Judul buku : Busana Jawa Kuno
Penulis : Indra
citraninda Noerhadi
Penerbit :
Komunitas Bambu
Hal :
120 halaman
ISBN :
978-602-9402-16-2
Harga :
Rp.50.000,00
Tahun : Juli,2012
Sejarah “Kuasa” Dan “Makna” Pakaian
Oleh
arif saifudin yudistira*)
Sejarah
pakaian muncul sejak manusia Indonesia mengenal budaya menenun. Dengan masuknya
budaya menenun di era neolitikum itulah manusia Indonesia mengenali cara
menutup tubuh mereka. Sebagaimana kita mengetahui, manusia Indonesia di masa
itu, memandang pakaian masih sebagai satu pelindung dari luar seperti panas,
dingin, dan lain sebagainya (I made seraya 1980-1981:16). Di masa lalu, cara
berpakaian nenek moyang kita pun seperti tak jauh berbeda dengan kita, mereka
menutupi tubuh mereka dengan pakaian untuk menunjukkan kelebihan dan status
social mereka.
Pakaian
memiliki sakralitas tersendiri bagi kaum bangsawan, istana, yang itu berlaku
hingga saat ini. Pakaian dikhususkan, tidak boleh sembarangan kawula desa atau
rakyat memakai pakaian para raja atau kaum bangsawan. Kuasa “pakaian” ini
menunjukkan identitas hingga kini, misalnya ketika kita jumpai pakaian
kebesaran di keratin-keraton dan bangsawan di Yogyakarta dan di solo. Pakaian
mereka memiliki ciri khusus, seperti aksesoris, ikat pinggang, penutup kepala
dari emas, hingga tongkat. Dari sanalah kita mengetahui pakaian di kalangan
kerajaan atau bangsawan memiliki fungsinya sendiri baik pada upacara resmi
keraton, upacara yang sifatnya kerakyatan, dan upacara-upacara lainnya. Nuansa
etis dan system keraton yang ketat dalam tata budaya dan system adat ini
barangkali bisa dilacak sebagai simbolisasi kuasa keraton yang mengadopsi
nilai-nilai barat dan eropa yang dipadukan dengan nilai-nilai jawa. Kita bisa
menemui ini pada kesaksian perempuan jawa yang ada di buku “Prajurit perempuan
jawa”(2011).
Melalui
buku busana jawa kuna ini, inda citra ninda menunjukkan kepada kita, bahwa kita
memiliki khasanah budaya dan kekayaan arkeologi yang begitu tinggi di dalam
artefak-artefak peradaban kita. Kita bisa menemui ini pada candi misalnya, inda
citraninda membuka mata kita semua, bahwa simbolisasi,kuasa, dan fungsi pakaian
yang melekat pada tubuh tak sekadar berfungsi sebagai penutup tubuh semata
melainkan memiliki implikasi pada bagaimana strata atau kelas social itu
muncul. Penelitian ini tak hanya memberikan sumbangsih penting bagaimana
membaca masa lalu nenek moyang kita yang ada pada relief candi Borobudur,
tetapi juga sebagai pijakan bagaimana membaca fenomena pakaian di manusia modern.
Hal ini Nampak pada bagaimana lingkungan istana kita memakai pakaian yang
bermiliar-miliar rupiah untuk upacara resmi kenegaraan hingga pakaian
sehari-hari. Melalui harga dan bentuk pakaian kenegaraan itulah, ternyata
Negara atau dalam hal ini pemerintah masih memakai logika kuno di negeri ini
yang dulu dipakai nenek moyang kita. Pakaian seorang raja mesti berbeda dengan
kawula, pakaian seorang rakyat jelata harus beda dengan pakaian presidennya.
Antara kuasa dan keadaban
Kita pun mengenali pakaian di masa kini pun menjadi mode,
dan industry yang menjanjikan. Kelas social,
gengsi, hingga eksistensi pun muncul, bahkan kini pakaian seperti menjadi
budaya popular yang kerap membawa kontroversi dan polemic. Pakaian pun
dimanfaatkan oleh dunia hiburan, dan dunia kapitalisasi modern untuk menyihir
anak-anak muda kita ikut dan tak berdaya di mata trend, mode dan model pakaian
yang dipakai para seleb kita. Pakaian pun seperti semakin jelas menunjukkan
bahwa ia jadi alat untuk meningkatkan popularitas dan ketenaran para selebriti
kita. Dengan gaya pakaian terbaru, pakaian “sexy” mereka menyihir dan membentuk
opini public melalui tayangan ghossip, infotainment dan sebagainya. Pakaian di
dunia modern pun seperti tak menunjukkan keadaban kita.
Inda
citraninda mengulas bagaimana pakaian dalam relief karmawibhangga di bagian
bawah candi Borobudur. Pakaian dalam relief karmawibhangga menunjukkan berbagai
kelas social yang ada. Kelas pekerja, kawula desa, hingga pakaian dewa-dewi.
Pakaian di relief itu pun menunjukkan bahwa peradaban manusia di masa itu tak
memandang pakaian yang ringkas, sederhana sebagai unsure dari pornografi
sebagaimana sekarang ini. Pakaian sederhana, ringkas difahami sebagai fakta
sejarah dan fungsi pakaian yang tak semodern saat ini. Tapi justru di masa
itulah, kelas social sudah mulai melekat pada identitas pakaian yang mereka
pakai.
Kini,
dunia modern barangkali perlu bercermin pada kajian inda citraninda, bahwa
pakaian dan tubuh tak semestinya dijadikan eksploitasi dan objek dari media,
kamera, hingga budaya patriarchal melalui stereotype “pornografi”. Sebab di
masa lalu, kita memahami dan mengenali pakaian wanita yang sederhana dan
menampakkan payudara dan bagian atas mereka dengan kondisi yang biasa dan
sewajarnya. Selain itu, kajian inda citraninda “Busana jawa kuna” ini
setidaknya memberikan satu pandangan jelas kepada kita semua pada makna dan
kuasa pakaian.
Kuasa
dan makna pakaian sebagai symbol status social itu sudah ada sejak jaman jawa
kuno sebagaimana yang diungkap pigeaud ada empat kelas social di masa itu yakni
kaum penguasa,agama,orang biasa dan budak (Th.Pigeaud,1958:195). Sejarah kuasa
dan makna pakaian di negeri ini pun sudah begitu lama, ia menunjukkan
perkembangannya hingga kini. Buku ini setidaknya memberikan satu simpulan
besar, bahwa pakaian adalah identitas, kelas-sosial yang melalui uang dan harga
itulah pakaian menunjukkan kuasanya pada kita semua.
*)penulis adalah Mahasiswa UMS, Pegiat Bilik
Literasi Solo
*)tulisan termuat di retakan kata.com 21 september 2012