klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Wednesday 6 May 2015

Merayu Sang Kekasih





  
 Menyimak novel ini, aku seperti diajari kembali cara mengenal agama cinta yang kuyakini. Aku seperti menemukan sentuhan ruhaniah, gairah spiritual, ada ketakjuban yang teramat ketika kita memahami jalan Tuhan. Kita adalah wakil-Nya, surga dan neraka hanya metafora betapa perih dan berdosanya kita, atau betapa gembira dan senangnya kita saat mampu menebar kasih dan kebahagiaan.




Oleh Arif  Yudistira *)

            Mei seringkali membuat ingatan sendu, tentang buruh, tentang pendidikan, dan kebangkitan nasional. Hari memang selalu membawa kenangan tak usai, sejarah berputar seperti juga waktu. Meski kita tahu, kita sering terlambat mencatat hari ini. Aku tak berharap melupakan hari ini. Mei mengingatkanku kepada romantisme, kemesraan, dan kebahagiaan. Aku ingin membawa mei ku ini adalah awal untuk menjejaki hidup. Di akhir mei ini, tepatnya di tahun 2015, aku mencatatkan diri, membulatkan tekad agar hari-hari dan kehidupanku ke depan lebih berarti, lebih bermakna dan berguna, untuk semesta. Aku senang akhirnya menyelesaikan novel 40 Kaidah Cinta karangan Elif Shafak. Novel ini sudah kubeli lama, tetapi baru bisa kuselesaikan hari ini. Seperti juga wahyu, barangkali buku memerlukan hati yang lapang dan lempang untuk kuserap dan kefahami maknanya.
            Novel Elif Shafak ini membuatku tertarik karena sebelumnya aku telah menuntaskan Kimya Sang Puteri Rumi beberapa waktu yang lalu. Novel ini berkaitan dengan 40 Kaidah Cinta yang kubaca, aku seperti menemukan Rumi, menemukan Syamz, menemukan Kerra. Keluarga ini seperti kumasuki satu persatu. Aku memasuki dunia Rumi yang juga murid Al Farabi. Aku mengingat dialog pendek di novel ini yang mengisahkan ketika Rumi berjalan di belakang Al-Farabi, ada seorang murid Al-Farabi bertanya : “guru, siapakah orang ini?”. Maka Al-Farabi dengan pelan menjawab bila aku danau, maka dibelakangku adalah lautan. Waktu itu, Rumi masih berusia sangat muda dan belia ia masih berguru kemana-mana mencari ilmu.
            Mengingat kehidupan Rumi seperti mengingat kehidupan seorang yang haus ilmu dan tak berhenti menyampaikannya. Rumi adalah orang yang dikenal sebagai seorang yang luas dan dalam pemahaman ilmunya. Orang-orang terpikat terhadap khotbahnya, orang banyak berguru darinya. Ia seolah milik semua. Tetapi betapapun hebatnya laut, ia memerlukan pasangan, memerlukan wadah, atau tanah untuk menampung airnya. Barangkali karena itulah, Syamz hadir sebagai matahari yang melengkapinya. Ia seperti jalan dan penunjuk bagi Rumi menemukan betapa dahsyatnya agama cinta ini.
            Membaca novel ini kita memang disuguhi kisah tentang Ella yang mendekati keretakan rumah tangganya dan mempertanyakan makna dan hakikat cinta. Sampai pada akhirnya ia menemukan Aziz seorang pengarang novel Sweet Blossemy. Di novel Sweet Blossemy inilah, kita akan menemukan kisah Rumi, Syamz dan Kerra, hingga Kimya puteri rumi, serta anak-anak Rumi seperti Aladin dan Sultan Walad. Melalui novel Sweet Blossemy akhirnya Ella mampu menemukan dirinya. Pada titik kegelisahan dan puncak kehausannya menemukan cinta inilah, ia seperti menemukan Aziz sebagai teman ruhaniah. Walau pada akhirnya Aziz  ditengah perjalanan spiritualnya yang sufistik, ia mesti mengalami benar-benar kematiannya secara nyata, ia seperti menemui takdirnya. Kebahagiaan itulah yang sempat dirasakan Ella mesti Cuma sebentar.
            Ella seperti gambaran seorang perempuan pasrah, dan lemah, sekaligus tabah. Melalui Ella kita tahu, bahwa kegembiraan, kemewahan dan semua yang kita dapat, bahkan anak-anak tak melulu membuat kita bahagia dan menemukan cinta. Ada sisi lain dari hidup yang tak bisa direngkuh hanya dengan urusan material semata. Kaidah agama cinta ini mengajarkan kita bahwa manusia memerlukan pencarian untuk menemukan pencapaian dirinya. Seperti yang tertulis pada kaidah pertama agama cinta berikut : “ Bagaimana kita memandang Tuhan merupakan cerminan langsung dari bagaimana kita melihat diri sendiri. Bila Tuhan mengingatkan kita akan ketakutan dan tuduhan (kesalahan), maka terlalu banyak rasa takut dan bersalah dalam diri kita. Jika kita melihat Tuhan sebagai Kasih dan Sayang, maka demikian pulalah kita”. Tuhan adalah jelmaan rasa kasih dan saying, karena itulah keputusasaan, rasa bersalah dan juga mengutuk diri, saat itulah kita hanya menjadi seorang yang meratapi kesalahan.
            Aku tak mau membandingkan Ella dengan siapapun, setidaknya banyak orang yang mirip Ella di dunia ini, utamanya sikap-sikap ketabahan luar biasa, sikap kepasrahan dan perlawanan yang begitu pasif mengingat apa yang telah ia lihat dengan perselingkuhan suaminya, tetapi ia hanya memandang dan membicarakan ini lewat mata tajamnya. Bagiku, mata Ella bukan sekadar mata yang menafsir segala, tetapi mata yang menembus sampai ke ulu hati, sehingga perihnya pun tak tertahankan. Mata seperti ini adalah mata batin yang dicapai pula dengan kedisiplinan dan keteguhan batin. Ingat mata Ella ini saya jadi ingat Syamz dari Tabriz, yang memiliki mata setajam bahkan lebih tajam dari Ella, hingga di akhir novel ini seolah ada identifikasi antara aziz sebagai Rumi, atau Ella sebagai Syamz.
            Penaklukan yang materi, penghayatan kepada setiap yang ada di malam dan siang akan membawa seorang bukan hanya pada pencapaian sufistik, sufisme, tetapi pembawaan kepada dunia batin yang tak terperi. Orang yang semakin mengerti dan memahami agama dengan semakin dalam, ia akan menemukan kekosongan, yang tak bisa diungkap dengan kata-kata. Sebab disana ada samudera yang begitu luas dan dalam, pada titik inilah kita seperti hilang dan tak kuasa menerima cerminan dan sifat Tuhan.
            Aku jadi berfikir, berfikir ala sufistik tak hanya dilakukan oleh seorang darwis semata, tetapi bagi kita, selaku manusia biasa pun bisa mencapai pikiran sufistik. Memang tidak mudah bagi kita untuk melakoni jalan sufisme yang tak setiap orang bisa dengan mulus menghilangkan penutup atau tirai yang menghalangi kita kepada wajah Tuhan. Sebagai makhluk yang mewakili sifat-sifat Tuhan itulah, sebenarnya manusia memiliki kedudukan tinggi dan sempurna.
            Kasih sayang, kepedulian dan cara Tuhan menuntun hambaNya kembali padaNya seringkali tak bisa dilogika dengan akal. Bahkan dengan cara yang tak sepenuhnya bisa difahami oleh manusia itu sendiri. Kita bisa menyimak suguhan cerita Si Mawar Gurun pelacur yang kembali kejalan Tuhan, atau kisah seorang pengemis yang mengutuk dan tak mempercayai Rumi, menuduh Rumi sebagai seorang yang nyaman dan berkata seenaknya.
            Jalan kepada pemenuhan diri, jalan kepada pencapaian hakiki dan sejati penghayatan agama tidak hanya pada sisi luar ini dijelaskan oleh Syamz melalui empat tingkatan. Empat tingkatan ini seolah memberikan gambaran bahwa kesempurnaan pencapaian inilah yang akan menjadikan kita dituntun dan dibimbing kembali kepada Nya.
            Menyimak novel ini, aku seperti diajari kembali cara mengenal agama cinta yang kuyakini. Aku seperti menemukan sentuhan ruhaniah, gairah spiritual, ada ketakjuban yang teramat ketika kita memahami jalan Tuhan. Kita adalah wakil-Nya, surga dan neraka hanya metafora betapa perih dan berdosanya kita, atau betapa gembira dan senangnya kita saat mampu menebar kasih dan kebahagiaan.


Solo, Rabu, 6 Mei 2015

*) Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com