klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Thursday 22 January 2015

Masalah Anak





Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

          Semalam aku pulang pukul setengah sebelas malam, kami mengobrolkan “cinta”. Tema klise, tapi actual sampai sekarang. Aku menjadi pembedah buku Erich Fromm “The Art of Love”, usai aku berbicara panjang lebar, aku menyimak tanggapan teman-teman ada tanggapan dari Kabut, Fauzi. Dua orang ini menanggapi persoalan aktualitas buku. Ada perubahan yang cepat dari teknologi sampai dengan kecepatan informasi yang menurut Kabut ikut mempengaruhi persepsi, perubahan dan cara pandang kita terhadap cinta terutama di negeri ini. Kabut juga meragukan para tokoh nasional kita di masa lalu tak ikut membaca bukunya Erich Fromm. Mahar buku yang dilakukan oleh Mohammad Hatta, ungkapan cinta ala Sjahrir dan sebagainya tak masuk dalam buku Erich Fromm. Fromm dinilai menggunakan data lama, kita (pembaca) Indonesia jadi susah mengurusi Fromm untuk menautkan peristiwa mutakhir mengenai fenomena cinta ini. Fauzi memberikan tambahan mengenai peristiwa dan ketakjuban tokoh di novel dan buku-buku di masa lampau yang mengurai cinta dengan sangat puitik dan romantic.
          Pagi berganti, kini di hari Jumat (23/1/15) aku bermain bersama anak-anak. Selepas bermain aku bersama muridku berlatih pidato bahasa inggris keliling kelas satu sampai kelas lima. Aku senang, setidaknya muridku cukup matang untuk jadi juara lagi Aamiin. Aku jadi ingat buku yang sudah kubaca dari Dra. Singgih D gunarsa. Di buku ini aku menemukan yang menarik dan unik dari ilmu psikologi. Sebagai ilmu yang mengurusi jiwa dan perkembangan manusia. Psikologi ikut berkembang sesuai dengan berkembangnya manusia. Psikologi tetap actual sebagai ilmu yang mengurusi manusia. Buku Dra. Singgih D Gunarsa bertajuk Psikologi Anak Bermasalah(1976) cetakan pertama, diterbitkan oleh Percetakan BPK Gunung Mulia. Saya jadi faham, kisah yang diceritakan oleh sejarah penerbitan di Indonesia ikut dibentuk oleh penerbit Kristen. Buku-buku dari urusan sastra sampai dengan buku-buku psikologi dan bacaan lainnya diterbitkan oleh BPK ini. Aku menemukan banyak hal studi kasus yang dianalisa oleh penulis dalam buku ini. Beberapa permasalahan anak yang diurai oleh penulis tak hanya permasalahan anak yang ada di rumah, tetapi juga di sekolah. Penulis membagi masalah-masalah anak ini menjadi dua : pertama, permasalahan anak yang dapat diperbaiki dan permasalahan anak yang tak dapat diperbaiki. Kekurangan anak yang dapat diperbaiki diantaranya adalah kekurangan dalam hal penglihatan, indera dan pendengaran. Kekurangan anak yang tak dapat diperbaiki diantaranya adalah kekurangan kemampuan intelek dan penyimpangan tertentu. Kekurangan anak juga disebabkan oleh factor keluarga, keluarga yang kurang memperhatikan anaknya menjadikan anak tersebut jadi bermasalah. Anak yang bermasalah biasanya sering menjadi sorotan di kalangan lingkungan masyarakat sehingga membuat si anak memerlukan perhatian lebih dan bimbingan lebih (h.27).
          Mengenai “kenakalan”, Dra. Singgih D Gunarsa membagi kenakalan menjadi dua : pertama, kenakalan semu. Kenakalan semu diartikan sebagai kenakalan dalam batas normal. Kenakalan semu ini ialah kenakalan yang hanya memiliki efek pada diri anak sendiri (tidak berbahaya) bagi orang lain. Misalkan anak memiliki kecenderungan merengek, meminta jajan,suka menyakiti diri sendiri, atau merusak mainannya sendiri, merusak barang, dan sebagainya. Sedangkan kenakalan yang kedua adalah kenakalan yang sebenarnya. Kenakalan ini mengakibatkan orang lain menjadi ikut terkena dampak dari kenakalan anak itu. Anak suka memukul, anak suka mencuri, suka menyembunyikan barang milik orang lain. Karena itulah, menurut penulis kita sebagai orang tua harus memahami bahwa : “Anak harus diberikan ruang gerak, dan kesempatan melatih diri, akan tetapi ia juga memerlukan pengawasan. Dalam pengawasan dan pengamanan anak, perlu pula diamankan benda-benda yang mudah diraih, jatuh, dan pecah (h.32).
          Singgih juga membagi bentuk kenakalan anak disebabkan oleh berbagai hal diantaranya : pertama, berbohong, kedua karena cerita-cerita khayal (membuat cerita bohong), bohong karena meniru orang dewasa,berbohong untuk menarik perhatian, kabur. Menurut penulis salah satu sebab anak suka mencuri adalah karena anak memiliki “keinginan untuk mengumpulkan benda-benda begitu hebat, sehingga perlu dibatasi oleh rasa menghormati hak milik pribadi. Mengetahui adanya hak milik orang dan menghormati hak milik itu harus diajarkan kepada anak”(h.67)
          Kenakalan anak juga disebabkan oleh emosionalitas anak. Emosionalitas anak ini dapat diatasi dengan menghadapi emosionalitas anak dengan tenang dan santai. Menurut penulis “kemarahan sebaiknya ditangani dengan sikap santai dan tenang. Orangtua dan para pendidik dalam rangka menangani permasalahan luapan kemarahan, harus tetap tenang bersuasana hati baik, dan penuh pengertian dan tetap dalam sikapnya” (h.100).Anak juga memiliki sikap agresif, sikap agresif ini menimbulkan hal yang kurang baik seperti memukul menendang,mengigit, meludah, atau melempar benda-benda. Saya jadi ingat murid saya yang dulu begitu “agresif”, kecenderungan memukul, menangis keras dan melempar semua benda di sekitarnya. Menangani anak seperti ini kalau kita tak sabar, kita justru akan terpancing emosi dan melukai jiwa anak.
          Di bab akhir, penulis menuliskan salah satu hal yang menyebabkan permasalahan anak adalah persoalan intelektualitas. Bila anak terlalu intelek, ia sering dianggap tak sepadan dengan anak-anak yang lainnya. Selain itu, ia juga bisa menimbulkan masalah karena mengalami kesusahan dalam bergaul dengan teman sebayanya. Buku ini memang  mengurai beberapa persoalan anak yang ada di masa lampau, tetapi ada soal yang tak lagi sesuai dengan masa kini misalnya anak kabur dianggap sebagai masalah. Padahal, orangtua sekarang justru tak khawatir kalau anaknya pergi, mereka percaya anak akan pulang dan kembali ke rumahnya. Bila dulu anak pergi terlalu dikhawatirkan,kini anak pergi sampai larut malam dan bermain malam hari sudah biasa, termasuk anak lelaki dan perempuan. Studi kasus tentang anak di masa sekarang tentu lebih banyak variasinya dan banyak pangkal sebabnya. Inilah tantangan psikologi anak di masa sekarang. Tak hanya persoalan orangtua yang lebih sibuk dengan urusan karir, sampai pada tantangan pemenuhan kebutuhan kasih sayang anak.


*) Jumat, 23/1/15
*) Penulis adalah Peminat Pendidikan dan Sastra Anak, Pengasuh MIM PK Kartasura

Wednesday 21 January 2015

Ilmuwan Islam Yang Asing




Membaca biografi Al Biruni saya jadi mengagumi betapa ia tak pernah lelah dalam mengurusi dan mendalami ilmu pengetahuan, disini saya justru tak menemui kisah Al Biruni menikah dan memiliki keluarga, mungkin benar bahwa ilmuwan islam dimasa dahulu disibukkan oleh pengetahuan sehingga ia tak sempat atau lupa mengurusi urusan menikah. Aduh…, kalau untuk ini, saya pikir saya tak mesti mencontoh Al Biruni. Hmm……


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

          Membaca buku banyak tak selalu membuat kita menjadi tenang dan menambah kepercayaan diri. Setidaknya itu yang aku rasakan tatkala purna membaca biografi Al Biruni ,Pakar Geografi dan Astronomi (1992). Buku terbit sebelum reformasi, bacaan-bacaan seperti ini memang yang aku cari, yang kini kuanggap langka. Buku diterbitkan oleh CV Pustaka Mantiq  diterjemahkan oleh LPPMI Yogyakarta. Buku dikarang oleh Sulaiman Fayyadh , buku ini aslinya diterbitkan oleh Markaz Al-Ahran Kairo Mesir. Jarak yang jauh, tetapi tidak menghalangiku untuk membaca dan mengerti ilmuwan islam satu ini. Aku membaca ini sebagai sebuah ikhtiarku memberantas kebodohanku dan kekurangtahuanku akan ilmuwan islam. Aku jadi tersentuh, dan diajak masyuk ke dalam buku ini oleh pengarang. Buku ini kudapat waktu siang tadi (rabu, 21/1/2015) ketika pergi ke Gladag. Awalnya aku pinjam uang dari teman guruku, 50 ribu, malah dikasih 100 ribu. Untung, setelah buat bayar utang ke pedagang sana, aku memilah dan memilih buku. Aku dapat buku serial psikologi popular penerbit Arcan. Penerbit Arcan kukenali sebagai penerbit bermutu setidaknya dari beberapa buku yang aku baca. Aku membeli buku tentang anak juga terbitan gramedia tahun 90-an. Dan aku membeli buku biografi Al Biruni ini. Aku membacanya sepulang dari Gladag. Mata terantuk-antuk, mungkin lelah. Tapi apa boleh buat, buku masih di tangan, dan aku habis membacanya. Aku mendapati riwayat Al Biruni semula bernama Abu Raihan. Ia adalah ilmuwan islam abad 10 M. ia lahir pada hari Sabtu, bulan September tahun 963 Masehi (h.16.).
          Al Biruni kecil alias Abu Raihan adalah seorang yang menyukai bunga, tanaman dan tetumbuhan. Kesukaannya pada tumbuhan inilah kelak ikut mempengaruhi pada masa besarnya yang tumbuh menjadi ahli botani. Al-Biruni di usia belia, yakni sebelas tahun ia diajak belajar oleh ahli botani dari Yunani. Ia diajak belajar bahasa Yunani dan Suryani. Di usai belia ia sudah menguasai empat bahasa. Kemudian di usia empat belas tahun ia diserahkan ke guru Abu Nashr Manshur Ibnu Ali Bin Iraq, ia adalah keturunan dari Khawarizmi yang berkuasa di kota Kats. Di tempat sang putera raja yang ilmuwan inilah, Abu Raihan kemudian menghabiskan waktunya untuk mempelajari berbagai ilmu. Diantaranya adalah ilmu matematika dan falaq. Gurunya mengatakan kepadanya : “Kini, kau telah mahir dan tahu jalannya untuk menjadi ahli ilmu falaq, wahai Birunni ! Kemahiranmu dalam bidang falak telah sama dengan kecakapanmu dalam bidang botani. Nah, manakah yang akan engkau pilih sebagai spesialisasi?” Tanya pangeran dengan penuh bangga. Ia menjawab : “Tuanku, ilmu ibaratnya laut yang tak bertepi. Dengan segenap jiwa dan pikiran, aku ingin terus mempelajari berbagai ilmu yang telah difahami orang lain” (h.19). Setelah dari Abu Nashr, ia kemudian belajar tentang filsafat dan teori klasik dari Abdush Shamad Al Hakim.
          Al Biruni semula adalah seorang yang tak tertarik dengan politik. Ia ingin menyibukkan diri dengan percobaan-percobaan. Dari Gurunya Al Khujandi , Al Biruni menuliskan pengamatannya dalam buku yang berjudul Hikayatul Alati Al Musammat Bisuduusil Al-Fakhri (Kisah Alat Persegi Enam Al-Fakhri). Buku ini menjelaskan secara rinci alat teropong bintang yang sudah jadi. Al Biruni masih saja bertekun mengurusi ilmu ketimbang soal politik, meski daerah yang ia tempati (Kats) sedang kisruh politik. Ia kemudian terpaksa pindah ke Bukhara. Di kota ini ia mengungkapkan kepada ilmuwan tentang kecepatan cahaya melebihi kecepatan suara. Ia berhasil membuat asas atau pedoman untuk menimbang unsure-unsur logam dalam daftar mandelaf   di jaman modern. Semua yang ia alami dan selidiki itu kemudian ia tuangkan dalam bukunya Ilmu Pengetahuan Umum Tentang Permata dan buku Antara Bijih Besi dan Permata dalam Berat Jenis. Buku itu diterbitkan dan kemudian menjadi penghuni perpustakaan RajaAl-Manshur. Ketika di As samaniah terjadi pertempuran yang hebat, terpaksa Al Biruni pindah ke Negara Jurjani. Di negeri ini, ia menghadiahkan raja Syamsul Ma’ali  sebuah buku berjudul “ Peninggalan-Peninggalan dari Bangsa yang telah Sirna”. Di Jurjani ini ia bertemu dengan dua gurunya yakni Abdush Shamad, dan Ibnu Maskawaih ahli matematika.
          Al Biruni pun mulai tak dapat melepaskan pada persoala politik. Ia kemudian menjadi penasehat Raja. Di wilayah Jurjani ia menghasilkan buku Pengetahuan Awal tentang Astronomi dan Ilmu Menentukan Batas dan Jarak. Ia juga menerbitkan buku Teropong Bintang dan Hukum Ilmu Pengetahuan Yang ditetapkan oleh Al-Mas’udi. Ia telah banyak berubah yang semula seorang pencari kayu bakar kini telah berubah menjadi seorang ilmuwan yang diperhitungkan dunia. Ketika ia diminta Sultan Mahmud ke India ia pun menghasilkan buku “Tahqiq tentang India, karya-karya yang rasional dan Tak Rasional”. Buku itu kemudian diberi judul sejarah India oleh orang barat. Al Biruni sebagai seorang ahli matematika ia menciptakan metode matematika yang baru untuk menentukan empat arah mata angin. Ia menemukan bahwa noktah jarak matahari dari bumi bergerak satu derajad dalam 250 tahun. Jauh sebelum ilmuwan barat mengatakan bahwa bumi itu bulat, AL Biruni sudah mengemukakan hal itu. George Sarton, Carlo Nallino dan Mayerhov, Arter Ibhem Bob, dan Schaht menilai Al-Biruni sebagai berikut : “Abad XI Masehi merupakan abad Al-Biruni. Ia adalah tokoh dan Ilmuwan Islam terbesar.Astronom yang paling cerdas dan paling luas ilmunya.Namanya adalah yang paling menonjol dari sederetan ilmuwan besar yang berwawasan luas, yang merupakan cirri khas mereka pada jaman keemasan Islam. Dalam monument untuk mengenang ilmuwan terbesar di dunia, Al Biruni harus ditempatkan pada posisi yang terhormat. Ia termasuk salah seorang pemikir yang paling menonjol sepanjang masa.  Kejeniusan Al-Biruni tak obahnya otak-otak besar, berciri universal, tidak terikat oleh waktu.Tanpa Al-Biruni tidak mungkin penulisan sejarah, matematika, astronomi, geografi, ilmu-ilmu humaniora atau perbandingan agama bisa lengkap. Sebab, apa yang ditulis oleh Al Biruni sejakl 1000 tahun yang silam mendahului sejumlah metode dan aksiomatika yang dikatakan modern”.
          Membaca biografi Al Biruni saya jadi mengagumi betapa ia tak pernah lelah dalam mengurusi dan mendalami ilmu pengetahuan, disini saya justru tak menemui kisah Al Biruni menikah dan memiliki keluarga, mungkin benar bahwa ilmuwan islam dimasa dahulu disibukkan oleh pengetahuan sehingga ia tak sempat atau lupa mengurusi urusan menikah. Aduh…, kalau untuk ini, saya pikir saya tak mesti mencontoh Al Biruni. Hmm……


Solo, Aurora 21 januari 2014
18.02 WIB

 

Monday 19 January 2015

Modern...





Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Hari jumat (16/1/15) di sekolahku ada seminar motivasi. Seminar motivasi diselenggarakan sekolah dan tiga serangkai. Penerbit buku ini memberikan CSR (Corporate Social Responsibility) melalui training motivasi. Konon, kalau tidak pake CSR, training motivasi mesti mengeluarkan biaya besar, sepuluh juta untuk kru dan pembicara, edan!. Mendengar itu, saya hanya geleng-geleng kepala saja. Training diselenggarakan di ruang atas kelas 3. Dimulai pada jam 7 pagi sampai hampir jumatan. Tak hanya film-film motivasi yang disetel, ayat-ayat Qur’an dan hadist pun diucapkan agar anak-anak dan orangtua murid semakin yakin. Konon training ini bertujuan untuk meningkatakan mentalitas  dan kepribadian anak. Suara pembicara yang menggebu, soundsystem yang menurutku bising membuat kuping rada nyeri. Tetapi anak-anak antusias, mereka senang rasanya dimotivasi. Orangtua pun lega, setidaknya anak tahu dan mengerti makna belajar. Ada keganjilan disini, mengapa sekolah lebih percaya motivator?, atau karena ini memang CSR?. Mengapa guru-guru sendiri tak dianggap atau dipercayai bisa memotivasi anak-anaknya?. Mungkin disinilah letak kegelisahan hati saya yang mengganjal tatkala melihat fenomena itu.
            Di seminar itu, saya ditugasi menjadi penyambut tamu. Setelah seminar selesai, saya kecipratan berkah. Para pembicara dipersilahkan bebek goreng bersama kepala sekolah, awalnya aku tak ingin ikut, eh ternyata rejeki tak boleh ditolak. Seteah santap bebek goreng, aku segera siap-siap jumatan. Setelah keluar tak lama dari sekolah, hujan deras. Jaket ikut basah sedikit, aku takut kalau kuteruskan buku-buku ikut basah. Aku istirahat sejenak di  masjid dan jumatan disana. Setelah jumatan, mataku agak ngantuk dan pusing. Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Kupaksakan diri ke Jogja dengan bekal seadanya. Uang dikantongku tinggal dua puluh ribu, padahal bensin pun sudah menipis. Apa daya untuk mengambil pesanan potokopian yang lama belum kuambil, harus kutekati.
            Belum lewat Klaten, aku beli bensin Rp.10.000,00. Hati ketir-ketir, takut ada apa-apa di jalan, dari kemaren sebenarnya hati sudah tak enak. Tapi di jalan aku hanya nyebut karo gusti mugo-mugo dilancarke (berdoa pada Tuhan semoga dilancarkan). Sampai di kedaulatan rakyat jogja aku bertanya pada satpam, bagaimana kalau mengambil honor koran di Minggu Pagi. Satpam langsung menjawab, masih jauh mas , tugu jogja ke kiri. Aku belum pernah kesana, kutelpon Galang temanku. Petunjuknya membantuku sampai di tempat tujuan. Urusan mengambil honor jadi ribet,karena dua kali harus berganti parkir, tiga kali tanya ke orang. Akhirnya setelah ketemu kantornya aku lega, sambil menunggu di kasir, aku bersyukur, Tuhan memiliki tangan panjang untuk menyelamatkan hambanya. Saya jadi teirngat buku God Winks (Kedipan Tuhan) hadiah resensi dari Gramedia. Tuhan telah berkedip, mengedipkan matanya padaku.
            Setelah mengambil honor, aku ke fotokopi pandu ambil pesanan buku. Senang aku rasanya, bertemu mas dan mbak pemilik foto kopi ini kembali setelah lama tak bersua. Aku langsung ambil buku, dan nyicil utang (membayar angsuran utang) mesti tak seberapa, 25 ribu rupiah. Meski tak seberapa cicilanku aku merasa lega. Setelah itu, perut tak bisa ditahan, aku mampir ke warung makan. Dalam perjalanan pulang, aku tak langsung pulang. Aku mampir di Social Agency. Setelah sampai disana, aku langsung saja memburu dan membuka-buka buku. Disana masih ada bazar murah, buku-buku tergeletak disana-sini. Ada yang diskon 50% sampai harga seribu sampai sepuluh ribu.
            Aku senang, bisa menemukan buku bagus, buku cerita anak berjudul Si Penangkap Ular(1980) karya Jusran Safano. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jaya. Berbeda dari buku cerita lain, buku ini ada 6 BAB dengan tebal 64 halaman. Ingin kumembeli banyak buku, tapi aku masih ragu, apa nanti bisa pulang dengan selamat, akhirnya kuputuskan membeli majalah prisma juga, disana ada tema tentang anak. Majalah ini terbitan 1990.
            Sampai di rumah kontrakan aku lega, pagi harinya sabtu, 17 Januari 2015 aku membaca buku Si Penangkap Ular  separuh, setelah itu saya lanjutkan membacanya di sekolah.  Selesai membaca buku itu aku lega. Ada yang unik dan menarik dari cerita anak. Di buku ini, ia tak hanya bercerita tentang Cahyo dan Rekso dua teman baik yang selalu main bersama dan rukun. Dua anak sekolah ini, sibuk meneliti ular. Di rumah orangtuanya sering memergokinya membaca buku tentang ular. Maklum, orangtuanya khawatir kalau-kalau nilai raport mereka turun. Karena senangnya dengan dunia ular itu, dua lelaki muda ini berniat untuk berburu ular. Mereka ingin menangkap ular untuk dimasukka ke kebun binatang. Ketertarikan mereka pada ular sebenarnya bermula dari seorang pedagang yang menawarkan obat racun ular berbisa. Karena rasa penasaran itulah, mereka ingin berburu ular. Karena ragu dengan obat yang dijual pedagang di pasar, mereka pun menyiapkan obat suntik anti bisa ular.
            Ketika Cahyo dan Rekso liburan, ia merencanakan untuk liburan ke Bogor berdua. Mereka membangun tenda kemah disana. Di sanalah mereka mulai berburu ular. Namun, ketika mereka menemukan ular sendok, yang hendak ditangkapnya, tiba-tiba terdengar suara orangtua yang mengingatkan mereka agar tak menangkap ular itu. Itu keramat kata orangtua itu, tapi Cahyo dan Rekso membantahnya, jaman modern gini masih percaya takhayul. Orangtua itu memperingatkan dua anak itu. “Kami disini akan mendapat bala bila mbah keramat itu dibawa ke kota. Kota tempat anak dinggal demikian pula. Banjir, kebakaran, gempa bumi, penyakit akan merajalela. Bapak mohon, lepaskanlah, Nak”. Dua anak itu kemudian berkilat dengan jurus lidahnya karena tak mempercayai takhayul macam itu.
            Di malam harinya, mereka tidur nyenyak. Tiba-tiba ada yang mencuri ular mereka, ketiga ular yang semula sudah ditangkap mereka dilepaskan. Satu ular masih di kemah. Mereka terperanjat kaget tatkala melihat ular itu. Kemudian ketika mereka akan berburu lagi, mereka melihat orangtua yang terbaring lemas dan dikerubungi warga. Orangtua itu terlihat kesal ketika melihat Cahyo dan Rekso. Kemudian Cahyo menolong orangtua itu dengan menyuntikkan obat anti bisa karena orangtua itu digigit ular sendok, yang dibilang masyarakat sekitar “mbah keramat”. Setelah orangtua itu sembuh, Cahyo dan Rekso kemudian dianggap sebagai orang baik yang tak mengganggu oleh sebagian orang. Orang mulai percaya pada Rekso dan Cahyo, kalau ular di desa mereka perlu dibersihkan agar tak membahayakan. Akhirnya langkah mereka bersambut dari Sersan di desa itu. Sersan pun ikut membantu berburu ular. Orang kampung bergerombol ingin melihat kedua anak muda itu menangkap ular. Setelah ditelusuri sekampung, akhirnya Cahyo dan Rekso pun lega. Begitupun warga kampung ikut senang. Cahyo dan Rekso pun akhirnya pulang ke kota dengan tangkapannya.
            Kisah Si Penangkap Ular  diatas bukan saja mendidik dan mengajak anak-anak kita untuk berani dan mengasah mentalitas mereka. Melalui tokoh Cahyo dan Rekso yang semula belum percaya diri penuh bisa menangkap ular, melalui buku mereka berdua pun akhirnya praktek menjadi penangkap ular. Cerita ini pun dibubuhi akan adanya unsur modern, tatkala kita melihat bagaimana kata “modern” dipakai di cerita ini maupun pada inti ceritanya. “Jaman modern seperti sekarang,tolol kalau kita takut sama ular, kita punya otak mengapa kita takut?”. Ungkapan Cahyo dalam dialog ini adalah contoh dari bagaimana modernitas menjadi alasan bahwa mereka tak perlu takut pada ular. Selain itu, nampak sekali di inti cerita ini yang mengaitkan kepercayaan masyarakat di waktu itu yang menganggap ular sebagai “mbah keramat” mencoba diruntuhkan oleh Cahyo dan Rekso. Penulis cerita ini juga hendak menunjukkan kepada pembaca terutama anak-anak, agar meninggalkan kepercayaan yang berbau takhayul.
            Dari cerita ini, kita tahu cerita anak juga mengajak kepada anak-anak kita untuk menjadi modern. Modern dalam arti meninggalkan kepercayaan yang tak logis. Cerita ini adalah salah satu contoh yang saya  temui di tahun 80-an. Cerita anak ternyata tak hanya mengandung unsur moralitas yang mendidik, tetapi juga mendidik anak-anak agar berani, dan tidak percaya pada hal-hal yang tak masuk akal seperti takhayul. Berkait takhayul saya jadi ingat dengan tuturan Soekarno kepada Cindy Adams bahwa pada masa mudanya ia percaya pada jimat, hari baik dan hari naas. Akan tetapi itu dulu.  Semua jimat tidak lagi membuatnya percaya tatkala ia dibuang di Pulau Bunga Flores. Ia menyebut takhayul sebagai kepercayaan kegila-gilaan yang harus dihentikan. Misalnya, makan di piring retak, konon bisa bikin kualat. Caranya mengakhiri kepercayaan takhayul itu Sukarno malah makan di piring retak tersebut. Lalu ia berpidato kepada piring retak itu : “Engkau barang yang mati, tidak bernyawa, dan dungu. Engkau tidak punya kuasa untuk nasibku. Kutantang kau! Aku  bebas darimu! Sekarang aku makan dalammu” (Adams, 1967: 156).Memang ada-ada saja Bung Karno ini, masak piring saja harus diberi pidato untuk menghilangkan takhayulnya. Hahaha....

Klaten, 18/1/15 pukul .4.17 WIB

           
*) Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com