klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Monday 31 August 2015

Rekam Jejak Kerja Arsip di Indonesia



Yang lebih mengenaskan ketika melihat para arsiparis menjual koleksi yang mereka punya demi melanjutkan hidup tanpa kepedulian dari pemerintah. Barangkali kita bisa bercermin dari negeri-negeri seperti Belanda maupun Amerika, kerja arsip sudah pada taraf maju. Mereka bahkan mendirikan universitas Javanologi dan lembaga KITLV yang mengurusi kerja arsip dalam bidang sejarah dan kebudayaan yang berkaitan dengan Indonesia dan Belanda. Di Amerika, Cornell University adalah wujud dari kampus yang mengurusi arsip tentang Indonesia dan Asia Tenggara



            Arsip masih asing bagi kita. Dunia kearsipan seolah dipandang hanya milik para kolektor, pustakawan atau kerja para sejarawan. Dunia arsip seringkali identik dengan dunia yang cukup susah, butuh ketekunan dan kerja keras. Tidak hanya itu, para arsiparis di negeri ini memang kurang mendapat apresiasi dan penghargaan yang layak. Kerja arsip di Indonesia cenderung berhenti bergerak. Padahal, sejatinya, kerja arsip tak cukup berhenti pada kerja mengarsipkan semata. Lebih dari itu, arsip masih perlu digerakkan sebagai dokumen untuk berkaca bagi apa yang ada di masa depan dari masa lalu yang kita jalani. Kerja arsip adalah bagian dari kerja sejarah dan kerja kebudayaan. Bila Yoshi Fajar Kresno dalam pengantar buku ini menilai bahwa “yang menarik dari kerja arsip di dalam praktik pembacaan arsip dan kerja pengarsipan tidak lagi terpukau pada perkara arsipnya, tetapi pada keragaman cara membaca dan untuk kepentingan apa praktik pembacaan tersebut dikerjakan”. Sebab selama ini kita cukup banyak memiliki pelbagai arsip baik sebagai artefak kebudayaan dalam bentuk dokumentasi film, tari, hingga musik, maupun dokumentasi tulisan yang begitu berharga di negeri ini, namun belum cukup popular dalam kerangka kerja pemanfaatan arsip tersebut. Muhidin M.Dahlan dalam tulisan di buku ini menguraikan bahwa kerja arsip, melalui kliping adalah bagian dari kerja menyusun dan mengeja Indonesia. Muhidin juga menguraikan bahwa kerja kliping yang selama ini ia jalani adalah sebagai counter wacana bagi dokumen sejarah yang pernah ada. Muhidin menulis trilogy Lekra tak membakar buku sebagai wacana tandingan dari buku Prahara Budaya yang ditulis Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto. Muhidin menerangkan lebih jauh, bahwa apa yang dilakukannya dengan mengkliping juga pernah dilakukan oleh H.B.Jassin dan Pramoedya Ananta Toer, mengutip pernyataan Pramoedya, bahwa hampir semua karya Pram adalah hasil dari kerja kliping yang dia lakukan. Buku Arsipelago(2014) ini bisa dikatakan sebagai dokumen penting sebagai alat untuk membaca bagaimana kerja arsip dan artefak budaya di negeri ini. Di dalam buku ini, kita akan mengetahui potret dan kerja arsip dalam hal kliping koran, tari,musik dan film. Dari kesemua hal itu, kita memang belum memiliki gambaran utuh mengenai kerja kearsipan di negeri ini. Setidaknya, kerja arsip di negeri ini masih jauh dari sempurna. Bila melihat potret dan sejarah masa kolonialisme, kerja arsip kita di masa paska kemerdekaan, terbilang belum terlalu difikirkan. Meskipun beberapa kerja arsip dari perseorangan berjalan mandiri dan  berlanjut bahkan sampai sekarang, perhatian pemerintah masih minim.

Merawat ingatan 

            Di negeri ini, artefak kebudayaan sisa-sisa kolonialisme lebih sering diabaikan dan disepelekan. Kita patut miris, bahwa terbitan Babad Diponegoro  justru hadir dan terbit di Malaysia. Sejarawan Pater Carey menyayangkan, bahwa arsip yang ada di perpustakaan nasional sudah rusak dan tak terawatt. Padahal, didalam babad Diponegoro, tak hanya diwariskan perkara sejarah, tapi juga warisan agung sosok Diponegoro dengan pelbagai khazanah dan teladan bagi rakyat Indonesia, juga bagi orang Jawa pada khususnya. Ingatan erat tentang Diponegoro seringkali hanya sebatas gambar dan fotonya yang dipajang merana di ruang-ruang kelas kita. Padahal, lebih dari itu, Diponegoro di dalam bukunya Kuasa Ramalan(2011) karya Pater Carey dianggap sebagai tokoh dan teladan bagi kita semua. Teladan itu tak hanya perkara kepemimpinannya yang kharismatik, tetapi juga karena sifat dan gayanya yang arisrokrat tapi juga merakyat. Ia memiliki pengetahuan yang cukup tentang barat dan timur dan memadukannya dalam penampilan dan laku hidupnya. Yang menarik adalah bagaimana ia mengidentifikasikan sebagai sosok ratu adil (euracakra). Dari arsip Babad Diponegoro itulah, Pater Carey mampu mengurai kisah Diponegoro di masa lalu untuk masa kini.   Dari merawat arsip, menggerakkan melalui penerbitan buku, pengabaran kepada publik, diskusi dan penelitian yang mendalam, arsip tak hanya mampu dijadikan sebagai budaya tanding, sebagai kekayaan kultural, tetapi juga sebagai identitas nasional kita. 

Refleksi 

            Kerja arsip di negeri ini memang masih asing dan terlambat dibanding Negara lain. Kerja arsip di bidang tari dan music misalnya, kita minim kritikus, minim penulis yang mampu menjelaskan bagaimana tradisi musik dan sejarah musik di negeri ini. Begitupun dalam bidang film, kita belum banyak memiliki tokoh yang memiliki kepakaran dan konsentrasi mengurusi sejarah film di negeri ini. Institut Seni di negeri ini pun cenderung tak mengurusi terlalu dalam urusan musik, tari, dan juga dalam hal film. Universitas selama ini cenderung mencipta produksi seni yang bisa dimodifikasi dan dikomersialisasi. Universitas seperti tak memiliki visi panjang dalam mengurusi arsip yang mereka punya. Tiba-tiba kita jadi terbelalak, dan merasa kecolongan tatkala kesenian dan artefak budaya kita(tari, dan kesenian daerah) diklaim oleh Negara lain. Yang lebih mengenaskan ketika melihat para arsiparis menjual koleksi yang mereka punya demi melanjutkan hidup tanpa kepedulian dari pemerintah. Barangkali kita bisa bercermin dari negeri-negeri seperti Belanda maupun Amerika, kerja arsip sudah pada taraf maju. Mereka bahkan mendirikan universitas Javanologi dan lembaga KITLV yang mengurusi kerja arsip dalam bidang sejarah dan kebudayaan yang berkaitan dengan Indonesia dan Belanda. Di Amerika, Cornell University adalah wujud dari kampus yang mengurusi arsip tentang Indonesia dan Asia Tenggara. Dari buku inilah, kita bisa melihat rekam jejak sejauh mana kerja arsip dan pengarsipan dalam bidang seni dan budaya di negeri ini.



*) Arif Saifudin Yudistira Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com 

Sunday 23 August 2015

Belajar Dari Etos Penulis Dunia



Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

         Menulis bukanlah pekerjaan  mudah. Menjadi penulis berarti siap untuk menjadi “telanjang”. Ia harus siap membuka pikirannya, membuka diri kepada publik, utamanya pembaca. Dari itulah, profesi sebagai seorang penulis dianggap sebagai pekerjaan yang siap berkonfrontasi, bergulat dan berdialektika dengan masyarakat. Di masyarakat tempat seorang penulis hidup dan tinggal itulah, penulis menyerap dan menuangkan kembali, menggugat, menyentil, atau malah sesekali berefleksi dan bersoliloqui. Penulis  memerlukan ketekunan dan disiplin. Disiplin disini tentu bukan sekadar rutinitas dalam berkarya, tetapi juga penghayatan dan pendalaman.
            Di buku Menggali Sumur Dengan Ujung Jarum (2015) ini kita akan menemukan betapa seorang penulis bisa dilihat dari betapa jeli dan detailnya ia berkisah seperti cerita yang ditulis oleh Gabriel Garcia Marquez yang berjudul Eva Dalam Tubuh Kucingnya. Di cerita ini, selain kita menemukan detail tokoh dan ilustrasi setting yang kuat, kita juga diajak penulis untuk berimajinasi setinggi mungkin. Dari judulnya saja terlihat sudah subversive. Atau kita bisa membaca cerpen berbau sejarah yang ditulis oleh Jorge Luis Borges yang berjudul Pencarian Averroes. Di cerpen ini, kita akan menemukan nuansa sejarah yang kental dengan masa lalu. Untuk menulis cerita pendek sekaliber mereka, tentu kita memerlukan disiplin dan latihan yang inten. Sebut saja Gabriel Garcia Marquez, sebagaimana dikisahkan dalam buku memoarnya yang berjudul Jalan Hidupku Sebagai Juru Kisah. Untuk menjadi penulis ia mesti berhadapan dengan kemiskinan, ia hidup menggelandang, dan rutin berbincang dan berdiskusi dengan teman-temannya. Dalam hidup yang ia jalani sebagai wartawan yang berbayar sedikit  itulah ia berusaha menulis cerpen. Semula memang cerpen-cerpennya tak banyak diminati koran, tetapi setelah melalui proses panjang, ia kini justru dikenal sebagai salah satu dari tokoh sastra dunia beraliran realis.
            Buku ini juga memuat pidato nobelis dunia. Melalui pidato ini, kita bisa mendengar kisah mereka yang tak selalu mulus dalam memperoleh penghargaan bergengsi tingkat dunia. Misal saja apa yang dialami oleh Naguib Mahfouz yang menuliskan Mesir dari sudut pandangnya. Ia menulis tentang Fir’aun bukan tentang keburukannya, tetapi tentang bagaimana Fir’aun sebenarnya pernah membuat aturan untuk menegakkan pelajaran tentang keadilan. Atau kisah seorang Orhan Pamuk yang membongkar-bongkar koper Ayahnya. Dari koper Ayahnya itulah, ia tak hanya menemukan banyak tulisan Ayahnya, tetapi juga menemukan jati dirinya sebagai seorang penulis.  
            Saya kira kita bisa belajar dari apa yang ditulis oleh Orhan Pamuk dalam pidatonya Koper Ayah Saya : Saya menulis karena ia adalah kebiasaan, gairah. Saya menulis karena takut dilupakan. Saya menulis karena saya menyukai kejayaan dan kesenangan yang diwedarkan tulisan (h.165).


*) Penulis adalah Guru MIM PK kartasura
 *) Tulisan dimuat di SOLO POS 23 Agustus 2015

Saturday 15 August 2015

Kisah Cinta Rosihan Anwar



             
Ah, aku jadi berpikir, bahasa tubuh macam apa yang waktu itu dipraktekkkan oleh Rosihan.

            Sabtu, 15 agustus 2015, sepulang sekolah aku termenung, pikiran agak kacau. Tulisan sudah kubuat tapi belum termuat di media, ah ndak papa, barangkali sedang diuji. Belum juga tanggal tua, kebutuhan berkeluarga menuntut lebih banyak uang. Sebagai guru sekaligus penulis, setidaknya apa yang bisa dikerjakan selain menulis. Maka aku memutuskan untuk mengisahkan buku yang sudah aku baca. Buku berjudul Belahan Jiwa (2011) buku bagus, murah kubeli saat bazar di gramedia Solo. Waktu itu, buku kubeli bersama buku yang lain, buku kubeli dari uang apresiasi menulis di media dari sekolah. Uang 50.000 cukup untuk membeli empat buku. Aku bersyukur isteriku ridho. Buku kubaca dan kukhatamkan disaat waktu senggang istirahat sekolah.
            Oh, romantisnya kisah cinta wartawan Rosihan Anwar dengan Zuraida Sanawi. Rosihan adalah wartawan yang di masa itu tak begitu kaya. Kisah dimulai dengan pengisahan Rosihan tentang rumah Zuraida yang digempur NICA. Setelah itu, keluarga Zuraida memberitahukan Rosihan minta bantuan untuk mengungsi ke Jogja. Semenjak itulah awal pertemuan mereka, semula Rosihan dengan Zuraida tak ada apa-apa. Justru Rosihan dikabarkan dekat dengan perempuan lain. Ketika mereka berdua mau menikah, sahabat-sahabat dekatnya terkejut, kok bisa Rosihan sama Zuraida. Zuraida digambarkan sebagai perempuan indo-belanda dengan wajah cantik rupawan.
            Rosihan menjalani kehidupannya sebagai wartawan, sedang Zuraida waktu itu sebagai penyiar radio. Sura Zuraida itulah yang konon membuat Rosihan terpikat, Waktu pertama kali berbicara dengan Zuraida, Rosihan dipanggil dengan kata Tuwan. Di masa jepang kebanyakan intelektual Indonesia yang biasa berbahasa Belanda sekonyong-konyong mesti beralih ke bahasa Indonesia yang kurang dikuasainya. Perkataan Tuwan itu tentu terjemahan perkataan bahasa Belanda meneer. Perkataan Bung belum popular, Saudara dirasakan sebagai bahasa buku, Pak baru meluas di masa Orde Baru Soeharto.  Rosihan pun memanggil ida dengan sebutan Nona sebagai terjemahan kata Belanda Juffrouw.Sebutan mbak, den ayu, jeng, belum mode di tahun 1943. Saya memakai sebutan Saudara kalau menyapa Ida. Dengan berkembangnya pergaulan menjadi tidak kaku, saya menyapa Ida dengan panggilan langsung (h.16).
            Ingat Rosihan saat memanggil Ida, aku jadi teringat waktu memanggil kekasihku. Aku akhirnya memanggilnya dengan sebutan dek. Kadang aku juga memanggilnya sayang, bahasa menentukan perkembangan jaman. Mungkin saat ini ada yang memanggil kekasihnya dengan sebutan mom, darling, dan sebagainya. Tentu saat ini panggilan kepada kekasih ini lebih bervariasi seiring dengan berkembangnya jaman.
            Sebagai wartawan, gaya cerita Rosihan begitu enak, terkadang melebar, tak hanya kisah cintanya yang dikisahkan, tetapi juga berkisah tentang apa yang terjadi di masa itu. Baik ketika jaman penjajahan jepang, maupun kisahnya yang cekcok dengan BM Diah. Kisahnya dengan Soekarno pun diceritakan. Yang tak kalah menarik saat disinggung kisah Tan Malaka. Waktu itu tanggal 9 Februari 1945 ada pertemuan PWI di solo. Ida datang dengan mobil dari Yogya bersama pemimpin redaksi Kedaulatan Rakyat Soemantoro dan Tan Malaka,dibawa oleh Soemantoro untuk berbicara di depan para wartawan PWI. Ia berbicara tanpa teks, lamanya hampir empat jam. Wartawan yang baru kembali dari tugas di front kelelahan, lalu tertidur. Tan malaka mengurai tentang Madilog, Marxisme, Dialektika, Logika. Selesai berpidato, Soemantoro, Ida dan Tan Malaka meninggalkan ruangan. Bertahun-tahun kemudian saya tanya pendapat Ida tentang Tan Malaka. “Apakah kau ngomong dalam bahasa Belanda dengan dia?” Tidak, kami menggunakan bahasa Indonesia, jawab Ida. “Macam apa orangnya?”Dia gentleman gallant, seorang yang sopan dengan wanita, kata Ida. “Saya dengar dari Jo Abdurrahman bahwa Tan Malaka itu jangan-jangan homoseksual,tidak tertarik kepada perempuan. Apa kau juga mendapat kesan demikian?”. Ah itu aku tak tahu. Tapi kita jangan lupa Tan Malaa dalam pengembaraannya sebagai wakil Komintern di Asia, tidak berada dalam posisi untuk mengikat hubungan mesra dengan perempuan. Itu akan menghambat perjuangannya.Karena itu, dia memilih hidup seorang diri tanpa istri, jawab Ida (h.30). Percakapan ini tentu menarik saya selaku pengagum Tan Malaka. Sebab di buku Adam Malik, dikisahkan bahwa Tan Malaka pernah jatuh cinta tiga kali, di Bangkok, di Perancis, dan Di Sumatera sendiri tapi gagal. Karena itulah, ia hidup menyendiri. Ah, Rosihan memang pandai bercerita, memikat pembaca untuk menelusuri lebih lanjut, menantang dan memikat liputannya.
            Membuka-buka halaman buku ini, akhirnya aku menemukan kisah pertama kali Rosihan mengungkapkan cintanya. Ini penting, sebab pada sisi ini, kita akan tahu, kejujuran Rosihan dan pengalamannya mengungkapkan cintanya di masa itu. Tak disangka, kisah romantic itu terjadi di taman Tirtonadi yang permai di tepi sungai. Dalam cahaya temaram di dalam becak saya memberanikan diri buat pertama kali menyatakan perasaan cinta saya kepada Ida. Tentu tidak saya katakana Ik houe van jou, aku cinta engkau, sebab saya canggung amat dalam hal itu. Tapi dengan bantuan bahasa tubuh dan gerak cukup jelas saya beritahukan isi kalbu saya.  Dan ida tampaknya mengerti, walaupun dia tetap diam menerima curahan kalbu saya (h.34).  Ah, aku jadi berpikir, bahasa tubuh macam apa yang waktu itu dipraktekkkan oleh Rosihan.
            Melalui buku ini, kita akan menemukan kejujuran Rosihan di waktu mau menikah dengan Ida. Waktu itu, tak banyak Rosihan memiliki uang, ia pun berterus terang, akhirnya dipilih jalan tengah, saling membeli cincin masing-masing sebelum tunangan. Tunangan dibarengkan saat Rosihan meliput di Yogyakarta. Rosihan akhirnya tunangan dan menikah di 25 April 1947. Setelah menikah, mereka berbulan madu di Magelang, setelah itu mereka langsung ke Jakarta. Kelurga Rosihan dan Ida semula harus menyamakan persepsi, waktu itu, Ida senang tidur dengan lampu terang, Rosihan dengan lampu gelap. Akhirnya, untuk menjembatani hal ini, Rosihan menangkupkan celana kolornya di lampu bolam, tahu-tahu esok paginya celananya gosong. Aduhai, tulis Rosihan, ia mengalah demi merajut cinta. Semenjak itu, Rosihan tidur dengan lampu menyala terus (h. 85).
            Ditengah kesibukannnya sebagai wartawan, Ida tak selamanya bersama Rosihan, di saat-saat itulah Ida yang mengurus Rosihan dan anak-anaknya. Ida adalah perempuan yang sabar dan pengertian, ia mampu membagi antara dirinya dan keluarga. Kelak Rosihan di akhir menjelang Ida wafat, ia baru sadar baru bisa memberi sebagian hidupnya untuk Ida. Dua tahun sebelum Ida meninggal, Rosihan sudah tak lagi bekerja, anak-anaknya sudah pada bekerja. Di masa-masa itu, ia merawat Ida dan mencukupi kebutuhan Ida dengan sisa-sisa honor liputan dari luar negeri.
            Di buku ini kita juga akan menemui pengakuan Rosihan tentang betapa religiusnya Ida yang tak meninggalkan shalat setelah menikah, berbeda dengan Rosihan yang justru sering lupa dalam ibadah. Melalui buku ini, aku jadi menginsyafi, bahwa hidup berkeluarga tak semulus yang kita bayangkan. Kisah Ida dan Rosihan memberi keteladanan kepada kita, bahwa untuk membangun keluarga yang kokoh, kuat dan langgeng perlu pengertian, saling menerima dan memberi, serta saling pengertian.
            Aku tak menemui kisah konflik dan cekcok di rumah tangga Rosihan. Tetapi dari itulah, aku mengerti, dengan pengertian, dan kesabaran Zuraida, Rosihan bisa sampai akhir hayatnya bertahan menjadi wartawan sejati sebagaimana yang ditulis oleh Jakoeb Oetama. Rosihan melalui buku ini telah menunjukkan makna menjalani hidup dengan menulis. Tentu dengan pengertian sang istri.Bagiku, pelajaran inilah yang patut diambil dari kehidupan Rosihan, tanpa pengertian dan rasa cinta kasih sang istri, rasanya mustahil kita bisa melakoni hidup seperti Rosihan. Ah, kisah Rosihan tentu membuat iri keluarga kami, aku jadi ingat pesan di kado pernikahan kami yang kami baca berdua. Pesan itu adalah doa dari teman-teman semua. “Semoga langgeng sampai kakek-nenek”. Aku pun mengamini dalam hati, sebagaimana istriku pun demikian saat mata kami saling membaca pesan itu dan saling tersenyum dan saling memandang.

 Ulasan ditulis Arif Saifudin Yudistira , Pembaca Buku 
 
Setinggil, 15/8/2015 pukul 13. 28