klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Tuesday 22 September 2015

Membaca Serat Centhini dalam Kacamata Sekarang





       Serat Centhini  dikenal sebagai karya sastra  masyur yang memuat berbagai ensiklopedia tentang Jawa. Isinya  urusan kerajaan, dongeng,  berbagai falsafah tentang tanaman dan hewan di Jawa. Ada juga nasihat, pitutur, dan  ajaran kebijaksanaan. Sayang, serat Centhini hanya disentuh dan dipelajari sedikit orang. Kuhitung siapa yang mampu menguraiku: hanya beberapa ratus orang di muka bumi ini (hal 5).

             Centhini sejatinya semacam suluk, tembang yang dikarang pujangga kerajaan yang  dihimpun dari khazanah dan pengembaraan panjang. Serat Centhini disusun  pujangga Jawa masa itu seperti Sastranagara, Ranggasutrasna, dan Sastradipura. Sebagaimana kisah Centhini yang dilahirkan dari pengembaraan, tokoh-tokoh di dalamnya  tak pernah berhenti dari sebuah pengembaraan spiritual. 
              Generasi saat ini tidak banyak mengenal Centhini, apalagi mereka juga asing dengan  bahasa ibu. Centhini jadi semacam karya sastra sepi dan sunyi di ruang perpustakaan. Beruntung Elizabeth D Inandiak menerjemahkan ulang
        Centhini lahir kembali sebagai sebuah serat yang tak hanya ditembangkan dan dipentaskan, tetapi juga menjadi teks dan bacaan  sastrawi. Meski menjadi teks sastra, Serat Centhini yang dihadirkan Elizabeth D Inandiak tak mengurangi aura mistisisme ceritanya. Serat Centhini mengajak pembaca  berkelana dalam pengembaraan spiritual yang tak terperi. Melalui tokoh-tokohnya, pembaca  tak hanya melihat karakteristik sufistik, tetapi juga sifat  orang  linglung, yang mencari  jati diri.
           Sebagaimana kisah Cebolang dalam jilid satu sampai empat,  dikenal sebagai suluk tembang raras, dia  lebih dikenal sebagai suluk yang penuh cerita erotis. Tetapi di tangan Elizabeth, penggambaran Cebolang menjadi demikian normal dan tampak biasa. Hal ini tak hanya karena  Cebolang hadir dengan karakter  mirip manusia biasa, di mana masa remaja penuh pencarian jati diri dan spiritual. Kisah Cebolang diakhiri dengan pertobatan  kembali ke jalan ilahi. 
             Serat Centhini yang penuh simbol dan tafsir menjadikannya sebuah suluk yang akrab dan enak dibaca. Bahasa Indonesia menjadikan anak muda lebih dekat dan membuat Centhini bisa dijangkau lebih banyak orang sekarang. Serat Centhini hadir dengan kisah wayang, Sunan Giri, perjalanan ke hutan, dan kosmologinya yang membuat pembaca  belajar lebih banyak tentang kehidupan. 
        Menurut Elizabeth, dalam sebuah diskusi di Balai Soedjatmoko (19/9/15), “Serat Centhini mengajarkan untuk tidak lekas menilai  seseorang sebelum mati. Hal ini ada dalam Centhini yang digambarkan melalui tokoh Cebolang yang akhirnya bertobat. Berbeda dengan Amongraga yang semula tokoh sufistik, tetapi berakhir secara menyedihkan tatkala titisannya menjelama sebagai raja dan memerintah membunuh semua kiai. 
              Semua  patut hormat pada  upaya Elizabeth membawa Centhini ke  Festival buku di Frankfurt, Jerman 2015. Semua  berharap Centhini menemui banyak pembaca agar lebih banyak dimengerti. Melalui bahasa yang puitik, serta referensi mutakhir dari berbagai buku dan karya klasik, Elizabeth berhasil menghadirkan kembali tafsir Centhini masa sekarang. Meski karya ini sudah memasuki usia yang lebih dari seabad, daya tariknya tetap mempesona. 



Diresensi  Arif Saifudin Yudistira, alumnus UMS

Dimuat di Koran Jakarta Rubrik Perada 22 September 2015 

Monday 7 September 2015

Puisi Mengurusi Profesi


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Berpuisi ibarat melewati hari-hari yang kita lalui tanpa harus melewatkannya. Penyair tentu tak ingin melewatkan rutinitas dan aktifitas keseharian menjadi terlewat begitu saja. Di setiap peristiwa dan keseharian itulah, penyair mencoba untuk berhenti sejenak dan menuliskannya ke dalam sajak.  Bagi seorang penyair, setiap hari adalah pelajaran yang luar biasa. Menulis puisi berarti mengambil pelajaran dari hari-hari itu. Seperti itulah yang dilakukan oleh Didik Siswantono. Didik Siswantono melalui buku puisinya berjudul Pelajaran Berlari(2015) mengajak kita untuk sejenak merenungi dan memunguti hari-hari yang sudah terlewati begitu cepat.
            Bila judul puisi ini diberi judul Pelajaran Berlari,  Joko Pinurbo justru menafsirkan bahwa apa yang ditulis oleh Didik Siswantono adalah sebuah pelajaran berhenti. Sebab Didik tak mau melewatkan hari-harinya yang cepat dan begitu lekas berubah dalam setiap detiknya menghilang tanpa bekas. Sebagai seorang yang hidup di perkotaan, amat sangat sulit menangkap segala yang cepat dan riuh, dan tak tentu. Tetapi, dari keseharian seorang manusia kota, kita justru diajak untuk berhenti dan mencatat dari apa yang terlewat itu melalui puisi. Kita bisa mengutip sajak  Tidur Siang : Pukul delapan pagi, seorang teman bergegas absen di pinggir pintu/ sambil matanya kuyu : habis macet. Pukul dua belas siang/ piring dan sendok bersahutan/ mengisi perut teman-teman yang kelaparan. Pukul tujuh malam/ semua teman berhamburan ke jalan/ mencari angkutan pengantar tidur malam. Pukul Sembilan malam/ aku termangu/ mengenang semua temanku yang hatinya tak bisa tidur siang. Sajak ini adalah sajak yang kental dengan aroma rutinitas. Penyair mencatat peristiwa-peristiwa yang berhubungan dunia kerjanya dengan tekun. Tetapi ia mencoba memposisikan “aku” sebagai sesuatu yang lain, mengambil jarak dan mencoba menangkap peristiwa itu untuk kita renungi. Kalimat ‘hatinya tak bisa tidur siang’ menunjukkan bahwa kerja memang sesuatu yang menguras tak hanya tenaga tetapi juga pikiran, sering kehidupan kota yang begitu cepat ini, membuat hati kita tak bisa istirahat sejenak untuk menenangkan diri dan merenungi hari.

Waktu           
Pada buku puisi ini, kita akan menemukan bagaimana waktu begitu diungkap dengan berbagai gambaran. Waktu disini berkaitan dengan kosmologi seorang pekerja kota yang berada di kota yang selalu membuat jantung kita terpacu kencang. Kita bisa menengok pada sajak berikut : kita manusia berbaju rapi/ ditakdirkan berkejaran dalam angka/ terus berlarian melipat waktu/ memacu pagi yang hujan/ menunggangi petang menjadi malam tanpa bintang (Pelajaran Melipat Waktu). Tentu dari sajak ini kita bisa mengerti bahwa sebagai seorang pekerja, waktu begitu singkat, sempit dan serasa tak ada hentinya, pagi yang hujan, sampai malam tanpa bintang adalah penggambaran betapa waktu begitu berlalu tetapi kosong. Di sajak yang lain kental terasa bahwasannya ada tubuh (fisik) yang tersiksa sekaligus tubuh (jiwa) ikut merasakan luka, kita bisa menyimak bait berikut : Waktu pernah seperti meja di restoran/ semua hidangan terasa enak dimakan… lalu waktu seperti pisau di tanganku/ berkilat tajam mengiris nadi ingatan/ darahnya merobek kenangan(Merobek Kenangan). Waktu seolah memberangus ingatan, kenangan seolah berlalu begitu saja. Tanpa terasa, ada kekosongan dan keheningan yang kemudian timbul begitu saja saat menyadari bahwa waktu telah merenggut sisi ruhani kita.
            Ada narasi dan kritik yang tajam dari cara penyair mengurusi urusan profesi. Baginya, pekerjaan diam-diam telah membuat orang menjadi begitu lupa akan kesadaran kemanusiaannya. Kita bisa melihat satire dan kritik itu di bait berikut : Ia datang mencari uang-uang/ sudah kuduga, ia kelelahan/ tinggal menjadi tua dan sia-sia (Balada Seorang Pegawai). Kemuliaan hidup memang perlu  dikejar, tetapi bukan menjadi seorang pegawai yang hanya mengejar kenikmatan uang dan kepuasan material. Kita bisa menemukan bagaimana kritik penyair di sajak berikut : aku takut menjelma bagai mereka/ yang rela melipat hati/ demi sesuap simpati (Sajak Kaum Berdasi). Bagi dunia kerja, simpati dari atasan seringkali dicari dengan berbagai cara, untuk memuaskan pimpinan atau atasan kita.
            Di dunia profesinya yang ramai, berisik dan begitu cepat, penyair justru ingin menampik dan membuat afirmasi dengan caranya yang ganjil. Ia justru ingin melawan arus dan kegaduhan profesi yang penuh dengan kecurangan, intrik, dan juga penuh dengan sesuatu yang materiil. Penyair menuliskan puisi ini sebagai cara lain mengungkapkan betapa tak mengenakkannya ikut arus yang dangkal, dan membuat hidup kita menjadi membosankan. Beginilah do’a penyair ketika menghadapi hari yang berlari : Musim lari yang melelahkan/ semoga jadi suluh segala do’a/ jadi silih semua derita. Do’a itu adalah ungkapan yang bisa dituliskan penyair untuk menghadapi hari yang kental dengan dunia materiil yang diukur dengan kecepatan harus mencapai lima puluh ribu per hari.
            Penyair pun seperti meringkas ruang dan waktu yang ada dalam profesinya dengan kalimat singkat yang terdengar tragis. Hidup adalah pelajaran berlari tanpa henti/ kadang berhenti mengatur hati/ lalu berlari lagi/ dan berlari lagi/ sampai mati (Pelajaran Hari Ini). Bila Jokpin memuji puisi Didik menawarkan visi hidup yang dalam dan lebih matang, saya rasa benar adanya. Dunia profesi tak melulu urusan uang, kekayaan dan kepuasan. Tapi melalui sajak-sajaknya Didik Siswantono seperti memberi peringatan bahwa berlari sampai mati hanya meninggalkan luka yang parah dan mendalam. Disinilah kekuatan sajaknya, ia menangkap nuansa kegetiran dan tragisme profesi (kerja) dan menyuguhkannya kepada kita. Agar kita tak terlelap dan terlena mengikuti arus kerja yang demikian parahnya membuat nurani kita menjadi hilang. Kerja jangan sampai menghilangkan kemanusiaan kita. Itulah peringatan yang hendak disampaikan oleh penyair melalui buku puisinya.


*) Peresensi Buku dan Pegiat Tadarus Buku Bilik Literasi, menulis di doeniaboekoe.blogspot.com   

           
*) dimuat di  www.bukuonlinestore.com pada tanggal 6 September 2015