dalam buku ini yang dikatakan sudah melenceng dan jauh dari konsepsi ekonomi kita yang sebenarnya. Para bapak pejuang kemerdekaan kita sudah merumuskan bagaimana konsepsi ekonomi kita harus disusun. Untuk itulah, barangkali kumpulan essai ini hadir untuk menjawab dengan gagasan-gagasan yang kecil tapi berimplikasi besar. Jati diri ekonomi kita sebagaimana diungkap dalam UUD 45 tak lain adalah negara kesejahteraan yang sangat sosialis sebagaimana dituliskan oleh penulis dalam buku ini.
Buku kumpulan essai “menggali jati diri Indonesia” ini memberikan ajakan dan permenungan mendalam apa yang sebenarnya terjadi di negeri kita. 64 tahun kemerdekaan yang belum membawa negeri ini bebas dan terlepas dari jeratan kolonialisme dan neoliberalisme menjadi kegelisahan sang penulis untuk menulis dan menjawab berbagai persoalan kebangsaan. Bambang setiadji sebagaimana kita tahu adalah rector universitas muhammadiyah Surakarta, sekaligus pegiat ekonomi islam Indonesia. Sebagai akademisi, nuraninya terusik melihat berbagai kejadian,persoalan dan apa yang terjadi di negeri ini. Kegelisahannya ia ungkapkan untuk menanggapi segudang persoalan mulai dari pajak, korupsi, BBM, isu liberalism hingga masalah buruh dan persoalan pendapatan. Sebagai ekonom ia dikenal sebagai ekonom yang konsisten dalam mengawal tegaknya UUD 45.
Keteguhan prinsip ini ia tuangkan dalam esai-esai ekonomi-politiknya dalam buku ini. Buku ini mengurai bagaimana sebenarnya pajak, pendapatan ekonomi negara yang mencapai 300U$ lebih mestinya digunakan untuk berbagai program yang berorientasi mensejahterakan rakyat dan mengentaskan kemiskinan. Sebagai orang yang pernah berkelana ke berbagai negara dan mencermati fenomena ekonomi berbagai negara ia memandang bahwa negara kesejahteraan dipandang sebagai alternative di tengah liberalism yang sangat gencar menyerang di negeri ini.
Peran Negara
Berbeda dengan orang yang mengambil konsepsi “masyarakat madani” yang membiarkan negara tak bercampur tangan, atau system ekonomi kapitalisme yang setengah-setengah.Di buku ini penulis memandang bahwa negara perlu berperan dan wajib berperan dan turun tangan terhadap pelbagai persoalan kebangsaan yang tengah melanda. Misalnya dalam urusan pendidikan, pemerintah mestinya mengurusi sekolah swasta dan mengembangkannya daripada ribut membangun sekolah negeri yang lebih banyak. Sebab dengan begitu, setidaknya pendidikan akan mudah terjangkau dan berkualitas dengan menyediakan guru bermutu. Kepedulian dan peran negara dalam hal lain bisa dilihat dalam mekanisme pengelolaan APBN, penerapan system “pajak progressif” yang mengontrol konsumsi mobil kelas menengah, juga kepedulian pemerintah kepada ekonomi rakyat kecil bukan para ekonomi kelas menengah dan pasar modal semata.
Di dalam buku ini penulis juga menawarkan alternative solutif terhadap persoalan buruh dan TKW. Keprihatinan ini lahir dari kegelisahannya sebagai akademisi yang menggeluti persoalan buruh dan upah di negerinya. Menurut penulis, persoalan buruh di negeri ini seringkali anomaly yang hanya senang ketika mendapat kenaikan upah meskipun harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Ia menyebut : “buruh umumnya mengalami ilusi uang”(hal.77). Melalui essai-essai singkat yang ada di buku ini kita akan menyelami fenomena kebangsaan baik politik dan ekonomi dan memikirkan ulang bagaimana negara ini mesti dikonsep ulang. Kita akan menemui berbagai persoalan upah, tki, anggaran negara hingga persoalan buruh dan kemiskinan. Ada kegelisahan, dan satu ketegasan prinsip yang ingin disuarakan terkait kondisi kebangsaan kita. Dengan tegas penulis menyatakan “ Mengapa citra kita buruk di mata asing?, karena kita barbar! Kita tidak berusaha keras mengadopsi prinsip negara kesejahteraan yang bertujuan melindungi rakyat dan sumber daya manusianya”.
Kumpulan essai di buku ini menegaskan kembali dan mencoba membaca kembali Indonesia yang sudah jauh berbeda dari Indonesia di masa dulu berdiri di awal kemerdekaan. Di tengah hantaman globalisasi, westernisasi, kapitalisme dan neoliberalisme, ada semacam alternative-alternatif yang bisa dijalankan sebagai solusi terhadap pelbagai persoalan bangsa tersebut. Mengingat sebagaimana penulis buku ini ungkapkan, Indonesia adalah negara yang dari dulu diperhitungkan dimata ASEAN maupun dunia. Apalagi di masa kini Indonesia menjadi motor penggerak di negara asia tenggara. Dari fenomena kebebasan pasar ada kesimpulan menarik yang menggelitik. “Menjadi pasar bukanlah hal yang salah karena pasar juga akan menarik bagi sumber pertumbuhan baru. Tapi menjadi pasar adalah salah jika dibarengi pengangguran tinggi dan terkurasnya sumber daya alam saja”.(h.11).
*)Penulis adalah Mahasiswa Universitas Muhamamdiyah Surakarta, Pegiat Bilik Literasi Solo,
*) Tulisan di muat di Suara muhammadiyah edisi februari -maret 2013
Sunday 3 February 2013
HANNAH ARENDT DAN POLITIK ALTERNATIF
Oleh arif saifudin yudistira*)
Fenomena politik yang ada di negeri ini dipandang oleh hampir semua orang yang memiliki kegelisahan akan situasi negerinya sebagai politik yang tak sehat, bahkan rizal ramli menyebut “politik kita adalah politik yang banal”. Sebutan ini hampir sama dengan apa yang dikatakan oleh arendt yang menyebut “banalitas kejahatan”. Kejahatan korupsi layak untuk disebut banal, bukan hanya karena efek yang ditimbulkan, melainkan penyakit .mentalitas inilah yang membuat Indonesia hancur lebur dengan sendirinya.
Bagaimana bisa negeri yang dikaruniai kekayaan sumber daya alam, tetapi dirampok oleh politik kartel yang didukung oleh dinasti politik untuk merampok kekayaan alam ini demi kemakmuran golongan, keluarga dan kelompoknya. Kita mengilhami bahwa politik saat ini jauh dari misi suci politik yang sebenarnya. Berbeda dengan para politikus saat ini syahrir menilai politik adalah “jalan sekaligus alat untuk memenangkan perjuangan”. Akan tetapi politik saat ini lebih condong pada sesuatu yang beringas, tak pandang kawan dan lawan alias abu-abu, hingga menjadikan “kuasa” sebagai tujuan. Maka tak heran, di akhir kepemimpinannya di PSI, syahrir lebih memilih partainya sebagai perkaderan terhadap rakyat, sehingga mereka yang dari luar lebih mengejek syahrir partai yang hanya makan “gagasan” tanpa menggrubis kekuasaan. Oleh karena itulah, partai sosialis Indonesia pun mengalami nasib tak mengenakkan dibubarkan soekarno.(Anwar,Rosihan :2012)
Untuk itulah, buku “politik otentik” ini dihadirkan oleh sang penulis. Agus sudibyo yang semula hobi akhirnya mencintai filsafat membedah arendt untuk situasi politik masa kini. Menurutnya, kajian arendt masih relevan untuk membongkar bagaimana situasi politik negeri ini dibaca dan ditafsirkan. Agus membedah arendt dalam konteks bagaimana kebebasan dan pemikiran manusia itu ditempatkan. Dalam buku politik otentik ini, kita bisa menelisik pemikiran arendt tentang mentalitas, manusia tindakan, hingga factor-faktor yang menyebabkan politik itu tak lagi otentik.
Vita activa
Arendt mendefinisikan bahwa politik itu tak sekadar vita contempativa, sebagaimana yang diuraikan oleh plato dan para filsuf lainnya. Arendt mengartikan politik sebagai suatu tindakan. Tindakan disini diartikan sebagai aktifitas yang melebihi dari kegiatan kontemplatif semata. Ia memiliki konsekuensi selanjutnya yakni berbuat. Arendt mengartikan politik itu vita activa yakni kerja,karya, dan tindakan. Arendt mengartikan politik ini sebagai politik yang strategis, dengan menyuarakan wicara dan dialog. Menurut arendt manusia itu memiliki sifat plural, sehingga dari kepluralan itulah maka akan ditemukan satu alternative gagasan yang bermacam-macam untuk satu tindakan politis.
Dalam human condition arendt memiliki pandangan bahwa distingsi ruang di dunia ini ada ruang privat dan ruang public. Arendt menilai, selama ini manusia lebih cenderung mengejar ruang public sebagai sarana mencapai ruang privat. Sehingga, tujuan dari tindakan politik tak lain adalah mengembalikan fungsi ruang public itu agar kembali sebagaimana seharusnya tetap plural dan mengembalikan naturalisme manusia. Sehingga politik itu bisa dimaknai dengan nilai-nilai kerjasama,saling memahami, dan tanpa dominasi satu dengan yang lain. Akan tetapi agus sudibyo dalam bukunya ini juga menegaskan satu sintesa dari pemikiran arendt, bahwa ide arendt itu dipandang terlalu utopis, karena setiap manusia memiliki hasrat politik yang tinggi dengan meletakkan dominasi sebagai cara untuk memenangkan politik.
Alternative
Tujuan dari buku ini tak lain adalah menguaraikan kembali relevansi pemikiran politik Hannah arendt, bahwa politik itu mesti dikembalikan pada hakikat politik yakni politik otentik. Politik otentik dimaknai sebagai satu tindakan kebebasan manusia, yang mempertimbangkan penilaian dan pemikiran untuk satu tujuan yakni meletakkan kembali manusia sebagai makhluk yang mampu berfikir diluar batas-batas dan berdasarkan kata hati(hal.177). Untuk itulah, arendt menyarankan manusia yang bertindak dengan politik otentik, tak mungkin meninggalkan dua aktifitas yakni berfikir, dan melakukan penilaian sebelum melakukan tindakan politik.
Selain itu, manusia politik yang diuraikan dalam buku “politik otentik” mesti memerhatikan bagaimana kebersamaan dan keragaman itu bisa berjalan beriringan dan demi mencapai satu tujuan bersama. Maka sudah tentu manusia politik menurut Hannah arendt menghilangkan nilai-nilai dominasi, individualism hingga pengejaran akan kekuasaan semata. Buku ini memberikan satu pemahaman jernih tentang bagaimana arendt memandang, sebab dari timbulnya kejahatan atau korupsi selama ini tak lain dari hilangnya (absennya) pikiran dari manusia itu sendiri.
Maka kita pun melihat, bagaimana para politisi sering tebar pesona dan tersenyum riang ketika mereka tertangkap oleh kamera televise, diwawancarai, dan dipenjara. Tak ada penyesalan, raut muka sedih pun tak muncul, itu semua disebabkan dari absennya pikiran tadi. Bukan karena mereka bodoh dan mereka tak mengerti, melainkan hilangnya pikiran kemanusiaannya. Begitu juga ketika kita melihat kasus yang baru-baru terjadi, seorang siswa yang telah menewaskan saudaranya dalam tragedy tawuran beberapa waktu lalu dijakarta pun tak jauh beda. Ia pun mengatakan dengan leganya “saya puas”. Pernyataan itu adalah wujud bagaimana politik berubah menjadi “ekspansi ruang privat”. Ruang public jadi hilang, tapi dominasi ruang-ruang privat itulah yang lebih muncul melalui media dan alat-kuasa politik.
Agus sudibyo menyajikan bagaimana arendt menyajikan “politik alternative” yang memungkinkan manusia itu menyusun kembali hakikatnya. Yakni sebagai makhluk yang plural, penuh keberagaman, dan menyatu dalam satu tujuan bersama tanpa menonjolkan kepentingan privat. Barangkali buku ini lebih terdengar sebagai seruan fantastis sebagaimana ungkapan Dr. B.Herry-Priyono. Akan tetapi usaha agus setidaknya adalah satu alternative di tengah kebuntuan politik yang selama ini kaku, penuh abu-abu, dan banal. Buku ini setidaknya adalah jawaban bahwa masih ada alternative, untuk mewujudkan politik yang otentik yang penuh kelenturan, yang penuh kebersamaan, tapi juga menyatukan tujuan dan hakikat politik itu sendiri yakni mengembalikan manusia sebagai manusia sebagaimana yang tertulis dalam max havelar. Begitu.
*)penulis adalah Presidium kawah institute Indonesia, santri di bilik literasi solo
*) dimuat di retakan kata.com 2 februari 2013
Monday 28 January 2013
Jagad Einstein
Judul Buku : Einstein ;Kehidupan dan Pengaruhnya Bagi
Dunia
Penulis : Walter Isaacson
Penerbit : Penerbit Bentang
Hal : 700 halaman
ISBN : 978-602-8811-86-6
Harga : Rp. 109.000,00
Jagad
Einstein
Oleh arif saifudin yudistira*)
Siapa yang tak mengenal ilmuwan ini. Ia seperti gabungan
antara kepopuleran, kegencaran publisitas hingga kebesaran penemuannya. Kepopuleran,
publisitas, hingga penemuan terbesarnya bukanlah ia tempuh dengan tiba-tiba. Eksperimen
dan kecanggihan pikirannya mengamati hal-hal ganjil sudah bermula sejak kecil.
Einstein kecil yang dikisahkan dalam buku ini adalah anak yang sebenarnya tak
menunjukkan sebagai anak-anak yang normal seperti yang lainnya. Ia mengalami
keterlambatan bicara, dan ia begitu menggigil ketika menemukan jarum kompas dan
terus-menerus melakukan penyelidikan dan rasa keingintahuannya.
Minat dan keingintahuannya pun menjadi unik manakala
digabung dengan bagaimana kenakalan dan keriangannya. Ia sering mengulangi
kata-kata dan sesuatu yang dianggap unik. Dari kecerdasan itulah einstein
memperoleh nilai yang memuaskan ketika ia mengalami masa-masa di sekolah.
Pendidikan yang ia tempuh di masa kecilnya itulah yang juga memberikan
pelajaran terbesar bagi kehidupannya sebagai ilmuwan dan guru besar. Ia
mengalami trauma ketika melihat guru-guru ibarat jenderal-jenderal. Ia pun
menguraikan pengalamannya ini : “gaya
militer di sekolah,latihan sistematis untuk mendewakan otoritas yang bertujuan
membiasakan disiplin militer pada murid sejak dini, benar-benar tak menyenangkan“.
Gaya pendidikan yang penuh otoritas, penuh aturan dan tak
membebaskan cara berfikir ini kelak akan ditentangnya ketika ia mengajar di
universitas yang ia ampu ketika ia memperoleh predikat guru besar. Ia
menerapkan sistem mengajar yang keluar dari kebiasaan, tapi ia menekankan
bagaimana mahasiswanya berdiskusi dan terkadang melakukan lelucon di sela-sela
ceramah dan kuliahnya. Metode ini sering dinilai buruk oleh berbagai rekan dan
kerabat yang ada di almamater tempat ia bekerja. Akan tetapi perlawanan
terhadap otoritas sudah menjadi kebiasaan yang melekat pada diri einstein.
Karena sikap
perlawanan itu pula ia pun tak mau terbawa pada identitas bawaan atau
keyahudiannya. Sehingga pernah ia melepas kewarganegaraan jermannya dan
meninggalkan identitas keyahudiannya walaupun kemudian ia ikut dalam gerakan
zion karena ia beranggapan bahwa yahudi berhak untuk mendapatkan tempat
tinggal. Ia menggunakan prinsip internasionale daripada nasionalisme. Di masa-masa awal ia adalah pemuda dengan
prestasi yang gemilang. Ia sudah menguasai geometri dan diferensial semenjak
SMA. Hasrat dan keingintahuannya belum berhenti dan berlanjut hingga ia tua.
Ilmu Pengetahuan
Buku ini mengurai bagaimana penemuan-penemuan einstein
diceritakan dengan kisah dan pergulatan yang manusiawi. Penemuan einstein yang
kelak mengejutkan dunia adalah perpaduan menarik antara pasangan yang sempurna
yakni antara Einstein dan Mileva Maric. Pernikahan keduanya tak direstui
orangtuanya, karena orangtuanya melihat sisi keturunan dan darah yahudi dan
melihat bentuk fisik mileva-kekasih Einstein. Einstein bagaimanapun juga hidup
di tengah masa-masa sulit dan ujian berat kala itu sebelum penemuan terbesarnya
tentang relativitas khusus dan umum. Suatu usaha berat untuk memecahkan misteri
dari alam semesta hingga penciptaannya.
Einstein digambarkan begitu mesrah
dengan Mileva di bukit salju yang membawa kisah cinta mereka. Einstein dan
mileva pun digambarkan sebagai pasangan yang serasi sama-sama menarik dan
saling memiliki keterkaitan yang sama dan sifat yang hampir sama. Einstein
menyebut Mileva dalam suratnya sebagai penyihir kecil. Sedang Mileva memanggil
einstein sebagai berandal kecil. Sebutan itu sama-sama menjelaskan bagaimana
keakraban dan hubungan intim mereka hingga akhirnya mereka menikah. Selama
bersama dengan Mileva, Einstein terus-menerus melalukan penelitian dan hasrat
terbesarnya melakukan penemuan teorinya tentang realtivitas khusus dan umum.
Dan ketika dia berhasil dan mencapai kepopulerannya, justru Mileva harus
menanggung kepedihan untuk menerima tawaran cerai dari Enstein karena ada
kekasih lain yakni Elsa.
Di masa-masa penemuan terbesarnya ia
menghadapi berbagai rintangan dan debat dan serangan luar biasa dari para
ilmuwan-ilmuwan terdahulunya. Einstein dan semangat untuk memecahkan persoalan
sudah ia peroleh semenjak kecil. Semangat itulah yang akhirnya membuahkan nobel
di bidang efek foto elektrik dan
bukan penemuannya mengenai relativitas. Meski demikian semangat einstein untuk
memecahkan misteri alam ini tak berhenti hingga akhir hayatnya.
Isaacson menggambarkan dalam buku
ini bahwa Einstein sering mengalihkan betapa ilmu pengetahuan (Sains) adalah
pelarian dari konflik, dan masalah pribadinya. Ia merasa bisa berdiam dan
tenang setelah kembali kepada sains. Meski demikian, penemuan Einstein tak bisa
dilepaskan dari jasa-jasa mileva dan temannya Marcell Grossman yang memiliki
keahlian dalam matematika. Di akhir hayatnya pun ia merenungi dan menyesal tak
memiliki keahlian matematika yang bisa dielaborasikan dengan penemuan fisikanya.
Sisi Manusiawi Einstein
Dunia Einstein dan kehidupannya tidak kemudian
mulus-mulus saja. Einstein sebagai suami seringkali mementingkan bagaimana dia
menyelesaikan penelitian dan penemuannya, sehingga saat-saat bersama dengan
Mileva dan anaknya menjadi lebih sedikit. Bahkan di akhir-akhir hubungan
mereka, tempat tinggal mileva pun jauh dari Einstein. Einstein adalah sosok
yang sering disebut sebagai sosok yang penyendiri. Maka dari itu, meski ia
berkeluarga, ia tak pernah merasa sepenuhnya menikmati itu, ia lebih menekankan
sikap kebebasannya. Maka ketika Elsa mendesak untuk segera menikahinya, ia
lebih memilih ikatan tanpa pernikahan. Meski
demikian, ia adalah sosok ayah dan pria yang bertanggungjawab, hingga akhirnya
setelah penerimaan nobel, hadiah nobel di serahkan pada Mileva dan Einstein
memutuskan untuk menikahi Elsa.
Di sisi lain, Einstein pun menaruh
perhatian pada sikap dan kontribusinya menyerukan semangat federalisme dunia
dan semangat anti perang. Ia adalah bagian dari tokoh yang menolak bom.
Meskipun penemuannya pun sangat berkaitan dan bahkan dasar sebelum orang
membuat bom. Sisi manusiawi Einstein yang lain adalah yang berhubungan dengan
penemuan terakhirnya yang menjelaskan bagaimana relasi antara penemuannya
dengan tuhan. Einstein memaknai ada kekuatan di luar ktia yang tak bisa
dikendalikan, dan ia justru yang mengendalikan alam itu, ia menyebut ini
sebagai keyakinan religius. Tak bertuhan tapi religius. Hingga ia menyimpulkan
kalimat yang populer di dunia agama tanpa
pengetahuan rapuh, pengetahuan tanpa agama buta. Di akhir hayatnya, ia pun
memilih untuk berkelana menjadi seorang pelancong dan memutuskan untuk
menjalani masa akhirnya setelah teman terdekatnya meninggal. Ia tak takut
menjalani kematian sebagaimana konsekuensi dari hidup dan apa yang sudah ia
capai selama ini. Ia pun menyesal sedikit karena ia belum sempat mendalami
matematika.
Akhirnya buku yang ditulis Isaacson
ini memberikan cerita menarik bagaimana jagad Einstein dikisahkan utuh dan
mampu mengungkap sisi manusiawi Einstein sebagai ilmuwan. Sebagai ilmuwan ia
telah membuktikan etos dan spirit keilmuan yang saat ini jarang dalam dunia
akademik kita. Sebagai manusia pada umumnya, ia pun tak bisa dilepaskan dari
watak-watak manusiawi seperti kesendiriannya dan ketenangan yang ia peroleh
dengan isteri-isteri dan anak-anaknya.
*) Penulis adalah Mahasiswa UMS pegiat
di Bilik Literasi Solo
*)Dimuat di Kendari Pos 27 januari 2013
Tuesday 15 January 2013
Pedagogi Reflektif Sang Guru
Judul : Menjadi Guru
untuk Muridku
penulis : ST. Kartono
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetak :
2011
Tebal :
271 halaman
Suatu wacana sekaligus realitas yang akan
menyadarkan kita semua, terutama dalam ranah pendidikan. Kiranya, pernyataan
berbasis refleksi diri dari pembaca itu yang memang pantas disematkan dalam
buku berjudul Menjadi Guru Untuk Muridku
(2011) karya ST. Kartono.
Sekilas, buku ini merupakan kumpulan esai
(bunga rampai) refleksi ST. Kartono tentang dunia pendidikan, khususnya bagi
guru. Esai-esainya selalu menggugah perasaan pembaca, terutama bagi kalangan
pendidik dan peserta didik. Dan, dari buku ini, kita akan mengetahui bahwa tanpa
disadari guru sering menjadi guru untuk aparat pemerintah, menjadi guru untuk
dinas pendidikan, menjadi guru untuk aturan-aturan, menjadi guru untuk
kepentingan dagang di sekolah, atau menjadi guru untuk berjualan paham (hlm.
6).
Pengetahuan itulah yang menjadikan kita
turut merenung sejenak betapa ironisnya para guru yang terjebak atau mungkin
malah menjebakkan dirinya pada hal-hal yang bersifat pragmatis itu. Namun,
keironisan ini yang barangkali tidak pantas untuk dilarut-larutkan dalam
kehidupan guru, kita semua, tak terkecuali ST. Kartono sendiri.
Buku yang hadir di hadapan pembaca ini merupakan tulisan yang
penuh perefleksian diri ST. Kartono. Meskipun demikian, buku ini bisa menjadi salah
satu jalan keluar untuk menghindari, mencegah, atau mengurangi etos dan kerja
guru yang selama ini hanya menjadi ‘guru-guruan’. Di sisi lain, esai-esai yang
berbingkai refleksi dirinya, tentu tak bisa kita sepelekan saja. Sebab, bila
mengingat pernyataan dari Carl Gustav Jung
dalam bukunya yang berjudul Memories, Dreams, Reflections (1983), maka refleksi diri
merupakan tindakan spiritual yang berlawanan dengan proses alami, sebuah
tindakan dimana kita berhenti, mengingat-ingat dalam pikiran, membentuk
hubungan hingga memahami apa yang kita lihat.
Dari perefleksian diri itulah, kita
(khususnya, para guru) dapat mengintegrasikan energi transformatif dan potensi
dari dalam diri. Integrasi tersebut akan mendatangkan kesadaran. Lalu,
kesadaran mereka terhadap kondisi pendidikan kita inilah, yang nantinya mampu
mengembalikan cita-cita murni pendidikan ini: menciptakan bangsa yang cerdas,
berpendidikan, dan bisa memajukan kehidupan sesuai dengan amanat undang-undang
dasar.
Keyakinan dan konsistensi ST. Kartono terhadap konsep refleksi
diri itu tersirat lewat salah satu esai berjudul Mengajarkan hening. Bagi ST. Kartono, konsep tersebut—atau dalam
bahasanya, yakni ‘pedagogi reflektif’— justru menjadi suatu episode penting
bagi para guru untuk kembali mengolah pengalaman pelayanannya kepada para
siswa, jauh dari suasana rutinitas rapat kerja. Dan, yang lebih penting lagi
adalah, ia (pedagogi reflektif) mampu menghadirkan sentuhan manusiawi kepada
siswanya (hlm. 232).
***
“Salah satu seri tayangan acara televisi Kick Andy menampilkan para guru yang bekerja di daerah pinggiran,
bahkan terpencil. … Bagi para guru tersebut, jarak rumah dengan sekolah
tempatnya mengajar bukanlah menjadi persoalan. Keterbatasan sarana dan
kecerdasan siswa tidaklah menyurutkan semangatnya mengajar. Bagi para perintis
perpustakaan, kekurangan dana, dan ketiadaan tempat bukanlah penghalang untuk
memberikan sarana pencerdasan masyarakat di sekitarnya.” Dari menonton televisi
itulah, Kartono lagi-lagi sadar dan menemukan makna hidup guru bahwa sifat dan
sikap yang harus dimiliki para guru adalah “stop mengeluh!”
Fragmen kisah yang dialami Kartono di atas, lebih menegaskan
bahwa menjadi guru yang benar-benar guru, harus pula tahu, cermat, dan kritis
dalam memaknai dan menanggapi realitas di sekitarnya. Guru tak boleh
menyepelekan tindakan atau hal-hal kecil, yang sebenarnya itu bisa menjadi
‘senjata ampuh’ untuk mengajar, membimbing, dan membombong peserta didiknya.
Dalam buku ini, ST. Kartono memberikan pengalaman-pengalaman
sepele, yang juga tak bisa disepelekan begitu saja oleh guru maupun kita.
Beberapa diantaranya, yakni memberikan pujian terhadap siswa yang telah
berkarya; membiasakan senyum kepada siswanya; pada awal pelajaran atau hari
pertama masuk kelas, siswa dibiasakan untuk mengingat para guru yang pernah
mengajarinya, lantas menuliskan pesan dan kesannya; membiasakan berterima
kasih; dan selalu perhatian pada siswanya, yang salah satu contohnya bisa
memberi sapaan menyelidik seperti ini: “siapa belum sarapan?”
Hal ihwal yang tersebutkan di atas
itu, selain memastikan kesiapan guru dan
siswa dalam kegiatan belajar mengajar, juga berguna untuk memunculkan ‘seni
mengajar’. Artinya, kelihaian guru
menghidupkan kelas pasif atau mengendalikan kelas yang hiperaktif.
Hal yang penting lagi adalah dapat
mengenali konteks siswa. Sebab, guru yang tak pernah membaca konteks, ia akan
memperlakukan murid sama dari tahun ke tahun. Maka, yang terjadi tak ada
perkembangan sekaligus perubahan yang memajukan kualitas mental dan pikiran
peserta didik maupun gurunya sendiri. Jadi, akankah guru membiarkan hal itu
terjadi begitu saja?
Dari hal tersebut, kiranya kalau
para guru layak untuk mencontoh dan meresapi apa yang dipaparkan dan pernah
dilakukan ST. Kartono dalam buku ini. Sebab, ia sendiri masih percaya bahwa
bunga rampai yang ia dedikasikan untuk ribuan rekan guru dan para mahasiswa calon
guru itu akan menjadikan mereka sebagai aktor sekaligus faktor perubahan
pendidikan di negeri ini. Demikian.
Oleh: Budiawan Dwi santoso, penulis
tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah
Sunday 6 January 2013
Hujan
oleh riza fitroh kurniasih*)
“Kalau pun saya masih menulis puisi, karena puisi adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan orang kecil (Wiji Thukul)”
Tinta
Kisah yang tak pernah mati
Dalam beribu kertas bertuliskan kisahnya
Sepatu pun tak ubahnya jadi dinding-dinding yang bersuarakan keras
Batu-batu hinggap di petilasan para kaum hartawan
Angin pun menempel dalam berbagai kisah yang tak diinginkan
Kini, ia merubah semua jadi nyata
Bahkan nanti, ia merubahnya jadi tiada -
Kisah yang tak pernah mati
Dalam beribu kertas bertuliskan kisahnya
Sepatu pun tak ubahnya jadi dinding-dinding yang bersuarakan keras
Batu-batu hinggap di petilasan para kaum hartawan
Angin pun menempel dalam berbagai kisah yang tak diinginkan
Kini, ia merubah semua jadi nyata
Bahkan nanti, ia merubahnya jadi tiada -
Sebait puisi sebagai awalan untuk kita mengenali pengarangnya. Arif Saifudin Yudistira dalam bait puisinya ini menyapa para pembaca dengan satu baris dari bait puisinya, yaitu Kisah yang tak pernah mati. Memperkenalkan diri sebagai seorang individu yang tak mengenal kematian. Menjadikan dirinya sebagai seorang yang memiliki paham eksistensialisme. Menjadikan dirinya sebagai seorang penyair yang mampu merekam setiap peristiwa yang dilihat, hingga kematian bosan menjemput kisahnya. Hingga sampai pada saatnya, kematian menjemput kisah itu, membuatnya tiada secara ragawi, namun aromanya masih tertinggal. Arif Saifudin Yudistira sebagai penulis buku ini juga tercatat sebagai seoarang aktivis yang juga aktif menulis di berbagai media. Membuat jiwa sosialnya benar-benar diasah dan diuji keloyalitasannya.
Hujan di Tepian Tubuh layaknya deras air yang selalu membasahi tubuh. Air yang selalu memberikan kesejukan, meskipun kadang air itu menimbulkan keresahan karena derasnya air itu. Air bisa menjelma menjadi banjir yang memporak-porandakan, atau justru memberikan kehidupan di kolam-kolam yang kekeringan. Bagi AS. Yudistira bait puisinya layaknya hujan-hujan yang selalu memberikan kesegaran bagi para pembacanya, meskipun kata-katanya tajam dan menusuk. Namun, rupanya puisi-puisinyalah yang mampu membangkitkan kesadaran atas status quo yang telah lama dinikmati sebagian dari kita. Tak jarang puisi-puisi inilah yang ditakutkan akan menciptakan banjir kegelisahan bagi mereka yang telah lama beromantisme dengan kenyaman.
Kumpulan puisi Hujan di Tepian Tubuh ini menjadi kumpulan puisi yang tidak saja berkutat pada romantisme remaja, kita akan temukan di dalamnya kisah dengan Tuhan-Nya, bahkan buku ini memuat tentang dunia perpolitikan. Sebagaimana yang diungkapkan Han Gagas, penulis buku Sang Penjelajah Dunia dan Tembang Tolak Bala, ia mengungkapkan; “AS. Yudistira, besar dari jaman yang benderang namun puisinya juga menyembulkan kegelapan. Semburan orasi aroma politik, kegelisahan, sosok ibu, pertemuan, cinta, dan keperihan hidup mewarnai puisi-puisinya……”
Sebuah kata “perlawanan” bagi penulis yang pernah menjabat sebagai Ketua DPM UMS ini bukanlah sesuatu yang menakutkan. Perlawanan baginya adalah sesuatu yang harus disuarakan. Aroma perlawanan ini akan kita temukan pada puisinya berjudul Titik (8) ……Aku ingin menciptakan titik, tapi bukan akhir, hanya tanda untuk mengakhiri setiap pertikaian, Untuk menutup segala kenangan kelam, dan untuk memulai zaman terang. Ia seolah ingin menegaskan bahwa titik bukanlah pertanda berakhirnya sebuah perlawanan. Titik yang pada umumnya sebagai sebuah pemberhentian, dijadikan oleh dirinya sebagai sebuah tanda jeda untuk berfikir.
Menggunakan jeda sebaik mungkin untuk berfikir membuatnya selalu menemukan hal baru. Hal baru inilah yang selalu tersimpan sebagai sebuah misteri. Seperti yang dituliskan oleh pria kelahiran 30 Juni 1988 ini dalam puisinyaDilema (5) Aku memburu misteri, misteri yang tak kunjung usai hingga hari ini, Aku mengaji, setiap detik yang kita alami, aku hilang…/Ketika mata mulai terbuka,/Kutemukan tubuhku telah bersamanya, Meski tubuhku yang lain meronta. Secara halus ia ingin mengatakan pada para pembaca bahwa misteri baginya bukanlah sesuatu yang menakutkan. Melainkan sesuatu yang penuh tantangan ketika ditelusuri, hingga tanpa sadar misteri itu terpecahkan. Walaupun fakta yang ada di dalamnya selalu menyakitkan beberapa pihak. Namun itulah cerminan titik-tik air yang selalu deras ketika hujan turun di atas payung, dingin menusuk namun menyejukkan untuk dinikmati.
Realita dan kekejian di tengah masyarakat menuntut sang penyair untuk bergerak dengan kepekaan sosialnya. Begitu juga dengan kemampuan penulis dalam merekam setiap peristiwa yang dijumpainya. Permainan kata-katanya membuat orang tergelitik untuk menguak makna di dalam puisinya. Dengan kumpulan 70 Puisi AS. Yudistira, penulis mampu mewakili dirinya sebagai seorang seniman yang peka akan kondisi di sekitarnya. Realita buruk kondisi sosial-politik di tengah masyarakat yang kemudian kita kultuskan menjadi sebuah kekejian, tak akan berarti apa-apa tanpa adanya keberanian menyuarakannya kembali di tengah masyarakat.
Dari buku ini kita bisa mengenal bagaimana sesungguhnya kita sebagai manusia, mengenal diri kita, juga mengenal lingkungan kita. Bahkan mengenal Tuhan kita tanpa harus mengesampingkan ego kita dalam mengenal Tuhan kita. Menafsirkan tiap sajian puisi yang tertuliskan dalam buku ini, hingga sampai taraf kita mengerti akan arti yang sesungguhnya. Hal ini tidak bertanda bahwa pengetahuan akan pemaknaan buah pikir yang tertuang dalam bentuk puisi harus paripurna. Namun kita bisa jadikan buku ini sebagai pemantik awal menuju pengetahuan yang lebih luas.
*) Peresensi adalah Mahasiswa FKIP Biologi Semester 5 Universitas Muhammadiyah Surakarta, aktif sebagai asisten laboratorium.
*)Tulisan termuat di retakan kata.com 18 desember 2012
Tuesday 1 January 2013
Jawa Yang Kaya Cerita
Judul :
Ritual
Penulis : Han Gagas
Penerbit
: Gembring yogyakarta
Tahun : 2012
Tebal : 198 halaman
ISBN : 978 6021 948026
Harga : Rp.30.000,00
Jawa Yang kaya Cerita
Oleh
Arif saifudin yudistira*)
Kebudayaan jawa tetap menjadi kajian menarik mulai dari
epos, dongeng, hingga berbagai mitologi yang berkembang. Kisah heroic, kisah
cinta sampai pada kisah teladan ada di jawa. Jawa tiba-tiba berubah jadi jagad
cerita yang hidup dan menghidupi masyarakatnya. Jawa dalam kajian modern
menghasilkan buku KUASA RAMALAN dengan
kajian diponegoro yang diteliti selama tiga puluh tahun oleh Peter carey. Tak
hanya itu,beberapa penelitian pun merujuk pada satu kesimpulan besar bahwa jawa
adalah pusat peradaban dunia.
Sejak Geertz mengabarkan penelitiannya,bahwa jawa memiliki klasifikasi beragama dalam tiga bagian penting yakni santri abangan dan
priyayi. Dalam penelitian tersebut geertz tak hanya bercerita dan menuliskan
apa yang dialami masyarakat pada waktu itu, tapi juga terampil menelisik
berbagai khasanah dan budaya jawa. Mulai dari upacara-upacara ritual hingga
pada acara peribadatan dan syukuran. Masyarakat jawa memiliki tatanan yang
kental dengan aturan-aturan dan norma-norma yang tak boleh dilanggar,
keseimbangan alamlah yang akan terjadi bila ketentuan-ketentuan dan aturan itu
dilanggar. Belum ada kajian mendalam sedalam geertz yang mendefinisikan budaya
jawa hingga pada penulisan jenis-jenis hantu, kesurupan, hingga pada
kejanggalan-kejanggalan alam yang pada intinya akibat ulah manusia tak menjaga
keseimbangan mikrokosmos hingga makrokosmos. Orang jawa percaya dan sadar betul
bahwa nilai-nilai yang ditanamkan pada anak-anaknya perihal kebudayaan dan
keseimbangan alam kelak akan bermanfaat bagi manusia itu sendiri.
Cerita
Di
dalam cerita cerita pewayangan kita menemu epos mahabarata dan Ramayana, dalam
buku dan babad tanah jawa kita menemu cerita raja jawa dan berbagai kisahnya.
Di dalam serat centhini pun kita menemu tak hanya kesusasteraan dan referensi
yang apik terhadap kebudayaan jawa yang termaktub dalam seni tembang dan
sejarah masa lampau. Kini berbagai penelitian pun hadir dan berkembang tak
habis-habis menceritakan jawa. Kolonioalisme pun tak kalah ambil peran dalam mengisahkan
jawa. Dari buku-buku, hingga kita menemu javanologi yang ada di belanda kita
tak sadar bercerita tentang takjub pada manusia jawa dan kebudayaannya. Kisah itu pun hadir melalui bapak-ibu
kita melalui tembang-tembang, campur sari, dan juga mitologi yang sampai saat
ini masih tiada henti..
Kemudian
kesusasteraan modern mereproduksi kembali jawa dalam ingatan yang berbenturan
dengan modernitas, sejarah diri, biografi hingga pada pengalaman batin penulis
cerpen, novel, hingga pada puisi. Koran-koran hadir dalam menjembatani dan
medium antara penulis dan pembaca serta penikmat karya sastra. Jawa tak kering
hingga kini memasuki dunia modern. Jawa berubah, jawa merasuk dan menyatu
dengan kebudayaan modern. Hadirlah wayang suket, wayang kampong sebelah hingga
berbagai pertunjukan yang menampilkan cerita tak habis-habis.
Replika jawa
Han gagas dalam kumpulan
cerpennya RITUAL tak hanya pandai dalam berbagai pengemasan gaya bercerita,
tapi ia seperti menghindari memasuki dunia batin pengarang maupun dunia batin
tokoh-tokoh dalam cerpennya. Sebagaimana beni setia menuliskan dalam epilognya “Han gagas menceritakan tanpa mendramatisir
apa-apa yang terjadi terutama tanpa menuliskan apa yang dirasakan tokoh-tokoh
rekaan mengalami peristiwa itu”. Gaya ini tentu berbeda dengan gaya
cerpenis lain sebagaimana putu wijaya yang seringkali membuat kita ikut masuk
dalam apa yang dialami tokoh.
Gaya
penceritaan han gagas dalam kumcer RITUAL ini memiliki berbagai gaya salah
satunya gaya deskripsi yang pelan dan liris. Kita bisa menemu pada kisah “gemblak”,
bagaimana seorang bocah harus menjadi pelayan seorang warok, di “kabar
duka” kita menemu kisah penantian panjang seorang isteri yang menanti
suaminya dan seorang suami yang dikejutkan dengan isterinya yang mengira si
suami sudah mati akibat huru-hara revolusi. Kisah liris tapi mampu memberi
pencitraan cerita yang elok ada pada cerpen “redi kelud”, kisah bocah kecil
aneh dan memiliki sayap dihujat dan digunjing warganya, hingga sampai pada
keputusan akhir si bocah memotong sayapnya yang justru berujung banjir darah.
Dari mitologi hingga magisme
Kumpulan cerpen han gagas selain
kaya dengan replica dan deskripsi yang elok, ia kerap hadir dengan bumbu-bumbu
mitologi hingga magisme yang membawa pembaca masuk dalam alam magis yang ada
dalam penokohan. Kisah magisme yang diolah dari cerita- cerita itu hadir dalam
cerpen “ritual”, “antara rumah dan kebun”, “susuk kekebalan” hingga pada cerpen
“kawin ghaib”. Dalam cerpen-cerpen diatas, han tak hanya menjadikan mitologi
sebagai unsur bumbu, tapi terkadang dijadikan sebagai background cerita yang menambah
cerita ini jadi hidup.
Keseluruhan
cerpen dalam album kisah RITUAL ini seperti mengisahkan kembali bahwa jagad
jawa tetap tak luntur di makan usia. Meski ia memasuki ruang yang berbeda,
manusia berbeda. Sebab sebagaimana karakter jawa yang sinkretis dan memiliki
tatanan yang bisa memadu dan berpadu dengan budaya lain. Maka kumcer RITUAL ini
adalah album kisah sekaligus upaya menghidupkan jawa dan menunjukkan kembali
bahwa jawa yang kaya cerita hadir dan tak hilang hingga kini. Jika jawa lengkap
dengan lanskap dan citra luhur, maka kumpulan ini berfungsi mengisahkan kembali
dengan sebentuk kisah pula. Yang tak kering, dan layak untuk kita nikmati dan
kita serap nilainya.
*)
Peresensi Mahasiswa UMS , Presidium Kawah institute Indonesia
Subscribe to:
Posts (Atom)