klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Wednesday 26 December 2012

Sejarah Makna Dan Kuasa Pakaian



Judul buku                              :  Busana Jawa Kuno
Penulis                                     : Indra citraninda Noerhadi
Penerbit                                   : Komunitas Bambu
Hal                                          : 120 halaman
ISBN                                       : 978-602-9402-16-2
Harga                                      : Rp.50.000,00
Tahun                                      : Juli,2012

Sejarah “Kuasa” Dan “Makna” Pakaian

Oleh arif saifudin yudistira*)

            Sejarah pakaian muncul sejak manusia Indonesia mengenal budaya menenun. Dengan masuknya budaya menenun di era neolitikum itulah manusia Indonesia mengenali cara menutup tubuh mereka. Sebagaimana kita mengetahui, manusia Indonesia di masa itu, memandang pakaian masih sebagai satu pelindung dari luar seperti panas, dingin, dan lain sebagainya (I made seraya 1980-1981:16). Di masa lalu, cara berpakaian nenek moyang kita pun seperti tak jauh berbeda dengan kita, mereka menutupi tubuh mereka dengan pakaian untuk menunjukkan kelebihan dan status social mereka.
            Pakaian memiliki sakralitas tersendiri bagi kaum bangsawan, istana, yang itu berlaku hingga saat ini. Pakaian dikhususkan, tidak boleh sembarangan kawula desa atau rakyat memakai pakaian para raja atau kaum bangsawan. Kuasa “pakaian” ini menunjukkan identitas hingga kini, misalnya ketika kita jumpai pakaian kebesaran di keratin-keraton dan bangsawan di Yogyakarta dan di solo. Pakaian mereka memiliki ciri khusus, seperti aksesoris, ikat pinggang, penutup kepala dari emas, hingga tongkat. Dari sanalah kita mengetahui pakaian di kalangan kerajaan atau bangsawan memiliki fungsinya sendiri baik pada upacara resmi keraton, upacara yang sifatnya kerakyatan, dan upacara-upacara lainnya. Nuansa etis dan system keraton yang ketat dalam tata budaya dan system adat ini barangkali bisa dilacak sebagai simbolisasi kuasa keraton yang mengadopsi nilai-nilai barat dan eropa yang dipadukan dengan nilai-nilai jawa. Kita bisa menemui ini pada kesaksian perempuan jawa yang ada di buku “Prajurit perempuan jawa”(2011).
            Melalui buku busana jawa kuna ini, inda citra ninda menunjukkan kepada kita, bahwa kita memiliki khasanah budaya dan kekayaan arkeologi yang begitu tinggi di dalam artefak-artefak peradaban kita. Kita bisa menemui ini pada candi misalnya, inda citraninda membuka mata kita semua, bahwa simbolisasi,kuasa, dan fungsi pakaian yang melekat pada tubuh tak sekadar berfungsi sebagai penutup tubuh semata melainkan memiliki implikasi pada bagaimana strata atau kelas social itu muncul. Penelitian ini tak hanya memberikan sumbangsih penting bagaimana membaca masa lalu nenek moyang kita yang ada pada relief candi Borobudur, tetapi juga sebagai pijakan bagaimana membaca fenomena pakaian di manusia modern. Hal ini Nampak pada bagaimana lingkungan istana kita memakai pakaian yang bermiliar-miliar rupiah untuk upacara resmi kenegaraan hingga pakaian sehari-hari. Melalui harga dan bentuk pakaian kenegaraan itulah, ternyata Negara atau dalam hal ini pemerintah masih memakai logika kuno di negeri ini yang dulu dipakai nenek moyang kita. Pakaian seorang raja mesti berbeda dengan kawula, pakaian seorang rakyat jelata harus beda dengan pakaian presidennya.

Antara kuasa dan keadaban

            Kita pun mengenali pakaian di masa kini pun menjadi mode, dan industry yang menjanjikan. Kelas social, gengsi, hingga eksistensi pun muncul, bahkan kini pakaian seperti menjadi budaya popular yang kerap membawa kontroversi dan polemic. Pakaian pun dimanfaatkan oleh dunia hiburan, dan dunia kapitalisasi modern untuk menyihir anak-anak muda kita ikut dan tak berdaya di mata trend, mode dan model pakaian yang dipakai para seleb kita. Pakaian pun seperti semakin jelas menunjukkan bahwa ia jadi alat untuk meningkatkan popularitas dan ketenaran para selebriti kita. Dengan gaya pakaian terbaru, pakaian “sexy” mereka menyihir dan membentuk opini public melalui tayangan ghossip, infotainment dan sebagainya. Pakaian di dunia modern pun seperti tak menunjukkan keadaban kita.
            Inda citraninda mengulas bagaimana pakaian dalam relief karmawibhangga di bagian bawah candi Borobudur. Pakaian dalam relief karmawibhangga menunjukkan berbagai kelas social yang ada. Kelas pekerja, kawula desa, hingga pakaian dewa-dewi. Pakaian di relief itu pun menunjukkan bahwa peradaban manusia di masa itu tak memandang pakaian yang ringkas, sederhana sebagai unsure dari pornografi sebagaimana sekarang ini. Pakaian sederhana, ringkas difahami sebagai fakta sejarah dan fungsi pakaian yang tak semodern saat ini. Tapi justru di masa itulah, kelas social sudah mulai melekat pada identitas pakaian yang mereka pakai.
            Kini, dunia modern barangkali perlu bercermin pada kajian inda citraninda, bahwa pakaian dan tubuh tak semestinya dijadikan eksploitasi dan objek dari media, kamera, hingga budaya patriarchal melalui stereotype “pornografi”. Sebab di masa lalu, kita memahami dan mengenali pakaian wanita yang sederhana dan menampakkan payudara dan bagian atas mereka dengan kondisi yang biasa dan sewajarnya. Selain itu, kajian inda citraninda “Busana jawa kuna” ini setidaknya memberikan satu pandangan jelas kepada kita semua pada makna dan kuasa pakaian.
            Kuasa dan makna pakaian sebagai symbol status social itu sudah ada sejak jaman jawa kuno sebagaimana yang diungkap pigeaud ada empat kelas social di masa itu yakni kaum penguasa,agama,orang biasa dan budak (Th.Pigeaud,1958:195). Sejarah kuasa dan makna pakaian di negeri ini pun sudah begitu lama, ia menunjukkan perkembangannya hingga kini. Buku ini setidaknya memberikan satu simpulan besar, bahwa pakaian adalah identitas, kelas-sosial yang melalui uang dan harga itulah pakaian menunjukkan kuasanya pada kita semua.


*)penulis adalah Mahasiswa UMS, Pegiat Bilik Literasi Solo  

*)tulisan termuat di retakan kata.com 21 september 2012

Menyerukan Kembali Pentingnya Ijtihad



Judul buku                            :  Alloh,Cinta dan Kebebasan 
Penulis                                    : Irshad Manji
Penerbit                                  : Rene book
Hal                                          : 352 halaman
ISBN                                       : 978-602-19153-4-9
Harga                                     : Rp.69.900,00


Menyerukan Kembali Pentingnya Ijtihad
Oleh arif saifudin yudistira*)

Bila kamu melakukan ijtihad dan benar maka kamu mendapatkan pahala senilai dua, sedang bila ijtihadmu salah maka kamu akan mendapat pahala satu. Sedang tak ada dosa dalam ijtihad.


Begitulah kiranya agama sudah menganjurkan kita melakukan ijtihad. Ijtihad dimaknai memperjuangkan dan mencari kebenaran, untuk mencapai perubahan. Dalam konteks sekarang, agama berubah menjadi sosok yang mandek, stagnan dan tidak mampu menghadapi realitas jaman yang sudah sebegitu cepat dan rusak.
Betapa islam sendiri kemudian tak mampu menghadapi terror yang melanda sejak terjadinya 9/11. Peristiwa itu seperti meruntuhkan bangunan, hingga membangkitkan stereotype yang aneh. Islam itu teroris, dan islam itu kejam dan islam itu adalah bom dan kekerasan. Irshad manji mengawali ceritanya dengan gambaran demikian. Ia ingin menolak stereotype itu. Islam tidak demikian, islam mesti keluar dari stigmatisasi ini. Islam mesti kembali ke islam sebenarnya yakni islam itu rahmat bagi seluruh alam. Pesan itu yang kini tegas dan layak disuarakan oleh irshad manji. Ia tak ingin mendengar lagi islam seperti di media massa yang identik dengan tiga kengerian yakni pengeboman, pemenggalan, dan darah.
Manji tak hanya ingin menegaskan bahwa , kenapa takut melakukan tafsir dan menjadikan iman itu melampaui teks saja. Kita tak tahu siapa yang memegang otoritas kebenaran, karena kebenaran hanya dipegang oleh Tuhan saja. Maka dari itu, orang-orang yang merasa memegang otoritas kebenaran dan menghakimi penafsiran yang lain itulah yang menurut irshad justru menyimpang. Betapa Alloh sudah memberikan kebebasan sebebas-bebasnya pada umatnya.

Integritas

Tanpa adanya kebebasan untuk berfikir dan berekspresi tidak mungkin ada integritas baik dalam diri maupun dalam masyarakat. Oleh karena itu, prasyarat dari integritas tak lain adalah kebebasan berfikir dan berekspresi. Menyikapi beragamnya ekspresi dan aneka ragam pemikiran itulah dialog menjadi jembatan dan media untuk menghindari konflik. Tak ada persoalan yang mestinya tak dapat diselesaikan, dialog mampu menjangkau dan mencapai yang lebih dari yang sebelumnya. Sikap dialog dan kebebasan berekspresi inilah yang seringkali membuat orang justru ditentang oleh kelompok atau sekte keagamaan lain. Dialog dilupakan, sedang kesempitan berfikir justru lebih dikedepankan. Akhirnya, jalan untuk menjembatani perbedaan jadi tak ada.
Integritas menurut irshad dalam buku Alloh,cinta dan kebebasan adalah fondasi yang mesti dibangun. Integritas bisa melampaui dinding dan tembok keagamaan. Bagian dari integritas itu misalnya menentang hukum rajam hingga mati. Hingga hukum pancung, hukum yang mengerikan dan kejam itu tentu saja akan kita sepakati bila sesuai konteksnya. Akan tetapi, bila kita melihat kasus di arab Saudi yang seringkali melakukan hukuman pancung yang ternyata lebih banyak korban yang justru dipancung daripada pelaku asusila sebut saja kisah pembantu Indonesia (tki) yang sering mengalami hal itu. Maka hukum pancung mesti ditinjau kembali, disinilah pentingnya ijtihad. Ijtihad jelas tidak meninggalkan nalar dan pikiran kita. Integritas itu adalah bagaimana kita menempatkan Tuhan dalam kehidupan kita. “Tuhan bisa menjadi nurani anda, pencipta anda, atau gabungan keduanya yang sungguh memesona yang dikenal sebagai integritas”(xxvi). Maka dari itu, membangun integritas mesti dijalani dari hakikat kesadaran diri bahwa kita melampaui dari apa yang kita bisa. Agama adalah sarana, sedang bagaimana kita mempraktekkan agama dan mencapai kesempurnaannya itulah yang mesti kita laksanakan. Oleh karena itu, irshad menyarankan kita untuk lebih menghilangkan identitas kita  dan menunjukkan integritas kita.

Relatifitas budaya

          Kita seringkali tak bisa menempatkan antara seberapa besar posisi budaya dan posisi agama dalam kehidupan sehari-hari kita. Orang tua kita sering mengajarkan “jangan berani padaku, niscaya engkau masuk neraka”, maka ketika kita menjawab “ suruh saja Tuhanmu memasukkan aku ke nerakanya”. Jawbaban semacam itu dinilai melanggar nilai-nilai agama. Maka agama tiba-tiba jadi sesuatu yang mencekam dan menerkam kita. Agama menjadi topeng kedirian kita.
      Maka ketika melihat budaya yang ada di negeri ini, yang sudah lebih jauh berada daripada agama yang masuk di negeri kita, kita seringkali bersikap ekstrem terhadap kebudayaan yang ada. Atau sebaliknya ketika budaya yang ada di arab yang mengekang masyarakatnya utamanya perempuan membelenggu mereka. Maka budaya lebih cenderung dianggap sebagai agama.
      Oleh karena itu, budaya itu relative dan tidak sacral. Ketidaksakralan budaya ini yang mesti dijelaskan. Budaya itu cipta dan karsa manusia, jika kita melebih-lebihkan budaya daripada agama, maka yang terjadi yakni perebutan kekuasaan tafsir keagamaan. Akhirnya agama pun dijalani dengan membabi buta dan identik dengan kekerasan dan juga permusuhan. Adat kehormatan sudah ada sebelum islam. Jika kita bertahan pada budaya dengan mengatasnamakan islam, maka kita sama saja menyembah apa yang manusia bukan tuhan ciptakan! Bukankah itu disebut menyembah berhala?.(99)
        Dengan buku ini, Irshad tak hanya menjelaskan bagaimana pentingnya mengembangkn integritas, karena dengan integritas itu pula ia berharap dapat membangkitkan para umat agama yang merasa takut berbicara tentang agama dan tentang kebenaran. Buku ini pun mengajak kita, bahwa agama mesti disandingkan dengan iman.

Iman tidak melarang eksplorasi, dogmalah yang melarang. Secara intrinsic dogma terancam oleh pertanyaan-pertanyaan. Sementara iman menerima pertanyaan-pertanyaan karena iman meyakini bahwa Tuhan yang maha pengasih bisa menghadapi semua itu(xx).  

Terakhir buku ini sebagaimana dalam pembuka setidaknya menyerukan pesan penting yakni pentingnya mengubah amarah menjadi aspirasi. Mengapa tidak eskpresi kemarahan berbagai orang yang merupakan ekspresi keagamaan kita, kita jadikan aspirasi untuk membangun dunia yang lebih baik.


            *)Penulis adalah Mahasiswa UMS, mengelola kawah institute Indonesia 

             *)Tulisan mampir di retakan kata 20 juni 2012

Kiri Mencipta Indonesia



Judul buku                              : “Mencari kiri, kaum revolusioner indonesia dan revolusi mereka”
Penulis                                     : Jacques Leclerc
Penerbit                                   : Marjin Kiri
Tahun                                      : Oktober 2011
Tebal                                        : 178 halaman
Harga                                      : Rp.30.000,00
ISBN                                       : 978-9791260121


Kiri mencipta Indonesia

Oleh arif saifudin yudistira*)

            Ketika kita bertanya apakah sukarno adalah orang PKI?. Ada berbagai pro dan kontra dengan berbagai alasan yang panjang lebar. Ketika kita bertanya apakah sukarno adalah orang kiri? Tentu tak banyak perdebatan, mereka akan mengatakan sukarno adalah orang kiri. Istilah orang kiri menjadi sesuatu yang wajar sebelum terjadinya kisruh PKI pada 1926 dan peristiwa 1948. Kiri ditelusuri secara baik dan bahasa yang cair oleh sejarawan perancis yang meneliti indonesia jacques leclerc. Dalam buku  : “mencari kiri, kaum revolusioner indonesia dan revolusi mereka”(2011) jacques tak hanya lihai menelusuri konflik dan pergulatan kaum kiri indonesia yang membangun negerinya dari sejak sebelum kemerdekaan hingga paska kemerdekaan. Ia mengatakan dalam buku ini: “kata kiri dalam perbendaharaan kata politik international agaknya merupakan konsekuensi dari revolusi perancis ; kata “kiri” seringkali digunakan dalam perempat abad 19 dan “kiri” juga menunjuk ide-ide wakil rakyat yang duduk sisi sebelah kiri ketua di ruang parlemen perancis. Mula-mula kiri didukung untuk tuntutan “kedaulatan bangsa” melawan kekuatan raja”.
            Lebih lanjut Jacques dalam buku ini, ia menerangkan kiri di indonesia bermula dari syarekat islam yang terpisah menjadi dua yakni SI merah dan SI putih. Tidak sekadar itu, ia melihat bahwa konflik tokoh dalam kekuasaan SI pada waktu itu juga berpengaruh dan menjadi sebab utama berpisahnya SI tersebut. Yang kemudian memunculkan partai komunis indonesia(PKI). Istilah partai  merujuk pada kata melayu yakni persyarikatan, yang terjemahan bahasa belanda partij. Jacques menelusuri istilah penggunaan partai ini dengan sangat baik, ia menyebut PKI lah organisasi politik di indonesia pertama kali yang menggunakan istilah partai.
             Jacques menguraikan lebih jauh lagi, PKI didirikan dengan maksud : “Tidak lagi hanya menyemai ide-ide tapi harus dijaga agar ide-ide tersebut bisa menjadi buah, dan menjadi tekad untuk itu diperlukan organisasi yang mampu melaksanakan tekad tersebut,menjalankan perubahan politik,yang membangkitkan dan dapat menjadi pemimpin dari gerakan yang dilahirkan oleh tekad tersebut”. Inilah alasan, mengapa dikemudian hari, PKI adalah partai massa terbesar dengan kerelaan para anggotanya yang sadar akan ideologi maexis-leninis dan percaya pada harapan dan perubahan bisa ditempuh dengan jalan partai.
            Buku yang merupakan tulisan jacques ini menelusuri kiri dengan pemaknaan yang condong pada gerakan revolusioner indonesia, meskipun ia juga membahas marhaenisme adalah konsepsi kiri indonesia atau protelariat indonesia, ia lebih menekankan kajiannya pada kelahiran partai komunis indonesia, hingga paska kemerdekaan partai ini masih berpengaruh terhadap pencarian identitas kiri indonesia. Ia memaparkan dalam empat bab tulisan, pertama berbicara tentang aliran komunis indonesia: sejarah dan penjara, kedua amir syarifudin antara negara dan revolusi, ketiga aidit dan soal partai tahun 1950, dan terakhir tentang kondisi kehidupan partai :Kaum revolusioner indonesia mencari identitas(1928-1948).
Membicaran “kiri” secara objektif
            Jacques melalui bukunya ini ingin menjelaskan bahwa PKI pun juga berpengaruh dalam membentuk identitas indonesia. Istilah perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan kolonialisme dan imperialisme tidak mungkin dilepaskan begitu saja dari peranana partai salah satunya PKI. Sukarno sering berseru dari pidato-pidatonya bahwa partai harus menjadi penuntun, pendidik dalam garda depan mewujudkan revolusi. Melalui partai itulah dulu masyarakat tahu dan mengerti betul makna revolusi dan makna berpolitik. Sebab PKI menerapkan disiplin tegas kepada anggotanya dan penyadaran betul makna revolusi itu. Ini menumbuhkan partai ini memiliki kader-kader militan seperti musso,semaun, tan malaka, aidit, dan amir syarifudin.
.           Jacques lihai melihat narasi PKI dari awal berdirinya, hingga pertikaian aidit dengan hatta di tahun 1948 waktu pemberontakan madiun. Jacques menjelaskan bahwa ada yang janggal dari pemberontakan  PKI tahun 1948. Di dalam buku ini, lebih diungkap bahwa ada perselisihan antara amir syarifudin dan hatta. Meskipun van mook menyebut amir dengan sebutan merah, sudjatmoko dengan sebutan : “orang yang tinggi pengetahuannya, dan pesona pribadi yang luar biasa”. Hatta menyebut amir suka memukul isterinya(Hatta menjawab, 1978: 23).
            Buku ini penting, untuk menjelaskan bahwasannya PKI adalah kiri yang masih mencari identitasnya. Jacques menelusuri partai dengan disiplin terbaik, dan perkaderan terbaik pula, sehingga kader-kadernya militan meskipun diterjang dengan berbagai persoalan tragedi madiun, PKI masih bisa memperoleh perolehan suara terbesar keempat tahun 1955 dibawah kepemimpinan aidit. Buku ini menjelaskan pula, kiri tak selalu identik dengan kejam dan beringas, tapi kiri juga ikut membentuk dinamika kemerdekaan indonesia baik sebelum, pada kemerdekaan hingga tahun 1928 pada waktu sumpah pemuda.
            Membaca buku “mencari kiri, kaum revolusioner indonesia dan revolusi mereka” dalam buku ini kita seperti tak habis diajak untuk menelusuri istilah kiri yang berhubungan dengan  kata revolusioner. Ini penting untuk memahami istilah “kiri” yang muncul pada masa kini misalnya  “islam kiri”baik yang dicetuskan hassan hanafi maupun oleh eko prasetyo dalam bukunya “islam kiri melawan kapitalisme global”

" Kiri belum selesai hingga kini, dan kiri tak bisa kita nafikkan ikut serta dalam pembentukan indonesia. Begitu  "
           

           
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta bergiat di bilik literasi solo, aktifis IMM, mengelola kawah institute Indonesia
*)Tulisan termuat di Koran opini. 30 januari 2012 



Dari Pesan Singkat Hingga Kebijakan Kenegaraan

Judul buku                              : Sahabat,Salam Indonesia Bunga rapai sms Dr.Darwin Zahedy Saleh(2008-2011)
Penulis                                     : Munawar Fuad Noeh
Penerbit                                   : Gramedia Pustaka Utama
Tahun                                      : 2011
Tebal                                       : 344 halaman
Harga                                      : Rp.51.600,00
ISBN                                       : 978-979-22-7471-4

Dari Pesan Singkat(SMS)Hingga Kebijakan Kenegaraan

Oleh Arif Saifudin yudistira*)

        Mencermati, dan mengilhami buku Sahabat,Salam Indonesia Bunga rapai sms Dr.Darwin Zahedy Saleh(2008-2011)ibarat membaca biografi tokoh sekaligus menteri ESDM ini. Kita seperti diajak untuk menelisik, menelusuri, dan juga membaca kembali fenomena-fenomena selama selama tiga tahun yang lalu hingga saat ini. Mengapa Dr.darwin Zahedy Saleh mengirim sms?. Ini bisa ditelusuri dari jawaban ia sendiri dalam bukunya. Sebagaimana pengakuan Dr.Darwin Zahedy Saleh, ia mengatakan : “SMS yang saya buat terinspirasi dari Socrates…sekadar terfikir…mudah-mudahan sms ini akan memancing kebaikan yang lain”.
        Siapa sangka bermula dari pesan singkat menjadi inspirasi membangun kebijakan, membaca fenomena kebangsaan menghasilkan bunga rampai dan percikan pemikiran. Penulis Munawar Fuad Noeh menyadari, bunga rampai percikan pemikiran ini akan sia-sia dan terbengkalai begitu saja ketika sms atau pesan singkat itu hilang begitu saja. Maka ketekunan munawar fuad noeh berhasil mengabadikan dalam buku ini. Lalu masih adakah orang yang meremehkan pesan singkat?.Kita terlalu menganggap remeh kebudayaan kita yang “mau tidak mau” harus hidup pada jaman teknologi informasi yang menuntut arus informasi berjalan demikian hebatnya. Pesan singkat atau sms adalah hal yang sering kita abaikan dalam keseharian kita, apalagi pada pesan singkat yang terdapat pada hape yang mempunyai keterbatasan menyimpan pesan.
   Beruntung Munawar fuad noeh tak hanya tekun dalam menyimpan dan mendokumentasikan pesan singkat dari Dr. Darwin Zahedy Saleh, tapi juga memberi ulasan dan gambaran mengenai konteks dan relevansi pesan terhadap kebijakan pak menteri yang dipikirkan dengan pertimbangan yang masak dan serius. Buku ini dibagi dalam lima pokok pemikiran, yang diambil dari tema umum sms Dr. Darwin Zahedy Saleh. Selaku menteri ESDM, DZS mempedulikan spirit membangun energy, keadilan ekonomi, spirit demokrasi bermartabat, pendidikan berbudaya, serta kepemimpinan adiluhung. Kelima spirit ini diuraikan dalam peristiwa yang berbarengan dengan sms tersebut dihadirkan dan juga berimplikasi terhadap kebijakan pak menteri yang akan diambil.
       Perhatian dan sikap Darwin Zahedy Saleh dalam menanggapi fenomena CSR terlihat dalam sms pada 10/5/2011. Ia menunjukkan sikap bangga dan mengajak kita semua untuk belajar dari Caltex dan Newmont. Ia memandang moderat dalam menyikapi CSR dan perusahaan asing. Sikap moderat itu seperti menunjukkan bagaimana kepemimpinan DZS tidak lain dan tidak bukan adalah mengambil jalan aman atau cari aman. Dibandingkan dengan sms di bulan sebelumnya yang prihatin dan merasa miris dengan kekayaan alam Indonesia yang belum dimanfaatkan sepenuhnya.
       Sebagaimana dalam subject sms “ekspedisi kekayaan energy” ia menuliskan : “kita ingin energy dan kekayaan mineral negeri ini menjadi sumber daya dan memberdayakan”.Lebih kontras lagi dengan pernyataan pak menteri ESDM dalam pesannya lebih lanjut dengan subject “membangun kemandirian”. Ia menunjukkan dan ingin mengatakan bahwa utang Rp.1700 trilliun disebabkan karena banyaknya surat utang dalam negeri, dan bangsa ini punya cara sendiri untuk menyelesaikannya. Ini bertentangan dengan konsepsi pak menteri sendiri yang menginginkan sumber daya energy kita menjadi sumber daya dan memberdayakan jika dilihat konteks Freeport sekarang yang memiliki penghasilan 800 trilliun, sedangkan APBN kita tidak sampai dengan capaian Freeport tersebut.
          Meskipun buku ini memiliki kekurangan, yakni ditulis oleh asisten menteri ESDM yang kurang lebih memiliki pandangan subjektif. Selain itu, DZS adalah menteri ESDM yang mau tidak mau menampik dan berfihak pada opini pemerintah, meskipun ada beberapa opini masyarakat atau publik yang perlu di klarifikasi. Buku ini seperti menghasilkan sebuah percakapan antara tidak hanya staff, tapi keinginan seorang menteri untuk sekadar berbagi dan juga memerlukan permenungan, kritik, dan saran yang memungkinkan seorang menteri mengambil kebijakan tertentu. Sikap seperti itu perlu dihargai, akan tetapi mau tidak mau kepemimpinan memegang peranan penting dalam elemen kebangsaan kita. Yakni kepemimpinan SBY. Yang secara factual, kali ini SBY tak lain sebagaimana yang ditulis radar panca dahana sebagai “pemimpin minim ambisi”(kompas,27/11/2011)..
        Selain itu,sebagai sosok manusiawi, Dr. Darwin Zahedy saleh memberikan permenungan kepada kita tentang kondisi bangsa ini dalam pesan : “Membangun bangsa tidak sama dengan membangun rumah di lahan yang kosong dimana kita harus menggali tanah untuk membuat fondasinya. Rumah kebangsaan kita sudah terbentuk di atas fondasi yang sangat kokoh. Namun kita perlu terus-menerus merawat dan menyesuaikan kondisi bangunannya dengan keadaan yang dinamis, bukan membongkar dan mengganti fondasinya,ini adalah tugas kebudayaan. Karena itu pembangunan bangsa ke depannya sebenarnya lebih merupakan soal bagaiamana merancang strategi kebudayaan”. Ia merasai tradisi demokrasi kita semakin tak beradab, tapi juga para politikus kita lebih condong ke pada sosok politikus saja dan bukan seorang negarawan.
            Bagaimanapun juga buku Sahabat, Salam Indonesia tetap merupakan buku penting bagi kita untuk mengingatkan kembali arti kepemimpinan dan peran kepemimpinan yang tetap akan membutuhkan kritik dan saran serta hubungan yang tak terlepas dalam masyarakat yang dipimpinnya, apalagi dalam konteks kenegaraan. Pemimpin dituntut untuk bisa bertindak bijak dan tegas serta tepat dalam pilihan kebijakannya, sebab implikasinya akan berimbas pada rakyat serta dirinya juga. Buku ini memberi jawaban panjang lebar soal dan bagaimana bersikap dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara meskipun lewat sms yang dipandang oleh banyak orang sebagai hal yang tidak biasa dilakukan oleh pejabat ataupun pemimpin kita.
       
     "Melalui pesan singkat itulah, tanpa sadar, muncul kebijakan- kebijakan yang controversial,berdamai dengan publik, atau bahkan mendapatkan protes dari publik, Tapi paling tidak, pesan yang didengungkan oleh DZS mempunyai satu titik persamaan dengan kita, yakni kejujuran, keterbukaan dan sama-sama menginginkan bangsa kita menjadi bangsa yang lebih baik"

            *) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Presidium kawah Institite Indonesia
               *) Tulisan ini pernah termuat di Koran opini.com 



Dunia Yang Lebih Indah Dalam 12 Langkah



Judul Buku                : COMPASSION 12 langkah hidup berbelas kasih
Penulis                        : Karen Amstrong
Penerbit                     : Mizan
Harga                         : Rp.39.000,00
ISBN                           : 978-979-433-594-9

Dunia Yang Indah Dalam 12 Langkah
Oleh Arif Saifudin yudistira*)
            Dunia yang lebih baik, damai, dan beradab tentu adalah cita-cita dan harapan bagi semua orang. Akan tetapi terkadang sikap-sikap manusia modern cenderung tak mengarah ke arah sana, mereka cenderung menganggap nilai-nilai dan kebijaksanaan yang ada pada para pemikir dan pendahulu mereka adalah nilai-nilai usang. Sebab itulah mereka menciptakan nilai baru bernama modernitas dengan berbagai hiruk pikuknya. Dengan itu pula,tanpa sadar modernitas telah mengeliminasi batas-batas antar negara, tapi juga mengeliminasi batas-batas kehidupan kita yakni hilangnya kemanusiaan kita. Tak hayal demi kepentingan dan keserakahan manusia perang dan konflik antar negara menjadi sesuatu yang tak terelakkan.
            Karen amstrong penerima penghargaan TED(technology, entertainment, design) tahun 2008, membedah dengan mahfum, bahwa sebenarnya kita bisa merancang dunia ini menjadi lebih baik, dunia yang lebih damai dengan 12 langkah saja. 12 langkah inilah yang juga merupakan intisari ajaran-ajaran agama di dunia.Dalam 12 langkah ini pula Karen amstrong tak meninggalkan dan melupakan jejak para nabi dan pemikir agama pada masa-masa sebelumnya. Muhammad,Yesus, Dharta Gautama, hingga Gandhi dan marthin luther serta pemikir lain menurut Karen amstrong mereka adalah filosof, dan teladan yang sangat berharga bagi kita semua.
Belas Kasih
            Menurut Amstrong, hidup dengan belas kasih adalah ujian spiritualitas sejati. Untuk bisa hidup dengan belas kasih, kita mesti mempraktekkan compassion yakni melihat ke dalam hati kita sendiri,menemukan apa yang membuat kita tersakiti,dan kemudian menolak dalam keadaan apapun untuk menimbulkan rasa sakit itu pada orang lain. Oleh karena itulah, 12 prinsip untuk mencipta hidup yang lebih baik dimulai dengan belajar tentang belas kasih. Amstrong mengutip ajaran taurat “kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu”. Dalam ajaran tentang belas kasih kita juga mengenal prinsip-prinsip dari Al-qur’an yang disampaikan melalui Muhammad SAW. “Tidak seorang pun dari kamu bisa dikatakan beriman kecuali ia menghendaki untuk tetangganya apa yang ia kehendaki untuk dirinya sendiri”.   Dalam ajaran nasrani, yesus pun pernah mengatakan :”Kasihilah sesamamu, jika kau ditampar pipi kananmu berikan pipi kirimu, jangan kau balas dengan kekerasa”. Belas kasih tak hanya sekadar ajaran yang perlu di dengungkan di saat ini, tapi ini sudah diserukan oleh para filosof dan para nabi di masa-masa itu, untuk melawan kekerasan dengan prinsip belas kasih tadi.
            Langkah berikutnya dalam kaidah emas yang disarankan amstrong adalah lihatlah dunia anda sendiri, maksudnya dengan melihat lingkungan terkecil kita yakni keluarga. Konghucu mengatakan keluarga adalah sekolah kasih sayang sebab disanalah kita belajar untuk hidup dengan orang lain. Setelah melihat dunia kita sendiri, langkah selanjutnya adalah belas kasih pada diri sendiri. Dengan maksud diri yang mengorbankan orang lain adalah sebuah khayalan yang picik dan lebih kecil daripada seharusnya. Amstrong berkeyakinan belas kasih pada diri sendiri tak mesti harus menyakiti orang lain.        Empati, perhatian penuh, tindakan adalah tiga langkah berikutnya. Dengan empati serta perhatian penuh pada orang lain hingga tindakan sekecil apapun untuk dunia yang lebih baik, berarti kita sudah berusaha untuk mewujudkan dunia yang lebih baik.
            Dengan sikap inilah kita bisa melangkah pada langkah berikutnya yakni menyadari betapa sedikitnya yang kita ketahui, mendialogkan diri dengan mempelajari bagaimana kita berbicara pada sesama hingga pada sikap peduli terhadap sesama. Kepedulian pada sesama tak mungkin bisa dilakukan selama seseorang tak menyadari akan kekurangan dan kelebihan diri untuk belajar dari orang lain, berdialog, dan mempedulikan sesamanya.
Untuk itulah, dengan pengetahuan, kita bisa melakukan pengakuan tertinggi bahwa manusia tak lebih dari makhluk lemah disanalah agama berperan, amstrong menyebut prinsip islam yang meletakkan sujud di atas tanah tak mungkin bisa dilakukan oleh manusia sombong dan angkuh. Oleh karena itu, amstrong melihat langkah terakhir dari kaidah emas tak lain adalah mencintai musuh. Amstrong menyebut Gandhi dan King yang merupakan dua profil manusia yang mencintai musuh, cinta menurut Gandhi tak bisa pilih kasih termasuk pada musuh kita sendiri, maka dari ajaran-ajarannya lah kita bisa belajar perlawanan pasif, bahwa perlawanan tak mesti harus menyakiti dan melukai orang lain atau musuh kita. Dengan inilah,dunia yang diimpikan oleh umat manusia bisa terwujud.  
            Pencapaian tertinggi dari 12 langkah ini tak lain adalah sikap compassion yang tak mau melakukan apapun yang mengakibatkan menyakiti orang lain, sebab rasa sakit itu pula yang bisa dirasakan seumpama kita diperlakukan oleh orang lain dengan sikap yang sama. Melalui buku ini amstrong mengajak kita semua untuk mulai memikirkan dan menerapkan prinsip hidup belas kasih dan dengan itu pula amstrong meyakini bahwa perdamaian dan keadilan bisa diwujudkan. Hidup yang lebih baik bisa dijalankan bersama-sama.
           

*) Penulis adalah mahasiswa UMS  bergiat di bilik literasi solo 

Tulisan di muat di koranopini.com 19 maret 2012


Tuesday 25 December 2012

Kematian,Pembicaraan Yang TaK Selesai





Judul                                      : KEMATIAN; Sebuah Risalah Tentang Eksistensi dan Ketiadaan
Penulis                                  : Muhammad Damm
Penerbit                                : Kepik, DEPOK
Tahun                                    : 1, November 2011
Tebal                                      : xxviii+124 halaman
ISBN                                       : 978-602-99608-1-5
Harga                                     : Rp. 45.000,-


Kematian, Pembicaraan Yang Tak Selesai 

Oleh arif saifudin yudistira*)

“ya, kalau anda mati, anda tidak perlu apa-apa lagi. Anda tidak perlu mobil, uang,tak butuh isteri,anda tak punya keinginan lagi.Seperti Tuhan tidak butuh  uang,isteri, atau mobil bukan?.Jadi menyenangkan kalau orang tidak perlu apa-apa lagi dan sesudah anda meninggal, itulah yang terjadi”(Geertz,mojokuto,1989 :100-101).

            Mati adalah pasti, bagaimana menghadapi mati itulah yang mesti kita pikirkan. Begitulah awla kita mendiskusikan dan membicarakan kematian. Kematian memang tak selalu terlepas dari kehidupan, kehidupan ada karena sebelumnya ada kematian. Kematian menyimpan sejarah, eksistensi, hingga narasi yang mendalam dalam dunia manusia. Sebab eksistensi manusialah yang kemudian menganggap mati bagian dari ketiadaan eksistensial. Kematian jika dipandang dari sudut eksistensial inilah, kemudian menjadikan kematian itu selesai, setelah orang itu mengalaminya. Sebab eksistensi manusia akan berakhir setelah ia mati.
            Buku garapan Muhammad Damm ini mencoba berfikir dari cara pandang lain, ia mencoba membicarakan bentuk-bentuk kematian, mendefinisikan kematian itu sendiri. Ia keluar dari cara pandang selama ini yang membicarakan eksistensi tapi menafikkan esensi dari kematian itu sendiri. Sebab tidak setiap dari kita pernah mengalami kematian dan tak memiliki cerita dan juga pengertian, sebab setelah mati kita tak memiliki eksistensi dan juga merasakan apa itu mati. Bahkan orang mati suri, diyakini dam hanya merasakan pengalaman kematian, tapi tidak mengalami kematian itu sendiri. Inilah yang membuat kematian itu selalu dan tak pernah usai jadi perbincangan. Sebab kematian ternyata menyimpan berbagai cerita hingga menyentak perhatian manusia baik dari peristiwa mati dalam bentuk fisik(tubuh), mati eksistensi(kematian bahasa), hingga pada kematian jiwa.

Kepentingan Kematian

            Manusia sering kali jeli dan penasaran dengan usahanya menyingkap dunia kematian itu sendiri. Banyak yang kemudian mencoba melakukan eksperimen sampai pada pembuatan kartun, pembuatan film, hingga pada perbisnisan dan eksploitasi berita kematian. Meskipun berita kematian itu bukanlah yang dimaksud kematian itu sendiri. Titik pandang kita ketika membicarakan kematian seringkali bersifat menegasikan. Bahwa dengan mati itulah, kehidupan mesti dimaknai. Dengan adanya kematian itulah, hidup mesti mempersiapkan dan berbuat sebaik-baiknya. Ritus ibrahimik menjelaskan bahwa kematian itu adalah ketiadaan dan pengharapan. Pada kondisi ini, manusia memiliki imajinasi dan harapan yang melampaui kehidupan itu sendiri, dengan berbagai imajinasi kesenangan atau sebaliknya. Meskipun mereka belum mengalami kematian, imajinasi ini dihadirkan untuk mempersiapkan dan menghadapi apa yang disebut kematian itu sendiri.
            Melalui media yang ada saat ini, kematian pun jadi lahan berita yang cukup menarik dikemas dengan bahasa-bahasa yang berubah-ubah. Sebab itulah kematian menjadi sesuatu yang tka pernah berhenti, ia selalu berubah-ubah termasuk dalam konstruksi manusia membahasakan kematian. Kematian pun tiba-tiba jadi lahan bisnis melalui film-film yang mengangkat mitos-mitos tentang kematian, yang banyak meraup keuntungan melalui pembuatan film serial “pocong” dengan berbagai kondisi. Pocong tak dianggap lagi sebagai orang mati, tapi pocong dianggap sebagai dunia entertaintment paling laku saat ini. Pun kita juga melihat bahwa kematian berurusan dengan persoalan politik juga, melalui kematian dan ketokohan seseorang, pejabat merasa perlu untuk berbela sungkawa di media massa, hingga melantunkan pidato kematian untuknya.

 " Singkatnya kematian menyingkap berbagai kepentingan dan mengucapkan bagaimana orang menyikapinya "


Tak Selesai

            Selama manusia hidup, selama itulah kematian akan tetap terus dan relevan dibicarakan. Melalui kematian itu pula kita memahami kematian bukan hanya negasi atas kehidupan, kematian bukan hanya sekadar ketiadaan kehidupan melainkan ketiadaan kemanusiaan juga.(Damm, 2011).Pembicaraan kematian dalam buku ini mengisahkan bahwa kematian itu adalah bagian dari kerangka filsafati yang perlu didudukkan dalam konteks filsafat. Kematian dalam kerangka filsafat itu mendudukkan kematian sebagai konseptual dan bukan eksistensial. Sebagaimana paparan Damm dalam buku ini, ia mencoba menjelaskan selama ini kita sebenarnya tidak sedang menangkap kematian yang tengah terjadi dihadapan kita, melainkan dengannya kita memutuskan bahwa kejadian yang ada dihadapan kita adalah kematian. Buku ini adalah cara kita untuk menjelaskan dan mengartikulasikan kematian itu ada dan tak pernah selesai diperbicangkan. Dalam buku inilah ia diposisikan yang membincangkan kematian antara eksistensi dan ketiadaan sebagaimana yang ada dalam judul buku ini.


*)Penulis adalah Mahasiswa UMS, penggiat di bilik literasi,presidium kawah institute Indonesia 

*)Tulisan termuat di koran opini.

Kegagalan PKI Dan Pembunuhan Massal


Judul buku                                : Penghancuran PKI
Penulis                              : Olle tornquist
Penerbit                                      : Komunitas bambu
Tahun                                 : oktober, 2011
Tebal                                : 383halaman
Harga                                   : Rp.95.000,00
ISBN                                        : 979-3731-25-7

   

Kegagalan PKI dan pembunuhan Massal

Oleh arif saifudin yudistira*)

PKI memang tidak bisa kita lupakan dalam sejarah kenegaraan kita. Sebab disamping menyimpan berbagai kenangan kelam, tapi juga menyimpan misteri yang belum bisa kita pecahkan hingga kini.Tragedi 65 yang pernah mencoreng negeri ini tetap mendekam di memori banyak orang baik peneliti, sejarawan, hingga masyarakat kita yang mengalami trauma yang mendalam. Di awal berdirinya, tahun 1920-an PKI memang didirikan dengan pengaruh sneevliet yang memimpin pergerakan sosialis demokrat di belanda. Atas pengaruhnya beberapa tokoh sarekat islam pun ikut dalam PKI seperti semaun, tan malaka, darsono, dan alimin. Tokoh-tokoh tersebut akhirnya memisahkan dari sarekat islam, dengan membentuk sarekat merah.

Dalam waktu yang sangat singkat, PKI memperoleh basis massa yang cukup banyak karena sesuai dengan impian rakyat yang merindukan ratu adil yang bisa membebaskan rakyat dari kesengsaraan dan ketertindasan. Maka dari itu, PKI dianggap sebagai organisasi yang bisa membawa ke jalan perubahan tersebut. Di tahun 1926, PKI mencoba melakukan pemberontakan di madiun. Di tahun ini,PKI mengalami kegagalan pula dalam melakukan strategi berikutnya setelah mengalami kegagalan dalam melakukan pemberontakan tersebut. Banyak yang tidak sepakat sebenarnya akan pemberontakan tersebut yang menilai massa aksi belum siap dalam melakukan putch. Salah satunya tan malaka.

Paska pemberontakan, PKI mengalami pasang surut dalam pergerakannya, ia mesti berhadapan dengan berbagai tudingan, fitnah, hingga pemimpinya sering di penjara dan diasingkan. Akan tetapi, PKI tetap saja memiliki basis massa yang masih setia di beberapa daerah. Setelah menyadari, kontak senjata tak cocok buat indonesia, dibawah kepemimpinan aidit, PKI memimpin pergerakannya kembali dengan cara berkolaborasi dengan borjuasi nasional dan dibawah kepemimpinan sukarno.Kepemimpinan aidit merujuk pada gagasan musso bahwa seluruh orang komunis harus melakukan kegiatan di dalam partai dan menciptakan profilnya sendiri. Melalui BTI, gerwani, SOBSI gerakan pemuda rakyat PKI menjadi organisasi partai terbesar di indonesia. Ia mengklaim beranggotakan delapan juta orang di tahun 60-an. Di tahun ini pula PKI mulai gencar menekan sukarno untuk menetapkan undang-undang pokok agraria, setelah UU pokok agraria di tetapkan PKI terlibat konflik dengan masyarakat bawah yang tidak mau menerapkan UU ini, mereka dinilai pro kapitalis.

            Buku Olle tornquist memberikan penjelasan dengan gamblang mengapa PKI, partai yang memiliki anggota jutaan bisa ditumpas habis dalam seketika. Menurut Olle tornquist, masalaha utama bukan hanya pada Aidit yang kekanak-kanakan terhadap sukarno, tapi juga persoalan strategi yang tak mampu lagi menghadapi kapital primitif serta penyisihan surplus paska kolonial.Selain persoalan strategi yang berkiblat pada moskow, PKI juga mengalami kesalahan analisis mengenai sukarno yang digadang-gadang mendukungnya.

            Saat itulah, PKI mengalami kemunduran, dan jalan ini digunakan oleh angkatan darat untuk melenggangkan kekuasaannya. Buku ini mengupas lima pokok persoalan mengapa PKI gagal : pertama, PKI gagal dalam membaca siapa borjuasi nasional dan makhluk aneh lainnya. Kedua, PKI gagal menganalisa tuan-tuan baru anti imperialisme. Ketiga, PKI tak mampu menghadapi jalan buntu demokrasi yang menjadi cita-cita gerakan-gerakan lain, karena PKI menempuh diktatur proletariat. Keempat, persoalan kegagalan dan ketergesaan dalam memobilisasi petani. Kelima, PKI gagal menganalisa siapa proletariat(kaum buruh) yang sebenarnya dan menganalisa sebab-sebab kegagalannya.

            Kelima alasan ini, dianalisis olle tornquist dengan lugas, bahwa tak hanya persoalan strategi, tapi PKI gagal memprediksi tokoh kunci yang selama ini dipercayainya yakni sukarno yang ia lebih mementingkan pada citra dan persoalan kepemimpinannya sendiri. Sukarno paska demokrasi terpimpin memang menggunakan PKI dan juga angkatan darat dibawah kepemimpinannya untuk mendukung demokrasi terpimpinnya. Sukarno pun berusaha menjaga keseimbangan diantara keduanya. Meskipun di tahun 60-an PKI memanfaatkan kepemimpinan dan isu reforma agraria sebagai landasan bergeraknya dan gesekan masyarakat bawah.

            Yang menarik dari paparan olle tornquist adalah analisanya mengenai marxis yang dianggap tak mampu lagi menjelaskan persoalan kapitalisme di indonesia. Ia mengatakan : “marxisme dewasa ini tak punya kemampuan melakukan analisis atau menjelaskan pertumbuhan kapitalisme di sebuah negara seperti indonesia,tanpa menafikkan ciri-ciri militer imperialisme atau kenyataan”patrimonialisme”. Lebih lanjut ia mengatakan tidak ada komparador neokolonial,”kapitalis birokrat” maupun borjuasi nasional. Sedangkan PKI terjebak pada arus pengertian tadi.

            Dari sebab itulah, PKI dengan mudah bisa dihancurkan meski dengan jutaan massa, PKI di akhir massanya tak mampu lagi melawan dominasi kekuasaan yang dijalankan angkatan darat melalui kepemimpinan suharto yang disebut oleh john rossa menggunakan kudeta merangkak. Lewat stigmatisasi dan kampanye penculikan dan pembunuhan jenderal dan gerwani yang diisukan memutilasi para jenderal. Akhirnya PKI berhasil ditumpas dan sejak itulah pembunuhan massal berlangsung dengan cepatnya. Bahkan di dukung oleh mahasiswa pada waktu itu. Alhasil, melengganglah orde baru dengan berbagai strategi pembangunannya.



*) Penulis adalah mahasiswa UMS, bergiat di bilik literasi solo, mengelola kawah institute indonesia

*)Resensi termuat di koranopini.com pada 28 februari 2012