klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Monday 27 June 2016

Merawat ingatan

 

Oleh Arif Saifudin Yudistira
Buku setebal 200 halaman ini mengajak kita menelusuri tempat-tempat di seluruh karesidenan Surakarta, terlebih khusus daerah Solo. Melalui buku ini, kita diajak untuk menziarahi masa lampau, mengingat ulang, melalui kisah dan penuturan dari buku teks maupun dari wawancara.
Sebagai sebuah liputan jurnalistik yang berbau sejarah, tentu saja wartawan tak bisa sekadar berhenti percaya pada narasumber yang diwawancarai. Boleh jadi narasumber hanya dijadikan sebagai saksi hidup, dan untuk mengecek kebenaran informasi dari buku maupun yang berkembang dari masyarakat. Cara kerja yang seperti itu pulalah yang nampak dalam penulisan buku ini.
Maka tak heran dalam menelusuri asal-usul nama satu tempat misalnya, wartawan tak hanya mengutip buku dari Babad, atau bahkan wawancara langsung dengan seorang keturunan keraton untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai cerita di balik nama suatu kampung.
Kita bisa menyimak bagaimana cerita di balik nama Jebres. Dahulu, di masa PB IX berkuasa, ada seorang warga Belanda yang membuka usaha susu sapi untuk memenuhi kebutuhan minuman dan pembuatan keju PB IX. Warga tersebut bernama Yeppers. Yeppers memilih lokasi usaha susu dengan membuka peternakan di daerah sebelah utara Keraton Surakarta di dekat aliran Kali Anyar. “Nama Tuan Yeppers dikenal masyarakat sehingga ketika mereka ingin membeli susu maka langsung menyebut nama Yeppers” ungkap Mufti Raharjo Kurator Museum Radya Pustaka. Maka ketika terbentuk pemukiman penduduk yang semakin ramai, daerah tersebut dikenal dengan nama Yeppers yang diucapkan warga setempat sebagai Jebres (hlm.4).
Membaca buku ini, kita akan banyak menemukan sejarah nama tempat yang ternyata berbeda dengan persepsi publik sebelumnya. Misalnya nama sekarpace, bukanlah diambil dari tanaman pace yang banyak tumbuh di daerah itu, tetapi diambil dari seorang para normal kerajaan yang berasal dari Prancis yang bernama Monsieur Schapentier (hlm.12).
Hampir setiap desa di Solo memiliki cerita tersendiri mengenai asal-usul dari nama itu. Dari rubrik Asale yang hadir di koran Solopos di tiap minggunya, buku ini dikumpulkan dan didokumentasikan. Banyak diantaranya kita bisa menemukan nama desa Jagalan yang dulu merupakan tempat para jagal hewan keraton. Nonongan, yang dulunya merupakan tempat para pembuat kenong, Gladak dulu merupakan tempat hewan berontak.
Dari buku ini, kita juga akan memperoleh informasi mengenai bagaimana kisah kraton Surakarta yang dulunya sebelum seperti sekarang ini adalah rawa-rawa. Kita juga dibawa untuk menelusuri asal-usul kata “pengemis”. Yang menurut cerita orang-orang berasal dari aksi kaum miskin yang sering meminta-minta di hari kamis.
Di bab terakhir buku ini, kita akan mendapati pengisahan tentang asal-usul nama tempat yang tak bisa dilepaskan begitu saja dari mitos. Sebut saja kota Salatiga, yang berasal dari kisah Ki Ageng Pandanaran dengan Sunan Kalijag. Ponorogo yang dulunya merupakan tempat orang bertapa. Kudus misalnya, merupakan kata yang diambil dari Al-Quddus. Jatinom, merupakan tempat Ki Ageng Gribig bersemedi.
Nama-nama dan kisah kampung itu kini barangkali sudah dilupakan oleh generasi kita sekarang. Bila generasi kita ke depan tak mendapati cerita tentang riwayat kampung halamannya sendiri, maka kepada siapakah mereka akan menemukan jawabannya kalau bukan kepada buku.
Buku ini juga menjadi pembuka dan awalan yang bagus bagi orang-orang di luar kota Solo bila baru pertama kali datang ke kota Solo. Dari buku ini, orang luar Solo bisa mengetahui lebih jauh mengenai cerita, sejarah dan riwayat penamaan kampung di kota ini yang kini sebagian besar telah berubah menjadi nama desa. [*]

Oleh: Arif Saifudin Yudistira
Tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
Dimuat di koran madura 17/6/2016