klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Thursday 19 February 2015

Guru....


Aku jadi senang menuntaskan kisah ini. Bersama Botchan aku seperti diajak untuk berfikir ulang tentang makna kejujuran dan betapa penting kejujuran bagi seorang guru. Kejujuran yang tak hanya dibicarakan dan dibagi bersama murid-muridnya tetapi dilakoni dengan tulus dan penuh dedikasi. Botchan mengajariku cara menjadi guru yang lebih baik


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Pagi yang indah, pagi-pagi betul aku berangkat dari rumahku, Klaten. Aku berangkat pukul 05.30 WIB. Malam minggu tak seperti biasanya aku mencoba menghabiskan novel Botchan karya Natsuke Soseki. Akhirnya aku menghabiskan novel ini pukul 09.45 WIB. Membaca novel ini membuatku ingat masa-masa kecilku. Yang boleh dibilang nakal sampai membuatku Ibu dan Ayah hampir putus asa. Botchan pun demikian pula, berkat kenakalannya ia pun berbuah kata-kata tak mengenakkan yang bakal dia ingat seumur hidupnya. Ayahnya selalu berkata : “Anak itu tidak akan pernah jadi apa pun”. Ibunya juga berkata kepada Ayahnya “Anak itu begitu kasar dan berandalan, entah akan jadi apa dia nantinya”. Ibunya meninggal gara-gara Botchan menabrak-nabrakkan paru-parunya. Ibunya akhirnya meninggal setelah mengatakan tak mau bertemu lagi dengannya. Botchan kabur dari rumah, tapi selang beberapa saat ibunya meninggal. Ayahnya pun meninggal beberapa tahun kemudian. Ketika Ayah dan Ibunya meninggal, Botchan sudah lulus sekolah menengah swasta, sedang kakaknya lulus sekolah bisnis. Ia terpaksa harus keluar dari rumahnya karena kakaknya berniat menjual rumahnya.
            Botchan tumbuh secara wajar berkat kasih sayang pembantunya Kiyo. Kiyo akhirnya pulang ke rumah majikannya yang baru. Botchan pun mendapat tawaran mengajar di daerah pelosok. Kiyo inilah yang meninggalkan kesan mendalam dalam kehidupan Botchan. Sebutan Botchan sendiri adalah panggilan dari Kiyo yang menilai Botchan adalah seorang yang jujur dan apa adanya. Sikap kejujuran dan terus terangnya inilah yang membawanya ke resiko-resiko hidup yang tak selalu bisa dimengerti oleh kebanyakan orang. Botchan melanjutkan ke Sekolah Ilmu Alam, dan berhasil lulus meski menempati rangking urutan terakhir.
            Botchan kemudian memenuhi ajakan Kepala Sekolah untuk mengajar di pelosok. Disana Botchan harus menghadapi murid-murid di desa yang begitu “berandal”. Kesabarannya seperti diuji, tetapi ia tak bisa membiarkan semua masalah itu berlalu begitu saja. Ia pun menyelediki pangkal sebab kenakalan murid-murid ini. Akhirnya, ia pun menemukan berbagai konspirasi dan kejahatan di sekolah itu. Tak hanya Kepala Sekolah yang ia juluki sebagai Kemeja Merah, juga kepala guru yang ia juluki Si Badut ternyata diam-diam mempunyai tabiat buruk yang ia tata sedemikian rapi. Ketika tabiat ini terkuak, Botchan bersama rekan gurunya Hokka melakukan pemberontakan terhadap system di sekolah ini.
            Tetapi ada yang menarik dari kisah Botchan ini, Botchan merasakan saat-saat pertama kali mengajar. Ia mengisahkan perasaannya ketika ia menjadi guru : “Akhirnya datang juga hari aku mulai mengajar. Kali pertama masuk ke kelas dan naik ke podium, aku merasa aneh. Sepanjang pelajaran, aku terus-menerus bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku benar-benar seorang guru?. Menyimak cerita Botchan ini aku jadi ingat tatkala aku masuk ke MI Muhammadiyah PK Kartasura. Anak-anak ramai memanggilku Ustadz, hehe…, aku ingat betul waktu itu muridku bernama Faza mengajukan pekerjaannya. Ia anak rajin, bahkan terlalu rajin. Ada perasaan ganjil seperti yang dirasakan Botchan saat pertama kali mengajar. Pernah aku merasa bimbang untuk memutuskan antara menjadi guru atau tidak. Dan sampai saat ini, aku justru belajar banyak hal saat melaluinya.
            Memang berbeda dengan kisah Botchan yang menghadapi anak yang usil dan berandal. Disini, anak-anak boleh dibilang nakal dalam arti wajar. Menangani anak seperti mengelus kaca yang terbuat dari bahan yang sangat ringan. Bila kita terlampau keras maka kaca itu akan dengan mudah pecah. Aku belajar dari apa yang diutarakan Botchan mengenai mengajar : “ Tidak ada masyarakat yang rela mentoleransi orang-orang memuakkan yang berfikir bisa bersenang-senang tanpa membayar akibatnya. Jelas sekali selulusnya dari sekolah, anak-anak ini akan menjadi sejenis orang yang meminjam uang namun tidak mau melunasi utangnya. Mereka datang ke sekolah, berbohong, melakukan kecurangan, dan mengendap-endap di balik kegelapan, melakukan muslihat pada orang, lalu ketika lulus, mereka akan berjalan penuh kebanggaan, terjebak dalam pemikiran keliru bahwa mereka telah memperoleh pendidikan. Dasar sampah masyarakat!”(h.67). Botchan juga tak hanya menegaskan tentang kejujuran, ia juga mengajarkan pendidikan tidak hanya berarti memperoleh pengetahuan akademis. Pendidikan juga berarti menanamkan semangat mulia, kejujuran, serta keberanian lalu menghapuskan kebiasan licik, usil, serta tak bertanggungjawab”(h.112).
            Membaca Botchan seperti membaca tubuhku sendiri. Aku merasai aku begitu polos saat bercerita tentang masa-masa kecilku di saat SD sampai kuliah. Aku jadi berfikir, sikap kepolosan dan kejujuran seperti Botchan memang perlu. Tetapi tak selalu sikap seperti itu mendapat sambutan baik bagi semua orang.  Prinsip Botchan pun menjadi mirip dengan kehidupanku saat ini. “Bukan pembawaanku untuk mencemaskan masa depan dan aku tidak pernah membiarkan sesuatu yang sudah terjadi meresahkanku; aku biasa hidup untuk hari ini”. Bila menyimak kata-kata Botchan aku jadi ingat diriku yang bahkan sampai saat ini tak cukup banyak memiliki tabungan. Hahaha… kenangan ini membawaku mengingat temanku yang waktu SMA saja memiliki tabungan 5 juta lebih. Memang buku tabungan di tasku tiga buah, tetapi jangan Tanya isinya.
            Botchan tak hanya sekadar kisah tentang pemberontakan guru terhadap system di sekolah. Ketidakjujuran dan intrik di dunia pendidikan bukan hal yang baru untuk pendidikan di negeri ini. Aku jadi senang menuntaskan kisah ini. Bersama Botchan aku seperti diajak untuk berfikir ulang tentang makna kejujuran dan betapa penting kejujuran bagi seorang guru. Kejujuran yang tak hanya dibicarakan dan dibagi bersama murid-muridnya tetapi dilakoni dengan tulus dan penuh dedikasi. Botchan mengajariku cara menjadi guru yang lebih baik. Meski pada akhirnya Botchan meninggalkan desa pelosoknya dan memilih tinggal di Tokyo.


*) Penulis adalah Pengasuh MIM PK kartasura

           
            

Puisi adalah Pengisahan




Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Puisi  adalah pengisahan. Tetapi pengisahan dalam puisi tentu akan berbeda dengan pengisahan ketika kita bercerita. Dalam puisi, bisa saja metafora, diksi dan juga perasaan masuk disana. Di puisi, selalu ada ruang terbuka bagi pembaca untuk melakukan tafsir terhadap apa yang diungkap penyair. Penyair disini ditantang untuk tak terburu-buru mengajak pembaca memasuki emosi yang akan disampaikannya, atau membiarkan saja pembaca hanyut dan memasuki lebih dalam apa yang dirasakan penyair melalui puisi yang diungkapkannya.
            Puisi modern lebih memungkinkan penyair lebih bebas, tanpa harus terganggu oleh diksi dan rima yang ketat. Disisi lain, puisi baru lebih memungkinkan penyair bebas mengeksplorasi bentuk puisi. Kita bisa menemui ini pada puisi jeihan yang serupa gambar. Tetapi, bila dibanding dengan puisi lama, penyair yang boleh dibilang mampu bereksplorasi pada bentuk, isi dan gaya hanya beberapa saja. Yang jadi kebiasaan bagi penyair muda biasanya mereka tak mau banyak belajar dan mempelajari khazanah dan karya penyair lampau. Seorang Amir Hamzah misalnya bisa bersyair dengan sedemikian rapi dan ketat tapi tak menghilangkan kesan puitik dan sisi romantiknya. Atau seorang Chairil Anwar yang bersyair melampaui apa yang ada di jamannya. Kesemua itu adalah bagian dari kekayaan khazanah bagi penyair muda, atau penyair kita saat ini ketika mereka mau membuka sejarah kesusasteraan kita.
            Membaca puisi Elisyus (2014) berjudul Nocturno kita seperti diajak untuk menyimak pengisahan penyair mengenai pelbagai pengalamannya. Ketika ia mengambil judul Nocturno, di puisi ini kita akan menemui penyair berkisah tentang malam dan perasaan penyair yang seperti kesal dan muak. Hati-hati matanya sibuk mengeja langit/mulutnya sibuk merapel mantra/ mengutuk dunia beserta isinya. Pada puisi ini kita tak menemukan sesuatu yang lain selain cara penyajiannya yang menarik. Tetapi kita bisa membandingkan dengan puisi Chairil Anwar di bukunya Deru Campur Debu(2000) ………..Aku menyeru—tapi tidak satu suara/ membalas, hanya mati di beku udara. Sama-sama mengurai malam, tetapi cara pengungkapan menjadikan puisi lebih indah. Chairil Anwar meneruskan : Pena dan penyair keduanya mati/ Berpalingan. Ada paradoks yang ingin disampaikan oleh Chairil, penyair dan pena menjadi tak satu di tangan penyair, antara keinginan dan perasaan dan penyair menjadi tak satu, hal ini tentu terjadi saat puisi dituliskan. Nocturno di puisi Chairil mengisahkan puisi yang ditulis oleh penyair di malam hari. Sedang di Elisyus, ia mencoba mengurai kekesalan dan muak lewat puisi melalui indera penglihatannya dengan mengatakan sepasang mata menatap purnama.
            Hampir di setiap puisi di buku ini kita akan menemukan pengisahan penyair tentang kekasih, tentang rindu, tentang kekaguman dan tentang kenangan. Kita akan menemukan betapa rindu diungkapkan dengan begitu polos, tak ada yang tahu/ apa yang bersemayam dalam mata itu/ yang di dalamnya tinggal malam paling akhir/ malam yang tak pernah mungkir (Memenjara Rindu). Perasaan rindu penyair menjadi sia-sia tatkala ia mesti menghadapi ketidakberdayaan saat ia mengingat kenangan dan tak bisa menemui kekasihnya. Di puisi lain, penyair berkisah tentang pernyataan cintanya. Puisi ini begitu polos dan lugas tanpa metafora dan sederhana. Kukumpulkan seluruh keberanian/ lalu kupandang dia/ tak ada tuduhan/ tak ada tuntutan/ matanya hanya berkata /aku mencintaimu (Kepada Kekasih). Aku jadi ingat penggalan puisi Rendra yang di akhir puisinya pun mengatakan serupa : “Dik Narti, aku cinta padamu”.
            Di buku Nocturno ini kita akan menemukan tentang pengisahan-pengisahan yang mengarah pada peristiwa, kerinduan, juga perasaan-perasaan penyair yang disuarakan melalui puisinya. Sebenarnya ketika Elisyus mau mencoba sedikit bersabar dan merenung, puisinya akan lebih kental dan dalam. Kita bisa simak sebait puisi berikut : tak pernah cukup diksi/ yang kupakai untuk menghias tubuhmu/ wahai lelaki yang padanya /kuserahkan kata “puisi”. Tetapi di bait puisi berikutnya saya tak mampu menemukan perasaan takjub sebagaimana bait puisi pertamanya ini.
            Tetapi keberanian Elisyus menghadirkan puisi untuk kita patut kita apresiasi. Elisyus setidaknya sudah berbekal kepekaan inderanya dan cara dia mengolah perasaan dan kenangan dengan cukup bagus. Tentu, dengan ketekunan dan kegigihannya, kelak ia akan menemukan warna bagi puisi-puisinya. Sebagai pengagum Kahlil Gibran, tentu ia tak akan membiarkan puisinya begitu cepat berlalu. Di buku puisi ini kita juga akan menemukan adanya kesatuan tema yang coba diungkap dalam puisi-puisinya. Elisyus telah menyuguhkan puisi romantic kepada kita. Sebagai seorang penyair perempuan, kita bisa melihat kejujuran dan kepolosannya dalam mengungkap perasaan dan emosionalitasnya. Sebagai pembaca saya ikut menikmati dan meresapi pengalaman yang dihadirkan penyair melalui puisi-puisinya. Elisyus seperti mengajak kita untuk memunguti masa-masa jatuh cinta kita di masa lalu. Ah….


*) Penulis adalah Penyuka Puisi, Pembelajar di Pawon Sastra Solo dan Bilik Literasi

Sunday 15 February 2015

Dunia Sastra Kita




Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

          Di hari Sabtu (13/2/15) aku selesai membaca Tifa Penyair dan Daerahnya Karya Hans Bague Jassin. Bapak kritikus sastra Indonesia ini terkenal produktif mengurusi kritik sastra di Indonesia. Buku ini mengalami cetakan keempat di tahun 1961. Terbit pertama tahun 1949. Pada cetakan keempat ini diterbitkan oleh Gunung Agung. Ada banyak hal yang saya temukan di buku ini. Tak hanya persoalan kritik sastra, tetapi juga perkembangan sastra di masa penjajahan hingga masa modern. Dahulu, para sastrawan masih mengurusi tema-tema perjuangan dan kepahlawanan. Tapi semakin modern, para sastrawan semakin kompleks dalam urusan tema. Di buku ini pula kita akan menemukan betapa pentingnya sebuah ide bagi pengarang. Menurut penulis, ide bisa jadi bersifat tendensius dan bersifat propaganda. Sifat ide itu ditentukan oleh penulis berkaitan dengan maksud dan tujuan karangan. Ditentukan pula semangat dan kondisi lingkungan dimana pengarang tinggal.
          Pengarang menurut HB Jassin, bukanlah seorang yang sedang melamun semata, ia memerlukan bacaan dan pengetahuan sebagai penambah khazanah dan pengetahuan agar mempertinggi kualitas karangannya. “betapapun besarnya kecakapan seniman-alam, dengan tiada usaha ia akan tetap memberikan hasil yang kurus” (h.7). Mengutip kata-kata Jassin di buku ini : “Dalam riwayat hidup pengarang dan seniman dunia yang mashur kita bisa melihat, bahwa pengarang-pengarang dan seniman-seniman itu orang yang luas pengetahuannya dan banyak pengalamannya. Dunia rohani dan dunia jasmani dijalani mereka dalam segala jurusan sehingga hasil ciptaan mereka ialah bayangan atau petikan padu penghidupan yang maha luas itu” (h.9). Melalui buku ini, saya juga belajar berbagai aliran sastra dari ekspresionisme (ekspresif), naturalisme (alam), di buku ini kita akan menemui penggalan contoh-contoh karya sastra yang dihadirkan oleh HB Jassin yang berkaitan dengan perkembangan kesusasteraan di negeri ini.
          Saya jadi ingat esai panjang yang ditulis Radar Panca Dahana di Media Indonesia yang mengkritik perkembangan sastra dewasa ini. Menurutnya ,perkembangan sastra paska orde baru lebih di dominasi oleh kelompok-kelompok tertentu dan juga menilai para sastrawan muda menjadi begitu dangkal dan tak menyublim. Kita bisa menyimak kritik serupa yang diajukan oleh Ajip Rosidi dalam buku ini yang menilai : “teknik memang hanyalah teknik. Tapi tekniklah yang membedakan seseorang apakah ia memang penulis yang baik ataukah ia budak baru belajar bicara”(Merdeka,IX/29,21 Juli 1956).
          Bagi pengarang, teknik penting untuk medium bagi apa yang disuarakannya. Tanpa teknik yang bagus, pengarang biasanya akan dinilai kurang menarik dan tak banyak mendapatkan pembaca. Tetapi teknik yang bagus pun tentu akan semakin membuat karya semakin bagus pula isinya. Tentu dalam urusan makna, kesusasteraan punya cara tersendiri dalam hal menyampaikan yang bernilai tinggi.
Refleksi
          Buku ini bisa dibilang sebagai buku teori kesusasteraan sekaligus buku bagi sastrawan muda. Setidaknya di buku ini ditulis berbagai anjuran dan saran agar sastrawan kita tak hanya mendalami dan menggeluti pengalaman keseharian, tetapi juga belajar teori dan sejarah perkembangan sastra kita. Saya jadi ingat Afrizal Malna seorang sastrawan yang belajar tentang bagaimana puisi dan sejarah perpuisian di Indonesia semenjak awal dan ditulikan di bukunya Sesuatu Indonesia.
          Tanpa pengetahuan, saya pikir kesusasteraan Indonesia akan tetap menjadi kesusasteraan yang pincang. Saya jadi teringat di buku antologi kritik DKJ 2013 , Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (2013), judul ini mengingatkan kritik Martin Suryajaya yang mengkritik karya Ayu Utami di Bilangan Fu yang dinilainya terlampau memudahkan urusan posmodernisme yang disampaikan di dalam novel. Sehingga banyak cacat dalam karyanya yang dinilai belum banyak dan belum begitu mendalami tema yang diangkat penulis. Ada ambiguitas dan rapuh dalam novel itu.
          Dunia kesusasteraan sebenarnya bisa memasuki pelbagai wilayah atau bidang lain. Dari itulah, seorang sastrawan bukan saja seorang yang mengilhami ayat-ayat Tuhan yang tercipta, tetapi lebih dari itu, sastrawan juga seorang pemikir yang terlibat dalam dunia kemasyarakatan melalui karya-karyanya. Dari itulah, kita memerlukan kritik agar kesusasteraan di negeri ini selalu dan terus berkembang. Sayang, sebagaimana yang dikatakan oleh H.B.Jassin, kritik kesusasteraan kita belum begitu maju. Pasalnya para sastrawan belum menyadari betapa pentingnya kesusasteraan bagi kita. Hingga akhirnya mereka hanya mengandalkan produktifitas tanpa memperhatikan aspek kualitas dan nilai karya sastranya bagi pembaca.
          Buku ini merangkum dan memberikan penjelasan detail mengenai bagaimana dunia sastra kita di negeri ini, dan bagaimana para sastrawan bersikap dalam sejarah kesusasteraan kita. Tentu, semakin maju negeri ini, kita juga dituntut untuk mengembangkan kesusasteraan kita lebih jauh. Bukan hanya kesusasteraan yang hanya pandai dalam urusan menyair bulan dan malam, tetapi lebih dari itu juga kesusasteraan yang memberikan kesan yang mendalam bagi perkembangan sejarah kesusasteraan kita. Begitu.


*) Penulis adalah Pembelajar Sastra, Peminat Buku Sastra

Tuesday 10 February 2015

Ceritamu, Ceritaku


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

          Siang hari, terik mentari sudah tak kelihatan. Mentari tak mau menengok barang sejenak. Mendung lebih terlihat, agak gelap. Terkadang rasa jenuh itu menghinggap di kepala kita tanpa kita kuasa untuk menolaknya. Di siang hari begini, mungkin sebagai remaja kita lebih enak menikmati kebebasan kita. Tapi rasanya tidak untukku, remaja yang sudah menjelang melepas lajang. Aku menikmati masa-masa kalut di sekolahku, syukurlah, aku tak merasa terganggungu dengan kekalutanku. Siang hari aku belajar ngaji bareng murid-muridku. Setelah anak didikku membaca iqro’ semua, aku mulai membaca cerpen Sanie B Kuncoro yang menang juara Cerber Femina tahun 2003. Buku itu diterbitkan oleh C Publishing 2006. Buku ini berisi dua cerita pendek, yang pertama berjudul Jalan Sunyi, yang kedua berjudul Kekasih Gelap. Aku menghabiskan Jalan Sunyi terlebih dahulu. Saat membacanya aku merasa kisah di cerita itu mirip denganku. Aku justru lebih mirip sebagai Puan, sosok perempuan yang mengalami perasaan tak menentu, terkadang sunyi, terkadang hanyut, terkadang sepi,dan merasakan sesuatu yang entah apa namanya. Seperti jasad melesu, sedang pikiran kosong. Pernikahan seperti membawa kepada sesuatu yang lebih besar. Tak selalu masalah yang besar tetapi juga berkah yang besar. Lima bulan menjelang pernikahan dikisahkan dengan persiapan dengan banyak hal. Aku seperti ingin menangis. Apa yang sudah aku persiapkan. Rasanya urusan menikah seperti menjadi sesuatu yang gelap dan tak bisa aku bayangkan. Menengok kisah ini aku jadi begitu merindukannya, aku kangen padanya. Tetapi apalah arti rindu, hand-phone ku beberapa hari ini sakit keras. Ia tak mau dihidupkan, dan rusak total, tapi terkadang hidup seketika. Aku sudah mencoba memeriksakannya di dua tukang servis hand-phone tapi tak bisa sembuh total.
          Tiba-tiba saja tatkala aku sedang bertanya kepada muridku, “Nak, nanti kita belajar kan?”, ia menjawab : “Iya, nanti Ayah akan membelikan hand-phone buat ustadz”. Aku merasa tak bisa menolak, tapi merasa tak bisa mengatakan apa-apa. Aku kembali teringat tentang pernikahanku. Aku seperti membayangkan kisahku mirip perasaan-perasaan yang ada dicerita ini. Barangkali kehidupan setelah pernikahan mirip dengan yang dibilang Limar : “Benar bahwa hidup kita akan mengalami perubahan besar, tapi bukankah kau tidak sendirian menghadapinya? Aku akan selalu bersamamu menghadapi ini semua”. Aku jadi trenyuh, tertegun dan mataku berkaca-kaca. Aku jadi ingat apa yang diucapkannya, “apa mas juga siap menghadapi semua hari-hari setelah pernikahan bersama adek, siap menerima kekurangan dan kelebihan adik?”. Aku jadi ingat tatkala silaturahim ke Mbak Sanie B Kuncoro, penulis cerita ini. Aku berkisah kehidupanku, bagaimana kalau aku terpaksa hidup di Blora. Aku tak lagi bertemu dengan penulis-penulis solo. Aku tak lagi giat berbelanja buku, mungkin aku semakin lesu membaca. Mbak Sanie justru bilang, wah, ya itu tantangannya Rif, tapi ndak tahu juga kehidupan ke depan seperti apa. Mbak berharap kamu tak berhenti berliterasi. Kesan itu seperti tertinggal dalam percakapan antara aku dan Mbak Sanie.
          Aku tak meninggalkan literasi, aku masih bernafsu membeli buku. Aku merasa kaku, dan tak berdaya. Sayangku berpesan untuk mengurangi belanja buku, pelan-pelan menyiapkan pernikahan. Aku seperti jadi manusia tak berdaya. Bukan karena ketiadaan prinsip yang ada padaku, barangkali karena kecintaan kepada ilmu menjadikanku seperti hidup dalam kepasrahan. Tetapi tidak demikian, kalau aku ingat sayangku yang disana. Yang siang malam menangis karenaku, dan karena orang-orang terkasihnya. Pelan-pelan ia harus menghadapi betapa berat perasaan dan beban yang ia tanggung di dalam keluarganya. Aku jadi harus menghapus mataku yang berkaca. Tapi aku tak mau seperti Puan yang merelakan begitu saja perasaan kalutnya hingga dihinggapi cinta lainnya. Aku ingin terus berbuat sebisa yang aku lakukan. Agar kau tahu, bahwa kita memang sepasang kekasih yang melawan waktu.
          Aku tak mau menghadapi jalan sunyi sebagaimana tokoh-tokoh di cerita pendek ini. Aku tak mau seperti Limar yang merelakan kekasihnya kalut hilang dalam kekosongan, aku pun tak mau seperti Puan, yang tak mampu mengendalikan diri di masa-masa menjelang pernikahan. Barangkali ini semacam surat untukmu, sayang, semoga kau tahu, dan mendengar betapa hatiku teramat sayang padamu, dan mencoba memberi dengan segenap yang aku punya.
          Ternyata, apa yang ada didalam cerita bisa menemukan banyak realita yang tak sengaja hadir dalam kehidupanku. Aku senang membaca buku cerita garapan Mbak Sanie ini. Meski kita tak pernah tahu, ceritamu, ceritaku, ternyata begitu dekat, waktu yang mempertemukannya. Melalui buku Kekasih Gelap (2006) ini, aku seperti terbakar rindu. Aku jadi ingat kata-kata Coelho di bukunya Seperti Sungai Yang Mengalir, di pensil pengarang ada Tuhan yang menuntun. Mungkin Tuhan yang mempertemukan cerita ini dengan ceritaku.  



Solo, Rabu, 11 Februari 2015

Monday 9 February 2015

Senja



          Pagi yang cerah, aku bareng-bareng bermain dengan murid-muridku. Setelah itu, aku ajak jalan-jalan muridku mengelilingi sekolahku. Eh ada yang jahil waktu lewat di toko buah. Tetapi kejahilan itu  hanya sementara, setelah itu dikembalikannya buah itu ke tempat toko buah. Aku lanjutkan membaca buku Mimpi Bayang Jingga karya Sanie B Kuncoro. Buku ini tergolong buku laris. Buku ini diterbitkan sejak 2009 bahkan cetak ulang sampai 2013. Buku ini adalah kumpulan  cerpen penulis yang memenangkan lomba cerpen TABLOID NYATA. Saya seperti tertegun mengikuti kisah ini. Pada cerpen pertama berjudul The Desert Dreams, aku menemukan kisah perselingkuhan antara sebuah keluarga yang semula romantic dan mesra tiba-tiba harus mendapatkan masalah. Baron, suami dari May harus mendapatkan godaan dari seorang perempuan cantik bernama Orien. Pada akhirnya Orien perempuan itu harus meninggalkan impiannya. Impian untuk bersama kekasih pujaan hatinya. Meski Baron mencoba untuk menyusulnya, tetapi Orien terlanjur pulang kerumah orangtuanya. Sedangkan May sendiri yang dikaruniai kelebihan membaca banyak hal harus merelakan suaminya pergi. Ia memiliki mimpi yang ternyata tak bisa ia gapai sepenuhnya, memiliki keluarga seutuhnya. “aku pernah menyimpan sebuah mimpi yang sempurna. Sebuah mimpi yang terbungkus sempurna dengan keindahan, yang kukira hanya akan berakhir ketika takdir kematian datang pada waktunya. Bahkan, kukira kami akan tetap memiliki mimpi kami itu di surge nanti. Ah, adakah surga itu?. Pernah kubaca dari seorang naturalis dan esais John Burrouhs yang mengatakan : “Surga yang memberikan kebahagiaan bukanlah suatu tempat, melainkan situasi diri, di dalam batin, di dalam jiwa”. Aku suka kalimat ini, aku jadi berfikir, kelak mimpi tak selalu bisa kita capai, meski ia sudah direncanakan dan diperhitungkan sedari awal. Mungkin, mimpi perlu, tetapi bersiap menghadapi kegagalan mimpi lebih penting.
          Aku melanjutkan membaca buku Mimpi Bayang Jingga, di cerpen kedua, Jingga. Aku menemukan kisah seorang perempuan yang bekerja di kota. Ia memimpikan bisa melihat senja di sebuah resor di pinggir pantai yang indah. Mimpinya ia simpan, saat ia mendapatkan job merancang iklan sebuah bank yang ingin mencitrakan sebagai bank kelas atas sehingga public melupakan image bank tersebut sebagai bank lama dengan cara mengadakan undian 25 Miliar. Sembari merancang iklan untuk itu, Jingga bekerja sama dengan Igor. Saat berbincang dengan Igor inilah, Igor menawarkan agar Jingga mencapai impiannya memperoleh 25 M ini untuk mendapatkan mimpinya dengan jalan pintas. Tanpa disangka, pucuk dicinta ulam pun tiba, Jingga menemukan lelaki itu. Lelaki itu bernama Bentang. Berawal dari pertemuannya yang tak sengaja saat Jingga menghadang taksi, semuanya berlanjut saat Bentang menyapanya dan mempersilahkan taksi antriannya diserahkan pada Jingga. Jingga menolak dan saat itu, Bentang menawarkan taksi berdua. Dikisahkan Bentang, adalah seorang yang kaya raya pewaris utama perusahaan bursa saham yang cukup terkenal.
          Pelan-pelan Jingga pun tertarik padanya, ia jatuh cinta. Bentang pun demikian, ia memberikan semua yang dimilikinya untuk Jingga kecuali pernikahan. Igor sebagai lelaki yang memainkan permainan ini tahu, ia sangat amat menyukai Jingga. Tapi apa daya, Igor pun menempuh berbagai cara agar Jingga menjadi miliknya. Disaat Jingga meninggalkan Bentang, Igor menaruh narkoba di tas Jingga. Di Bandara ia ditangkap dan dipenjara. Saat itu, Bentang membuktikan cintanya kepada Jingga. Tapi Jingga seperti menghadapi syok yang tak terhingga, hingga akhirnya ia masuk ke rumah sakit dan mendapat perawatan penuh sesuai permintaan Bentang. Melalui kisah ini, kita seperti disuguhi betapa cinta adalah sesuatu yang alami. Bentang pun pada akhirnya merasakan kenikmatan cinta yang melebihi semua harta yang ia miliki. Ia berjuang penuh untuk memperoleh cintanya Jingga.
          Pengarang mahfum mengisahkan senja yang banyak, di Jembatan Rialto, di Piazza San Marco menabur jagung untuk merpati liar yang beterbangan. Senja di Pantai Co’te dAzzur di Nice, Perancis. Atau di batas senja reruntuhan Maccupichu, atau di semilir senja di Durbar Square Tibet?. Atau senja yang ada di dingin Lapangan Merah Moskow?. Di pelataran Gereja Ortodok Sembilan kubah. Pasti tak akan kau luapkan senja romantic di Desa Ganagobic Provence, Perancis?. Ah… begitu banyak senja yang ingin kulihat dalam cerita ini. Pengarang menggodaku untuk menilik senja yang ia tulis di buku ini. Aku justru tertarik untuk mengajak mataku menelusuri Senja yang ada di buku ini, barangkali ada mata Jingga disana yang konon begitu jernih bak jernih telaga.


Selasa, 10/2/2015

Sunday 1 February 2015

Pesantren


Oleh Arif  Saifudin Yudistira *)

Dunia pesantren adalah dunia yang dibangun dengan nilai-nilai dan tradisi yang kokoh sebagai bekal santrinya mengarungi kehidupan di masyarakat kelak. Melalui cerita Saifuddin Zuhri di buku ini, ia telah membuktikan peranan pesantren dan system pendidikan disana sebagai sebuah dunia pendidikan yang ikut memberikan sumbangsih bagi kehidupan masyarakat dan negara kita

          Di pagi yang cerah menjelang siang pukul 09.45 WIB, di hari senin, tanggal 2 bulan februari 2015, aku menyelesaikan buku Guruku Orang-Orang Dari Pesantren (2008) terbitan LKIS. Buku ini diterbitkan pertama kali di tahun 1974. Pengarangnya KH.Saifuddin Zuhri. Ia adalah ulama kenamaan sekaligus politikus yang dilahirkan di Banyumas 1 Oktober 1919, dan meninggal di Jakarta pada 25 Februrari 1986. Buku karangannya ini adalah tinggalan dan warisan berharga dari sebuah dunia pesantren dan kehidupannya. Kehidupan pesantren yang digambarkan sebagai ndeso, tertinggal dan terbelakang, ternyata tak seperti yang digambarkan oleh kebanyakan orang. Sebut saja kisah KH.Saifuddin Zuhri tatkala mengisahkan dirinya tatkala menjadi guru di sekolah belanda. Ia mesti mengubah pakaiannya menjadi pakaian seperti meneer Belanda. Ia mengaku harus menyesuaikan diri terhadap urusan pakaian. Urusan pakaian tak selalu mulus, ia adalah symbol dan identitas politik. Bila Muhammadiyah pada waktu itu memakai pakaian Belanda sebagai simbolisasi perlawanan dan kesetaraan, maka peci (kopiah) bagi seorang santri dan sarung adalah identitas cultural di pondok pesantren.
          Dunia pesantren adalah dunia yang sibuk dengan urusan ilmu dan ibadah. Kehidupan yang dialami dan dijalani penulis pun demikian halnya. Ia hanya mengalami waktu-waktu luang hanya beberapa saat saja. Pagi sampai siang ia sekolah di sekolah negeri, sorenya mengaji di langgar sedang malamnya di pondok pesantren. Diantara waktu-waktu luang itu ia gunakan untuk bermain dengan teman-temannya dan menonton wayang kulit. Kehidupan pesantren di masa itu digambarkan begitu susah. Untuk memasuki pondok pesantren, orangtua Saifuddin Zuhri mesti bekerja keras. Menyadari hal itu, Saifuddin pun belajar dengan tekun. Ia mengamati dan menekuni apa yang ada di  dalam dunia pesantren yang ia jalani. Selain beribadah, dalam dunia pesantren dikenal tradisi berjanjen yakni membaca kitab syair yang berisi pujian kepada nabi Muhammad SAW. Di pesantren juga sering dilakukan pembacaan pelbagai kitab tak hanya kitab sastra dari Arab, tetapi juga kitab dari ulama terdahulu. Melalui buku ini, Saifuddin Zuhri juga mengisahkan bagaimana Syekh Abdul Qodir Jaelani adalah seorang ulama yang mumpuni dan begitu terkenal dengan sikap zuhud dan tawadu’nya.
          Sebagaimana para santri yang memiliki idola, Saifuddin begitu mengidolakan Ustadz Mursyid, serta kiai yang lainnya. Ustadz mursyid selain dipandang sebagai seorang ustadz yang gagah dan ganteng, ustadz mursyid memiliki ilmu cukup mumpuni meski masih muda. Karena itulah, para kiai sering melibatkannya dalam perkumpulan (pengajian) para kiai. Saifuddin Zuhri mengalami masa-masa yang sejuk, nyaman dan tenang dalam dunia pesantren. Di dalam lingkungan ini ia belajar banyak hal salah satunya adalah mengenai bagaimana menghormati seorang ulama yang di pesantren tak lain adalah para kiai. Rasa hormat itu didasari perintah dari Rasul untuk menghormati dan mendengarkan nasehat ulama. Sebab bila ulama sudah ditinggalkan, maka kehidupan ini akan menjadi gelap dan tiada penerang.
          Di umur belasan tahun, Saifuddin kemudian melanjutkan sekolah di Solo. Ia pun memiliki ijazah. Dari ijazah itu, ia menjadi pengajar. Namun sebelum itu, di Madrasah Al Huda ia dipercaya oleh ustadz Mursyid untuk menjadi kelompok yang mengajar bagi murid (santri) angkatan bawahnya. Melalui itu  Saifuddin belajar mengenai bagaimana menjadi seorang guru yang bijak.  Pada bab “Menjadi Guru” kita akan menemui banyak hal mengenai metode pedagogic dan cara mengajar serta mengkondisikan anak dengan sabar. Di masa remajanya, ia suka menonton wayang, dari wayang itulah ia jadi tahu kalau wayang itu dimetaforakan sebagai rukun islam, satria pandawa itu ibarat rukun islam. Yudistita misalnya memiliki sikap yang bijak, sabar sebagaimana orang yang sudah bersyahadat maka ia mesti sabar dan bijak. Sedangkan Bima yang memiliki sifat-sifat sebagai penegak dan pembela kebenaran, diidentikkan dengan sholat sebagai tiang dan fondasi agama. Kalau tiang dan pondasinya rapuh, maka kehidupan manusia akan goyah. Arjuna diibaratkan sebagai sebuah sikap keprihatinan, sikap keprihatinan ini disukai semua orang, dan memancarkan pesonanya. Begitu pula orang yang berpuasa maka ia akan mampu memikat banyak orang dan memiliki cahaya penerang dalam hidupnya.Sedangkan Nakula dan Sadewa digambarkan sebagai rukun islam keempat dan kelima yakni zakat dan haji. Kedua rukun ini jarang sekali ditonjolkan dalam kehidupan umat islam. Karena itulah, kedua tokoh Nakula dan Sadewa jarang dikeluarkan. Ia adalah gambaran puncak dari pengamalan islam itu sendiri.
          Selain menjadi guru, kita juga menemui kisah Saifuddin sebagai seorang pejuang. Karena ia menduduki sebagai ketua pemuda ansor di jawa tengah membuat ia bertemu dengan hadratus syekh Hasyim Asyari. Ia juga kerap bertemu dengan anaknya yakni KH. A.Wahid Hasyim. Bersama para kiai dan para tokoh, ia terlibat dalam perjuangan melawan penjajah. Ia harus mengalami masa-masa yang sulit tatkala harus berpisah dengan anak-anaknya tatkala berjuang melawan penjajah. Saifuddin pun belajar bagaimana para kiai dan para ulama ini memerankan perannya dalam perundingan dan dalam berjuang senantiasa tak sedikitpun menurunkan prinsip-prinsipnya sebagai tokoh islam.
          Saifuddin Zuhri telah bersaksi, telah bercerita, bahwa seorang santri dari sebuah pesantren bukan seorang yang patah semangat dan bukan seorang yang khawatir dengan kehidupan di masa mendatang. Saifuddin pun tak menyangka kalau ia kelak menduduki jabatan dan posisi penting di kehidupan pemerintahan. Dengan bekal-bekal yang ia terima dari kehidupan pesantren ia membawa spirit dan semangat islam dalam kehidupan (pekerjaan)nya. Sebagai seorang ulama dan politilkus ia pernah menjabat sebagai ketua DPP PPP, anggota DPR/MPR, komandan Hizbulloh jawa tengah, pemimpin pemuda Ansor Jawa Tengah, dan pernah menjabat sebagai Menteri Agama RI (1962-1967) Rektor perguruan tinggi Ilmu Dakwah, serta Mustasyar di PBNU.
          Ia telah mengamalkan kehidupan agama sebagai tiang penegak dan dasar bagi kehidupan seorang. Ia membuktikan kepada kita, bahwa pesantren dan dunianya adalah gerakan keagamaan yang ikut memberikan sumbangsihnya dari jaman penjajahan sampai pada masa kemerdekaan bahkan sampai sekarang.  Dunia pesantren adalah dunia yang dibangun dengan nilai-nilai dan tradisi yang kokoh sebagai bekal santrinya mengarungi kehidupan di masyarakat kelak. Saifuddin Zuhri telah membuktikan peranan pesantren dan system pendidikan disana sebagai sebuah dunia pendidikan yang ikut memberikan sumbangsih bagi kehidupan masyarakat dan negara kita.


MI Muh. PK Kartasura
 10.57 WIB