klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Thursday 30 October 2014

Sahabat





“kita semua ingin mempunjai kawan2, tetapi kita tidak menjediakan tjukup waktu dan fikiran untuk mengadakan pilihan jang teliti dan memelihara persahabatan itu”

          Hari yang gerah, setelah dua hari lalu hujan turun, kini hujan sembunyi lagi. Mungkin ia resah mendengar tak kunjung manusia berhenti mengeluh. Barangkali hujan pun tak mau dikatai sebagai penyebab banjir atau angin topan. Di sore yang gerah itu, aku memesan sprite bercampur es, biar lega dahagaku. Aku nongkrong bersama ibu-ibu tua, menghabiskan serial buku pembimbing hidup bahagia. Buku kecil itu adalah buku lawas yang kukopi dari temanku Ngadiyo. Aku sudah membaca dua buku sebelumnya Memahami Permusuhan pada Anak dan buku Membantu  anak jang berbakat, kini aku menghabiskan buku Mentjari dan Memelihara Persahabatan (1952). Buku ini adalah buku ringkas yang mengupas seluk beluk persahabatan dan pentingnya persahabatan, problem persahabatan, jenis sahabat yang manfaat dan tidak. Mengapa kita memerlukan sahabat, atau teman?, dalam buku ini penulis mengatakan alasannya karena “kita termasuk makhluk social, kita tidak diciptakan untuk hidup sendiri di pulau tandus jang terpisah satu sama lain”(h.3).  Dalam masa-masa remaja, kita akan menemui sikap ingin berkumpul, ingin menambah teman. Kebanyakan orang jang masih berumur belasan tahun ingin terkenal dan disukai orang. Ini merupakan salah satu cirri dari puberitas, masa puberitas ini ditandai dengan perasaan ingin diperhatikan. Karena itulah, sering anak-anak yang memasuki usia belasan, mereka ingin mendapat perhatian tak hanya dari orangtua, tetapi juga guru dan teman-temannya. Persahabatan akan berjalan dengan lancar bila syarat-syaratnya terpenuhi. Penulis buku ini William C Menninger menuliskan syarat-syarat menjalin persahabatan adalah keichlasan. “Djujurlah terhadap dirimu sendiri dan hiduplah sesuai dengan deradjatmu. Djika engkau ichlas kepada dirimu, engkau mewakili dirimu dengan djujur dan lajak kepada  orang lain”. Bila persahabatan tanpa kejujuran, maka kita akan melihat bahwa persahabatan itu biasanya tak berumur lama. Akan ada ketidakterbukaan, akan ada konflik dalam persahabatan itu. Bila konflik itu sudah memuncak, maka persahabatan itu rusaklah sudah. Syarat yang kedua adalah kesetiaan. Bila persahabatan tidak dibangun diatas kesetiaan, biasanya persahabatan ini bermotif. Mungkin karena ingin mendapatkan manfaat dari sahabat kita, atau keuntungan lainnya. Syarat ketiga adalah harus dapat dipercayai  atau kepercayaan. Selain itu, dalam persahabatan tentu kita akan menemui pengorbanan.  Dengan pengorbanan itulah, persahabatan semakin kental terjalin.
          Kita akan menemukan macam-macam motif orang yang ingin menjalin persahabatan dari buku ini. Menurut penulis banyak motif orang menjalin persahabatan, diantaranya adalah teman-teman yang memenuhi berbagai kebutuhan. Biasanya teman yang seperti ini akan memenuhi keinginan kita yang memuaskan. Dalam bahasa kita, teman itu royal. Jenis teman kedua adalah kawan penasehat.  Jenis teman yang seperti ini, biasanya dibutuhkan di saat-saat kita membutuhkan kisah, pengalaman dan cerita dari seseorang yang sudah lebih dulu mengalami. “Biasanya seorang penasehat adalah orang yang lebih tua dan lebih berpengalaman daripada engkau sendiri. Kawan-kawan pertama sematjam ini bagimu adalah orangtuamu—engkau pergi kepada mereka ketika djarimu kena pisau, ketika kau berkelahi dengan indera, dan ketika engkau mengetahui pakaian apa jang harus kau pakai untuk pesta”(h. 18). Selain itu, jenis teman lain adalah teman yang memilki perhatian jang sama. Kita sering menyebutnya hobi, kegemaran. Kegemaran ini tak hanya bidang olahraga, bisa jadi dalam bidang kegemaran menaiki motor, dan sekarang lebih berkembang daripada di masa lampau. Persahabatan ini tak hanya menambah kesenangan dan rasa suka kita, tetapi ia juga meningkatkan pemahaman kita lebih luas. “makin banjak kawan kau miliki dan makin banjak kalangan kau masuki—dalam batas2 jang pantas— makin beraneka warna pengalaman2mu dan makin memuaskan persahabatanmu”. Persahabatan pun perlu keberterimaan. Kita perlu memasuki dunia pribadi sahabat kita. Dalam sisi inilah, kita tak bisa tidak harus menerima apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan sahabat kita. Anak-anak muda biasanya memiliki alasan dalam persahabatan diantaranya ; persaudaraan, tugas bersama, mempergunakan kesempatan baik, kesempatan mendapat bantuan atau bimbingan dan kemadjuan pribadi. Di akhir buku ini, penulis mengisahkan kisah tentang Djenderal Rumawi dari zaman kuno,Scipio, sering mengeluh bahwa orang lebih mati2an mengurus hal2lain daripada memelihara persahabatannja. Dia mengatakan bahwa tiap orang dapat mengatakan berapa ekor kambing dan biri2jang dimilikinja, tetapi tidak dapat mengatakan berapa besar djumlah kawan2nja. “kita semua ingin mempunjai kawan2, tetapi kita tidak menjediakan tjukup waktu dan fikiran untuk mengadakan pilihan jang teliti dan memelihara persahabatan itu”. Ah,sahabat, berapa banyak sahabat yang saya miliki?, tentu saya akan menjawab dengan jawaban biasa : “banyak”. Ternyata, dari mereka itulah kita menjadi besar dan kuat. Bersama mereka itulah, kehidupan kita menjadi bertambahlah ringan dan beban dalam hidup kita bisa berkurang.





Monday 27 October 2014

Anak dan Permusuhan



Bila guru dan orangtua tak memiliki pengetahuan dan sebab mereka memiliki perasaan (dorongan) ke arah permusuhan akan mengakibatkan anak menjadi salah urus. Salah urus ini bisa mengakibatkan anak lebih menyalurkan emosionalitas dan perasaan permusuhan dengan hal-hal yang buruk seperti perkelahian, dan bila emosinya tidak terluapkan, mereka justru mengalami perasaan dendam yang tak baik buat anak-anak kita ke depan. Buku ini memudahkan kita untuk lebih memahami rasa permusuhan pada anak-anak kita dan cara mengatasinya



Oleh Arif saifudin yudistira*)

            Membaca buku lawas selalu membuat saya terpukau. Keterpukauan ini bukan hanya karena saya menemukan banyak hal baru, lebih dari itu, saya menemukan keterkejutan pada sebuah bahasa. Saya takjub pada ejaan lawas, missal saja kata permusuhan, kalau dalam ejaan sekarang mungkin kita akan mengatakan “konflik”, “pertengkaran”, tapi kata permusuhan lebih menarik dan membuat saya takjub. Permusuhan dalam dunia anak ternyata disebabkan oleh pelbagai hal. Setelah membaca buku  Sibylle Escalona (1954) yang berjudul Memahami Permusuhan Pada Anak,kita akan menemukan bahwa tingkat emosionalitas anak justru bermula dari bayi. Karena bayi tidak puas dengan keadaan di sekitarnya, mereka akan mengeluarkan emosi mereka sehingga mereka marah, dan menimbulkan sikap tidak suka (permusuhan) pada orang lain. Anak bayi mengekspresikan ini dengan mimik dan wajah cemberut, dan menangis. Permusuhan dimaknai oleh penulis sebagai “segala perasaan dan dorongan2 yang berisi unsur untuk merusak dan maksud djahat terhadap orang lain”. Sebagai orangtua, kita tak harus membalas emosi, perasan tidak suka dan marah anak dengan kemarahan pula. Tugas kita sebagaimana yang dianjurkan penulis dalam buku ini tak lain adalah dengan ‘menerima perasaan permusuhan sebagai bagian jang sewadjarnja dari kehidupan emosionil anak, dan membantunja beladjar mengendalikan dorongan2 permusuhan’. Tidak mudah bagi orangtua dalam melakukan hal ini, kebanyakan orangtua kita merasa sayang dan perhatian kepada anak-anak kita berlebihan. Kata “berlebihan” identik dengan pelarangan, kemarahan (mengingatkan) tingkah polah anak, hingga membuat anak justru menangis lebih kencang. Kekerasan pada anak justru mengakibatkan anak menjadi tertekan. Anak-anak meski masih kecil, ia memiliki perasaan cukup mengerti, menangkap apa yang ada di lingkungan sekitar mereka. Mereka menerima kondisi dan ajaran moralitas dari lingkungan keluarganya. Mereka mengenali apa yang baik dan buruk bagi dirinya dari keluarga. Penulis buku ini memiliki kemampuan dan pengamatan cukup luas tentang dunia anak sampai pada taraf bayi. Menurut penulis, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam tingkah laku anak. Bayi, pada mulanya tak mengerti mengapa amarah mereka tak dapat dibenarkan dan tak beralasan, orangtua tak boleh marah kepada bayi terhadap respon yang menurut orangtua mereka tak berkesesuaian, kita patut memberikan respon yang positif (baik)untuk menghindari sikap permusuhan, dan yang terakhir adalah mengalihkan tangis dan permusuhan pada bayi dengan mengalihkan perhatian mereka.
            Seringkali pertumbuhan anak pada tahun-tahun awal menimbulkan permasalahan dan sikap tak sabar pada orangtua. Orangtua kadang ingin anaknya cepat sesuai dengan keinginan orangtuanya, misalnya ingin cepat bisa jalan dan berbicara. Dan ingin anaknya tenang dan tak rewel. Anak-anak pada tahun-tahun awalnya, bisa menimbulkan permusuhan pada oranglain karena beberapa hal diantaranya ; pertama, perasaan ingin tahu, ‘anak-anka berusia satu- lima tahun mempunyai minat jang terus menerus untuk berdjalan, berlari, memandjat, melompat, mengangkat, mendorong, menarik dan setiap aktivitet lainnja jang mengetest atau mengembangkan kesanggupan djasmaniah mereka’. Selain itu, mereka juga melakukan pengamatan lebih cepat dari pengertian, selain itu, anak-anak pra-sekolah mengalami emosi-emosi dengan lebih terang dan dengan intensitet yang lebih mendalam daripada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa. Khayalan (imajinasi) juga memainkan peranan penting dalam jiwa anak untuk mendorong rasa permusuhan. Permusuhan bisa jadi berawal dari imajinasi mereka, maka kita tak heran melihat anak-anak berperilaku seperti pahlawan mereka di dalam televise. Mereka melakukan perang-perangan, tembak-tembakan seperti tentara, dan lain sebagainya.
            Buku ini menawarkan resep mujarab agar anak-anak tak mengalami permusuhan. Agar mereka tak mengembangkan sikap permusuhan dan perkelahian, mereka bisa dialihkan dengan aktivitet atletik dan permainan. Melalui ini, rasa emosi mereka bisa tersalurkan dengan baik. Selain itu, melalui regu (kelompok) mereka bisa memainkan peluapan dari rasa kesepian, kesendirian dan perasaan diperhatikan. Buku juga menjadi rujukan dan pengalihan penting bagi anak-anak untuk meluapkan rasa emosionalitas mereka. Menurut Sibylle Escalona, penulis buku ini, “segala sumber-sumber itu memberikan pelepasan bagi perasaan-perasaan permusuhan dengan memberikan kesempatan kepada anak-anak  untuk turut serta dalam perdjuangan jang baik dalam chalajannja, dimana kemenangan telah terdjamin bagi pihak mereka, jaitu pihak jang benar”. Hal-hal yang menyebabkan perasaan permusuhan juga terjadi pada kaum dewasa (adolensi). Bila guru dan orangtua tak memiliki pengetahuan dan sebab mereka memiliki perasaan (dorongan) ke arah permusuhan akan mengakibatkan anak menjadi salah urus. Salah urus ini bisa mengakibatkan anak lebih menyalurkan emosionalitas dan perasaan permusuhan dengan hal-hal yang buruk seperti perkelahian, dan bila emosinya tidak terluapkan, mereka justru mengalami perasaan dendam yang tak baik buat anak-anak kita ke depan. Buku ini memudahkan kita untuk lebih memahami rasa permusuhan pada anak-anak kita dan cara mengatasinya.



 

Sunday 26 October 2014

Anak Berbakat





Buku Paul Witty adalah buku penting untuk dijadikan rujukan bagi guru-guru, orangtua dan kita semua agar tak mengesampingkan dan salah urus terhadap anak yang memikiki bakat dan kelebihan dibanding dengan anak-anak yang lainnya


    Hari minggu, minggu yang membahagiakan, setidaknya ini yang kurasakan, meski sabtu(25/10/14) aku lelah minta ampun. Malam minggu jadi kutukan, aku justru minta pijit adikku di rumah. Di rumah memang, segalanya bertuah, aku merasakan ada energy yang mengingatkan, menyentuh dan membakar ulang tentang titik dimana kita harus kembali berjalan. Sabtu itu, aku diminta mengulas tentang anak dan dunia sekolah. Aku berbincang bersama anak-anak remaja yang bagiku tampak lugu-lugu. Melihat mereka aku tak tahu bayangan apa dalam imajinasi mereka. Tapi aku mengajak mereka untuk kembali meraba-raba suasana kelas di sekolah mereka. Aku mengajak mereka lekas mencoba sadar bahwa ruang kelas yang selama ini diciptakan di sekolah sering tak mengajak imajinasi dan pikiran keluar kelas. Pelan-pelan mereka bercerita kelas yang mereka dambakan. Mereka pun merasai bahwa memang perlu kritik, dan mengubah hubungan antara guru dan murid dalam ruang kelas yang selama ini menganggap guru sebagai seorang yang paling hebat. Suasana dialog, interaksi, kekeluargaan yang semestinya ada di kelas itulah yang mereka dambakan. Ketika saya bertanya pernahkah ada murid yang dekat dan menganggap gurunya sebagai orangtuanya?. Ada sekitar empat orang anak mengacungkan jari. Anak-anak itu kemudian saya Tanya lagi, ada yang menjenguk gurunya ketika sakit?. Maka tak ada satupun anak yang mengacungkan jari. Guru dan siswa mesti utuh dalam menjalin hubungan. Komunikasi bukan sekadar interaksi dalam kelas, komunikasi dan pedagogic di dalam dan diluar kelas penting dilakukan tak hanya oleh guru, tetapi juga oleh siswa. Saat itulah apa yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara dengan system sekolah ala Taman yang menjadikan sekolah mirip sebuah keluarga bisa dibenarkan adanya. Sekolah perlu membangun ikatan, membangun rumah, membangun cita-cita bersama. Dari inilah, sekolah seperti sebuah ruang kedua dalam belajar. Di seminar aku berdiskusi panel dengan guru pengelola Pondok Muhammadiyah di Tegal. Namanya Farid, dia adalah seorang lulusan UAD, jurusan matematika, tetapi bidang keahlian yang lain adalah programmer. Saya tak begitu tertarik dengan pengenalan teknologi ke sekolah, bagiku aku belum begitu yakin soal teknologi yang membawa inovasi lebih. Dia lebih banyak berbicara tentang teknologi itu dan pentingnya teknologi itu masuk disekolah. Tak hanya itu, dia juga berbicara layaknya motivator dan biasa penuh dengan tepuk tangan. Ini kali kedua saya menemui orang yang berbicara layaknya motivator. Pertama, Bapak Rohmadi, Seorang dosen dari UNS dan mengajar Budiawan Dwi Santoso (temanku)  dan Farid (panelis saya). Saya bosan, tapi sesekali menyimak apa yang ia sampaikan. Aduh…tepuk tangan riuh dan kata-kata semangat berulangkali diteriakkan keras-keras bersama para remaja lugu. Saya jadi teringat waktu saya keblusuk ikut MLM, persis dengan keadaan itu, saya ikut dibawa tertawa, tepuk tangan, berteriak dan menangis. Di sela-sela seminar itulah saya melanjutkan membaca buku kecil lawas, tapi saya fotokopi menjadi tampak bagus. Buku itu berjudul Membantu anak jang berbakat (1963). Buku yang terbit di tahun enam puluhan ini menarik. Ia tak hanya mendefinisikan anak berbakat ala Indonesia Mencari Bakat (IMB). Paul Witty penulis buku ini memaknai anak berbakat dengan kalimat sederhana : “ Setiap anak itu anak jang berbakat.Masing-masing sanggup melakukan hal2 jang biasanja tak disangka akan dapat dilaksanakan anak jang begitu muda—hal2 jang malahan sulit atau tak mungkin dilakukan oleh kebanjakan orang dewasa”. Saya menemui anak-anak berbakat ini cukup banyak di sekolah saya. Saya mengenali ada dalang cilik, ada penulis “cermis” (cerita misteri), ada penyanyi heboh dan teman-temannya. Saya mengenali mereka, Carissa Dita adalah ketua kelompok anak-anak ini. Mereka duduk di kelas 3B. Aku pernah menjadi wali kelas mereka, anak-anak ini, tak hanya bergerombol, mereka bernyanyi, bermain, dan mengejutkannya di waktu istirahat saya menemani mereka bermain. Di waktu itu, mereka menyodorkan puisi, cerita pendek, dan gambar-gambar karya mereka. Mereka mencipta lagu, tebak-tebakan. Apakah mereka tak dianggap memiliki bakat luar biasa?, tentu kita akan bertanya seperti itu. Paul Witty penulis buku ini mengatakan bahwa kegagalan kita untuk mengenal dan memupuk bakat anak2 kita menjebabkan, maka mereka menjia-njiakan waktunja dengan tugas jang terlampau mudah untuk merangsang mereka. Dalam hal demikian mereka kehilangan minat dan dorongan bekerdja dan masjarakat kehilangan penemuan2 baru , gagasan, pimpinan, dan hasil karja artistic jang mungkin akan diberikan oleh mereka kelak dalam hidupnja, andaikan bakat mereka berkembang sepenuhnja. Kata-kata mencari, setali tiga uang dengan kata-kata pada IMB (Indonesia Mencari Bakat). Saya pikir ada benarnya yang dikatakan penulis. Kita akan kehilangan banyak kesempatan, mungkin dua tiga generasi bila anak yang berbakat tidak ditemukan dan diabaikan oleh sekolah, keluarga dan lingkungan mereka.
            Kesalahan dalam penanganan anak-anak berbakat bisa mematikan dan menjadikan potensi mereka menjadi tak berkembang. Disinilah, peran keluarga, sekolah dan lingkungan akan membentuk dan menjadikan mereka tumbuh dengan bakatnya. Mereka hanya perlu dorongan dan tambahan dukungan agar mereka lebih bisa subur dengan apa yang mereka kuasai. Lebih tepatnya mereka membutuhkan kepercayaan dari kita. Paul Witty mengurai bahwa bakat anak tak hanya dalam hal intelegensi, tetapi juga kesenian dan kerajinan tangan, kepemimpinan, bahkan daja cipta dan imajinasi. Dalam urusan pelajaran, mereka biasanya melampaui diatas rata-rata, perangainya santai, tapi tak mengabaikan apa yang diterangkan guru. Benar adanya, Si Dalang cilik di sekolah saya, Nasywan namanya juga demikian halnya. Ia sering terlihat santai saat pelajaran, tetapi nilainya bagus-bagus, ia tak hanya memiliki kesenangan mendalang, ia juga senang menggambar wayang. Gambarnya bagus-bagus, tapi pernah suatu kali dengan kepolosannya ia mengatakan : “saya tak punya pensil warna”. Aduh….selang beberapa hari, ia mengungkapkan baru saja dibelikan Ayahnya pensil warna karena menunjukkan nilai seratus pada Ayahnya. Bagi saya, ini adalah contoh dari daya kreatifitas anak, yang tak selalu kita perlu menuntun dan mengguruinya. Tetapi dengan segera anak akan tanggap dan mencari cara agar masalahnya selesai. Mungkin salah satu cirri anak berbakat berikutnya adalah tanggap menangani masalahnya sendiri.
            Buku Paul Witty adalah buku penting untuk dijadikan rujukan bagi guru-guru, orangtua dan kita semua agar tak mengesampingkan dan salah urus terhadap anak yang memikiki bakat dan kelebihan dibanding dengan anak-anak yang lainnya. Buku ini diterjemahkan dari Helping The Gifted Child (1952)Illinois USA. Heran, teman saya justru menemukan buku ini di toko buku bekas. Saya merasa bergembira dan sumringah lagi, ini adalah hari minggu yang cerah, di sela-sela saya menulis saya justru kencan dengan mahasiswa yang mau baca buku saya. Ah….

  

Wednesday 22 October 2014

Pendidikan dan Psikologi Anak




Psikologi individu dan pendidikan saling bertaut, mengerti keduanya adalah penting bagi seorang pendidik untuk mengerti masalah anak dan cara menyelesaikannya. 



Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Kegemaranku mengoleksi buku lawas ternyata bertuah berkah. Setelah menerbitkan kumpulan esai bertajuk Mendidik  Anak-anak Berbahaya (2014) aku berniat membuat buku lebih luas bertema anak dan pendidikan. Pasalnya, aku merasa belum banyak guru yang menuliskan tentang anaknya melalui kaca mata sebagai pengamat maupun pelaku. Barangkali kelak buku yang rencananya akan akutulis ini bisa menjadi sekadar salah satu buku yang mengurusi anak. Aku berlagak menyaingi Kak Seto. Sebab selama ini rujukan tokoh dan pakar mengenai anak merujuk pada Komnas anak dan kak  seto. Sayang aku belum mendengar karya ketua Komnas Anak, hanya saja kalau karya Kak seto saya pernah membacanya dan mendapatkan CD-nya. Itupun di obralan buku, kalau saya beli di toko bukunya langsung barangkali bisa lebih mahal. Setidaknya saya mengetahui inti dan maksud kak seto,selain Cd-nya yang bergaya berceramah dan memaparkan teori Multiple Intellegence, kak Seto juga menjelaskan pelbagai potensi anak yang bisa dikembangkan. Ia mengambil teori Howard gardner tentang kecerdasan jamak. Setidaknya Kak Seto belum mengurusi intimitas anak dengan buku, buku dengan sekolah dan tema literasi di dunia pendidikan anak.
          Betapa beruntungnya saya waktu itu di hari rabu, saya lupa tanggalnya bulannya bulan oktober. Di awal bulan, rabu di hari saya adalah hari bebas. Saya mengatakan kepada teman saya Danang prasetya kalau “orang bebas memiliki hari bebas”. Dan hari rabu itulah hari bebas saya, saya biasa melakoni dengan belanja buku dan ngobrol bersama ibu-ibu dan bapak-bapak di Gladag. Di waktu pagi yang cerah itulah, saat anak-anak saya yang lain sedang melakukan senam otak di halaman sekolah, saya justru mencari buku. Hari itu kugunakan dengan sebaik-baiknya. Biasanya saya keluar sekolah jam 7 pagi. Pagi itu entis, alias bapak yang jualan buku di Gladag Book Store senang sekali melihat wajah saya yang sumringah. Saya pelan-pelan mengumpulkan buku yang saya suka. Tak terasa sudah puluhan buku yang saya pegang. Ada ilmu mendidik anak, untuk guru di sekolah rendah, ada buku kumcer Poppy Hutagalung, ada kumcer Gerson Poyk, kumcer itu berbau kristiani, penerbit nya GPK, karena kebodohan saya dank arena uang saya tak cukup buku itu saya sisihkan. Saya dapat buku apa itu CIA, psikologi pribadi, terbitan Sekolah tagore, terbit di medan. Wah….senang sekali. Dan buku pendidikan pribadi karya Dr. fritz Kunkel dan Ruth Kunkel(1964). Pada bagian pertama buku ini, saya menemukan tulisan Dr. Fritz Kunkel yang mengupas mengenai pentingnya Individual Psichology. Disana dikupas bagaimana kemudian anak perlu mengenali sebuah persekutuan (persahabatan) dalam istilah sekarang kecerdasan interpersonal (sosialisasi). Saya punya teman di semarang yang mengajar anak ABK di SMP. Ia bercerita bahwa muridnya mengalami trauma pada kata “social” sebab pada waktu SD ia dibuli dan dibenci teman-temannya. Trauma itu begitu mendalam, bagi anak seperti dia, tentu sebuah persekutuan bisa menjadi sangat susah. Dibahas pula bahwa perasaan rendah diri memiliki factor penting dan berpengaruh pada anak. Dr. Fritz Kunkel menekankan pentingnya tujuan pribadi. “pengalaman apa yang dialami seseorang dalam hidupnja, bergantung pada tudjuan jang ditjita-tjitakan pribadinja” (h.12). Kunkel pun menilai bahwa yang menentukan keberhasilan setiap orangdalam hidup adalah keberanian. Keberanian ini menentukan keberhasilan dan factor utama untuk berhasil dalam hidup.
Kunkel juga menjelaskan bahwa psikologi pribadi berpengaruh pada proses kehidupan anak di masa selanjutnya. Kunkel menuliskan : “dimana sadja anak jang hidup terus-menerus dibawah tekanan, dan tidak ada orang-orang dewasa jang menjatakan kepadanja bagaimana orang dapat madju biarpun ada tekanan, tentu akan terdjadi perasaan rendah-diri”(h.21). karena itulah, anak-anak yang dididik dengan kasar, keras dan dengan hukuman fisik selama masa anak-anaknya, ketika dewasa cenderung melimpahkan ini kepada anak-anaknya ketika ia sudah dewasa atau sudah menjadi orangtua. Dimasa anak-anak pun, mereka membutuhkan eksistensi, pengakuan, menurut Frtz, pengakuan itu tak hanya dari orangtuanya, tetapi juga dari orang-orang disekitarnya, dari lingkungan keluarganya. Bila seorang adik tak mendapatkan perhatian dari orangtuanya, maka inipun berakibat kepada perasaan rendah diri pada anak tersebut. Hubungan persekutuan atau ikatan dan persahabatan ini penting dalam kehidupan social anak (manusia secara umum) dalam kehidupan ini. “Semakin baik manusia itu mengerti tentang peristiwa-peristiwa hidup satu sama lain, semakin berani dia memasuki hidup dan semakin sadar dia,bahwa ada suatu ikatan jang menghubungkan umat manusia”(h.43).
Buku dari dua penulis ini memang mencoba menghubungkan dan menarik benang merah antara hubungan individual psikologi dengan pendidikan anak. Seperti pada kalimat pendek dari Dr. Fritz : “bagaimana mengusahakan anak-anak agar mendjadi manusia, jang perasaannja paling halus dan sama sekali tidak lekas tersinggung.Itu adalah tugas pendidikan. Dan jika hal ini gagal, soalnja adalah bagaimana mengusahakan orang jang lekas tersinggung perasaannja itu mendjadi halus perasaannja kembali. Itu adalah tugas ilmu pengobatan sakit djiwa, tugas psychoterapi”. Pada titik inilah, hubungan psikologi pribadi dengan pendidikan menjadi penting. Kita akan menemui uraian dari penulis kedua yakni Dr. Ruth Kunkel yang mengulas urusan pendidikan. Ruth Kunkel menjelaskan mengenai  istilah apa itu pendidikan dengan bahasa yang sangat sederhana :” dalam anak dipersiapkan kemungkinan untuk member djawaban atas pertanjaan hidup. Dengan perkataan lain memperteguh keberanian anak, agar dalam dirinja, karena selalu bersentuh dengan hidup, dapat tumbuh sifat –sifat jang dapat memungkinkan dia senantiasa menjesuaikan diri , madju bersama dengan hidup,dengan demikian tidak sadja pasif, melainkan aktif ikut mentjipta dalam lapangan kebudajaan” (h. 64). Ruth Kunkel menjelaskan bahwa campur tangan orang-orang disekitar anak akan berpengaruh kepada perkembangan anak di masa selanjutnya. “tiap tjampur tangan seseorang jang berkuasa dalam suatu keadaan tertentu mungkin akan mendatangkan gangguan atau hambatan bagi anak itu,jang dalam persentuhan dengan dunia –luar materi harus merebut kepastian atas hidup, harus mengembangkan pantja inderanja dan harus beladjar  mempergunakannja untuk dapat mengenali lingkungannja senantiasa lebih baik”. Ruth Kunkel di bagian akhir buku ini menjelaskan bagaimana menangani anak yang manja dan agresif. Ruth Kunkel mengamati bahwa penanganan anak yang manja yang berlebihan justru tidak menolong mereka, tapi membuat mereka semakin pasif. Sedang dalam menanangani anak agresif, cara penanganannya adalah dengan memberi perhatian, dan memulihkan kepercayaan dirinya, diapresiasi oleh teman-temannya pula. Dengan begitu, anak itu akan menemukan kembali dirinya dan menemukan kembali perasaan kepercayaan dirinya. Ruth Kunkel juga menjelaskan bahwa pendidik mesti mengetahui ilmu individual-psychology agar bisa mengerti dan menangani masalah anak dalam dunia pendidikan kita. Psikologi individu dan pendidikan saling bertaut, mengerti keduanya adalah penting bagi seorang pendidik untuk mengerti masalah anak dan cara menyelesaikannya.


  

Sunday 19 October 2014

Berhaji Bersama Sikoet


      

    Kisah hadji tetap memikat, bukan hanya karena ia adalah kesatuan pengharapan, melainkan ia adalah kesatuan laku moral, spiritual, bahkan material menyatu disana. Cita-cita untuk bertemu, berdialog dengan Tuhan di depan ka’bah menghilangkan keinginan kita yang berbau duniawi lainnya. Dari kisah Sikoet kita diajak berhadji dengan gaya keluguan dan ketakjuban orang Indonesia yang baru melakoni Hadji


Al kisah, ada seorang wartawan Anggota Redaksi Adil-Solo melakukan Haji. Ia melakukan haji bersama rombongan pemerintah Indonesia pada waktu itu. Sebagai seorang muslim, berhaji merupakan cita-cita dan harapan. Perasaan ingin menumpahkan hasrat dan semua yang ada di dunia ini di tanah suci. Seolah dunia ini hanyalah tumpangan, fana dan tak abadi. Orang sering mengatakan haji itu panggilan. Ketika kita dipanggil seseorang saja, kita akan merasa senang, dan merasai bahwa diri kita ada. Maka lebih dari itu, ketika yang memanggil Alloh, Tuhan Semesta alam. Begitupun yang dialami  Sikoet, Sikoet mengalami ketakjuban, tertegun dan mengalami berbagai pengalaman spiritual lainnya. Sikoet mengalami kepuasan karena apa yang menjadi harapan hampir tiap orang muslim didunia sudah ia alami terlebih dahulu. Saya jadi merasakan bagaimana Sikoet kemudian di akhir buku ini berdo’a untuk pembaca : “ja Tuhan mudah-mudahan Tuhan member kesempatan kepada segenap ummat islam jang berniat sungguh sungguh akan menjempurnakan rukun Islam kelima sebagaimana Tuhan sudah member kesempatan kepada …Sikoet. Amien”. Apa yang dialami Sikoet menjadi berbeda, Sikoer patut dicatat sebagai pengisaha haji yang santun dan humoris. Sikoet menampakkan ketakjubannya yang memasuki Jeddah pertama kali yang mengandaikan Jeddah mirip kandang burung. Ia pun menikmati padang pasir yang terlampau luas. Ia pun merasa terheran-heran tatkala ia melihat jalan yang ada di Mekkah yang luasnya berpuluh-puluh kali dari Jalan Jogja-Solo. Saya bertanya pada bapak kos saya, bapak kos saya pun membenarkan. Kalau malam hari, jalan-jalan itu terasa sepi sekali, hanya ramai kalau musim haji saja. Kita pun bisa menyimak perasaan-perasaan Sikoet, waktu  ia melempar jumrah. “Pekerjaan melempar batu ini termasuk wadjib untuk ibadah hadji. Perintah wadjib ini sesungguhnja berat. Bagi kami berat jang kami rasa bukan berat tenaga menunaikannja, tetapi “berat perasaan” sebagai seorang jang berfikir. Disini kami dapat peladjaran agama jang sebesar-besarnja, ialah menundukkan kekuatan pantja indera kita,agar taat kepada perintah Tuhan, tidak dengan tawar menawar”(h.88). Dan imajinasi dan angan-angan Sikoet pun terasa lugu, ia mengibaratkan di Mekkah sana, pasar ibarat Malioboro Arabia, Sikoet pun menggambarkan bagaimana peristiwa di kemah-kemah disana mirip dengan ‘pameran kebangsaan’ karena pelbagai bendera di seluruh dunia berada disana.
Ziarah
            Sikoet juga mengalami penziarahan ruhani. Ia tak hanya berziarah ke makam para sahabat nabi, ia merasai bahwa ia belum seberapa pengurbanan yang ia alami di waktu haji. Tak hanya mandi keringat, tetapi uang yang dibawa Sikoet pun tak begitu banyak. Namun ia tak merasai kekhawatiran karena banyaknya teman disana yang cukup banyak uang dan juga bekal makanan. Ia merasai bahwa dunia di Mekah adalah menapaki dunia dan peradaban islam di masa lampau. Terlihat bahwa Sikoet juga merasai apa yang ia alami di daerah disana baru pertamakalinya. Peristiwa dan rukun-rukun hadji dikisahkan dengan indah, lugas dan terus terang. Sikoet seperti jadi manusia lugu, saya tak merasai ia wartawan yang mewartakan, justru ia seperti bertutur dengan gayanya yang khas. Sikoet sudah berhasil membawakan kisah Hadji menjadi menarik. Cerita Sikoet barangkali juga mirip dengan cerita para hadji yang sudah pulang dari Mekkah. Sikoet pun mengisahkan betapa ia mengimajinasikan orang Jawa kalau mau melempar jumrah bawa bom karena tidak puas marah terhadap syaitan yang disimbolkan dalam patung disana. Menyimak kisah Sikoet dalam buku ‘Rahasia Padang Pasir Terbuka’(1951) kita diajak untuk menyimak kisah hadji dengan model penceritaan lebih enak dan renyah, saya merasai ini ketika membandingkan membaca kisah yang ditulis Danarto. Kisah hadji tetap memikat, bukan hanya karena ia adalah kesatuan pengharapan, melainkan ia adalah kesatuan laku moral, spiritual, bahkan material menyatu disana. Cita-cita untuk bertemu, berdialog dengan Tuhan di depan ka’bah menghilangkan keinginan kita yang berbau duniawi lainnya. Dari kisah Sikoet kita diajak berhadji dengan gaya keluguan dan ketakjuban orang Indonesia yang baru melakoni Hadji.