klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Sunday 28 September 2014

Pram dan Pulau Buru




      
      --Arif Saifudin Yudistira--


         Apa yang dirasakan oleh seorang tapol,keadaan jiwanya, kesedihan, keterasingan dan jiwa yang hampa bagi seorang tapol?,semua itu dilukiskan dengan baik oleh Rudolf Mrazek(2000) dalam bukunya Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Buru. Buku ini adalah cara Rudolf Mrazek menyusun sebuah memori dan perasaan-perasaan Pramoedya yang dikaitkan dengan kehidupan yang ada di sekitar Pram. Pram sebagai seorang korban, tahanan politik mengalami dengan langsung, apa yang dimaksud dengan kebohongan, manipulasi, dan segala perlakuan yang tak adil. Pram pun sadar, bahasa-bahasa politik dibentuk melalui ruang tahanan, perenggutan kebebasan, dan hak-haknya direnggut dan dirampas. Betapa ia menderita dan mengalami kekacauan pikiran (amnesia) karena pernah dipoprol senapan kepalanya waktu mau ditangkap dan dibawa ke Buru. Hal ini terlihat tatkala Pram ditanya : “Darimana anda mendapatkan kertas untuk menulis?”, ia justru menjawab : “aku mempunyai delapan ekor ayam”.Tidak hanya itu, tetapi di dalam tahanan itu, Pram memiliki banyak teman yang mengurusnya tatkala ia sakit, dan dari teman-teman itulah ia tak lagi merasakan kesepian, lebih dari itu, Pram juga memiliki jaringan jenderal yang secara tak langsung ikut membantu Pram. Dikisahkan tatkala Pram mau dibawa ke Jakarta setelah kepulangannya dari Buru, ia pun mengenali jenderal disana, sehingga ia dibawa pulang ke rumahnya, Blora. Walaupun pada akhirnya ia akan memilih hidup ke Jakarta kelak. Pramoedya, dengan segala sifat-sifat manusiawinya, pada akhirnya ia menyadari bahwa kekagumannya terhadap barat, ia pun menuliskan kekaguman ini dengan mengatakan : “Belanda memungkinkanku melihat kecantikan sebuah masyarakat yang terorganisir, bagaimana jasa setiap orang dihargai berdasarkan prestasinya, dan bagaimana setiap orang memiliki hak memperoleh sarana untuk tetap hidup…Aku tidak bisa lagi menjadi penulis kacangan” (h.21).Pram, pada saat dia di Buru justru menemukan waktu dalam tiga dimensi sebagaimana yang ditulis Rudolf Mrazek. Pram sebagai seorang yang di tahanan mengingat-ingat apa yang telah ia alami, ia pun kemudian menyusun kenangannya sendiri. Kenang-kenangan sewaktu ia memiliki cita-cita menjadi insinyur. Ia menyukai radio, sehingga ia masuk ke Sekolah Teknik Radio. Pramoedya harus menyusun ulang tak hanya hidupnya, kenang-kenangannya, sampai pada dokumentasi dan apa saja yang pernah ia kumpulkan. Tak hanya perkara mesin ketik, tetapi melalui mesin ketik itu pula, ia menyusun kembali ingatannya, kenang-kenangan dan hidupnya. Ia pun berencana menyusun roman tentang periode kebangktia nasional (h.96).
       Buru seperti tabung inkubasi, ruang pengeraman, Pram justru menelurkan karya-karya dan suaranya, yang tak hanya berurusan dengan pribadinya, melainkan juga untuk kebesaran bangsanya sebagaimana kata Mayor Kusno waktu memberi hadiah pulpen dan kertas di Pulau Buru. Pram menyadari bahwa bangsa yang tak mengenali sejarah kebesaran bangsanya, ia tak mampu diharapkan membawa bangsa ini kepada arah yang benar. Sebagaimana yang sering disesalkan Pramoedya selama ini, bahwa kita sudah terlampau melenceng dari kebudayaan asali kita, budaya maritime. “bagaimana mungkin bangsa yang sebesar Majapahit dan Sriwijaya justru memperbesar angkatan darat, memperkuat angkatan darat?”. Apa yang ditulis Pram membuka kesadaran dan mata batin kita kembali, bahwa perjuangan, nasionalisme, pahit getir dan keterasingan yang dialami pejuang di masa itu adalah demi kemerdekaan. Kebebasan, demi cita-cita luhur bangsa kita, yakni kemerdekaan yang bebas dari kolonialisme dan penjajahan. Pram pun demikian halnya, meski ia mengalami penyiksaan dan pengasingan, Pram mampu membuktikan bahwa ia masih bisa bersuara, menulis dan mengabarkan yang benar dari kejahatan rejim.
          Rudolf Mrazek menuliskan Pram dan Kenangan Buru ini sebagai dokumentasi bahwa apa yang dialami Pram identik dengan Syahir, meski keduanya mengalami pengasingan, Rudolf Mrazek mencoba membangun narasi dari seorang tokoh yang seolah sedang memberi kesaksian sejarah, kesaksian bagi sebuah bangsa yang merdeka, sebuah bangsa yang pernah mengalami masa kelam. Melalui buku ini, kita diajak untuk merenungi kisah para tahanan, para tapol yang mengalami penyiksaan jiwa. Sehingga bekas dari siksa itu, tak bisa lekas sembuh, bahkan sulit untuk sembuh. Penyiksaan itu melampaui urusan fisik semata, lebih dari itu, ia dipisahkan dari anak-anaknya, keluarganya. Bahkan Pram pun menyurati anaknya, karena khawatir surat-suratnya tak sampai. “Surat Untuk Nen”/Ayah tidak menerima sepucukpun suratmu selama dua tahun terakhir. Barangkali surat-suratmu tidak disampaikan padaku/atau apakah kau benar-benar menulis surat pada waktu itu?.Surat Pram ini tidak hanya dibaca sebagai kesedihan Pram atas tekanan yang dialami jiwanya. Ia juga merupakan ekspresi kekecewaan dari sebuah pengasingan dan ketidakadilan yang dialaminya. Melalui buku ini, kita belajar tentang makna pengasingan, kesepian dan kesendirian sebagai seorang tapol, kenangan dan catatan itu kelak berguna untuk kita sebagai bangsa sebagai rekam jejak kejahatan dan kebrutalan rezim yang melanggengkan kekuasaan dengan genoside seperti bangsa kita. Mrazek, tak hanya mencoba mengajak kita kembali kepada masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Pelajaran yang bisa diambil dari Pramoedya Ananta Toer tak lain adalah pengasingan bukanlah proses untuk tenggelam dan mati, ia akhirnya menunjukkan bahwa perjuangan dan pengasingan akan membawa kepada masa depan yang lebih tegar,kuat dan menenteramkan meski harus ditempuh dengan kepahitan yang tak bisa dilupakan.

*) Penulis adalah Santri Tadarus BUKU BILIK LITERASI SOLO


Thursday 18 September 2014

Ibu







Ibu adalah gua pertapaanku/dan ibulah yang meletakkan aku di sini/saat bunga kembang menyemerbak bau sayang/ibu menunjuk ke langit, kemundian ke bumi/aku mengangguk meskipun kurang mengerti
(Zawawi Imran)


Bagaimana Nabi Mohammad mengisahkan Ibunya?, saya masih tercenung, apakah Nabi pernah bercerita tentang Ibu?. Meski kita tahu, bahwa kepopuleran seorang Ibu yang diangkat derajatnya oleh Islam dengan hadist yang popular tentang Ibu sudah sering kita dengar. Ibu seperti misteri tersendiri bagi seorang piatu. Ibu bagi Mohammad tentu memiliki getaran-getaran kasih sayang yang cukup mendalam meski tak begitu lama Mohammad mengalami ini. Saya belum terpuaskan, saya masih mencari, mengapa nabi tak sering kita dengar mengisahkan tentang Ibunya, berkisah tentang ibunya. Kisah tentang ibu memang tak ada habisnya, ia seperti air, mengalir sepanjang abad. Orang boleh saja punya kesuksesan, pamer keberuntungan dan semuanya, tapi bila ia melupakan ibu, maka runtuhlah semua prestise dan apa yang ia dapat. Ibu seperti kerajaan yang berdiri kokoh, ia menghidupi rakyatnya, melindungi dan akan sekuat tenaga mempertahankan bila kerajaan itu diserang musuh. Seperti halnya kita sebagai anak, maka ibu pun demikian halnya. Ia akan membela kita, paling mengerti keadaan kita. Ibu memenuhi janji tanpa harus ditagih, ibu berjuang tanpa harus dilihat, ibu berdoa dengan segala daya dan upaya, untuk anaknya. Kita memang perlu bertumpuk kisah dan pengisahan tentang “ibu”. Agar riwayat kita menjadi manusia semakin tergenapi. Dari ibulah, kita berawal mengenali dosa. Ibu pula yang mengajari kita untuk kembali kepada jalan-Nya. Buku Emak (2010) adalah refleksi dan cerita tentang ibu. Ia ibarat sebuah cermin untuk mengajak kita berkaca kepada cara ibu kita masing-masing menanamkan ajaran moralitas dan segala pelajaran hidup kepada kita. Bagiku, ibu justru terlalu banyak member, daripada menerima. Meski ibu(ku) hanya seorang lulusan SMA, ia justru mengajarkan padaku makna belajar lebih dari yang aku tahu. Ibu justru mengajari orang bisa bergaul, menempatkan diri dengan baik dalam hidup ini. Ibu mengajariku kasih sayang kepada adik, kepada keluarga, ibu sering menasehatiku tentang akhlak, keteladanan, kepemimpinan. Ibu yang mengajariku membaca pertama kalinya, ia dengan sabar menuntunku untuk menaklukkan “kata”. Kini ibu tahu, saat aku menulis, ibu tak mengerti, bahwa kemampuanku adalah buah dari apa yang ia ajarkan. Bagiku, kisah Emak (2010) seperti penjelasan tambahan, bahwa ibu kita memang manusia yang layak kita agungkan. Saya jadi teringat betapa tradisi india begitu memuja seorang ibunda. Begitupun tradisi Islam, Kristen pun demikian halnya, hingga ada sebutan “Bunda Maria”, dan agama-agama yang lain tentunya. Perempuan nomer satu di dunia ini, seperti lautan,samudera, disamping ia menenggelamkan, ia menenteramkan, mengajak kita hanyut ke dalamnya, menyadari betapa luas pengaruhnya, kasih sayangnya, dan apa yang sudah ia berikan, tanpa imbalan sedikitpun. Dalam urusan kata-kata, Ibu memilih pertimbangan-pertimbangan yang matang sebelum mengucapkan. Kata-katanya seperti sabda, ia membuat kita sadar, bahwa kehidupan yang kita jalani bersamanya adalah kitab hidup yang tak lekang bila kita baca.
Buku Emak(2010) garapan Daoed Joseoef adalah catatan sejarah dari hubungan kasih sayang antara ibu dan anak. Ibu membawa sang anak mengantarkan masa depannya ke dalam pintu kebahagiaan. Dari Emak(2010) kita diajari untuk tak boleh mengesampingkan dan menganggap ibu sebagai seorang yang lemah atau ringkih. Lebih dari itu, tanpa kasih sayangnya, kita justru menjadi manusia yang tiada berdaya dan menanggung kutukan dari-Nya. Dari semenjak kita menetek itulah, kita sebenarnya disadarkan bahwa kehidupan kita benar-benar tak lagi alami, tak lagi semuanya murni. Ada darah , ada tangis dan tawa seorang ibu.

*) Penulis adalah peresensi buku tinggal di Sukoharjo




Friday 12 September 2014

‘Upacara’ dan Kita




Oleh Arif Saifudin Yudistira*)


“Pandanglah untuk terakhir kalinya segala sesuatu yang pernah kau nikmati disini. Suatu jarak akan membentang antara engkau dengan peristiwa-peristiwa duniawi. Kebakaan dan kefanaan –dua kutub yang bertolak belakang.Inilah awal menuju kebakaan”, kakek melanjutkan “delapan belas tahun usiamu, suatu kurun masa yang paling peka dan ruwet dalam adat kita”





Gambaran tentang upacara yang mistis, dan mencekam memang akan kita temui di negeri ini, yang masih memiliki dan merawat tradisi ini. ‘Upacara’ barangkali sudah menjadi hal yang langka di negeri ini. Dulu, di masa kecil, masyarakat Jawa masih memiliki kedekatan cerita, dan kisah tentang bagaimana upacara dilakukan. Upacara memang bersinggungan dengan adat, tradisi, dan kearifan local. Kearifan local itu pula yang membuat bangsa kita makin kaya. Dalam novel Upacara (2014) garapan Korrie Layun Rampan pun demikian halnya, diceritakan ada seorang peneliti asing yang kagum dan terkesima tentang kehidupan masyarakat Dayak. Novel ini bisa dikatakan sebagai novel sosiologis, karena mengungkap kehidupan dan tradisi upacara di  Dayak dengan begitu memikat. Kental penggambaran upacara disini, tak hanya urusan antara sesaji, tetapi juga perkara dan urusan manusianya. Upacara menginjak masa dewasa, upacara perkawinan, sampai upacara pencarian jasad yang dimakan hewan buas atau penunggu yang ada disana. Kabar tentang “orang sakti” masih akrab dalam kehidupan orang Dayak. Orang sakti ini dianggap sebagai pahlawan, seorang pertapa, seorang budiman, seorang juru selamat (h.34). Orang sakti ini pula di desa masih dipercaya sebagai pemimpin adat, pemimpin upacara dan dimintai pertolongan dalam banyak hal. Upacara juga mengingatkan kita tentang hubungan antara yang gaib dan yang nyata masih ada relasi yang kuat. Kepercayaan tentang roh dan penjaga desa, serta dewa-dewa yang lain yang dianggap masyarakat sebagai sosok yang harus dihormati dengan sesaji masih hidup dalam masyarakat adat di Dayak dan suku-suku lain di negeri ini. Yang jadi pertanyaan adalah mengapa novel ini penting dihadirkan kembali di masa sekarang?. Mungkin, novel ini adalah nostalgia bagi penulisnya sekaligus kita. Novel ini sebagai pengingat, penuntun, bahwa masa lalu yang dulu pernah kita akrabi, kita alami, tak boleh dihilangkan dan dilupakan begitu saja. Upacara seperti upaya untuk mengingat yang lampau di kehidupan desa di daerah kita. Tak hanya upacara kematian, kelahiran, bahkan pernikahan. Upacara adalah ritus, cara manusia memperlakukan apa yang ada disekitarnya, hubungannya dengan alam dan roh. Korrie mencatat dengan jeli, dengan imajinasi yang lihai, mengajak kita masuk dalam dunia yang mencekam sekaligus dunia yang penuh asmara. Novel ini juga mengangkat bagaimana dilema dan pertentangan antara orang asing dengan orang local. Pada satu sisi orang asing dihadirkan sebagai peneliti yang memiliki ketertarikan terhadap dunia “upacara” masyarakat sekitar. Di sisi lain, “orang asing” pun dianggap sebagai perusak, perenggut perawan desa, dan pengeruk kekayaan dan apa yang dimiliki oleh orang-orang suku Dayak disana. Pada posisi ini, penulis seolah mengajak pada kita, bahwa adat istiadat, kearifan local dan system kepercayaan masyarakat pedalaman yang kental dengan hal-hal yang berbau mistis, tak boleh kita eksploitasi dengan iming-iming yang berbau modernitas dan urusan kekayaan. Penulis mengajak dan memberi peringatan melalui novel ini, bahwa apa yang ada di pikiran orang pedalaman tak bisa ditipu begitu saja. Sebagai novel yang mengangkat kehidupan masa lampau, pengarang mampu menghadirkan dinamika social, tradisi dan psikologi masyarakat Dayak yang ia tinggali. Novel ini mampu memberi sentuhan dan cara bercerita yang khas. Kita diajak untuk mengikuti kisah percintaan yang gagal berkali-kali dengan adanya kematian pasangan dari tokoh “aku”, bahkan dua kali. Kematian disini pun tidak seperti kematian yang wajar, dimakan buaya, sampai dengan disebabkan oleh kemarahan roh. Novel ini memang tak terlalu mengangkat konflik yang kuat antar tokoh. Novel ini seperti novel yang bercerita melalui ‘aku’, dan kehidupan sosialnya.     Dari novel ini kita diajak untuk mengamati dari luar apa yang ada dalam kehidupan masyarakat Dayak. Kita akan mendapati upacara nalin taun (upacara tahunan pesta persembahan para dewa), kewangkey (upacara penguburan tulang-belulang manusia), sampai perlulung (upacara pernikahan). Dalam upacara itu, masyarakat begitu terlihat kompak, antusias dan menyiapkan segala sesuatunya secara bersama-sama. Ini tak hanya didukung oleh kesadaran dan karakteristik masyarakat desa yang masih intim dengan gotong royong dan kekeluargaan. Bagi masyarakat modern, kehidupan dan segala bentuk “upacara” yang digambarkan dalam novel ini mungkin sulit dipercaya dan aneh. Namun, kehidupan dan upacara yang ada di masyarakat pedalaman, utamanya masyarakat Dayak adalah hal yang hidup dan masih terjaga sampai kini.
            Novel ini memang seperti lanskap kecil kehidupan suku Dayak sebagai bagian dari kekayaan yang dimiliki Kalimantan dan Indonesia pada umumnya. Akan tetapi, dari novel ini, kita seolah tercenung, bahwa bukankah kehidupan kita pun juga mirip upacara?. Sebagaimana kata-kata si ‘aku’ dalam novel ini. “Yang beginikah hidup? Begitu aku bertanya pada diriku sendiri. Hanya siklus upacara demi upacara. Atau hidup ini memang upacara sendiri? Lalu apakah tujuan hidup ini? Datang. Ada. Lalu pergi. Hilang tak berbekas. Inikah yang dinamai hidup?Kalau bukan, lalu bagaimanakah yang dinamai hidup? Tetapi kalau ya?”(h.100). Dan upacara seperti peringatan, ia adalah bagian dari hidup itu sendiri, yang tak hanya dikenal dalam kepercayaan di dalam masyarakat kita, tetapi juga dalam kehidupan beragama kita. Yang tak bisa kita nafikkan dan abaikan begitu saja.

*)Penulis adalah Santri Tadarus BUKU BILIK LITERASI SOLO

Wednesday 3 September 2014

Pelacur, Buku, Manusia





 Kesepian, lebih tepatnya “hening” yang digambarkan oleh Kawabata, membawa kita memasuki dunia batin manusia dengan ceruk yang dalam, yang tak bisa dengan mudah digambarkan oleh seorang penulis lain selain ia sendiri

Komako, seorang Geisha itu melahap novel dan cerita pendek semenjak umur lima belas tahun. Sepuluh buku catatan itu menampung judul dan pengarang serta tokoh-tokoh dalam cerpen dan novel yang pernah ia baca. Apa yang dilakukan komako mengejutkan, saya kira ini tak ada atau belum ada dalam tradisi kita. Karena itulah, Jepang patut mendapat pujian sebagai Negara yang memanusiakan manusia, bahkan seorang pelacur. Apa yang saya dapat ini adalah petilan kisah dari Snow Country(2009) garapan Yasunari Kawabata. Kawabata bercerita seperti terbang dengan satu kaki, ia pelan-pelan melangkahkan kaki satunya terbang pelan-pelan, dan tak mau menganggap enteng tanah yang sudah dilewatinya. Gunung dalam tafsiran Kawabata mengingatkanku pada masa kecil. Gunung tak hanya meninggalkan jejak pada kaki-kaki ini, tapi juga kenangan dan pemandangan indah yang tak bisa hilang begitu saja. Kawabata mengajak kita merenungi gunung dengan pemandian air panasnya, dengan kesederhanaan orang-orangnya dan juga keindahan perempuan-perempuan disana bagai kelopak bunga sakura yang gugur di musim semi. Memang musim yang dikisahkan dalam Snow Country adalah musim salju. Salju adalah tangis dan kesedihan yang ritmis, melodic, dan penuh irama. Shimamura, lelaki tua yang sudah beristri, tak lagi mengerti tentang apa yang ia jalani. Ia justru beralih ke gunung, beralih ke alam, di saat itu pula, ia menemukan keindahan yang melebihi gunung, yakni Yoko dan Yamako.
Yamako, melebihi apa yang saya tahu selama ini tentang Geisha, Geisha adalah bagian dari kesadaran cultural, saya termasuk asing menemui kisah Geisha. Saya merasa tertolong dengan Kawabata, ia mengisahkan Geisha sebagai seorang malaikat yang tak bisa disepelekan begitu saja. Kehadirannya tak hanya urusan hiburan dan seksualitas semata. Kawabata menghadirkan emosi, menghadirkan sejarah, biografi dan riwayat keluarga dengan segala lika-likunya. Saya jadi ingat apa yang dikatakan Komako saat ia bilang :  “Aku orang yang paling susah, dan tuan belum pernah merasakan apa yang saya rasakan”. Kalimat pendek itu adalah penggalan perasaan dari Komako, Geisha yang memenuhi lakunya dengan : kerja! Kerja! Kerja!. Kisah Komako akhirnya harus diselesaikan dengan indah, saat ia mengalami perpisahan justru dengan keluarganya sendiri. Yoko dalam hal ini adalah bagian dari keluarga Geisha, meski ia tak menjadi Geisha. Dalam hidup Komako, Yoko memiliki makna penting, tak sekadar sebagai teman, sebagai pelayan dan juga rekan kerja meski berbeda pekerjaan. Shimamura pun demikian, seorang tua yang sudah punya isteri, sudah beranak, pada akhirnya harus memilih tempat untuk meredakan kembali hari dan hatinya yang sedang gundah. Di saat-saat itulah, ia melakukan pengabaian kepada Komako meski ia menaruh cinta padanya. Ia justru menaruh gairah, ketertarikan pada Yoko. Yang menarik dari novel Kawabata ini, adalah bagaimana ia mengisahkan kehidupan, kesepian, seorang yang sudah berumur, sudah berkeluarga, yang ingin menemukan kembali apa yang telah hilang dari hidupnya.
Apa yang dihadirkan oleh Kawabata mengajak saya merenungkan kembali sajak yang ditulis oleh Rendra, Bersatulah Pelacur Jakarta. Sajak itu seolah mengembalikan dan membalikkan pengertian kita selama ini tentang pelacur. Ia melampaui cerita dan kisah serta dogma-dogma agama yang cenderung menganggap pelacur sebelah mata. Ia manusia, ia hidup seperti kita, dan ia pun berhak memiliki emosionalitas seperti kita, dan tak jarang ia merasakan putus asa dan lemah dengan ketidakberdayaannya. Simaklah betapa Komako mampu menghadirkan pertanyaan yang tajam kepada Shimamura. “Manusia itu rapuh,kan?” kata Komako pagi itu. “Hancur jadi bubur dari kepala hingga ke tulang-tulang. Tapi seekor beruang bisa jatuh dari tempat yang tinggi dan tidak terluka sama sekali”. Kalimat-kalimat ini adalah tamparan bagi Shimamura, pun bagi Komako sendiri. Shimamura, lelaki ini pun adalah lelaki tua takberdaya, rapuh, dan begitu ringkih, hingga ia memerlukan tempat, memerlukan perempuan untuk mengembalikan dirinya seperti sediakala. Begitupun Komako, ia begitu jatuh, dan merasa menjalani hidup dengan tertatih-tatih, meskipun ia merasa sudah  menemukan cintanya, Komako perlu waktu untuk bisa berdiri tegak dan tegap berjalan dengan tenang.Kesepian, lebih tepatnya “hening” yang digambarkan oleh Kawabata, membawa kita memasuki dunia batin manusia dengan ceruk yang dalam, yang tak bisa dengan mudah digambarkan oleh seorang penulis lain selain ia sendiri. Kawabata mampu untuk mengisahkannya pada kita tentang dunia pelacur, dunia buku, dan kisah manusiawi di sekitarnya. Bila Komako menghabiskan novel dan cerpen yang cukup dalam, dan menuliskannya dengan indah, maka kita seperti di tampar oleh cermin besar, disana ada perempuan, disana ada riwayat dan kehidupan yang sering diremehkan. Komako, seolah mengingatkan kepada kita, dalam dunia dan kebudayaan Jepang, pelacur adalah manusia yang sadar akan posisi, kebudayaan, sastra, yang tak boleh diperlakukan sebagai penghibur semata. Ia adalah sosok perempuan yang mengaduk-aduk perasaan, emosi dan juga menelanjangi kehidupan para tetamunya, sebagaimana yang dialami oleh Shimamura dalam novel ini. Saya jadi teringat dengan apa yang dituturkan Pramoedya mengenai gundik, Pram mengangkat Ontosoroh sebagai seorang perempuan Jawa dengan segala kelebihan dan kehebatannya, ia tak sekadar gundik semata, ia adalah wujud perlawanan yang meskipun pada akhirnya harus kalah.


Kartasura, 4/ 9/14