klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Tuesday 17 May 2016

Mengurusi Bahasa!!!



  
Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

Urusan bahasa memang cenderung diabaikan oleh sebagian besar orang. Bahasa hanya dianggap sebagai sesuatu hal yang lewat begitu saja. Padahal urusan berbahasa tak bisa dipisahkan dari kehidupan keseharian kita. Mengurusi bahasa itu mengurusi diri, mengurusi kita yang sering dan terlampau kelewat “ngawur” dalam berbahasa.
Barangkali karena itulah, muncul para pemerhati bahasa, peminat kajian bahasa, sampai para pakar bahasa. Seberapa peran mereka dalam menjaga marwah bahasa Indonesia?. Kita tak tahu, yang sering terlihat adalah tatkala para pakar bahasa itu diundang dalam sidang perkara, seperti saat sidang etik Setya Novanto(mantan ketua DPR) misalnya.
Dalam urusan berbahasa, kita sering mengenali dua aspek ini. Antara yang baku dan tak baku, antara yang benar (sesuai dengan kaidah kebahasaan) dan yang salah (tak sesuai dengan kaidah kebahasaan). Sebagai kaum beriman, kita tentu punya pegangan yakni kitab. Sedang sebagai insane berbahasa, tentu saja pedoman kita adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Bisakah kita menyimpulkan bahwa kebenaran berbahasa hanya sebatas teori (wacana). Bagaimana posisi kita selaku seorang pengkhotbah bahasa tatkala kembali kedalam realitas (masyarakat di sekitar kita). Pada akhirnya, kita tak bisa sepenuhnya “kolot“dan “ngotot”.  Mau tak mau kita berkompromi, sebab kita berada pada wilayah kultural yang menggunakan bahasa keseharian bukan bahasa baku.
Lalu dapatkah kita membuat semacam kesepakatan bahwa bahasa Indonesia yang baik dan benar hanya digunakan saat-saat resmi saja?. Tentu saja kita tak bisa berkesimpulan demikian. Inilah salah satu problem bahasa yang paling nampak di sekitar kita. Di satu sisi idealisme berbahasa kita ingin kita tegakkan, sedang di sisi lain, masyarakat di sekitar kita lebih sering dan akrab menggunakan bahasa yang “seenaknya” dalam bahasa jawa “sak karepe dewe”.


Baiklah, mari kita kutip pendapat Soenjono Dardjowidjojo dalam buku bertajuk Bahasa! yang diterbitkan oleh Pusat Data dan Analisa Majalah Tempo (2008) ia menuliskan demikian “bahasa adalah produk sejarah pertumbuhan manusia dan bahasa hidup serta berkembang berdasarkan kreativitas para pemakainya. Selama pemakai ini manusia, selama itu pula ada variasi yang berbeda dari satu manusai ke manusia lain dan tidak perlu risau!”.
Kita berhak untuk menolak pendapat Soenjono, dengan terus menuliskan kegelisahan dan mengurusi bahasa. Pada akhirnya, memang banyak kebrengsekan kita dalam berbahasa yang memang perlu kita koreksi. Seperti buku yang ditulis oleh Encep Abdullah Pontang yang berjudul Cabe-Cabean (2015).
Puluhan esai dihadirkan, dikirim ke koran, berharap mendapati respon publik pembaca. Esai pun terbit dan hadir di koran Pikiran rakyat. Koran ini tentu saja memiliki oplah besar, dan si penulis setidaknya berharap pembaca jadi ikut “waras” saat berurusan dengan bahasa.
Kamus pun dihadirkan, realitas pun dibaca, banyak gejala berbahasa yang cenderung “ngawur”, tak hanya mencontohkan kesalahan ucap, Encep juga banyak menuliskan kesalahan tulis yang sering terjadi di sekitar kita. Seperti kata Ustadz yang seharusnya ustaz, Romadon, yang mestinya ditulis Ramadan, atau bahasa gaul yang sering diucap dan jamak di masyarakat di sekitar kita seperti : wakwaw, Ok, Fix, Woles aja keles, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Penutur bahasa gaul itu rata-rata artis, boleh jadi para artis ini yang perlu kita beri kursus bahasa. Agar bahasa Indonesia tak kian rusak, pasalnya, sebagai public figur, mereka mestinya menggunakan bahasa yang baik dan benar, tetapi sebaliknya, mereka justru berlomba untuk saling mempopulerkan bahasa gaul yang cenderung “ngawur” dan “salah kaprah”.
Sebagai makhluk gelisah, tentu saja kita semua boleh bersepakat dengan ajakan Encep Abdullah untuk terus gelisah dan mengurusi bahasa. Maka terpujilah dan terpilihlah kita yang masih mau bertekun dan mengurusi bahasa. Meski terkadang kita masih perlu mengucap doa dan minta maaf pada Tuhan saat kembali ke realitas masyarakat kita yang jamak, lalu kita ikut serta terjebak menjadi manusia yang lalai dalam berbahasa.


*) Penulis adalah Alumnus UMS, tuan rumah Pondok Filsafat SOLO