klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Sunday 30 November 2014

Al-Qur’an








Kalian tidak menyandarkan hidup kepada Al-qur’an , kitab yang mestinya menjadi sumber kekuatan hidupmu dan mata air semangatmu. Kalian malah tak pernah terpaut dengannya kecuali pada detik-detik kematianmu : kau dibacakan surah Yasin agar kau bias mati dengan mudah. Sungguh Ironis, kitab yang diturunkan untuk memberimu kekuatan hidup justru dibacakan agar kau meninggal secara mudah


Oleh Arif Saifudin Yudistira*) 

          Malam itu, malam minggu (29/11/14) aku balik lagi di bazar buku islami di goro Assalam, mata melihat-lihat, kesana-kemari, melirik-lirik dan menemukan tumpukan buku terbitan zaman dan terbitan serambi. Kedua penerbit ini kukenal dengan buku-buku bermutu, serambi selain menerbitkan buku-buku sastra, ia juga menerbitkan buku sejarah. Kini, kutengok tumpukan buku itu, aku menemukan buku yang diobral dengan harga cukup murah, Rp.15.000,00. Senanglah diriku, buku itu dikemas dengan warna menyejukkan. Buku itu berjudul Agar Al-qur’an menjadi teman (2011) buku ini garapan doctor Majdi al-Hilali. Zaman memang sering dikenal sebagai penerbit buku yang menerjemahkan kitab ulama klasik. Buku ini adalah bagian dari suara yang berbeda dari buku-buku yang sering disebut “islami”. Membaca buku zaman memang menyejukkan, dan kita diajak dengan bahasa yang halus dan renyah. Sepintas lalu, saya berniat untuk lebih mengerti mengapa kita memerlukan dan membutuhkan pegangan, kitab hidup. Sering kita dengar seruan para mubaligh, ustadz di televise untuk semakin mendalami dan mempraktekkan al-qur’an, namun yang terjadi justru sebaliknya, Qur’an semakin jauh?. Barangkali karena kaum islam sendiri tak memiliki “kesadaran” untuk mengambil pengetahuan dari Qur’an dan mengamalkannya. Barangkali benar adanya ungkapan dari Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah yang mengatakan : “Yang disebut ahli Al-qur’an adalah orang-orang yang memahami Al-qur’an sekaligus mengamalkan isinya, walaupun ia tidak menghafalkannya di luar kepala” (h. 257). Orang sering menganggap bahwa Al-qur’an itu berbeda dengan ilmu yang lain, tetapi mereka belum mampu menjelaskan apa perbedaan dengan buku-buku atau kitab yang lain. Pasalnya pada masa khalifah pernah diperintahkan sebagaimana dituturkan dalam buku ini, bahwa selain Al-qur’an para khalifah memerintahkan menghapus semua tulisan selain Al-qur’an sebab karena khawatir Al-qur’an di lalaikan. Barangkali memang benar, karena Al-qur’an dilalaikan itulah, hati kemudian menjadi redup dan semakin tak memancarkan cahaya. Al-qur’an disebut sebagai ruh, karena ia disebut sebagai ruh itulah, ia akan merasuk ke dalam hati orang yang beriman dan mewujud dalam amal. Ia akan memberikan ketenangan dan memberikan perubahan. Saya jadi ingat seruan Muhammad Iqbal kepada kita : “Kalian umat islam, masih saja tertawan oleh para pembual agama dan orang-orang yang memonopoli ilmu. Kalian tidak menyandarkan hidup kepada Al-qur’an , kitab yang mestinya menjadi sumber kekuatan hidupmu dan mata air semangatmu. Kalian malah tak pernah terpaut dengannya kecuali pada detik-detik kematianmu : kau dibacakan surah Yasin agar kau bisa mati dengan mudah. Sungguh Ironis, kitab yang diturunkan untuk memberimu kekuatan hidup justru dibacakan agar kau meninggal secara mudah. Iqbal melanjutkan : “apa yang kupercayai dan yang kupeluk ini lebih dari sekadar kitab suci, jika ia merasuk ke relung kalbu, manusia akan berubah, jika manusia berubah, dunia pun akan berubah” (h.190). apa yang diseru iqbal benar adanya, umat islam memang hanya memandang Al-qur’an kemudian sebagai sebuah kitab dan bacaan semata, sehingga ia tak merasuk, tak masuk ke dalam relung jiwa dan lubuk hati kita. Disinilah persoalannya, sehingga Al-qur’an tak membawa dampak apa-apa bagi perubahan dan kemajuan islam. Diantara orang yang mempelajari Al-qur’an kemudian ada yang memiliki sikap fanatic dan merasa berpegang teguh kepadanya. Pada akhirnya mereka kemudian menganggap ilmu jadi tak penting dipelajari. Sikap seperti ini sebenarnya justru membawa kepada kemunduran umat. Barangkali mereka memaknai apa yang dikatakan oleh Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah berikut ini : “ Sudah kucoba mendalami ilmu kalam dan filsafat, tetapi kulihat semua itu tak mampu mengatasi penyakit batin, tak kuasa menghilangkan dahaga. Di mataku hanya ada satu jalan pengalamanku ini, ia akan meraih pengetahuan seperti yang kuraih” (h.66). Tampak benar bahwa disini, Ibnu Qoyyim memang tak menempatkan filsafat dan kalam sebagai satu ilmu yang menenteramkan batin, sebab dalam kedua ilmu itu memang bukan untuk menenangkan hati. Disinilah, Qur’an melampaui ilmu kalam dan filsafat, selain pelajaran yang meliputi segala sesuatu, Qur’an adalah suara Tuhan, sehingga ia menyentuh ruhaniah dan menenangkannya. Bahkan ada hadist yang diriwayatkan oleh Al-hakim bahwa “setiap huruf Al-qur’an berseru, ‘Aku adalah utusan Alloh untukmu agar aku diamalkan dan dijadikan nasihat”. (h.39). Aktualitas Al-qur’an memang tak lapuk oleh zaman. Saya jadi teringat buku Ngaji Qur’an di Zaman Edan (2014) garapan Ziauddin Sardar, buku ini mengulas mengenai relevansi Al-qur’an pada kehidupan dan tema kontemporer (kekinian). Pada aspek ini, kita justru sering berdebat dan bercerai berai, padahal semestinya, Al-qur’an menjadi medium untuk menyatukan perselisihan. Disinilah problema tafsir yang lebih mengarah pada purifikasi, dan lebih terkesan konservatif ketimbang mengkaji semangat Al-qur’an bagi kemajuan zaman. Muhammad Iqbal pun memberikan pengakuannya ketika ia mendalami dan memaknai Al-qur’an, “darinya, ada cahaya yang kudapat, ada mutiara yang kususun”.
          Barangkali karena itulah, Al-qur’an bukan sekadar bacaan, tetapi ia adalah firman yang dibisikkan Tuhan kepada kita, bukan karena bacaannya bagus, tetapi lebih dari itu, Qur’an meniupkan kesejukan dan memancarkan getaran yang berasal dari Tuhan. Kita tentu ingat ketika Nabi sendiri menggigil, di riwayat lain, digambarkan wajah nabi memerah, seperti marah karena turunnya wahyu. Getaran dan bertambahnya iman itu pun mewujud melalui laku. Apa yang dikatakan Iqbal berhubungan dengan Qur’an perlu kita dengar kalau kita mau berubah, kita perlu lebih tekun dalam mendalami dan mengamalkan Qur’an dalam aspek kehidupan kita. Ini sejalan dengan hadist nabi yang mengisahkan fungsi Al-qur’an sebagai solusi akhirul zaman. Pernah nabi mengabarkan bahwa akan terjadi sengketa dan perpecahan sepeniggal beliau. Hudzaifah bertanya : “ya rasul, apa yang kauperintahkan padaku jika aku menututi zaman itu?” Beliau menjawab : “pelajari kitab Allah dan amalkan, itulah solusinya!” “kuulangi pertanyaan itu tiga kali”, tutur Hudzaifah. Dan Rasulullah pun menjawabnya tiga kali pula : “”pelajari kitab Allah dan amalkan, itulah penyelamat!”(HR Abu Dawud, Al-Nasa’I, dan Al-Hakim). Sebab Qur’an pada dasarnya bukan sekadar peringatan dan hukuman, melainkan seimbang, ia juga memberi kabar gembira yang menenteramkan dan menyejukkan. 


*) Penulis adalah Pengasuh MIM PK Kartasura, Pengelola www.doeniaboekoe.blogspot.com



Saturday 29 November 2014

Bahagia






 "Hidup adalah keputusan yang kita buat hari ini"


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

          Malam minggu yang sendu, obrolan yang melelahkan, membuat mata ini sayu, kepala pening, pada akhirnya hidup adalah keputusan yang kita buat hari ini. Malam minggu (29/11/14), aku bersama calon isteriku ngobrol lama sekali tentang rencana kita ke depan. Saya  seperti hidup dalam kutipan dalam sebuah buku “kita bisa merubah apapun dalam hidup, kecuali takdir”. Aku tak mengerti, apakah aku adalah takdirnya, ataukah dia adalah takdirku?. Obrolan mengarah kepada rencana-rencana menjelang pernikahan. Tiba-tiba aku terkejut, raut mukaku berubah, ia hanya berbicara lirih “ tapi mas ndak marah kan kalau aku jujur” ?. Rasanya benar adanya, kejujuran adalah harta berharga terakhir yang dimiliki manusia. Aku merasa sedikit terpukul, merasai sedikit goyah, ada perasaan tak terjelaskan kala ketidakjujuran hadir dalam sebuah hubungan. Aku membawa dua buku baru, Tafsir kebahagiaan (2010) garapan Jalaluddin Rakhmat dan buku kumcer 8 sisi terbitan plotpoint. Buku itu menjadi teman pembicaraan kami, mungkin buku ini juga jadi penghiburku saat aku tahu bahwa aku mesti menerima maaf atas ketidakjujurannya. Meski buku itu tak jadi bahan obrolan, aku memeganginya dan melanjutkan membacanya. Waktu itu aku ngobrol di Wedangan HIK yang cukup murah dan asyik buat ngobrol. HIK ini ala jawa, tetapi pengelolaannya seperti hidup segan mati tak mau, tapi lupakanlah, saya tak mau membicarakan HIK. Waktu menunjukkan pukul 18.30 WIB, aku memutuskan untuk rehat menghadap Tuhan (magriban), setelah itu, kami bingung mau kemana, terus saya ajak calonku itu ngobrol lagi.    Obrolan berlanjut, baca buku berhenti, saya jadi merenungi apa yang dikatakan Jalaluddin Rakhmat di buku Tafsir Kebahagiaan (2010) menurutnya, kata kebahagiaan tak hanya merupakan panggilan, tetapi juga hakikat kita dalam hidup ini, adalah mencari dan menemukannya. Ternyata kebahagiaan membutuhkan keikhlasan, memerlukan kepasrahan, dan ikhlas menerima apa yang ditakdirkan Tuhan pada kita. Saya hanya bergumam dalam hati, mungkin ini yang dinamakan “lelakon” ala novelnya Lan Fang. Mungkin saya belum bahagia, tapi setelah menerima nasib dengan legowo, kelak saya akan bahagia sebagaimana yang saya alami selama ini. Kita sering mendengar bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang kecuali ia bergerak merubahnya.
Pulang dari obrolan, masih menyisakan berjuta tanya, harapan dan rencana. Saya jadi galau dalam bahasa anak muda, saya memutuskan untuk berjalan, dan barangkali dengan berjalan dengan mata hati dan mata kaki yang jernih itu, saya merasa tenang dan tenteram dalam menjalani kehidupan ini. Di buku ini dikisahkan bahwa Rosul pernah mengalami masa berkabung yang sangat mendalam. Tak hanya karena ia kehilangan isteri tercintanya Khotidjah, tetapi juga kehilangan pamannya. Kehidupan saya tak seperih Rosul, ujian terhadap saya apalagi, saya hanya mengingat kisah dalam sirah (sejarah) Muhammad. Saya menemukan kisah yang selama ini jadi ganjil terjadi di masa sekarang. Kisah itu adalah kisah Ali yang melamar Fatimah. Ahli ilmu ini, yang dikatakan Rosul sebagai pewaris ilmunya, datang melamar puteri Rosul tanpa membawa apa-apa. Benar adanya, Rosul pun pada awalnya heran, berani benar anak ini melamar puteriku tak bawa apa-apa. Tetapi pada akhirnya, Rosul bertanya pada Ali : “Apa kamu masih menyimpan baju perang yang dulu pernah kuberi padamu?, bawa kemari, kau akan kunikahkan dengan puteriku”. Pernikahan yang ajaib, fantastis, membahagiakan. Ada rasa haru, lega dan puas di mata Ali barangkali setelah mendengar keputusan Rosul. Pernikahannya pun sederhana dan khusyuk. Saya jadi berfikir, menikah adalah jalan, jalan untuk bahagia. Bila menikah, tak membuat kita bahagia, lalu untuk apa?. Terlampau banyak dan rumit adat dan tradisi kita yang mengurusi urusan nikah. Saya jadi ingat tulisan Radar Panca Dahana, Mufakat Kebudayaan (2014). Disana disinggung tentang tradisi, konon tradisi itulah yang membuat kita menjadi sesuatu yang asali. Tapi benarkah?, kepatuhan kita kepada tradisi, kepada norma dan aturan leluhur membawa kita kepada kebaikan?, mungkin. Saya belum percaya sepenuhnya, tapi tidak untuk urusan menikah. Saya hanya meyakini, pernikahan adalah jalan kebahagiaan. Entah disana ada takdir dan pelbagai kerumitan di dalamnya. Jalaluddin Rakhmat menulis buku ini seperti perpaduan antara komunikasi dan psikologi. Ia menuliskan bagaimana sifat-sifat buruk yang merusak kebahagiaan dihilangkan dalam hati kita. Diantaranya adalah sifat prasangka buruk, penyakit hati, iri, adalah sifat yang harus dihindari untuk memeroleh kebahagiaan.
          Membaca buku ini seperti diajak untuk berfikir kembali, bahwa kebahagiaan bukan apa yang membuat kita bangga dan puas terhadap apa yang kita miliki selama ini, melainkan sebaliknya, semakin merasai kita tak banyak memiliki dan banyak berbagi. Saya jadi ingat teman SMA saya yang pulang ke klaten dari tugas dinasnya di Merauke. “dulu saya pikir kebahagiaan adalah ketika saya merasa bisa membeli sesuatu, mendapatkan sesuatu, kini saya berfikir, setelah menikah, saya merasa ada yang bisa saya bagi bersama isteri dan keluarga saya”. Saya menyimak omongannya, mungkin itulah kebahagiaan, mungkin juga tidak. Sebab kebahagiaan adalah barang yang kasat, hanya bisa dirasakan. Buku ini memang bukan buku motivasi ala penulis motivator, buku ini mengajak kita untuk pulang dan kembali mempelajari pedoman kita (Qur’an). Bahwasannya Qur’an mengajak kita dan menuntun kita untuk hidup bahagia. Saya jadi ingat bahwa Alqur’an diciptakan tak hanya sebagai peringatan, tetapi juga kabar gembira. Kabar gembira inilah yang saya kira penting, disana ada hiburan dan penyembuh bagi kesulitan hidup dan keresahan hidup. Saya menemukan doa dalam buku ini yang mengingatkan saya kepada kebiasaan membaca Al ma’surat di masa SMA. Begini bunyi doa tatkala kita dirundung resah : Ya Alloh aku berlindung padamu dari kesusahan dan penderitaan, dari kelemahan dan kebosanan, dari kepengecutan dan kebakhilan, dari belitan utang dan pengendalian orang lain. Doa ini menjadi penting, karena pada dasarnya Tuhan tak hanya menjanjikan kepastian kebahagiaan, melainkan dalam mencapai kebahagiaan, biasanya kita perlu merasakan penderitaan dan kesusahan terlebih dahulu. Sebagaimana yang dituliskan kang Jalal, yang mengabarkan penelitian para psikolog dunia, bahwa stress dan kesusahan justru membuat manusia lebih tahan dan lebih mampu untuk berjalan tegak di masa-masa selanjutnya. Tingkat stress seseorang akan disusul dengan daya tahan terhadap ujian hidup di masa ke depan. Saya tidak sedang stress, barangkali hanya sedikit resah, dan saya yakin keresahan ini adalah bagian dari cara Tuhan untuk menenangkan saya untuk menghadapi masa-masa yang lebih membahagiakan. Dan saya merasa bahagia setelah selesai mengisahkan buku Tafsir kebahagiaan (2010) garapan Jalaluddin Rakhmat ini.   


*) Penulis adalah pengelola www.doeniaboekoe.blogspot.com

Tuesday 25 November 2014

Cerita Martin Aleida


Oleh Arif Saifudin Yudistira*) 

Buku Mati Baik-Baik Kawan adalah kesaksian, doa sekaligus suara dari keteguhan prinsip dari sang penulisnya, ia ingin mati baik-baik tapi, setelah kisah dan apa yang ada di masa lalunya tuntas dikisahkan, diceritakan. Bukankah kebenaran memang demikian pula?, ia harus melalui jalan yang terkadang berkelok-kelok dan berliku untuk disampaikan, tetapi kepuasan dari sebuah kebenaran adalah tatkala ia sudah terlihat, meski kadang sering ditolak dan diacuhkan, setidaknya ia menyeru, menyeru yang masih memiliki nurani.

          Saya seperti sedang mengingat trauma membaca cerpen-cerpen Martin Aleida. Saya merasa memiliki teman, saya merasa memiliki sahabat dan saya merasa perlu untuk terus menulis dan teguh menatap harapan. Saya mendengar nama Martin Aleida dari Bandung Mawardi, ia berucap pendek “ Martin pernah diopeni Goenawan Mohammad, sedang yang lain justru tak diurus, barangkali karena Martin sastrawan. Saya pernah mengalami apa yang dialami oleh Martin, saya merasa ada yang bengkok, ada tabir yang belum dibuka sepenuhnya, saya pernah membuat bulletin dengan lambang petani dan buruh itu. Wajar, sebagai penyuka sejarah dan orang yang belajar sejarah dikampus saya baru melek sejarah melalui buku-buku. Buku-buku membuka mataku, ada yang belum sepenuhnya dibuka dari kejahatan yang telah 30 tahun lebih. Kejahatan dan kekejian itu tak hanya melahirkan cerita yang samar, kisah yang buram. Pada mulanya kita harus pelan-pelan menggali kuburan sejarah itu, untuk menemukan harta karun “kebenaran”. Saya merasa “Mati Baik-Baik Kawan” seperti surat dan sebuah cerita kegetiran dan harapan Martin sendiri. Sebagai seorang yang pernah ditangkap dan melihat dan merasakan sendiri kekejian dan kekejaman yang dilakukan oleh rezim, ia ingin mengungkapkan cita-citanya bahwa ia ingin mati baik-baik. Saya menyimak kegetiran Martin di halaman-halaman pertama buku ini sampai pada akhir buku ini. Saya masih juga menemukan gelap, tak segera menemukan cahaya “kebenaran” saya justru semakin menemukan misteri. Jembatan bacem yang diceritakan di buku ini adalah jembatan yang dikisahkan temanku, konon bau anyir darah itu sering dicium oleh warga yang tinggal di kampong temanku tinggal. Saya pernah melewati jembatan itu dengan rasa bergidik, saya seperti lewat di atas mayat-mayat, yang hanya darahnya yang sudah mengalir. Darahnya memang sudah hilang, jasadnya memang sudah hilang pula, tapi saya mencium cerita itu, saya seperti menghidupkan misteri yang ada dijembatan itu setiap kali melewatinya. Bengawan solo yang konon mendunia itu, saya mengingatnya, melihatnya, dan merasai ada yang berubah dari Bengawan Solo yang dijadikan festival oleh pemerintah kota, yang dikisahkan oleh Gesang sebagai kota para kaum pedagang, dan tidak pernah dihadirkan kisah bahwa disana, disini, ada dan tinggal berates-ratus mayat yang tak tahu siapa saja dan sebab apa mereka mati. Martin seperti sudah mematikan perasaannya, untuk menuliskan ini. Sebagaimana tokoh-tokoh dalam cerita ini, mereka bercerita seolah mereka harus menutup luka, harus memegang dada mereka sembari tersenyum, ini bukan lagi jamannya kita menangis, seperti itulah kira-kira Martin bercerita. Tetapi, seberapapun Martin mencoba menutupi perih di dadanya, Martin pada akhirnya harus mengisahkannya, menuturkannya pada kita, entah itu menambah misteri atau membuka misteri. Kita akan menemui kisah tentang tanah, BTI, PKI dan narasi jenderal, kapten sampai romantika kekasih yang datang ke calon isterinya untuk menemui kisah bahwa keluarga isterinya sudah dibantai dan dihabisi.
          Saya seperti menemukan kisah dan sejarah kita dibuka pelan-pelan seperti mengelupas mangga, mengelupas tubuh dan menguliti tubuh itu untuk menemukan manis dan juga kecut secara bersamaan. Kisah tentang penculikan, pemerkosaan, dan kisah tentang keluarga yang dipisahkan dihadirkan dalam cerpen-cerpen Martin. Saya menyimak kisah Ratusan Mata Di Mana-Mana yang bertutur tentang pengalaman penulis sendiri ketika dihadapkan dengan pilihan idealism. Ia harus mempertahankan prinsipnya, dan mensyukuri anugerah hidup yang diberikan padanya. Saya menyebutnya “anugerah” sebab sebagaimana dituturkan penulis, ia adalah satu dari sekian yang beruntung. Beruntung karena teman-temannya harus mati dan dibunuh secara mengenaskan. Prinsip mempertahankan kebenaran itulah yang kelak digunakan sebagai penebus dosa teman-temannya. Meski tak sedikit teman yang berkhianat dan memasuki ruang-ruang aman untuk melindungi diri. Martin pada akhirnya harus memilih keluar daripada harus mempertaruhkan diri dan menjual diri. Kata-kata Martin di akhir cerpennya adalah wujud dari kejujuran nuraninya, tanpa harus melupakan budi baik TEMPO : “Selamat tinggal TEMPO! Kau sudah dibesarkan oleh cinta, sakit hati, juga kebencian…”. Martin memang sudah berpolitik dan menentukan jalan politiknya. Hidup adalah pilihan politik, politik adalah jalan bukan tujuan. Politik sebagai satu cara untuk memartabatkan hidup, karena itulah jalan politik lebih terkesan sebagai jalan sunyi, meski sering disebut pilihan Martin adalah pilihan untuk menjadi lebih melarat. Tapi politik adalah sebuah dongak kepala ke atas untuk menyatakan prinsip dan keteguhan, disinilah Martin lebih memilih politik sebagai sebuah sikap. Sikap itulah yang membawa resiko, membawa akibat dan konsekuensi. Sebagaimana yang ditulis dalam cerita pendeknya berjudul “Dendang Perempuan Pendendam” (h.96) : “Ayah menemukan nasib yang mengenaskan, katanya, adalah risiko pilihan politiknya. Dan tak seorang pun yang punya wewenang untuk mempersalahkan orang lain karena pilihan jalan hidupnya”.
          Tetapi dari cerita Martin kita masih menyimpan pertanyaan : “Bisakah kita menentukan hidup kita sendiri di hadapan kekuasaan, dihadapan ketidakpastian?”. Kisah Martin dan cerita para tokoh-tokohnya seperti sejalan. Mereka harus mengadapi dunia yang tak bisa dilepaskan sepenuhnya dari masa lalunya, masa lalu negeri kita. Dan disaat seperti itulah, diam bukan pilihan yang sepenuhnya benar, kita dituntut untuk bersuara, entah suara kita berdiri di pihak yang mana. Yang pasti, suara nurani, suara kebenaran seperti tak bisa dibendung begitu saja, meski harus dirayu, dibujuk untuk mengatakan “tidak” dan bungkam terhadapnya. Martin seperti mengajak kita bertutur lebih jauh lagi tentang  apa yang ada di masa lalu, agar kelak kita memakan mangga yang manis, meski tubuhnya sudah dikuliti, diiris dan dicincang sedemikian rupa, kita berharap kebenaran seperti itu pula. Meski dengan pesakitan dan luka, kita menemukan manis di dalamnya. Buku Mati Baik-Baik Kawan adalah kesaksian, doa sekaligus suara dari keteguhan prinsip dari sang penulisnya, ia ingin mati baik-baik tapi, setelah kisah dan apa yang ada di masa lalunya tuntas dikisahkan, diceritakan. Bukankah kebenaran memang demikian pula?, ia harus melalui jalan yang terkadang berkelok-kelok dan berliku untuk disampaikan, tetapi kepuasan dari sebuah kebenaran adalah tatkala ia sudah terlihat, meski kadang sering ditolak dan diacuhkan, setidaknya ia menyeru, menyeru yang masih memiliki nurani.

*) Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

Sunday 23 November 2014

Etnomusikologi




Lewat buku ini, saya tak hanya berkenalan dengan etnomusikologi, tapi juga merasa tersentak, mengapa belum banyak lahir peneliti Indonesia yang menuliskan karya tentang musiknya sendiri. Buku Shin Nakagawa tak sekadar mengantarkan kita kepada ilmu etnomusikologi, tetapi juga membuka kesadaran kita akan kepekaan telinga kita terhadap bunyi dan suara di lingkungan kita



Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

          Sore itu menjadi sore yang melelahkan (22/11/14). Setelah mampir ke angkringan makan beberapa gorengan dan minum es teh, saya akhirnya pulang, apa boleh buat, perut yang lapar mesti ditahan, nasi goreng sekitar 10 ribuan harganya, saya tak mampu beli, uang saya tinggal 5 ribu rupiah. Setelah makan di rumah, saya pun menuliskan tulisan singkat dari buku yang say abaca. Dan beberapa hari ini saya bercakap kepada satpam, kepada teman-teman guru, tentang kenaikan BBM, kenaikan BBM memang membuat saya bertambah porsi pengeluarannya. Tapi saya tak bercerita banyak tentang BBM, saya hanya akan membagi sedikit pembacaan saya terhadap buku karya Prof.Shin Nakagawa (2000). Buku ini semula saya temukan ditumpukan fotokopian di langganan saya di Jogja. Saya memang bukan seorang mahasiswa ISI, saya juga bukan peneliti musik, tapi saya tertarik tentang music. Sampul buku semula memikat dan saya membuka-buka isinya, saya catat judul buku di hand-phone saya untuk saya masukkan dalam daftar belanja buku bulan depan, waktu itu aku ke Jogja bulan Oktober,dan bulan November saya berhasil memperoleh buku ini. Ada pernyataan menyentak yang menurut saya bukan hanya meremehkan, tetapi lebih dari kritik keras kepada para peneliti music Indonesia. Baiklah saya kutip kalimat Prof.Nakagawa : “Gamelan bukan hanya sarana pertunjukan saja, akan tetapi juga merupakan bagian kehidupan masyarakat Jawa yang didalamnya terdapat konsep kosmologi serta konsep kehidupan lainnya, meskipun hal ini tidak disadari masyarakat Jawa” (h.145). Kata ‘meskipun hal ini tidak disadari masyarakat Jawa’ seolah Nakagawa menyindir, dan merasakan belum ada peneliti tentang music jawa utamanya yang mencoba menafsir lebih jauh hubungan music dengan kosmos.
          Saya memang belum menemukan dan belum membaca peneliti musik dari Indonesia khususnya music Jawa yang meneliti music gamelan khususnya. Barangkali saya juga akan bertanya-tanya ada penulis solo yang sering menggunakan nickname pengajar etnomusikolog di ISI Surakarta. Saya mengenalnya sebagai penulis, melalui tulisannya, tapi saya juga belum mendengar karyanya tentang music gamelan. Mungkin dia juga pernah membaca buku Musik dan Kosmos; sebuah pengantar etnomusikologi karya Shin Nakagawa ini. Buku ini berasal dari pengalaman intimnya dengan music Jawa yang semula asing dan tak menyenangkan baginya, dan pada akhirnya menjadi music yang menyenangkan, dan menenteramkan hati baginya. Ia pun meneliti tari bedaya yang menurutnya berhubungan intim dengan urusan kosmologi yang berkaitan dengan dunia manusia dan alam. Tari bedaya memiliki banyak cerita asalmulanya, meski demikian, tari bedaya menggambarkan tubuh manusia. Kesembilan formasi penari menggambarkan bagian tubuh manusia dari kepala sampai kaki. Di buku pengantar etnomusikologi ini, Shin Nakagawa membeberkan bagaimana kontak kebudayaan bisa bertemu melalui music. Melalui music, kita bisa saling memahami, saling mengerti dan saling bertemu. Saya kadang punya keinginan untuk bisa bermain music, setidaknya music gamelan, sayang paska masa kecil saya terlewat begitu saja, desa saya tak lagi memiliki gamelan yang dulu dimiliki salah satu warga. Keinginan itu pun kini tinggal keinginan, ditengah kesibukan bermain dan belajar bersama murid-murid SD. Shin Nakagawa bukan sekadar datang dan mengilhami music gamelan di Indonesia. Ia pun menulis pandangannya tentang teori soundscape. Soundcape berasal dari dua kata, yakni sound artinya suara (bunyi) sedangkan scape singkatan dari landscape artinya pemandangan. Jadi soundscape artinya pemandangan yang berupa suara atau bunyi. Istilah ini muncul dari renungan seorang komponis Kanada, Murray Schafer dalam bukunya “Ear Cleaning” (1967). Teori ini muncul karena beberapa permasalahan yakni permasalahan teknologi. Teknologi ternyata ikut menyumbangkan polusi bunyi. Melalui teori soundscape kita bisa belajar lebih banyak tentang bagaimana mengembalikan indra kita secara murni. Mengenai soundscape ini, Shin Nakagawa menulis :“Dalam perkembangan teknologi muncul masalah, kemampuan telinga manusia makin lama semakin lemah karena hal itu. Dengan melihat pola kehidupan manusia sebelumnya, telinga kita sekarang menjadi tumpul,masalah ini muncul baru-baru ini saja, karena semakin kuno kehidupan manusia semakin banyak tergantung pada panca indera manusia pada zaman dahulu. Bukan indra telinga kita saja, tetapi juga indra yang lain ;misalnya mata,hidung, dan lain-lain yang bekerja keras agar manusia hidup tanpa gangguan (h. 109). Kita harus sadar bahwa lingkungan kehidupan kita dibentuk atau ditentukan oleh kesadaran kita dalam menggunakan lima indra yang kita punyai. Lingkungan polusi bunyi merupakan akibat dari sikap kita yang kurang peduli terhadap sumber bunyi di lingkungan kita. (h.110). Tujuan diciptakan ilmu soundscape yang paling utama adalah mengenal dunia ini (lingkungan dunia) melalui indra telinga dan membuat suara lingkungan lebih baik (h.135).
          Melalui buku ini, Shin Nakagawa mengurai bagaimana kemudian music bisa menjadi penghubung dan sarana untuk memperkenalkan kebudayaan dan menjalankan interaksi kebudayaan. Dengan music, pemahaman kebudayaan dari satu Negara ke Negara lain akan lebih mempermudah. Dan dengan music, kita akan mengerti dan lebih merasakan kebudayaan dari Negara lain akan terasa lebih dekat sebagaimana yang dialami oleh Shin Nakagawa. Melalui buku ini, kita bisa lebih memahami budaya Jawa dari sisi yang lain, meskipun secara keras ia mengkritik minimnya penulis Indonesia khususnya Jawa yang meneliti musiknya sendiri. Lewat buku ini, saya tak hanya berkenalan dengan etnomusikologi, tapi juga merasa tersentak, mengapa belum banyak lahir peneliti Indonesia yang menuliskan karya tentang musiknya sendiri. Buku Shin Nakagawa tak sekadar mengantarkan kita kepada ilmu etnomusikologi, tetapi juga membuka kesadaran kita akan kepekaan telinga kita terhadap bunyi dan suara di lingkungan kita. Karena itulah, Shin Nakagawa menyimpulkan : Telinga (perasaan) yang peka dapat mencari suara dalam, yaitu suara yang tidak bisa didengarkan dengan cara biasa . Apabila kita mempunyai kemampuan demikian, kita bisa mendengarkan tidak hanya suara ingatan dan imajinatif saja, akan tetapi juga suara dalam yaitu suara yang tidak berbunyi (h.125).