klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Wednesday 16 March 2016

Satire Pendidikan Indonesia




Essai-essai di dalam buku ini sejatinya adalah cerminan dan satire pendidikan yang ada di negeri ini. J.Sumardianta justru ingin keluar dari persoalan pelik pendidikan Indonesia yang cenderung masih meributkan kurikulum, UN, dan carut-marut lainnya. Ia ingin bersuara lirih, ia ingin mengkritik dengan cara yang santun. Ia mengajak kita merenung, menyelam dan merenungkan kembali bahwa tugas guru yang berat ini mesti diatasi dengan senyum dan kelakar

Oleh Arif saifudin yudistira*)

            Guru Gokil Murid Unyu. Sekilas judul itu akan membawa kita pada persepsi bahwa gurunya saja gokil, mestinya muridnya lebih gokil. Tapi sebaliknya, gurunya gokil, muridnya masih unyu-unyu. Kalau dalam pikiran saya , guru gokil itu guru yang suka ngelawak, suka lelucon dan tak monoton bila mengajar. Tapi bayangan saya dengan murid “unyu” tak beda dengan murid yang bergaya ala Cherry belle. Pendapat saya ini bisa anda bantah tentunya. Tapi kita akan menemui bagaimana maksud J. Sumardianta ini lebih dalam ketika memasuki essai-essai kontemplatif nan renyah dalam buku ini. Sebagaimana pengakuan penulis buku ini, essai-essai ini adalah cara penulis merefleksikan pengalaman mengajar dan pengalaman hidupnya selama 20 tahun. Mengajar sebagaimana penulis tuturkan sebenarnya adalah cara terbaik untuk belajar lebih jauh. Penulis justru menemukan banyak hal dari mengajar, ia merasa menjadi manusia haus pengetahuan dan keranjingan buku. Melalui buku-buku yang ia baca itu pula, ia tak hanya meraup berkah yang melimpah. Essai-essai yang ia tuliskan di pelbagai media adalah celengan untuk memoles hidupnya. Guru satu ini memang tak seperti Oemar Bakri, tapi guru ini setidaknya adalah guru yang kreatif untuk mengelola hidup dan memanfaatkan semua potensinya untuk belajar. Ia justru lebih mirip murid yang unyu-unyu yang tak memiliki apa-apa, dengan gaya yang menggemaskan.
            Melalui mata pelajaran yang ia ampu yakni sosiologi, ia memasukkan nilai-nilai sosial, kehidupan di luar sekolah, dan masyarakat luas. Melalui forum di sekoahannya ia undang para penulis buku, untuk berbagi. Ia ingin muridnya belajar tidak hanya dari buku tapi juga dari pengalaman para penulisnya langsung. Pembelajaran guru ini pun variatif, ia memadukan bagaimana murid mencintai buku dan ia juga belajar dari murid yang tak doyan buku. Singkatnya, sosok guru ala J. Sumardianta ini adalah antitesa guru masa lampau. Model pembelajaran, komunikasi, kisah-kisah bijaksana dari buku dan dari kebudayaan dari Negara-negara luar kerap menghiasi nuansa kelasnya. Para siswa diajak berimajinasi tentang china, tentang India melalui Rabrindanath Tagore dan tokoh-tokoh dunia lainnya. Kelas yang mengajak muridnya berselancar kemana-mana dan kelas yang mengajari muridnya melalui kisah inilah yang kini langka. Murid-murid sekolah kita memang cenderung jauh dari kisah-kisah. Kebiasaan mendongeng dan bercerita dianggap oleh guru-guru masa kini sebagai kegiatan di luar pelajaran dan diluar pembelajaran. Padahal guru yang tidak bisa memikat dan merayu siswa melalui cerita itulah guru yang masih unyu dan belum jadi guru gokil.
            J. Sumardianta setidaknya adalah salah satu dari guru di Indonesia yang bisa menikmati kegiatannya mengajar. Mengajar bagi J.Sumardianta justru saat-saat menyenangkan baginya sekaligus saat-saat serius. Saat-saat seriusnya adalah ketika ia harus belajar dari siswa yang mengantuk, tidak memperhatikan, malas, dan tak tekun. Ia tak semata-mata menyalahkan muridnya, justru sebaliknya ia malah mengoreksi dirinya dan menginstropeksi dirinya. Apa yang salah dari pembelajaran dan metodenya, dan model yang ia gunakan. Jaman sekarang mencari guru yang demikian memang susah. Guru yang harus mengerti dan memahami model anak-anak yang jadi didikan tablet, i-pad, dan model i-phone dan smart phone. Mereka lebih kreatif dan lebih mengerti dari gurunya, guru sekarang bukan lagi model guru masa lalu yang harus menjadi raja dalam kelas. Justru guru di masa sekarang mesti lebih banyak mendengar, lebih banyak menyerap dan mencercap. Sebagaimana ungkapan Paulo Coelho : “Kaca bilang : sebelum bertindak lihatlah dirimu sendiri, karpet bilang : sujudlah!pengetahuan suka bicara, kearifan cenderung mendengarkan”. Guru gokil mesti banyak mendengar dan memperhatikan muridnya.

Menjadi guru= menjadi murid

            J. Sumardianta mengajarkan menjadi guru sejatinya adalah menjadi murid yang sebenarnya. Sebagaimana yang diungkapkan MH Ainun najib “guru itu kan sebenarnya murid yang sebenarnya, lah orang gurunya satu, muridnya bisa empat puluhan, guru yang untung bisa memperoleh ilmu dari empat puluh orang”. Karena menjadi murid itulah mestinya guru tak boleh lelah, tak boleh merasa puas oleh kerjanya. Bila kita mengenal bahwa belajar itu seumur hidup, guru justru belajar setiap hari melalui berbagai fenomena, percobaan dan eksperimennya yang ia lakukan tiap hari. Sekolah layaknya laboratorium kehidupan bagi guru. Di dalam buku ini J. Sumardianta belajar dari murid yang kehilangan orang tua, kehilangan semangat, sang murid pun sebaliknya ia belajar dari cerita yang diuraikan J.Sumardianta bahwa kehilangan anggota keluarga tak boleh memupus harapan.
            Uraian yang ada dalam Essai-essai yang dibagi menjadi Enam bab ini mengajak kita untuk mengingat bahwa ajaran dan essensi guru tak lain adalah mencintai dan belajar lebih banyak dari murid. Bila guru mau menjadi murid(pembelajar) yang tekun, ia akan dikelilingi berkah dan kebahagiaan yang tak putus. Murid lebih sering mengingat apa yang dilakukan oleh guru daripada pelajaran yang diberikan guru. Oleh karena itu, guru yang menyatu dengan cara belajar murid itulah yang bisa menyesuaikan perkembangan jaman. Bukan sebaliknya guru yang memaksakan model pembelajarannya kepada murid-muridnya.
            Essai-essai di dalam buku ini sejatinya adalah cerminan dan satire pendidikan yang ada di negeri ini. J.Sumardianta justru ingin keluar dari persoalan pelik pendidikan Indonesia yang cenderung masih meributkan kurikulum, UN, dan carut-marut lainnya. Ia ingin bersuara lirih, ia ingin mengkritik dengan cara yang santun. Ia mengajak kita merenung, menyelam dan merenungkan kembali bahwa tugas guru yang berat ini mesti diatasi dengan senyum dan kelakar. Dengan kalimat sederhana Guru Gokil, Murid Unyu inilah ia mencoba menawarkan bagaimana menjadi guru yang lentur di abad teknologis ini. Selamat menyelami!.



*)Penulis adalah Alumnus UMS, Pegiat di Bilik Literasi SOLO

Monday 7 March 2016

Sejarah Islam Puritan dan Perkembangannya


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
     Saat ini, banyak gerakan Islam yang mencoba mengembalikan Islam kepada preseden jaman Nabi dan Rasul mulai marak. Gerakan ini menilai bahwa Islam yang ada saat ini sudah kehilangan ruhnya, sudah rusak. Karena itulah, gerakan ini menilai bahwa apa yang mereka bawa dengan panji-panji Islam puritan itulah yang diyakini kebenarannya. Gerakan Islam puritan ini memiliki sifat keras, kaku dan intoleran. Mereka membawa dalil dan menafsirkan teks secara kaku sebagai legitimasi untuk mengabsahkan dan membenarkan apa yang mereka lakukan. Salah satu contoh gerakan Islam puritan ini yang nampak di eras sekarang adalah ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Gerakan ini mencoba menggali kembali nilai-nilai Islam yang meyakini adanya tanah yang diramalkan akan menjadi tempat kejayaan Islam. Dari keyakinan itulah, mereka mencona mendirikan negara yang diidentikkan dengan negara madinah ala nabi di masa itu. Dengan perekrutan massif, dan melakukan perang, mereka mencoba mendirikan negara madinah ala nabi dulu.
            Perkembangan gerakan Islam puritan saat ini mengalami berbagai modifikasi dan juga evolusi strategi yang lebih terlihat lebih halus. Mereka membuat program dan jaringan yang kuat tak hanya didukung oleh system ekonomi dan pendanaan yang kuat. Tetapi di sisi lain, mereka menampakkan dengan wajah lembut dan politis untuk menggalang dukungan. Maka tak heran, kita bisa melihat adanya gerakan Islam puritan ini terkadang merupakan bentuk persaingan eksistensial. Khaled Aboe El Fadl menyebut dalam buku ini bahwa di awal abad 20, gerakan puritan ini mulai mencari dukungan dan bantuan mulai dari Amerika, untuk mempertahankan eksistensi mereka dari rong-rongan yang mencoba menggulingkan pemerintahan mereka (h.113).
            Gerakan Islam puritan ini tak sekadar membawa narasi teks sebagai dasar, tetapi secara sepihak menggugurkan narasi atau perbandingan teks lain. Klaim kebenaran dari gerakan ini menuntut semacam kesetiaan yang menganggap lawan atau golongan diluar mereka wajib diberantas dan diperangi. Buku Sejarah Wahabi&Salafi (2015) ini mengurai bagaimana sejarah gerakan Wahabi dan Salafi yang semula berseberangan menjadi bergandengan untuk mempertahankan visi mereka. Tetapi, pada perkembangan selanjutnya, gerakan salafi yang dibawa oleh Muhammad Rashid Ridho dan Jamaluddin Al Afghani ini mengalami penyesuaian dan modifikasi yang lentur. Sehingga gerakan purifikasi Islam ini membawa islam yang lebih teduh dan menenteramkan. Gerakan salafi ini kemudian dibawa oleh K.H.Ahmad Dahlan menjadi gerakan berbau social kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui perombakan dan evolusi pemikiran Ahmad Dahlan inilah, kita mengenali islam puritan dengan model Muhammadiyah.
            Tetapi berbeda dengan gerakan Islam puritan yang tak mengenal kompromi dan mediasi. Gerakan Islam puritan ini membawa satu model keyakinan bahwa Islam bisa lebih maju melalui negara (teokrasi). Sistem teokrasi ini kemudian membawa singgungan dan konflik dan terror yang seringkali mengusik eksistensi sebuah negara. Sebagai negara pancasila, negeri ini punya keyakinan dan cara tersendiri dalam menanggapi faham Islam puritan ini. Karena itulah, gerakan Islam puritan yang melawan eksistensi negara dan mengobarkan faham teokrasi ini seringkali dinilai tidak sesuai dengan visi kebangsaan kita.
            Buku Sejarah Wahabi&Salafi (2015) ini juga menjelaskan bagaimana ciri gerakan Islam puritan yang ditengarai berbahaya bagi persatuan dan kesatuan kita. Menurut penulis, kaum puritan membesarkan peran teks dan memperkecil peran aktif manusia yang menafsirkan teks keagamaan (h.98).Lebih lanjut menurut kaum puritan ini, wawasan, estetika, dan pengalaman moral manusia yang menafsir teks dinilai tidak relevan dan tidak berguna.
            Dari ciri-ciri inilah kita bisa memahami bahwa gerakan Islam puritan yang selama ini membawa nama islam tak memahami peran islam sebagai rahmatan lil ngalamiin (rahmat bagi seluruh alam). Selain itu, mereka juga tak menyadari bahwa otoritas tafsir dan preseden-preseden Islam ala nabi yang mereka bawa tanpa pemikiran yang jernih membuat persatuan dan kesatuan umat justru semakin terpecah belah. Gerakan Islam puritan inilah yang kini sedang menyusun kekuatan untuk membangkitkan semangat Islam yang anti kritik. Mereka mengkampanyekan Islam dengan senjata dan perang, kini gerakan mereka lebih halus dan lebih massif. Membaca buku ini, kita semakin mengerti, bahwa pemahaman Islam yang tak menggunakan akal akan membuat kita semakin tak memahami esensi Islam sebenarnya. Dari buku ini, kita semakin bisa mengerti sejauh mana dan seperti apa jenis Islam puritan yang dianggap radikal yang kini marak dan kerap melakukan perekrutan sampai ke negeri ini. Tentu agama Islam bukanlah seperti yang digambarkan sebagaimana yang ada dalam pemahaman kaum puritan yang memaksakan keyakinan dan melakukan kekerasan untuk menjalankan dan memperjuangkan keyakinannya itu. Bukankah Islam kita adalah islam yang toleran, membawa kedamaian dan tak memaksakan keyakinan kita dalam praktek keagamaan?.





*) Penulis adalah Pegiat Tadarus Buku Bilik Literasi SOLO, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com