klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Monday 21 July 2014

Mati Untuk Hidup Abadi


Judul                           : Veronika Memutuskan Mati
Penulis                        : Paulo Coelho
Penerbit                     : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun                         : 2012
Tebal                          : +235 halaman
ISBN                            : 978-979-910478-6
Harga                          : Rp. 50.000,00


Oleh Arif Saifudin Yudistira *)

            Supaya tidak tampak seram/mobil jenazah itu di beri warna biru langit/dan di kasih tulisan “Mati untuk Hidup Abadi”
( Joko Pinurbo dalam Kamar Nomor 1105).

Kalimat sederhana itulah yang cocok untuk menggambarkan apa yang ingin diurai dan dikupas oleh Paulo Coelho dalam novelnya yang bertajuk “Veronica memutuskan mati”. Dengan penjelasan dan uraian sederhana tapi menukik pada apa yang ingin disampaikan itulah, Paulo Coelho mengemas betapa pentingnya memiliki “kesadaran akan kematian”. Kesadaran akan kematian itu tak sekadar membawa kita menemukan alasan terkuat yang membawa kita hidup, tapi sebaliknya alasan yang paling logis mengapa kita harus memutuskan mati. Keputusan Veronica- tokoh utama dalam novel ini-  yang dari awal memutuskan untuk memilih kematian bukan sekadar alasan picisan, melainkan pilihan yang dipilih dengan kesadaran penuh yang mungkin dianggap masyarakat kita sebagai sebuah “kegilaan”. Kegilaan yang tak umum ini yang membuat Veronica dan orang-orang lainnya akhirnya mendekam di Vilette -Rumah sakit jiwa-. Justru disinilah Veronica menemukan bahwa keputusannya yang dianggap“gila” oleh masyarakat menjadi satu kesadaran penuh yang juga dialami oleh rekan-rekan lainnya. Sebut saja Eduard lelaki turunan diplomat yang cerdas dan berbakat luar biasa, ia di gadang-gadang orangtuanya untuk menjadi diplomat kelak. Tapi, akibat kecelakaan ia kemudian melakukan hal-hal yang diluar keumuman yang dianggap oleh orangtua mereka sebagai sesuatu “kegilaan”. Keinginan dan hasratnya menjadi pelukis membuatnya harus menemukan khayalan dan impiannya tentang “visi firdaus”. Kisah lainnya adalah kisah Zedka yang terdampar di Vilette ia adalah perempuan yang merindukan kekasihnya yang kini tak jelas dimana ia berada. Hingga ia menghabiskan kekayaannya untuk mencari kekasihnya, suaminya pun bingung dengan apa yang dialami isterinya, dan akhirnya ia sampai di Vilette. Diantara tokoh-tokoh dalam Vilette, Veronikalah yang paling aneh diantara teman-temannya mengapa sampai di Vilette. Yakni karena satu hal :kematian, ia memutuskan untuk mati.

Cinta

            Paulo Coelho mengajak kita membaca banyak kejadian yang sebenarnya asing dari dunia kebanyakan yang bisa dibaca lewat kaca mata lain. Hal itu tak lain adalah cinta, kita bisa menemukan cinta di berbagai tempat, termasuk rumah sakit jiwa. Di rumah sakit jiwa itulah yang dijadikan latar Coelho mengungkap kehidupan dunia ini sudah tak wajar, ada ketidakwarasan diantara manusia kebanyakan. Kebanyakan manusia memang tak waras, akan tetapi hanya beberapa orang yang kemudian terlambat menyadari ketakwarasannya. Dunia yang dipenuhi dengan perang, konflik, kesenangan yang rutin dan kesesakan dan keributan manusia selama ini, membuat Coelho harus merumuskan akan kesadaran kematian. Melalui kesadaran kematian itulah Coelho menarasikan cinta antara penghuni rumah sakit jiwa. Meskipun mereka mengalami hal-hal yang rutin dan monoton dalam rumah sakit jiwa, tetapi para pasien seperti Eduard, Zedka, Mari, maupun Veronika memutuskan untuk tak mau memenjarakan jiwanya. Meski mereka sama-sama memiliki kesadaran bahwa mereka sudah dianggap mati oleh masyarakat kebanyakan.
            Kesadaran akan kematian inilah yang membalikkan pandangan masyarakat umum bahwa melalui rumah sakit jiwa itulah Coelho ingin mengatakan ada yang berharga yang menurut kebanyakan sudah dianggap tak berharga. Yang tak berharga dari seseorang yang sudah dianggap sakit jiwa dan tak ada gunanya dalam masyarakat kita. Ada kisah, ada cinta dan pelajaran hidup yang berharga yang disampaikan melalui orang yang gila dan kehidupannya. Masih ada cinta kasih diantara mereka yang membuat mereka harus menunjukkan kepada dunia luar bahwa mereka masih menemukan alasan untuk hidup. Pesan itulah yang disampaikan melalui Veronika. Aku lahir di dunia ini untuk mengalami berbagai hal : mencoba bunuh diri, menghancurkan jantungku, bertemu denganmu, mendatangi istana ini, dan membuatmu memahat wajahku dalam jiwamu. Inilah satu-satunya alasan mengapa aku hadir di dunia: untuk mengembalikanmu ke jalur yang telah kamu tinggalkan (hal.230).
            Melalui Veronica -tokoh utama- dalam novel ini, Coelho ingin menunjukkan bahwa ada yang bernilai dari orang gila. Kegilaan jiwa yang dianggap orang kebanyakan tak berguna, tak memahami kehidupan, justru di novel ini terdapat pelajaran berharga yang disuarakan dari sudut pandang orang gila. Melalui kegilaan itulah Coelho menyuarakan alasan untuk hidup sekaligus alasan dan kesadaran penting yakni kesadaran akan kematian. Kesadaran akan kematian tak hanya penting bila dalam novel ini sangat dan amat berguna bagi Dr. Igor dalam merumuskan penelitiannya. Tetapi kesadaran akan kematian itulah yang membuat Veronika justru menemukan alasan untuk hidup setelah menemukan alasan kuat mengapa ia harus memutuskan untuk mati.
           Melalui novel ini Coelho menarasikan orang-orang yang sebenarnya menjadikan Vilette-rumah sakit jiwa- ini sebagai jeda dan melalui orang-orang di Vilette itulah mereka menemukan kembali kesadaran akan kematian sekaligus menemukan alasan terkuat untuk hidup. Kehidupan memang mengandung banyak misteri dan pelbagai resiko, tapi mereka yang tak umum dan memiliki kesadaran jiwa lebih dari kebanyakan umum justru menemukan alasan terkuat mereka untuk melanjutkan hidup atau sebaliknya memutuskan untuk mati. Kehidupan maupun kematian adalah kesadaran yang sama-sama perlu kita ketahui agar kita semakin sadar bahwa kita manusia yang mau takmau harus mengalami keduanya. Dan tak perlu kecemasan, apalagi ketakutan yang berlebihan untuk mengalami keduanya sebagaimana Veronika meyakini dengan Ainul yakin untuk memutuskan mati. 



*)Penulis adalah Presidium Kawah Institute Indonesia, Santri di bilik literasi solo   

Sebaris Sajak Pendek



Judul buku   “Cinta, Kenangan, dan Hal-Hal Yang Tak Selesai”
Penerbit        Gramedia Pustaka Utama
Tahun            2011
Tebal             235 halaman
Harga            Rp.41.225,00
ISBN              978-979-22-7653-4


Oleh Arif saifudin yudistira*)

Puisi adalah pesta,itulah pesta yang bertahan melawan musim,di tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang-sebuah keriangan pesta bawah tanah(oktavio Paz)

      Kumpulan sajak ini adalah pesta anak muda, anak muda yang sering tak mampu menuangkan hasrat, rasa, juga kelu lidah yang akhirnya mereka tuangkan dalam bentuk sajak. Pesta tak sekadar menghadirkan senyum, tawa atau pun mabuk yang tak tertahankan. Anak-anak muda dalam puisi ini, para penyair dalam kumpulan sajak ini tak hanya mabuk cinta, tetapi juga mabuk kata. Buku kumpulan ini adalah pesta kata, yang ingin mengungkap cinta dengan berjuta kata-kata. Cinta tak habis dengan kata-kata, cinta tak habis pula diperistiwa. Kumpulan sajak ini tak salah jika diberi tajuk”Cinta, kenangan, dan Hal yang tak selesai”. Kumpulan sajak ini tak seperti yang kita kira, berhenti pada hand-phone kita, kemudian di kirim kepada kekasih kita, tapi ia akan melekat pada hati kita, peristiwa kita, karena sajak ini adalah gambaran manusia kasmaran, gambaran kita yang tak sempat memendam angan ketika dilanda kerinduan.Bandingkan dengan pepatah jawa yang mengatakan : “Witing tresno jalaran soko kulino”(cinta itu berawal dari kebiasaan). Kebiasaan-kebiasaan kita mengungkapkan kata cinta seringkali hanya berdiam dicatatan keseharian kita, berhenti di memori handphone kita. Oleh karena itu, ketekunan pengumpul dalam sajak-sajak ini bukan hanya memberikan bukti bahwa kata-kata cinta patut diabadikan, patut dikabarkan, dan juga dikabarkan ,melainkan cinta itu tak pernah selesai dalam beribu zaman.
         Zaman modernitas mengajak kita hadir dengan beribu riuh peristiwa, beribu riuh manipulasi, tapi modernitas juga menghadirkan ribuan kata-kata yang hadir sebagai ekspresi manusia yang mutakhir,cepat dan sekelebat. Media social yang hadir pun digunakan manusia untuk menuangkan ekspresi, rasa, juga berbagai peristiwa dihadirkan disana. Kumpulan sajak ini membuktikan, bahwa sastra cyber, tak kalah dengan sastra yang ada di media-media lain. Maka itulah, buku kumpulan puisi ini patut dihadirkan untuk merayakan dan mengabarkan cybernet tak beda dengan yang di Koran-koran, majalah-majalah dan lain-lain.

Sihir Kata Dan Pesta 

“Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik”(pramudya). Beberapa penyair dalam sajak-sajak cinta yang dihimpun dalam buku ini percaya, cinta bukan perkara remeh dan hilang dalam sekejap mata. Pengarang dalam buku ini pun menyadari kekuatan kata sebagaimana pramudya berujar. Ia akan melesat kemudian hari, tak berhenti untuk menyapa, memanggil-manggil, ada cinta dalam buku yang kecil tapi berjuta makna ini.Buku kumpulan sajak Cinta, Kenangan, Dan Hal Yang Tak Selesai,adalah sihir kata. Kata-kata dalam buku ini memberikan sihir, seolah-olah kita diajak melakukan perjalanan, peristiwa, hingga kita merasai ada imajinasi yang tak berhenti ketika-kata-kata tersebut dihadirkan. “cinta adalah lengan-lengan Tuhan, yang memelukkan kebahagiaan”(@sekedar kata). Dari kata-kata sederhana itu, tentu kita tak hanya akan berhenti pada satu tafsir,tapi seolah kita diajak berimajinasi dalam ruang yang luas, cinta memelukkan kebahagiaan. Para penyair adalah denyut arus ritmis generasi-generasi. Para penyair ini berhak bersajak, berhak menyalurkan kata-kata mereka, perasaan mereka. Dan sajak-sajak ini berbeda dengan sajak-sajak penyair kenamaan. Penyair-penyair kenamaan cenderung menghadirkan sajak-sajak mereka buta, karena mereka tak peduli pada pembaca. Pembaca cenderung diajak bersusah payah, berkerut kening, dan melupakan sajak-sajaknya sendiri. Dari para penyair-penyair inilah, ritmis generasi modern dihadirkan, dan lebih menyapa pembaca dengan sajak-sajak sederhana. Singkat, padat, jelas, dan menyapa pembaca dengan imajinasi yang berguguran, peristiwa, juga makna yang tak sembarang. Para penyair dalam buku ini berpesta, bukan untuk dirinya saja, tapi mencoba mengajak teman-teman, kekasih, rekan-rekan sejawat, karena dihadirkan dalam media social(twitter) dan kali ini pesta mereka menemui pembaca lain yang dihadirkan bersamaan hadirnya buku ini. Sajak-sajak ini pendek, tapi tak pendek usia, ia bisa jadi teman tidur, teman santai, sambil menerawang dan menerka-nerka makna cinta.
      Cinta memang bukan hanya kata, tapi juga peristiwa yang tak lekang dimakan usia,sebagaimana buku ini dihadirkan, cinta pun demikian halnya. Buku kumpulan puisi ini adalah kata-kata sederhana, sesederhana cinta yang tulus tak meminta balas pada pencintanya. Maka sajak ini tak lain dan tak bukan adalah kumpulan sajak cinta yang meski diungkapkan dalam sebait kata-kata tapi ia tak lekang dimakan usia. Terakhir kali, sajak-sajak ini memang pendek, tapi ia tak meluncur begitu saja, di dalamnya tersimpan peristiwa, menyimpan rasa, dan menyimpan duka. Sebagaimana Gunawan Muhammad berujar : “Puisi mengembalikan kata pada peristiwa”. Buku kumpulan sajak ini dihadirkan tentu dengan maksud mengekalkan cinta, yang meskipun berhenti dalam dua tiga kata, tapi tidak akan berhenti meski manusia dan yang dicintai mati meninggalkan kata cintanya.

*) Peresensi adalah Alumnus UMS , bergiat di komunitas tanda Tanya dan Pengajian Puisi. 


          

Penyair, Kopi Dan Manusia


Judul Buku                 : The Various Flavours of Coffee 
Terbit                         : 2013
Penerbit                     : Gramedia Pustaka Utama
Halaman                     : 680 halaman
ISBN                            :978-979-22-9003-5


Arif saifudin yudistira*)

“Aku berharap semua juragan kopi dan pencinta kopi di Indonesia membaca kisah ini”

            Kehidupan memang tak sekadar hitam dan putih, ada masa remaja dan dewasa. Kehidupan memang tak selalu lurus, ada tikungan, ada cobaan dan ada ujian yang menyertainya. Kisah kehidupan yang tak lurus ini memang sudah dialami oleh manusia semenjak ribuan tahun lalu. Oleh karena itu, kehidupan tak bisa disederhanakan dengan “mudah” dan “tidak mudah”. Penulis mahfum, bagaimana kopi seperti masuk dalam hidung dan otaknya. Kopi diurai pelan-pelan tanpa terburu-buru menyelesaikan cerita ini. Cerita ini memang sudah diakhiri, tapi sepertinya riwayat kopi, bisnis, dan percintaan sebagaimana rasa hidup ini tak bisa ia selesaikan meski 680 halaman sudah dituliskan. Kisah kopi di buku ini merambat pelan dari wilayah Inggris, brasil, hingga afrika dan sumatera. Kita seperti diajak berfantasi dan berpetualang dengan negeri-negeri kopi. Meski begitu, petualangan buku ini tak mendetail mengurai sumatera, bagian dari negeri kita yang juga merupakan surga kopi.
Kopi jadi jalan pembuka mengisahkan manusia. Manusia menikmati kopi, dan mendapatkan sensasi melaluinya. Tak beda dengan kopi, aroma kopi seperti aroma penyair yang menekuni dan mengenali rasa dalam sajaknya. Di buku ini, penyair  dikisahkan larut dalam dunia kopi, dunia kopi lebih menggoda untuk menjadi puisi ketimbang puisi itu sendiri. Dunia kopi sudah jadi puisi sendiri bersama kisah hidupnya bagi Robert Wallis, tokoh utama di novel ini. Robert semula tokoh penyair tak jelas, tak ada karya, tak tenar di masa remajanya. Sampai juragannya yang baik hati Tuan Pinker mengajaknya menyelami dunia puitis—dunia kopi—.
Pinker menyadari bagaimana ketajaman indera penyair ini, dan mengambilnya sebagai perpaduan antara bisnis dan obsesinya. Dari itulah ia berhasil membuat “buku pedoman”. Bagi Robert, kebaikan Pinker dirasa belum cukup, tak hanya kopi, dan buku pedoman yang ingin dia hasilkan, ia membutuhkan lebih dari kopi dan buku pedoman, yang tak lain adalah cinta. Dari itulah Robert menemukan Emily anak bosnya, yang menggodanya dan membuatnya menuruti Pinker untuk membuka bisnis kopinya di Afrika.

Dunia Kopi

            Seperti judul dari novel ini The Various Flavors of Coffee, rasa cinta dalam kopi. Seperti judulnya, buku ini memang tak cukup mampu menjelaskan berbagai kisah manusia di balik kopi. Akan tetapi, buku ini cukup memberikan petilan kisah manusia dan kopi dengan sangat jeli dan memikat. Kisah manusia dan kopi tak sesederhana kita menikmati kopi di warung-warung pinggir jalan maupun di kafe-kafe. Ada bisnis besar, ada percintaan, ada permainan pasar dan bagaimana trend dan brand dibubuhkan. Kopi memerlukan itu semua, tanpa itu rasa kopi jadi hambar. Barangkali karena itulah, hal yang harus dilakukan bagi Pinker, ia memerlukan buku pedoman sebagai panduan rasa, variasi dan bagaimana membuat rasa menjadi popular dan mudah dikenal dengan kata-kata.Saat itulah dunia kepenyairan dimainkan. Penyair tak hanya dipandang sebagai orang yang menjajakan kata semata, tetapi sebaliknya kepekaan rasa dan kepekaan inderanya diuji bersama kopi. Maka dari itu, Robert Wallis justru merasa senang dengan latihan inderawinya dan keluwesannya mengolah kata. Saat itulah ia baru menyadari dunia kata tak sederhana, seperti kopi. Apa yang dilakukan dan dialami Robert sebagai penyair menekuni dunia kopi memang tak sederhana. Dan dari rumah tuannya, Pinker itulah ia memulai petualangannya dengan kopi. Semua itu ia lakukan demi mengenali bagaimana mengenali kopi dan hidupnya itu sendiri. Gambaran kesulitan itu bisa kita simak dalam kalimat berikut ini : Pengalaman sangat penting dalam mengembangkan bahasa lengkap untuk rasa, dan pemahaman utuh tentang banyak nuansa rasa yang bersembunyi di latar belakang bau pada umumnya, dan sensasi rasa khusus yang kita kenal sebagai kopi. Memperoleh pengalaman seperti ini butuh waktu. Tidak ada jalan pintas.—Lingle, The Coffee Cupper’s Handbook (hal.534).
            Dari petualangannya ke Afrika itulah, ia semakin menemukan bagaimana kerinduan, kenangan bersama buku pedoman dan Emily, membuatnya semakin mengerti bahwa kopi menyimpan kerinduan dan cinta yang hangat. Untuk itulah, kopi dan dunia barunya di Afrika sesekali mengingatkannya pada London. Tapi, dunia kepenyairan memang identik dengan dunia petualangan. Petualangan tak hanya di dunia kata dan dunia imajinasi, Robert Wallis menghadirkan petualangan itu pula dengan petualangan cintanya. Pertemuannya dengan Fikre mengundang gairah percintaan dan sensasi yang mendalam. Percintaan dengannya itu pula yang membawa ia mencium bau kehidupan, perselingkuhan dan misteri di balik percintaannya dengan Emily. Maka setelah ia berhasil hidup dan kembali ke London, ia seolah berseru: “bahwa obsesi manusia kepada kopi tak boleh begitu saja menindas dan mengacak-acak tanah orang lain seperti yang dia lakukan di Afrika”.

Pelajaran

            Dengan kembalinya Robert Wallis ke London, ia kemudian membuka kembali lembaran hidupnya dan semakin dewasa. Kembalinya ke London mengingatkan ia pada masa lalunya Emily dan permintaan maafnya pada majikannya Pinker. Setelah kembali ia menemukan bagaimana Emily kemudian memperjuangkan hak-hak wanita hingga mati. Ia seperti menemukan dunianya, dunia penyair selama ini. Sebagai seniman ia mengilhami kehidupannya selama ini dengan kopi dan kehidupannya. Ia pun menuliskan ini dalam kalimat sederhana : “Aku belajar apa yang harus dipelajari setiap manusia, dan tidak ada manusia yang bisa diajari—bahwa apapun yang diceritakan penyair kepadamu, ada berbagai jenis cinta, tawa seorang wanita, bau khas seorang anak, membuat kopi—ini adalah berbagai rasa cinta”(hal.672).
            Dunia penyair, dan manusia seperti dalam buku ini sama dengan dunia kopi itu sendiri, ia adalah dunia misterius dan penuh teka-teki, meskipun kode-kode sudah dibuat tetap saja belum mampu mengenali betapa banyaknya rasa dan aroma kehidupan ini. Ah, aku jadi teringat sajak  Jokpin yang nakal tentang kopi susu. Bisa jadi sajak ini turut menjelaskan betapa misteriusnya kopi, dan di tangan Jokpin menjadi jenaka. “Kopi membuat matamu menyala, susu membuat matamu manja”—Haduh, Aku di Follow (2013).




Penulis adalah Santri Pengajian Malam Senin, dan Pegiat Bilik Literasi Solo 

Romo Mangun Bercerita



Judul buku                             Rumah Bambu (kumpulan cerpen)
Penulis                                   Y.B.Mangunwijaya
Penerbit                                 Kepustakaan Populer Gramedia
Hal                                          200 halaman
ISBN                                        978-979-91-0462-5
Harga                                      Rp.45.000,00


Arif saifudin yudistira*)

Bagi kita romo mangun bukan hanya sosok yang pandai berkisah. Tapi ia sendiri adalah kisah. Justru karena ia sendiri adalah kisah yang perlu kita simak itulah, kita perlu mendengar kisah(cerita) yang dikisahkannya, barangkali ada dirinya dan jiwanya yang hendak ia sampaikan
           
Bila ada Romo di Indonesia yang memiliki bakat luar biasa dan multi talenta, maka dengan segera kita akan menjawab satu nama : mangunwijaya!!!. Romo mangunwijaya, ya ia tak hanya dikenal sebagai rohaniawan, filsuf, tapi ia dikenal sebagai sosok sastrawan yang “njawani” dan humanis. Kepiawaiannya tak hanya tampil dalam wujudnya sebagai sastrawan, filsuf, dan sang rohaniawan. Tapi kepiawaiannya itu jsutru ketika ia menyadari sebagai manusia biasa. Dengan hal inilah, ia menyadari bahwa kewajiban dan tugasnya tak lain adalah sebagaimana yang dikatakan multatuli “menjadi manusia” .Romo mangun wijaya, ia dikenal sebagai rohaniawan yang “mengerti” akan tempat dimana ia melakukan kerja kerohaniannya dan kerja kemanusaiaannya. Ia memahami, menghayati, atau bahkan bisa dikatakan menyatu bersama kotanya “Yogyakarta”. Disanalah ia menghayati kehidupan tukang becak, pelacur, warung HIK, pedagang kaki lima, hingga dunia dosen dan dunia mahasiswa. Dunia itu tertampil dengan bahasa ringan, apa adanya, tapi tak kehilangan maknanya. Mangunwijaya ingin mengajak manusia memikirkan apa artinya “manusia”. Romo mangun tak hanya piawai menangkap lanskap kehidupan orang kecil, kehidupan orang-orang bawah bahkan kehidupannya sendiri sebagai pengasuh anak-anak miskin kota.
Mangun menunjukkan dedikasinya kembali melalui “bahasa”. Melalui bahasa itulah yang cenderung universal, tak mengenal agama, dan tak mengenal suku bangsa romo mangun menunjukkan keberbagiannya dan rasa kemanusiaannya. Romo mangun ingin mengajak kita, di kehidupan orang bawah ada warna-warni yang tak kita sadari, ada tragedy yang tak kunjung kita mengerti, dan ada peristiwa yang tak begitu saja bisa kita lupa. Kepiawaiannya ini bisa kita temukan dalam cerpen “ Tak ada jalan lain”. Cerpen singkat ini mengisahkan tragisme seorang waria yang tak ada pilihan lain. Baridin pemuda yang hidup di tengah kota, yang miskin ditengah kehidupan pelacuran, dan memilih menjalani hidup “ngamen” di tengah jalanan. Simaklah penggalan cerita dengan bahasa yang biasa tapi menggetirkan berikut ini : “baridin bukan wadam bukan priwa, bukan psikopat ataupun maniak seks. Dia biasalah, pemuda penganggur yang serba kalah karena lemah lembutnya dalam kancah pertarungan nasi dan nafkah. Ibunya menangis ketika baridin memberitahukan niatnya untuk serba halal menggaet duit orang-orang pecinan selaku pengamen wedok.”

Kisah

            Bagi kita romo mangun bukan hanya sosok yang pandai berkisah. Tapi ia sendiri adalah kisah. Justru karena ia sendiri adalah kisah yang perlu kita simak itulah, kita perlu mendengar kisah(cerita) yang dikisahkannya, barangkali ada dirinya dan jiwanya yang hendak ia sampaikan. Kisah itu tercatat ketika romo mangun suatu hari mendapati pembantunya terlalu banyak dalam membaut lem kanji, dengan sangat mengejutkan ia menyuruh pembantunya untuk memakan sisa dari lem kanjinya itu. Sosok romo ini memiliki watak khas yang manusiawi. Sebagaimana disebutkan oleh Joko pinurbo. Ia terkadang keras minta ampun, tapi terkadang lembut minta ampun. Ia terkadang bisa marah dan menjadi sosok yang menyeramkan, tapi sering pula ia tak mau dimarahi dan dikritik. Sosok itulah yang menegaskan posisinya sebagai “manusia biasa”jabatan yang paling disukainya.
            Sebagai pencerita, ia kerap menceritakan orang dan kehidupan tokoh kaum “cilik” yang mengalami nasib memelas lagi tertindas. Cerita ini ia tuangkan di dalam cerpen “colt-kemarau”, kisah ini menceritakan nasib seorang anak bernama kasirin. Ia anak desa yang rajin namun karena kekurangan dana ia tak mau meneruskan kuliah dan menggembala domba. Di suatu siang, ia membaca buku yang menjadi hobinya, sambil menggembalakan kambing. Tapi alangkah naasnya ketika kasirin harus kehilangan kambingnya yang raup seketika. Tak hanya itu pula, Di cerpen “Malam Basah” kita akan menemukan betapa polah anak yang mencurigai bapaknya jadi sesuatu yang membingungkan, canggung dan serba salah. Wagiyo anak seorang bapak tani itu pun sadar, bahwa kelakuan dan dugaan aib dan perselingkuhan yang selama ini diduga kuat itu cuma dugaan dan prasangkanya semata.
            Banyak kisah-kisah tak terduga dari orang desa dan kehidupan yang sebenarnya bisa kita lihat tak jauh dari kampong tinggalnya yakni di Yogyakarta. Sebagai pencinta anak, ia pun menorehkan catatan kisahnya tentang anak yang penuh getir dan canda. Ia menuangkan kisah iyah sang anak pencuri yang dikisahkan dalam cerpen berjudul “Cat kaleng”, “Sungai batu” yang bercerita anak dan bapak yang menjadi pemecah batu di lereng merapi, juga cerpen “hadiah abang” yang menceritakan kesalahpahaman adik dan kakak yang khawatir kakaknya menjadi pencuri, tapi ternyata menjadi tukang kenek.

Imajinatif, kontemplatif

            Meski tinggal dijogjakarta, romo mangun wijaya bukan sosok sastrawan yang melulu mengutak-atik jogja dalam ceritanya. Ia sosok yang imajinatif, kreatif bahkan kontemplatif. Melalui cerpennya yang berjudul “Rheinstein” ia memadukan tokoh yang akademis, dengan percintaan romantis, dan sekaligus kontemplatif. Cerpen ini mengisahkan sosok isteri yang dilematis, antara kesetiaan dan profesionalitasnya yang seringkali bersinggungan yang kerapkali menggoda naluri manusiawinya melihat sosok pemuda tampan dari luar bernama “Gustav”. Cerita ini mengundang imajinasi jauh karena mengambil setting jerman dan belanda.Sebagai filsuf yang nyastra, Romo mangun memasukkan falsafah jawa, permenungannya dalam cerpen “renungan pop”,”mbah benguk”,”mbak pung”. Cerpen-cerpen itu mengisahkan perempuan dengan segala sosok tokoh yang apa adanya, sederhana, jenaka, tapi juga menusuk nasibnya. Melalui cerpen ini seolah romo mangun ingin menyuarakan dan mengangkat kisah dan kehidupan orang kecil yang lekat dengan kesederhanaan dan kesahajaannya. Dua puluh cerpen dalam kumpulan cerpen ini adalah kisah yang ingin dikisahkan oleh romo mangun wijaya. Kisah ini penuh dengan refleksi, kontemplasi juga canda yang menggetirkan dan tragisme kaum bawah. Melalui cerita ini pula, ia menegaskan posisi dan tugasnya sebagai manusia. Meski dengan bersandang gelar sastrawan, rohaniawan, dan filsuf, mangunwijaya seolah menegaskan melalui cerita ini “Ia hanya manusia biasa yang menceritakan dirinya dan orang-orang disekitarnya”. Begitu.


*)Penulis adalah Pegiat Bilik Literasi Solo, Presidium kawah institute indonesia

Puisi Dari Sepotong Episode Yang Terpecah


Arif saifudin yudistira*)


 Dengan metafora yang jeli dan puisi-puisinya yang singkat inilah, sebenarnya penyair menahan nafasnya yang sebetulnya panjang. Tapi penyair memilih untuk membawa pesan dalam puisinya. Melalui pesan-pesan itulah, penyair menghampiri kita dengan sajak-sajaknya yang pendek dan ciamik ini.            
Puisi hadir bersama penyair. Meski tak bisa dinafikkan dalil Barthes pengarang telah mati setelah ia mencipta karya. Barangkali kematian itu tak bisa dipandang utuh. Pengarang tetap memiliki keterpautan antara karya dan dirinya. Keterpautan itu bisa saja berwujud proses kreatif, kehidupan pengarang, sampai pada dunia yang ada di sekitar pengarang. Puisi, selalu saja menggoda dalam warisan sastra Indonesia. Gairah sastra barangkali ramai oleh cerpen, novel, tapi tak ramai oleh puisi. Puisi tak seramai karya sastra lainnya. Mungkin, puisi adalah makhluk yang hidup dalam dunia asing dan terasing sebagaimana para penyair.Bila menilik kata Sartre tugas pengarang adalah menjernihkan kata-kata yang sudah dikotori oleh para politisi, barangkali termasuk puisi. Puisi menyentuh dengan cara lain. Ada keindahan, keindahan itulah yang membuat kita tersentuh oleh imbauan, ajakan, atau sekadar jeda yang tak seberapa untuk sejenak memikirkan sesuatu. Bisa alam, manusia maupun kejadian. Maka tak heran Goenawan Mohammad pun mengatakan bahwa orang yang tak memiliki kepekaan ia cenderung menganggap rumput itu hanya cadangan untuk esok hari. Uraian Goenawan Mohamamad itu tak berlaku bagi penyair. Disanalah penyair menyeru, dan puisi menyuarakan suara lain sebagaimana ungkapan Oktavio Paz.
Melalui Puisi-Puisi Sekejap(2013)mengalunkan keterpecahannya pelan-pelan. Aku terbentuk di rumah kata/namun disitu aku tak bisa berkata /saat tersapa(Rumah). Dalam puisi ini penyair seolah menjelaskan bahwa imajinasi penyair hidup di dalam rumah, ia berada dalam kosmologi yang sebenarnya membawa metafora rumah kata dengan pengertian rumah dalam arti fisik, atau keluarga. Ia si penyair memang pecah, saat di rumah, saat dirumah itulah, imajinasi hidup sehidup-hidupnya, tapi bisa jadi begitu tak berdaya ketika rumah kata bertemu dengan rumah dalam arti keluarga. Maka ditutup dengan kata-kata  yang apik. Namun disitu, aku tak bisa berkata/Saat tersapa. Simak saja sajak yang berjudul Rumah : sebongkah ruang menyimpan gelisah/yang selalu membungkus tubuhmu. Kehidupan penyair seperti diungkap dalam buku puisi ini. Sebagaimana pengakuan yang ada di awal buku ini. Mereka merupakan bagian dari konstruksi si penulis. Seolah melalui senja, malam, catatan, dan pagi penyair ingin membagi ada cerita yang tak bisa kita biarkan saja. Ada peristiwa dari keseharian kita yang tak bisa kita lewatkan begitu saja.
            Maka tak heran, puisi ini seperti merangkul apa yang ada di buku ini. Catatan pagi 3 :Hampir dua puluh tahun lebih/ dan diantaranya terkelilingi abjad-abjad/ aku tak mau lagi menghilangkan peristiwa. Sekilas puisi ini mirip testimony atau pengakuan penyair bahwa ia memang tak mau menghilangkan peristiwa. Tapi bila kita lihat puisi lain yang memiliki tautan dengan puisi diatas maka kita akan merasakan ajakan ke pembaca untuk tak menghilangkan peristiwa yang datang kepada kita dalam keseharian kita. Pada puisinya catatan pagi 4 : Kenangan menggenang/ diantara lautan manusia/ abai. Pagi, seolah tak hanya digambarkan dengan kasat dengan peristiwa, penyair memilih kata kenangan dengan jeli. Peristiwa keseharian sepertinya sudah diabaikan oleh kebanyakan orang sehingga kenangan atau semacam memori jadi tak berfungsi. Di puisi berikutnya yang menjelaskan peristiwa yang diabaikan itu ada di Puisi Selembar Koran: Namun, apa yang ia ceritakan/ hanya menjadi pencuci mulut. Seperti itulah gambaran koran yang ada di pembaca maupun di balik peristiwa disana, peristiwa ada hanya mampir belaka. Dengan metafora yang jeli dan puisi-puisinya yang singkat inilah, sebenarnya penyair menahan nafasnya yang sebetulnya panjang. Tapi penyair memilih untuk membawa pesan dalam puisinya. Melalui pesan-pesan itulah, penyair menghampiri kita dengan sajak-sajaknya yang pendek dan ciamik ini. Tapi bila kita lihat lebih jauh, tak sekadar peristiwa yang jadi ruh dalam puisi ini. Puisi Sekejap  ini tetap tak mampu menyembunyikan bagaimana pengarang pecah dan tak karuan baik berhadapan dengan peristiwa maupun menghadapi rumah.
            Simaklah keterpecahan penyair ketika ia memasuki dunia yang kita namai “kampus“. Dunia kampus terkadang membawa ke trauma, traumatik yang tak terpendam itulah, ia hadirkan melalui puisi. Cetakan :Selama ini aku tercetak oleh tiga ratus enam puluh lima hari kali empat /selama itu /sunyi justru menyekap birahiku berkata.../Dan temanku menyapa, sudah jam kesekian kita terseret kata. Memang tak ada kaitan diksi yang berbau kampus, tapi penanda waktu memberikan beberan yang jelas bahwa studi 4 tahun itu seperti tak menghasilkan gairah kata. Gairah kata justru dicipta ketika penyair lepas dari kampus, dengan menutup puisinya. Sudah jam kesekian kita terseret kata. Buku kumpulan Puisi Sekejap ini memang lahir dari keterpecahan pengarang yang memberikan keterpecahannya melalui sajak-sajaknya yang singkat dan ringkas. Puisi-puisi ini seperti sapaan, sentuhan, tapi tak lekas usai. Sebab ia seperti keseharian kita yang ada dalam buku harian. Sampai kapankah malam akan sampai kepada diary ke 100 atau tak menggunakan angka?, barangkali keliaran imajinasi dan metafora penyair masih berpatok pada  waktu yang merujuk pada hari, jam, dan tahun. Sehingga keterpecahan itu begitu sederhana dan lekas bisa kita baca.Ini pula yang merupakan keunggulan penyair,ia tak mau tergoda memusingkan pembaca, atau membuat pembaca takjub. Ia hanya ingin pembaca singgah sebentar, dan memunguti sajak-sajaknya. Melalui diksi-diksi yang akrab dengan keseharian. Catatan Senja, Catatan Pagi, Catatan Malam, Rumah, Percakapan. Melalui keterpecahan itulah, sebenarnya puisi tidak ingin seperti penyairnya yang pecah, tapi puisi justru membuat episode dan jeda diantara puing-puing keterpecahannya itu.          
                       

*) Pegiat di Bilik Literasi SOLO, Buku Puisinya Hujan di Tepian Tubuh, Pengelola www.doeniaboekoe.blogspot.com



Spiritualitas Pengarang


Judul Buku     : Seperti Sungai Yang Mengalir
Penulis            :Paulo Coelho
Tahun             : 2013       
Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama
ISBN                : 978-979-22-8156-9

Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Coelho memang ampuh!. Ia tak mencoba menggurui kita dengan kata-kata mutiara atau petilan kata bijak dari buku-buku yang pernah ia baca. Ia mencatat saat-saat ketenaran, saat-saat kepedihan, dan saat-saat menegangkan dalam kehidupan seorang penulis. Kehidupan seorang penulis tentu sangat memiliki karakteristik dengan dunia disekitarnya

         Coelho memberi pengakuan bahwa dia memiliki dunia yang berbeda-beda, saat dia benar-benar sendirian, saat-saat dia bersama kawan-kawan dan koleganya, dan saat-saat dia bersama isterinya. Dunia penulis adalah dunia yang tak bisa dikatakan sebagai dunia yang penuh dengan individualistis. Sebagaimana kritik pengarang ampuh sekaligus filosof Michael Foucault yang mengatakan :  Lahirnya konsep pengarang adalah saat yang istimewa bagi terjadinya individualisasi di dalam sejarah ide, ilmu pengetahuan, kesusasteraan, filsafat, dan lain-lain (Heraty,2000:219). Bila Foucault menganggap urusan pengarang adalah perkara individual, maka tidak yang dilakukan  Coelho. Ia menuliskan kisah-kisah perjalanannya, ia mengisahkan orang-orang yang ada dalam kehidupannya, hingga kisah seorang yang mati tanpa penyebab kematiannya, hingga kematian yang penuh dengan kesendirian, yang ia anggap sebagai pelajaran penting mengingat mati. Coelho tak tanggung-tanggung, ia juga belajar dari peristiwa-peristiwa yang kecil, tapi memiliki makna. Di dalam buku Seperti Sungai Yang Mengalir ini Coelho memang mengajak kita berenang keliling dunia imajinasi dan dunia yang ia alami. Bisa disebut imajinatif karena kita tak merasakan langsung apa yang dikatakan Coelho, tapi kita bisa menikmati cerita dan kisah-kisah ini sebagai bagian dari kekayaan spiritual dan batiniah. Perjalanannya menjadi penulis itulah yang kemudian membawanya berkeliling dunia dan membagikan kisah spiritualnya kepada kita. Penulis, sebagaimana Coelho katakan mengutip Bertold Brecht : “ Membuat saya ke banyak tempat dan membuat saya berpindah Negara lebih sering daripada saya berganti sepatu”. Dari perjalanannya ke berbagai tempat dan penjuru dunia itulah, Coelho meyakini, ada yang mesti disampaikan dan dikatakan oleh seorang penulis. Penulis bak seorang dermawan, ia membagi kata-kata dan tulisan, dan hikmah kehidupan ini.

 Pensil Coelho

            Coelho seperti berada dalam tahap kesadaran penuh sebagai penulis. Berbuat untuk dunia yang lebih baik adalah salah satu upaya yang ingin ia capai. Pencapaian itu tidak hanya ia lakukan dengan menulis dan membagi kisah kehidupan agar kehidupan memiliki makna, tapi lebih dari itu, ia melakukan kerja sosial bagi masyarakat Brasil yang kekurangan. Filosofi tentang pena, atau pensil yang ada dalam cerita tentang pensil telah diilhami betul oleh penulisnya. Pertama, Coelho benar-benar menyadari ada tangan Tuhan yang membantunya untuk menulis, Kedua, Coelho sadar ia mesti membawa rautan untuk mempertajam pensilnya, ia mesti menahan derita dan kesakitan sebagai seorang penulis. Ketiga, sebagai seorang penulis ia menyadari ada kesalahan yang mesti dihapus dan dibetulkan dalam tindakannya sehari-hari. Keempat, sebagaimana grafit dalam pensil, Coelho memahami, bahwa setiap penulis belum tentu benar dalam tindakannya. Dan terakhir, sebagaimana pensil yang meninggalkan jejak dan bekas, maka sebagai penulis ia mesti menyadari setiap tindakan dan apa yang ia tuliskan. Melalui buku Seperti Sungai Yang Mengalir inilah, kita diajak untuk mengenali dunia Coelho melebihi apa yang ada dalam novel dan karya-karya Coelho. Coelho mengajak kita pada kejujuran, kepada harapan, kepada cerita dan ingatan tentang kematian dan arti hidup. Ia belajar dari Genghis Khan, ia belajar dari Pablo Picasso, dan apa yang ia temui di dalam kehidupannya termasuk belajar kepada pembacanya tentang arti pertemuan. Saya jadi teringat ungkapan seorang Esais cum Penyair Sithok Srengenge, ia pernah menulis dalam bukunya Cinta di Negeri Satu Tiran Kecil (2012) : “ Dalam sebuah gambar terdapat ribuan kata. Dalam sebuah kata terangkum dunia”. Itulah yang sebenarnya ingin dicapai Coelho. Ia ingin memotret, mencatat, dan mencoba merangkum dunia yang pernah ia jalani dalam buku ini.
            Kita akan menemukan sentuhan, ajakan, tapi tak luput juga kejujuran akan prinsip-prinsip pribadi yang tak bisa ia tinggalkan termasuk urusan kepercayaan dan jalan menuju surga. Tapi disisi lain, ia pun tak menolak untuk mengakui dan belajar dari kebijaksanaan dan keagungan dari agama lain yang tentu dapat kita petik pelajaran dan hikmahnya. Sebagaimana perjalanan yang ia lakukan selama ini, ia seolah tak ingin kelewatan untuk menuliskannya dan menjadikannya pelajaran dan inspirasi bagi kita. Sebut saja salah satu tulisan Coelho tentang keanehan manusia. Manusia memiliki sifat aneh, diantaranya “ia begitu ingin dewasa ketika kecil, tapi setelah dewasa ia menjadi begitu kekanak-kenakan, manusia mencari uang sampai sakit-sakitan, tapi kemudian menghabiskannya untuk berobat, manusia begitu cemas memikirkan masa depan hingga mengabaikan masa kini. Manusia hidup seolah kematih dewasa ia menjadi begitu kekanak-kenakan, manusia mencari uang sampai sakit-sakitan, tapi kemudian menghabiskannya untuk berobat, manusia begitu cemas memikirkan masa depan hingga mengabaikan masa kini. Manusia hidup seolah kematian tidak berkuasa padanya, dan manusia mati seolah manusia tak pernah menjalani hidup”. Seperti Sungai  Yang Mengalir, memang bukan buku filsafat, tapi ajakan untuk mendalami hidup dari segi falsafati justru akan kita temukan disana melalui kisah-kisah sederhana, renungan, hingga perjalanan yang pernah Coelho alami. Selamat menyelami sungai pengetahuan dan kebijaksanaan bersama kisah-kisah dalam buku ini.


*)Peresensi adalah Santri di Bilik Literasi SOLO, Pengasuh di MIM Kartasura 
*) Dimuat di SOLO POS 

Stephen Hawking dan Keajaiban Pengetahuan


Judul buku                             : My Brief History
Penulis                                    : Stephen Hawking
Tahun                                     : 2014
Penerbit                                 : Gramedia Pustaka Utama
Halaman                                 : 152 Halaman
ISBN                                        : 978-602-03-0006-1


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

           Hawking telah menunjukkan kepada kita bahwa dalam waktu yang singkat dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya, ia justru melakukan perubahan di saat-saat ia hampir jatuh di usia mudanya. Ia telah menjalani hidup yang bernas dan memuaskan

         Pengetahuan akan mengantarkan kita kepada kebijaksanaan. Begitulah para filsuf berujar, bahwa semakin tinggi pengetahuan, maka seseorang akan lebih bijak dalam menghadapi hidup. Hal seperti itulah yang dialami Stephen Hawking. Ilmuwan yang tak berhenti untuk menanyakan dan mencari tahu bagaimana cara kerja alam. Stephen Hawking lahir dari keluarga petani penggarap di Yorkshire, Inggris. Ayah Hawking adalah seorang peneliti, ia mewarisi semangat yang diwariskan dari Ayahnya. Ayahnya melakukan penelitian di tahun 1937 tentang penyakit tropis di Afrika Timur.  Ia dilahirkan pada tanggal yang unik, keunikannya tentu berkait dengan sejarah astronomi. Ia dilahirkan tanggal 8 januari 1942 tepat tiga ratus tahun sesudah kematian Galileo. Tanda-tanda bahwa ia memiliki ketertarikan dengan hal yang berbau sains sudah nampak di masa kecilnya. Bila Einstein sangat tertarik dengan kompas, maka Hawking kecil sangat suka dengan mainan kereta api. Di masa kecilnya ia bahkan memilih kereta api listrik. Waktu itu, ia berusaha memperbaiki keretanya yang rusak, meski gagal. Ketertarikannya kepada ilmu alam dimulai saat ia jatuh cinta dan menyukai fisika. Ketika di St. Albans School, ia memperoleh bea siswa, hal ini diakibatkan karena kondisi keluarganya yang pas-pasan. Ia menuliskan pemahamannya mengenai kesukaannya itu : “Dalam fisika, tidak penting dari mana asal sekolah kita, atau siapa kerabat kita. Yang penting adalah apa yang kita lakukan”. Hal inilah yang membuat ia menyukai eksperimen dan pengamatan berbau sains. Ia mendapat julukan Einstein oleh teman-temannya, meski demikian tulisan tangannya membuat gurunya pusing dan tidak rapi (h.29). Dalam buku ini, Hawking menuliskan bagaimana evolusi pemikirannya memecahkan misteri alam.

Buku setebal 152 halaman ini berkisah tentang bagaimana Hawking yang sebelumnya mengalami kesulitan dalam bersosial dan tidak begitu pandai yang berubah menjadi pribadi yang memiliki keyakinan kuat dan ketekunan luar biasa. Sebelum ia menemukan jiwanya dan kecintaannya pada astronomi, ia belajar bersama Ayahnya tentang matematika hingga melampaui pengetahuan yang dimiliki Ayahnya. Ia mengatakan mengenai pilihan dan ketertarikannya pada Fisika dan Astronomi : “ Fisika dan Astronomi menawarkan harapan memahami dari mana kita datang  dan mengapa kita ada disini”. Ia ingin merenungi alam semesta ini dan memecahkan misteri-misterinya melalui penelitian-penelitiannya. Perjuangannya mengantarkan ia kepada universitas Oxford. Disanalah ia kelak memulai penelitian dan karir panjangnya sebagai ilmuwan. Meski demikian, saat ia berusia 21 tahun, ia divonis menderita ALS (Amyothropic lateral sclerosis) penyakit syaraf motorik  yang menyerang sel syaraf pengendali otot yang menyebabkan tubuh secara bertahap lumpuh dan otot mengalami kejang-kejang. Hawking justru menemukan sesuatu alasan bahwa ketika ia menghadapi kemungkinan mati muda, ia justru membuat hidup menjadi layak dijalani dan ada banyak hal yang ingin dilakukan. Hal itu dibuktikan dengan bagaimana ia kuat dan mulai menghadapi hidup dengan memanfaatkan segala yang ia miliki. Ketika jatuh dari tangga, ia mengalami masa-masa kesepian dan hampir putus asa. Tetapi kemudian, ia menemukan semangat bersama Jane, yang kelak bersamanya menjadi isterinya. Setelah menikah dengan Jane, dan hidup bersama anak-anaknya, ia mencoba terus berkarya sampai akhirnya ia lulus Ph.D.  Untuk membiayai hidup keluarganya ia berusaha memperoleh beasiswa riset. Saat itulah ia memulai penelitian tentang berbagai teori dan melakukan penyelidikan ulang tentang teori Ledakan Besar dan Lubang Hitam. Pencariannya tentang misteri penciptaan kemudian ikut pula membawa ia merumuskan teori tentang waktu khayal.        Saat-saat ia menderita ALS ia manfaatkan sedemikian rupa untuk melakukan sesuatu sebaik mungkin. Meskipun akhirnya isterinya tak kuat dan akhirnya bercerai dengannya. Hawking kemudian tetap bangkit dan melakukan penemuan-penemuan pentingnya di bidang sains. Di bagian akhir buku ini kita akan menemukan bahwa Hawking merasa puas dengan hidupnya. Ia mencoba kursi roda listrik yang sangat langka yang diciptakan khusus untuknya hingga kursi roda itu tak diproduksi lagi. Ia menemukan keajaiban bagaimana suara sangat mempengaruhi manusia. Ia mengatakan : “ketika suaramu tidak jelas, maka kau akan dikira orang yang cacat mental”. Ia pun telah berhasil dalam karier sains yakni mengenai teorinya tentang emisi kuantum lubang hitam. Ia memperoleh Fundamental Physics Prize. Meski belum mendapatkan nobel, karena apa yang ia temukan sukar sekali dibuktikan dengan percobaan.
            Stephen Hawking adalah satu dari sekian ilmuwan fisika yang dikenal selain Einstein. Meski demikian, Hawking telah menunjukkan kepada kita bahwa dalam waktu yang singkat dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya, ia justru melakukan perubahan di saat-saat ia hampir jatuh di usia mudanya. Ia telah menjalani hidup yang bernas dan memuaskanIa sudah melakukan pelbagai hal dengan segala keterbatasannya. Melihat Hawking kita diajak untuk mengerti bagaimana sebenarnya alam mengajarkan kita tentang banyak hal. Dan dari pengetahuan dan semangat kita untuk mengenali alam, dan memperhatikan gejalanya, kita bisa menaklukkannya. Hawking telah menemukan keajaiban pengetahuan dengan penemuannya, sekaligus ia mampu menaklukkan alam dengan modal yang ia miliki meski dengan segala keterbatasannya.


*) Penulis adalah Pengasuh MIM PK Kartasura, Santri Bilik Literasi SOLO
*) Dimuat di HARIAN SOLO POS 

            

Berger Dan Dialektika Sosiologis


Judul                                      : Peter Berger Sebuah pengantar ringkas
Penulis                                  : Hanneman Samuel
Penerbit                                : Kepik
Tahun                                    : 2012
Tebal                                      : 120 halaman
ISBN                                      : 978  602 99608 6 0

Oleh Arif Saifudin Y*)

 kesadaran sosiologis perlu untuk seseorang yang menyebut dirinya “intelektual” kesadaran ini akan memberi insane yang hidup di jalan pemikiran kapasitas yang tajam untuk berefleksi, melihat segala sesuatu dalam bingkai yang utuh, bahkan daya ironi dan kemampuan menjaga jarak dengan dirinya sendiri. Meminjam istilah Elias(1987)penarikan diri (detachment) selayaknya berjalan beriringan dengan keterlibatan”(involvement)(hal. 108)"

            Dunia filsafat memang lebih dikenal sebagai dunia yang indah, penuh dengan kebijaksanaan dan utopis. Kata terakhir ini yang menjadikan dunia filsafat lebih cenderung dipandang sebagai dunia yang hanya bermain-main dengan pemikiran. Bagaimana dengan berger?. Peter L berger adalah sosiolog yang setidaknya mencoba menjawab tantangan itu. Menurutnya dunia yang ada sekarang ini adalah dunia yang perlu kita curigai. Sebab realitas dalam kajian berger tak datang dengan sendirinya. Ia mengindikasikan realitas subjektif. Untuk itu,ia perlu menjadi realitas yang bernilai ilmiah. Berger memandang ilmiah itu objektivitas, empiris, sistematis dan teoritis.(hal.4). Buku Peter L. Berger pengantar ringkas yang ditulis Hanneman Samuel seorang pengajar mumpuni yang senantias bergelut di dunia sosiologi di dalam kajian kesehariannya. Ia adalah pengajar di universitas, meski demikian, ia tak mau memandang sosiologi sebagai ilmu yang selalu dan senantias terhormat. Sebab itulah buku ini ditulis. Hanneman Samuel tak hanya ingin menunjukkan bahwa berger perlu dikabarkan, berger perlu diceritakan pada kita semua. Ini bukan hanya karena pemikiran Peter. L.Berger begitu penting dalam kajian sosiologi, tapi pemikiran berger memberikan satu pemahaman penting bagi kita, bahwa kajiannya tentang sosiologi dan ilmu pengetahuan sangat penting. Berger memberikan satu kata kunci penting untuk memahami dunia kita. Yakni “realitas”. Berger mendedah “realitas” perlu mengalami beberapa proses yakni eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Ketiga proses inilah yang membentuk pengetahuan kita. Melalui tiga proses itulah, kita memandang “sesuatu” dari pengetahuan akan “sesuatu” tersebut sebelumnya.

Nilai penting berger

            Hanneman Samuel menghadirkan kembali pemikiran berger dengan motif bahwa “kajian pemikiran berger dinilai penting karena ia mengingatkan kembali akan kesejarahan dari sebuah “realitas social”. Dengan melihat kesejarahan realitas social itulah kita bisa membaca berbagai kepentingan atau realitas yang semu yang dibentuk dan dimanipulasi. Selain itu, berger menekankan bahwa proses internalisasi itulah yang cenderung lebih dominan dalam diri kita. Sehingga kita tidak objektif memandang sesuatu. Pemikiran berger bisa kita praktikkan dengan realitas sosiologis negeri kita. Misalkan ketika muncul berita terorisme di suatu daerah, media menggunakan proses internalisasi yang terus menerus dan tak berhenti. Sehingga kita selaku warga yang berada di lingkungan penangkapan terorisme biarpun mengetahui bahwa sebenarnya lingkungan kita tidak ada masalah, kita akan ikut terpengaruh dan memiliki sugesti bahwa “ada teroris di sekitar kita”. Dengan pemikiran berger, kita mampu membedakan apa yang sebenarnya terjadi dalam realitas sosiologis masyarakat kita. Meskipun media, berita, dan juga opini public berkembang, kita bisa menganalisa “apa yang sebenarnya” terjadi. Disinilah letak dialektika pemikiran berger.

Dekonstruksi

            Pemikiran berger setidaknya mendekonstruksi atau menggugat pemikiran sosiolog sebelumnya yang memandang bahwa realitas itu dibentuk dari sesuatu yang general dan tampak di permukaan. Sehingga berbagai kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah seringkali berasal dari sesuatu yang dinilai umum dan general. Oleh karena itu, kebijakan yang demikian seringkali tak cocok di kalangan bawah. Akan tetapi berger membalik itu semua, bahwa setiap individu mesti memiliki analisa dan kaca mata untuk menganalisa realitas kesehariannya, realitas keseharian itulah yang membentuk objektifikasi di masyarakat sehingga membentuk realitas social. Berger sebagaimana diungkap oleh Geger riyanto sosiolog yang meneliti berger bahwa “sumbangsih pemikiran berger adalah memberikan satu penutup dan simpulan besar para sosiolog sebelumnya yakni kita hidup dalam realitas yang dibuat”. Buku Peter Berger sebuah pengantar ringkas ini menarik untuk dijadikan kajian awal bagi kita untuk mengenali berger dan mempraktekkan metodologinya. Berger mengajak kita untuk curiga, waspada, tapi juga senantiasa berfikir ilmiah dan resah akan kondisi masyarakat kita. Ia menyarankan adanya dialektika di dalam realitas social. Sehingga kita memiliki objektifikasi terhadap realitas social yang benar. Tak berhenti sampai disana, kita memiliki kewajiban dengan pengetahuan akan realitas social itulah, kita menyadarkan dan menyerukan masyarakat, bahwa realitas social yang dibuat ini perlu kita sadari dan mengerti bagaimana menyikapi realitas tersebut. Sehingga ia mengatakan dengan kesimpulan sederhana : “….fenomena manusia tidak berbicara dengan sendirinya : ia harus ditafsirkan”(berger and kellner,1981:10)(hal.42).
            Kajian berger bisa kita gunakan untuk menelaah bagaimana “realitas politik”, “pencitraan penguasa” hingga berbagai pembohongan public yang disiarkan melalui media bisa kita analisa. Dengan begitu, kita sebagai manusia yang memiliki modal “pengetahuan” bisa menggunakan sosiologi pengetahuan yang kita punya untuk lebih memahami dunia (realitas kita yang sesungguhnya). Karena itulah, buku ini dihadirkan. Bahwa Hanneman Samuel tak mau terkungkung dalam satu realitas sosiologis di dunia perkuliahan yang cenderung terkungkung dengan realitas yang lebih cenderung kepada realitas keseharian. Dengan menghadirkan buku ini, hanneman Samuel juga mengungkapkan pentingnya kesadaran sosiologis. “kesadaran sosiologis perlu untuk seseorang yang menyebut dirinya “intelektual” kesadaran ini akan memberi insane yang hidup di jalan pemikiran kapasitas yang tajam untuk berefleksi, melihat segala sesuatu dalam bingkai yang utuh, bahkan daya ironi dan kemampuan menjaga jarak dengan dirinya sendiri. Meminjam istilah Elias(1987)penarikan diri (detachment) selayaknya berjalan beriringan dengan keterlibatan”(involvement)(hal. 108).Begitu.


*)Penulis adalah Alumnus  UMS, pegiat di bilik Literasi solo
*) Dimuat di Retakan kata