klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Thursday 15 October 2015

Masa Lalu dan Kritik Modernitas




Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Kampung yang selama ini dipandang sebagai sesuatu yang tak menarik tiba-tiba dijadikan sebagai dunia yang lekat bersama kita. Melalui kumcer Anak-Anak Masa Lalu(2015) kita diajak untuk memunguti yang tercecer dan tercerai berai dari tubuh kita. Kampung, masa lalu adalah bagian dari tubuh pengarang yang coba dihadirkan kembali ke dalam cerita-ceritanya. Meski secara terang diakui pengarang, masa lalu, dan kampung justru menghadirkan sakit dan perih, tetapi dari itulah, justru pengarang menerokanya menjadi cerita yang menakjubkan. Kita bisa menengok pengakuan pengarang di buku ini : “kampung yang sejak lama hendak saya hindari untuk berpulang kepadanya, namun kenangan masa kecil itu rupanya telah menjadi fosil dalam kepala saya. Setiap kali saya hendak merancang sebuah cerita, fosil-fosil itu bagai mengepung saya, mendesak saya untuk memberi nyawa, hingga akhirnya semua cerita yang saya teroka terkepung dalam arus deras kenangan tentang kampung halaman” (h.119).
            Dunia kampung tentu masih lekat dengan hal yang berbau tradisi, mitos, sampai dengan pergunjingan. Pergunjingan di kampung memang tak semenarik seperti di layar kaca kita. Tetapi di kampung, setiap orang bisa jadi penggosip atau sebaliknya orang yang digosipkan dengan begitu cepat. Kampung lekat dengan yang social, yang jamak itu. Di kampung kita mesti hidup dengan kehati-hatian dan penuh toleransi. Gosip, pergunjingan di kampung kemudian menjadi ide menarik di cerita Damhuri seperti di cerpen Banun. Di cerpen Banun kita menemui bagaimana dendam personal yang ada di kampung justru menjadi gossip yang menuntut seorang nenek tua harus bersabar dan berteguh kepada nasib dan prinsipnya sebagai seorang tani. Gunjingan itu pun tak pernah berhenti sampai kepada anaknya, untunglah si nenek mau membuka kisah yang sebenarnya kepada anaknya. “ Ia menjelaskan kata “tani” berasal dari “tahani” yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa orang kini berarti “menahan diri”. Menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang dapat diperoleh dari bercocok tanam “ (h.26). Sifat dan keteguhan Banun itulah yang kemudian membuatnya menjadi semakin kaya dan terpandang di kampungnya. Dari itulah, ia mendapat gunjingan yang tak sedap dari orang yang tak suka dengan menjulukinya “Banun kikir”.
            Di cerita lain, kita akan menemui betapa mitos menjadi hal menarik tatkala dihubungkan dengan yang modern. Di cerita berjudul anak-anak masa lalu yang juga menjadi—judul kumcer ini—kita akan menemukan bagaimana cerita pembangunan jembatan kemudian ditautkan dengan kisah dan mitos anak-anak yang mati dikorbankan dan dimasukkan ke dalam beton jembatan. Cerita ini justru menjadi sindiran bagi modernitas dan pembangunan yang selama ini justru mengorbankan rakyat kita.
            Bila ingin menemui mitos dan cerita tentang orang sakti, kita bisa menengok cerita berjudul Badar Besi yang mengisahkan bagaimana orang kemudian begitu percaya dengan batu yang membuat kebal. Melalui kisah ini, kita bisa melihat di masa sekarangpun batu tetap dipercaya dan digandrungi karena ada kekuatan di dalamnya. Melalui cerita ini kita semakin diajak untuk tak mengelak antara yang modern dan yang lampau. Simak saja cerita bertajuk Dua Rahasia, Dua Kematian. Cerita diawali dengan mitos dan kepercayaan orang desa bahwa seorang adik tak boleh melanggar kakaknya dalam urusan pernikahan. Sebab mereka percaya akan ada musibah ketika pantangan itu dilanggar. Cerita ini ditutup dengan pasangan sejoli yang belum menikah ini harus menghadapi kematian di kota Jakarta. Penyesalan orangtua pun menjadi tak terperi ketika mendengar anaknya harus mati bersama kekasihnya. Ada keyakinan dan keinginan pengarang untuk mencoba menautkan antara kepercayaan orang kampung dengan hal yang modern.

            Masa lalu bagi penulis justru menjadi mata air imajinasi yang unik. Hal yang sebenarnya berbau kampungan seperti mitos, takhyul, justru dikemas dengan menarik oleh penulis menjadi cerita yang bisa kita resapi. Penulis seperti ingin menegaskan bahwa yang lampau, yang lalu, justru merupakan bagian dari tubuh kita saat ini. Selain itu, keteguhan dan prinsip orang kampung tak melulu merupakan sikap yang rendah seperti di cerpen Rumah Amplop. Di cerpen ini kita justru menemukan sikap dan keteguhan seorang nenek yang harus mempertahankan prinsipnya untuk tak mau menerima uang dari anaknya yang berasal dari uang suap. Rumah amplop menjadi cerita yang menghantam dan menohok kepada situasi masyarakat kita yang menganggap orang kampung bisa dibeli dengan uang.
            Meski cerita-cerita ini ditulis bertahun yang lalu, namun daya tarik dan daya pikat cerita ini tetap memikat kita. Penulis justru menjadikan masa lalu yang traumatik, kampungan menjadi cerita yang mengkritisi sikap dan modernitas kita.


*) Penulis adalah Pegiat Bilik Literasi, Pengasuh MI Muhammmadiyah Kartasura
*) tulisan pernah dimuat di bukuonlinestore.com 

Monday 12 October 2015

Kisah Tentang Moralitas




Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
           
Akhirnya lukisan itu membunuh pelukisnya sendiri dan seorang model yang dilukis. Begitulah akhir dari kisah Dorian Gray(2015) karya Oscar Wilde. Novel ini mengisahkan bagaimana Basil seniman yang melukis Dorian Gray harus mati di tangan modelnya sendiri. Semula lukisan itu diminta oleh Dorian Gray dan sang pelukis pun memberinya begitu saja, karena teramat sangat memuja sosok Dorian Gray. Lukisan terbaik yang pernah dibuatnya ini pun pada akhirnya menjadi biang masalah. Semula Dorian Gray memang hanya seorang pemuda yang biasa saja, baik hati, dan begitu polos. Namun, semenjak pergaulannya dengan teman Basil yakni Lord Henry, ia pun jadi berubah. Ia mulai mengenali gaya orang kelas menengah, citra seni, dan juga urusan gaya hidup. Ia begitu mengidolakan sosok Lord henry sebagai seorang yang cukup faham mengenai gaya hidup kelas menengah dan kaum elite.
Sadar dengan kemampuan dan potensinya, Dorian Gray pun tak ingin menyia-nyiakan masa mudanya dan ketampanannya. Ia pun menuruti kata-kata Lord Henry yang menganggap bahwa ia adalah cerminan dari sosok hedonisme baru. “Sebuah hedonisme model baru itulah yang diinginkan abad ini. Kau ini mungkin adalah perlambangannya yang paling nyata. Dengan kepribadianmu itu, tidak ada yang tidak mungkin kau lakukan. Dunia ini menjadi milikmu karena suatu alasan”. Ia pun menjadi dikagumi di kalangan elit, datang dengan jamuan dan pertemuan makan malam dengan para seniman dan orang-orang kelas atas. Ia pun kemudian ditunjuk sebagai konsultan model dan pakaian, semua orang terpikat dengan apa yang ia kenakan dari atas sampai bawah.
Pergaulannya dengan kalangan kelas atas semakin membuatnya menjadi bintang, dan sosok yang dipuja. Ia pun terpikat dengan gadis yang tampil di sebuah opera. Sybil namanya. Sybil ini semula dikagumi dan dicintai oleh Dorian Gray, bahkan mereka hampir berencana menikah. Akan tetapi setelah kedua temannya yakni Basil dan Lord Henry diajak menonton dramanya, Dorian dengan seketika tak lagi memuja gadis itu karena menganggap aktingnya begitu buruk menurut teman-temannya. Pada akhirnya gadis itu bunuh diri karena ditolak cintanya oleh Dorian Gray. Mendengar berita bahwa gadis yang dicintainya telah mati bunuh diri, Dorian Gray akhirnya seperti dikejar perasaan cemas yang begitu dalam. Ia pun melampiaskan rasa cemasnya dengan melihat lukisannya sendiri.
Saat melihat lukisan itulah, ia merasa ada yang berubah dengan lukisan itu. Lukisan wajahnya pun menjadi berubah, seperti ada kotoran yang melekat di lukisan itu. Singkat cerita ia pun akhirnya membunuh pelukisnya sendiri Basil Halward. Basil akhirnya dibunuh setelah bercakap ketika ia berencana mengunjungi pameran di Perancis. Setelah membaca buku (baca: novel) yang dipinjamkan padanya dari Lord Henry, ia pun semakin berubah menjadi semakin dingin. Ia tak lagi menyadari siapa dirinya, ia seperti menjadi pribadi yang kejam tapi tak merasa berdosa seperti tokoh di novel yang ia baca. Ia mencoba menghilangkan jejak pembunuhan yang dia lakukan dengan rapi. Tetapi ia tak bisa menyembunyikan dosa-dosa dan kesalahannya dari publik saat ia disadarkan oleh Lord Henry yang menanyakan banyak hal kejadian yang muncul di koran-koran. Ia pun seperti dikejar dosa-dosa yang ia lakukan. Tragisnya, Dorian Gray pun bunuh diri. Nasib model Dorian Gray yang semula dipuja dan dikagumi pun akhirnya berakhir tragis.
Novel ini menggambarkan sisi moralitas dalam jiwa manusia. Ada sisi buruk dan baik dalam jiwa manusia. Pertarungan inilah yang kelak akan terus terjadi dalam kehidupan kita. Pada akhirnya, moralitas kita tak bisa ditentukan oleh kita secara “individu” tetapi juga ditentukan oleh masyarakat sosial atau lingkungan kita sebagaimana tokoh utama dalam novel ini. Dorian Gray akhirnya harus menanggung nasib tragis dari efek pergaulan dan selera masyarakat yang memuja tubuh, memuja luar, dan tanpa kita tahu, ada yang rapuh, ada yang terluka di dalam jiwanya. Di dalam jiwa Dorian Gray menyimpan luka yang teramat dalam, tentu luka Dorian Gray tak hanya lukanya secara pribadi, tetapi juga luka masyarakat yang memuja kepada sesuatu yang luar, sesuatu yang nampak. Pada sisi inilah, kritik novel ini begitu keras tentang gaya dan sikap manusia modern di abad 19. Begitu.

 *) Penulis adalah Alumnus UMS, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
*) Tulisan dimuat di SOLO POS