klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Wednesday 24 February 2016

Kisah Pencarian Jati Diri Seniman


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Membaca novel grafis memang menjadi lebih indah daripada membaca novel tanpa sentuhan grafis. Novel grafis mampu memberi sentuhan melalui tatapan visual. Kita tak banyak disuguhi kata-kata, tetapi kita diajak untuk terdiam sejenak menatap dan menyelami gambar. Melalui ilustrasi yang ada di novel grafis, kita bisa menatap tokoh sekaligus menyaksikan bagaimana emosi digambar dan diilustrasikan oleh penulis.
            Buku novel grafis berjudul Mantra (2011), membuat pembaca dibuai dengan coretan- coretan grafis penulis yang dipadu dengan dialog yang tak bertele-tele. Buku karya R.Amdani dan komikus muda Aziza Noor ini mengisahkan tentang tokoh perempuan Ratri seorang pelukis muda berbakat yang berada di bawah bimbingan gurunya Ibu Wid.
            Si tokoh dikisahkan berhasil mengadakan pameran tunggal, dari pameran solo itu pula ia berhasil untuk lebih jauh mengenal pelukis-pelukis pendahulunya. Pameran solonya membawa “nama” nya ikut besar. Tetapi publik yang hadir di pameran itu membuatnya menjadi bimbang dan ragu. Salah satu pengunjung yang datang pun menilai bahwa karyanya masih berada dalam bayang-bayang gurunya “Ibu Wid”.
            Singkat cerita, di tengah kebimbangan dan tantangan untuk membuat karya yang lebih personal dan lebih berkarakter, Ratri membaca buku di rumah temannya. Disana ia membaca buku Mantra Aji Raga Sukma. Setelah membaca mantra itulah, Ratri akhirnya sadar bahwa ia telah berada di Padepokan Tari Sandhikala.
            Di Padhepokan itulah, ia bertemu sosok misterius bernama Rangga. Sosok Rangga yang pandai menari topeng itulah yang akhirnya membawanya menemukan inspirasi dari karyanya kembali. Ketika Ratri sadar, akhirnya ia pun seperti tergerak untuk melukis kembali.
            Di saat itulah, ia mampu melukis sesuatu yang benar-benar lain dari karakter Ibu Wid, gurunya. Di Pameran tunggalnya yang kedua itulah, banyak pujian datang. Di saat itulah, Ratri kembali menemukan jati diri pada karya-karyanya. Kisah ini diakhiri dengan kedatangan Rangga, yang datang ke pameran tunggalnya yang kedua. Tokoh Rangga inilah yang membuat cerita ini nampak menggantung.
            Meski cerita ini begitu ringkas, tetapi sentuhan grafis Aziza Noor membuat cerita ini menjadi lebih hidup. Di halaman depan kita akan menemui pujian dari Fusami Ogi asisten Professor  Chikushi Jogakuen University Japan. Menikmati cerita di novel grafis kolaborasi penulis dan komikus ini membuat kita tercenung dan diajak untuk tak berhenti hingga kisah ini selesai. Dan saya pun senang bisa menuntaskan kisah ini dengan penuh girang.

*) Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com


Monday 22 February 2016

Al-Qur’an Sebagai Penyembuh


 Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Kisah Al-Qur’an sebagai mukjizat memang sudah sering kita dengar. Tetapi, tidak setiap orang mampu mengilhami dan memaknai apa makna dibalik mukjizat Alloh tersebut. Dalam sebuah hadist kita sering mendengar, bahwa al-qur’an dan al-hadist adalah pedoman hidup manusia bila ingin selamat di dunia dan akhirat. Kitab ini pun sudah dikenal kemurniannya semenjak jaman dahulu sampai sekarang, bahkan Tuhan sendiri yang berjanji menjaga kemurniannya. Meski demikian, banyak orang tak faham, dan sering menyalahgunakan fungsi Al-qur’an itu sendiri. Melalui huruf-huruf dalam Al-qur’an, ada banyak orang mempercayai faedah Al-qur’an secara mistis. Mereka mempercayai, dengan ayat-ayat dalam surah Al-qur’an mereka bisa mendapat berkah, mendapat rejeki melimpah dan menolak balak atau musibah. Al-qur’an dalam hal ini pun berubah, ia tak lagi menjadi bacaan, ia kemudian menjadi stiker dan tempelan dalam rumah-rumah mereka untuk mengusir setan. Ia ditempel di tempat-tempat dagang sebagai jimat dan penglaris. Kisah demikian tak susah dijumpai di sekitar kita. Dalam posisi inilah, fungsi Al-qur’an sebagai mukjizat disalahgunakan. Kitab Al-qur’an pada sisi lain, juga digunakan sebagai bacaan yang berlebihan, ada yang menggunakannya sebagai program “One day One juz”. Mereka membaca dan berlomba-lomba satu hari satu juz. Pembacaan Al-qur’an tanpa pemahaman dan pengilhaman saya pikir tak lebih dari sekadar ucapan di mulut semata. Lalu bagaimana memfungsikan Al-qur’an sebagai mukjizat?. Buku Saku Terapi Baca Al-Qur’an(2014) karya Dr. Jamal Elzaky ini membantu kita memahami kembali fungsi Qur’an sebagai mukjizat. Dalam buku ini, al-qur’an memiliki fungsi dan pengaruh tak hanya secara fisik, tetapi juga ruhaniah. Secara fisik, orang yang membaca Al-qur’an akan menyegarkan kembali sel-sel tubuh, menenangkan jantung dan memiliki rangsangan terhadap kulit. Sedangkan bagi janin, Al-qur’an akan membuat janin sehat dan semakin mudah dalam mengenali ayat-ayat qur’an ketika bayi lahir.
Iman
                Al-qur’an tak bisa tidak, ia mesti difahami dengan iman. Karena itulah, Al-qur’an akan berfungsi dengan baik dan memiliki efek bagi pembaca dan pendengarnya yang memiliki iman. Sebagaimana firman Alloh dalam surat Al-isra :82 : “Dan kami turunkan dari Al-qur’an sesuatu sebagai penyembuh dan rahmat bagi orang yang beriman dan Al-qur’an itu tidaklah menambah kepada orang yang dzalim selain kerugian”. Menurut tafsir Ibnu Katsir ayat ini dimaknai bahwa Al-qur’an memiliki kekuatan untuk menghilangkan penyakit hati berupa kemunafikan, keraguan, sikap berlebih-lebihan, dan melampaui batas kepada keburukan. Dari membaca Al-qur’an itulah, hati, yang disentuh, fikiran kita menjadi tenang. Biasanya kita melupakan masalah-masalah duniawi kita. Ruhaniah kita seperti terisikan energy yang menyegarkan dan menenangkan. Karena itulah, al-qur’an menjadi bacaan sekaligus sebagai penyembuh bagi jiwa yang kotor dan tak tenang. Dari membaca nya, kita memiliki efek psikologis yang terasa benar. Melalui lantunan firmanNya, mengilhami isinya, kita diajak untuk meneteskan air mata sebagai tanda bahwa kita tersentuh oleh panggilan dan seruan, kabar gembira dan juga peringatan di dalamNya. Buku ini juga menjelaskan dengan dalil dan hadist shahih fungsi surah-surah pendek seperti Al-Iklas, surah al-baqarah, sampai dengan surah An-nas. Begitu pula fungsi surah Yasin dan Ayat kursi yang sering kita dengar. Surah Yasin memang memiliki efek ketenangan dan menenangkan apalagi tatkala dibacakan ketika orang sedang sakaratul maut. Begitupun dengan ayat kursi, kabar bahwa syaitan akan menjauh dan tak mendekat rumah yang dibacakan ayat kursi adalah benar adanya sesuai dengan hadis Rosululloh. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “jika kau beranjak menujut tempat tidur, bacalahj Ayat Kursi hingga tuntas. Dengan begitu Engkau akan tetap berada dalam penjagaan Alloh hingga pagi hari”. Selain itu, buku ini juga menandaskan pada penelitian para peneliti dibarat yang menyimpulkan bahwa Al-qur’an memiliki pengaruh pada sel-sel, pada air, dan pada lingkungan yang dibacakan Al-qur’an.     Karena itulah, fungsi Al-qur’an sebagai mukjizat tak hanya berlaku bagi kaum muslim dan mukmin semata, tetapi bagi umat manusia. Dengan demikian, Al-Qur’an memang bekal kita untuk mengarungi kehidupan duniawi dan kehidupan akhirat. Qur’an adalah pedoman, ia juga merupakan obat bagi penyakit-penyakit kita, baik jasmaniah maupun ruhaniah. Membacanya membawa kita pada keberkahan dan kebahagiaan, ketenangan jiwa dan ketenteraman.


*) Penulis adalah Santri Tadarus BUKU di BILIK LITERASI SOLO, Pengasuh MIM PK Kartasura   

Sunday 21 February 2016

Cerpen, Helvy dan Dunianya


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Cerita pendek adalah kehidupan itu sendiri, kehidupan yang pendek. Maka seorang penulis cerita pendek adalah sang sutradara, bisa dikatakan penulis cerita pendek adalah Tuhan bagi tokoh, bagi cerita dan bagi apa yang akan ia tuliskan sebelum menjadi sebuah cerita pendek. Cerita pendek, dalam kesusasteraan Indonesia begitu penting, sebab ia menandakan denyut nafas sastra Indonesia selain novel dan puisi tentunya. Cerita pendek hadir di ruang-ruang seperti Koran dan majalah sastra di Indonesia. Hampir di setiap hari minggu atau di setiap bulan di majalah-majalah sastra kita menjumpai cerita pendek. Setiap penulis cerita pendek tentu memiliki pengalaman dan cirri khas nya masing-masing dalam bercerita. Membaca cerita pendek membuat kita masih bisa membayangkan yang khayali dari sebuah kehidupan. Dari cerita pendek kita tahu, bahwa kehidupan ini melampaui apa yang kita harapkan, atau kadang-kadang malah jauh dari harapan. Helvy Tiana Rosa adalah satu dari sederet penulis cerita pendek di negeri ini. Helvy dikenal sebagai pegiat sastra yang membidani FLP (Forum Lingkar Pena). Kita tahu, semenjak kemunculan FLP, sastra diharapkan menjadi ruang (medium) bagi seorang penulis untuk menyampaikan nilai-nilai(pesan) religiusitas maupun pesan moral yang lebih mendalam. Meski mengalami beberapa kontroversi antara ambiguitas “sastra-islami”, geliat kepenulisan dan literasi dari kelompok ini tak bisa dinafikkan ikut membentuk tradisi kepengarangan di negeri ini. Buku kumpulan cerpen Juragan Haji(2014) ini sebelumnya pernah diterbitkan dengan judul Bukavu(2008).

            Kumcer ini dihadirkan kembali di tahun 2014, enam tahun berselang setelah tahun itu, kita diajak untuk mengingat kembali nama Helvy Tiana Rosa dengan kekhasan cara berceritanya. Cerita-cerita pendek penulis Indonesia memang cenderung mengalami cetak ulang. Tidak hanya kumcer dari Helvy, kumcer Leila S.Chudori, Kumcer Linda Christanty, kumcer dari Eka Kurniawan, dan pengarang Indonesia lain. Helvy memiliki cara bercerita yang liris, puitis, tapi tak picisan. Beberapa cerpen dalam kumcer ini begitu kuat. Ia tak hanya bersinggungan dengan persoalan sejarah, kultur dan juga kehidupan di sekitar kita. Cerpen Darahitam adalah cerpen yang digarap dengan hati-hati dan sungguh-sungguh. Ia tak hanya mengisahkan kegetiran seorang warga Kalimantan, tetapi juga mengisahkan persoalan identitas seorang Madura. Membaca cerpen ini kita seolah diajak untuk melihat lebih dalam persoalan kebangsaan, yang mesti melampaui urusan etnisitas dan kesukuan. Helvy berhasil menjadikan cerpen ini sebagai tanda untuk mengingat dan merenungi sejarah kelam kita. Selain itu kita bisa melihat cerpen Ze Akan Mati Ditembak!. Setali tiga uang dengan cerpen Darahitam ,cerpen ini mengisahkan seorang pemuda yang tak memihak, tak suka perpecahan, tak suka konflik, pada akhirnya harus menanggung akibat dari konflik dan perpecahan di tanah airnya yang sama sekali tak ia inginkan. Cerita ini  berlatar konflik antara Timor-Timur sebelum lepas dari Indonesia. Helvy mengajak kita untuk bersuara dan berimbang memposisikan keberfihakan kita. Dalam ruang konflik dan perpecahan, seringkali kita timpang dan tak adil dalam bersikap. Tampaknya Helvy sadar posisi sebagai seorang cerpenis yang sering diberi cap “islami”. Di kumcer ini, sering kita akan menjumpai kata-kata Alloh, do’a atau rintihan sang tokoh yang dihadirkan Helvy. Saya tak terlalu menggubris perkara itu. Saya akan lebih mengakui Helvy sebagai seorang cerpenis saja, cukup seorang “cerpenis”. Pada cerpennya, kita akan menemukan kisah yang sebenarnya ada di realitas keseharian kita. Kita seperti diajak untuk bersuara dan berada di posisi yang adil. Sebut saja cerpen Lelaki Semesta yang mengisahkan seorang pemuda yang shalih, tiba-tiba harus mendapatkan perlakuan tak adil, dianiaya, dan dikucilkan akibat pemberitaan yang tak benar, akibat ulah pemburu teroris. Pada posisi ini, kita diajak Helvy, untuk melihat dengan lensa lebih besar, bahwa realitas yang selama ini dihadirkan oleh isu terorisme di Indonesia sering tak berimbang dalam pemberitaan.

Sebagai Pengarang

            Helvy sebagai seorang pengarang, pun menuliskan cerita yang tak jauh-jauh dengan kehidupan pengarang. Sebut saja cerpen Pertemuan Di Taman Hening, kita  bisa menyimak kata-kata sang tokoh dalam cerpen tersebut : “Aku tetap menulis. Bukan untuk membantumu atau  keuangan kita, tapi untuk diriku sendiri. Dan kamu, Mas,…., adalah inspirasiku yang tak pernah habis”(h.13). Kalimat ini seolah adalah kalimat penulis sendiri yang menjadikan keluarganya sebagai inspirasinya. Di cerpen Peri Biru kita akan menemukan bahwa dunia penulis yang mengidolakan penulis idolanya. Ini menyiratkan kekaguman Helvy sendiri pada Taufiq Ismail dan Asma Nadia : Aku masih ingin sekolah.Sebentar lagi SMP-ku selesai. Aku ingin kenal Taufiq Ismail dan Asma Nadia. Aku ingin seperti mereka. Dan itu artinya aku harus pintar. Membaca membaca. Menulis menulis.Sekolah!(h.115) Dalam cerpen-cerpennya sekalipun, Helvy begitu jujur dan begitu terus terang mengungkapkan identitasnya.  Helvy sebagai pengarang memang lebih terbuka, jujur dan tanpa menutupi dunia dan kehidupannya sebagai pengarang. Ia mengungkap dan membuka itu dalam cerpen-cerpennya. Cerpen-cerpen yang ditulis Helvy bisa dikatakan memiliki keunikan sendiri-sendiri, tapi menurut saya Helvy lebih berhasil menuliskan cerpen dengan tema bebas ketimbang tema-tema islami. Karena itulah, saya menganggap cerpen Juragan Haji sebagai cerpen yang biasa saja, meskipun diambil sebagai judul kumcer. Helvy sudah menorehkan catatan dan karyanya sebagai cerpenis di negeri ini, entah dengan label apa, setidaknya Helvy sudah menunjukkan cara dia berfihak pada apa yang ia yakini sebagai kebenaran.


*) Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

           


Tuesday 16 February 2016

Mendengar Triyanto Triwikromo Mengaji



Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Kisah yang pendek tapi berkesan. Ada semacam usaha untuk menggambarkan tentang kedirian dan sifat dasar manusia. Ada kerakusan, ada kegilaan, kesucian, dan cita-cita tertinggi dalam hidup manusia yakni menjadi manusia pada tingkatan paling puncak. Tokoh-tokoh dalam Surga Sungsang memang dibuat akrab dengan imajinasi dan kedekatan kita pada dunia yang akrab  dengan sekitar kita. Surga Sungsang seolah adalah dunia yang tak jauh dari kita. Kita seperti didedah dan ditelanjangi bersama kisah ini. Cita-cita moksa, menjadi syekh, atau bahkan menjadi manusia yang tak lagi mementingkan duniawi dalam novel ini seolah menggambarkan satu dunia yang musykil bila dihadapkan dengan realitas kita. Bila dalam latar novel ini, kita akan dihadapkan dengan layar yang begitu cepat berganti antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Tempat satu ke tempat yang lain. Dengan olah bahasa yang lembut dan jeli, Triyanto mengajak kita menyusuri ruang imajinasi dan ruang batin. Ia tak mau melibatkan hanya pada satu indera saja ketika berlayar bersama tokoh maupun kisah yang ada dalam novel ini. Karena itulah, kita seperti memunguti satu adegan dan peristiwa dengan takjub pada penggalan-penggalan kisah pada tiap sub judul dalam novel ini. Bila kita menilik lebih jeli mengenai deskripsi latar (tempat) dalam novel ini, kita akan diajak untuk menelusuri ruang yang sejuk, tenang, ada bangau, ada malam yang cerah, dan juga ikan-ikan terbang serta pohon bakau dan suasana tanjung yang benar-benar indah. Tetapi, di sisi lain kita akan dihadapkan dengan dunia yang kontras kala melihat dunia yang terbalik dengan deskripsi ikan busuk, burung bangau yang mati, dan pohon bakau yang tak lagi indah, serta malam yang suram dan gelap. Gambaran ini seolah berubah tatkala subuh datang. Ada semaca permainan tanda dan simbolisasi antara subuh, fajar, dibandingkan dengan suasana malam dan kegelapan. Pengarang seolah mencoba membuat bandingan antara dunia yang sebenarnya ada dalam batin kita yakni dunia yang hitam dan putih.
            Meski diciptakan dan ditulis dengan potongan-potongan dan saling tak berurutan, tak struktural, sebagaimana di bagian akhir novel ini, kita menemukan jawaban dari pengarang bahwa ia ingin memberi ruang yang sangat luas untuk kita(pembaca) masuk ke dalam novel itu tanpa harus diganggu dengan godaan strukturalisme. Justru dengan tak berstruktur dan terlihat kacau itulah, novel ini membentuk garis-garis yang halus tapi terhubung satu sama lain sehingga kita dapat menarik kesimpulan sendiri di tiap bagian cerita yang dituturkan. Sebut saja ketika kita membaca tiap judul Wali kesebelas, Bahaya Sisik Zaenab, Amenangi Jaman Celeng, Serangan Ababil, Neraka Kembar Rajab. Di tiap bagian cerita itulah, kita disuguhi ketakjuban dan satu adegan yang kadang pecah dan tak utuh. Kita bisa menyimak adegan tak utuh dan pecah itu dalam kalimat-kalimat berikut : “Kini kau tahu dimana tubuh Kufah,  Kiai siti, Zaenab, dan ikan-ikan terbang itu menghilang?”. “Apakah kau akan mampu melawan muslihatku wahai panglima langit?, apakah kau akan mampu menatap tubuh molekku?,Apakah kau mampu menghindar dari tebusan peluru pistolku?”. Dari kalimat-kalimat itulah kita seperti diajak menjadi tokoh, kita diajak berdialog dengan tokoh. Inilah kelihaian Triyanto, ia seolah menjadikan pembaca masuk dan ikut serta dalam lakon yang ia tampilkan.
Bertabrakan
            Tak salah bila Goenawan Mohamad menilai bahwa surge-sungsang seperti firdaus di bumi dan sekaligus kiamat yang digerakkan manusia sendiri. Triyanto seperti mencipta surga dengan keindahan alam, keteraturan manusia-manusianya, kerumunan dan keriuhan yang puitis. Di samping itu, ia mengajak kita memasuki dunia tragis, konflik dan gejolak batin yang terus-menerus tanpa henti. Ia mencoba mengajak kita pada ingatan masa silam tentang peristiwa paling berdarah. Mayat-mayat yang terapung dan banjir darah dikisahkan dengan caranya sendiri. Kita  tak diajak menonton kekejian dan kepedihan, tapi kita diajak untuk melihat dan mendengar dengan seksama bahwa  ada luka dan goresan di kaki kita tanpa kita sadari. Cara pengarang meramu sejarah dihadapkan dengan dunia batin kita sendiri adalah bagian dari keberhasilan pengarang untuk tak terlalu menjadi sejarawan, tapi sekaligus tak hanya mereka-reka(mengarang)cerita. Dari idiom menarik tentang surga, Alloh, malaikat, dan Jibril, kita kemudian dibuat untuk memasuki alam imajinasi Dajjal, Izrail, Burung Ababil, hingga berita kematian dan lenyapnya Tanjung. Disitulah sebenarnya kita melihat dunia yang saling bertabrakan, saling bertarung tanpa henti dan tak tahu dimenangkan oleh siapa. Sebagaimana kisah dalam wayang, kita sudah melihat goro-goro nya, dan melihat dunia yang dikisahkan itu akhirnya lenyap dan hilang tanpa jejak.
            Kita menduga, sebenarnya kisah-kisah yang akrab dengan Qur’an yang ada dalam novel ini adalah sebuah satire dan dunia yang coba dibalik dan ditafsirkan sendiri oleh pengarang. Karena itulah, Surga Sungsang seperti sebuah kisah dan cerita tersendiri, dengan nabi dan utusan sendiri, dengan umat sendiri, dengan musuh-musuh yang diciptakan dalam alam yang tentu berbeda dengan apa yang dikisahkan dalam Qur’an. Tapi dari situlah, sebenarnya kita melihat ada pesan dan ayat –ayat yang sedang dibacakan Triyanto Triwikromo melalui Surga Sungsang ini. Selamat menyimak dan mendengarkan ayat-ayat Qur’an melalui Surga Sungsang ini, meski yang ada di dalam novel ini sama sekali bukan Qur’an. Mungkin karena itulah novel ini diberi judul : Surga Sungsang.

*)Penulis adalah Pegiat BILIK LITERASI SOLO, Pengasuh MIM PK KARTASURA
             
 

Nilai Esoterik Cerita Kabayan





Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Manusia memang membutuhkan cerita. Cerita tak hanya penting sebagai pengingat, bahan permenungan dan memiliki nilai pelajaran budi pekerti. Meminjam kata ST Sularto bahwa cerita itu penting untuk menjelaskan bahwa hidup kita itu nyata bukan fiksi. Karena itulah, di dalam kita membaca cerita, kita akan menemukan satu kesadaran jiwa, ketenangan psikologis dan juga manfaat serta hikmah dari cerita itu bila kita merenungi isinya. Sudah sejak jaman dulu, cerita-cerita itulah yang membuat hidup kita jadi tak monoton, hidup kita jadi tak sempit, dan penuh dengan gambaran dan kisah-kisah. Tentu kita tak asing dengan kisah Mahabharata atau Ramayana yang secara simbolik menjelaskan tragedy, sejarah,serta gambaran baik dan buruk kehidupan manusia. Karena itulah, orangtua kita dulu, bahkan kita sampai sekarang akan merasa senang bila mendengarkan dan menyimak cerita dalam pewayangan atau cerita rakyat yang ada dalam kehidupan di sekitar kita. Ada nuansa yang berbeda yang dirasakan oleh orang yang berlimpah cerita dan kisah, ketimbang orang yang jarang mendengarkan atau menyimak cerita. Negeri kita adalah negeri yang begitu kaya dengan cerita rakyat, dongeng, mitos, dan sebagainya. Dari beraneka ragam cerita itulah kita mendapati hikmah, pelajaran dan juga gambaran tentang kehidupan orang di masa lampau. Kisah Danau Toba memberikan kita pelajaran moral tentang betapa perlunya manusia berhati-hati terhadap perkataan. Kisah Gunung Tangkuban Perahu yang menjelaskan pelajaran moral bahwa kita tak boleh melawan kehendak yang Kuasa. Kisah Malin Kundang yang mengajarkan pelajaran moral berbakti pada orangtua.
            Buku karya Jakob Sumardjo ini adalah bagian dari khazanah kesusasteraan dan cerita rakyat dari daerah Jawa Barat. Kabayan adalah cerita rakyat yang popular di daerah itu. Jakob Sumardjo mengkaji nilai-nilai dan aspek estetis dari kisah Kabayan. Kisah Kabayan yang selama ini dicitrakan konyol, bodoh, lucu dan licik ternyata memiliki beragam nilai-nilai estetik dan pelajaran moral yang sangat berharga. Kabayan adalah warisan kebudayaan Sunda pada khususnya dan kebudayaan Indonesia pada umumnya. Jakob Sumardja menganggap bahwa apa yang ada dalam cerita Kabayan tak melulu membahas soal ringan, enteng, dan bahkan seronoh. Lebih dari itu, cerita Kabayan justru dianggap Jakob Sumardjo  sebagai kisah yang mengandung pelajaran moral dan kehidupan. Sebagai cerita rakyat, Kabayan memang istimewa, ia mirip dengan pantun-pantun Sunda. Cerita itu akan memiliki kedalaman makna kalau ditilik secara budaya meski banyak kemiripan dengan cerita berbau dongeng.
            Keunikan cerita Kabayan dibangun dari tokohnya dan tingkah laku Kabayan senduri yang terlihat lucu dan mengandung nilai-nilai yang paradoks. Kabayan adalah tokoh yang begitu bodohnya, tapi di lain waktu terlihat begitu pintarnya. Karena itulah, Kabayan bisa dipandang dari dua sisi. Dari sudut pandang orang awam, cerita Kabayan mengandung kelucuan, humor dan kocak. Tapi dari sisi kebudayaan, sisi falsafati, cerita Kabayan memiliki sisi esoterik dan falsafi secara modern. Cerita dapat konyol kalau dilihat secara realitas, namun bisa sangat falsafi-pikiran apabila dilihat secara kesadaran (h. 50). Tokoh si Kabayan sendiri digambarkan sebagai pengikut tarekat mistik. Dia miskin, kelaparan, suka tidur, pemalas, tidak terhormat secara social, suka keluyuran. Semua itu adalah tuntutan pengikut tarekat yang paeh samemeh paeh(mati dalam hidup ini). Ada anggapan umum bahwa pengikut mistik adalah “mayat yang berjalan-jalan”. Rumusannya tujuh dari tujuh yakni memilih melarat daripada kaya, memilih lapar daripada kenyang, hina daripada terhormat, rendah hati daripada sombong, bodoh daripada pintar, bawah daripada atas, duka daripada senang, “mati” daripada hidup. Kebodohan dalam Kabayan sebenarnya bukan bodoh tanpa isi, kebodohan sufi adalah pilihan sikap yang sebenarnya sangat terpelajar dan berisi (h.120).
            Membaca kisah-kisah Kabayan kita diajak untuk merenungi apa yang benar dalam pikiran dan apa yang ada dalam realitas. Dalam pandangan sufi, yang penting adalah perbuatan, sedang yang ada dalam pikiran sering dianggap salah, karena itulah dalam pemahaman sifustik mereka lebih menekankan praktek atau laku. Kita tentu mengenali istilah “ngilmu nganti laku” yang dimaknai bahwa ilmu itu adalah laku atau perbuatan. Cerita-cerita Kabayan memiliki makna yang dalam bila difahami secara mendalam, ada nilai-nilai kejujuran, nilai moralitas, hingga pelajaran ruhaniah. Kisah Kabayan menurut Jakob Sumardjo dianggap sejajar dengan kisah-kisah sufistik dari timur tengah seperti Nasrudin Khoujjah dan Abu Nawas. Melalui buku ini, kita akan menemukan betapa paradoksnya kehidupan kita. Ada tingkah-polah keseharian si Kabayan yang sebenarnya dilakukan oleh kita. Bila kita menilai tingkah Kabayan bodoh, kurang ajar, dan tidak waras, mungkin kita juga pernah melakukannya sebagaimana cerita Kabayan yang mau sholat kemudian datanglah si Janda cantik lewat, hingga Kabayan justru memanggil Bibi…bibi….. dan tak jadi sholat. Apa yang dialami Kabayan justru juga dialami kita yang sering berpaling, tak fokus, dan sering kali melalaikan Sang pencipta. Begitu.
*)Penulis adalah Santri BILIK LITERASI SOLO, Pengasuh MIM PK Kartasura

Thukul dan Suara Akar Rumput




Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Widji Thukul adalah salah satu dari sekian penyair Indonesia yang menggunakan bahasa lugas dan bebas untuk puisinya. Puisi bagi Widji Thukul bukanlah bahasa yang meliuk-liuk dan mendayu-dayu serta jauh dari kesan estetis. Bagi Thukul, letak puisi adalah bagaimana ia merepresentasikan dan menyuarakan suara dari Sang penyair. Karena itulah, Thukul menganggap bahwa bahasa adalah realitas itu sendiri, ia tak lagi menggunakan bahasa sebagai medium, sebagai metafora, atau sebagai sesuatu yang dikemas dan dibungkus dengan kata-kata indah.  Dari pilihan itulah, puisi Thukul lebih menyerupai suaranya, suara penyairnya. Karena itulah, puisi Thukul kemudian dianggap berbahaya dan meneror kekuasaan. Latar kehidupan dan pendidikan penyair yang tak tinggi membuat Thukul terus belajar. Ia mengatakan bahwa belajar tak harus di bangku sekolah, bisa membaca pengalaman dan realitas kehidupan sehari-hari. Thukul belajar dengan siapa saja, teman-teman dan juga lingkungan dimana dia tinggal. Puisi Thukul menyiratkan bagaimana kosmologi penyair hadir bersama rumah, keluarga, hingga tanpa sadar menyinggung tema besar termasuk politik dan Negara. Bandung Mawardi menuliskan dalam bukunya Sastra Bergelimang Makna(2010:20) bahwa Thukul memiliki imajinasi dan mimpi tentang rumah dan nasib sebagai gelandangan yang merupakan implikasi dari kebijakan Negara. Simaklah bait puisi ini : kami bermimpi punya rumah untuk anak-anak/tapi bersama hari-hari pengap yang menggelinding/ kami harus angkat kaki/ karena kami adalah gelandangan. Thukul seolah membuat pengertian yang paradox antara impian punya rumah dengan gelandangan. Aktifitas Thukul sebagai penyair tak dianggap sebagai aktifitas yang tertutup, asing, dan tinggal di menara gading. Sebaliknya, Thukul lahir sebagai aktifis, dan terlibat. Ia pun aktif dalam lingkungan PRD (Partai Rakyar Demokratik) yang lebih dikenal dengan aksi-aksi politiknya. Widji Thukul justru hadir bersama demonstrasi, kritik dan juga menjadi pelopor bagi gerakan buruh. Dari aksi dan demonstrasinya itulah ia justru mendapatkan ganjarannya yakni dipoprol senapan yang menyebabkan hampir kehilangan mata satunya. Ia malah tak berhenti, ia semakin keras dan semakin melontarkan kritik-kritiknya. Pernah sahabatnya mengingatkan padanya untuk berhenti menulis dan membacakan puisi-puisinya. Thukul justru menjawab bahwa ia tak gentar akan peringatan temannya itu. Ia pun tak gentar akan kekuasaan yang meringkus dan meneror keluarganya. Akibat dari puisi-puisinya dan aktifitasnya itulah menjelang kejatuhan Orde Baru Agustus 1996, Thukul berpamitan kepada keluarganya untuk bersembunyi, sejak itulah ia sembunyi dari kota ke kota. Selama itu pula ia tak berhenti menulis puisi dan menghindar dari perburuan pemerintah (Majalah Tempo,13-19 Mei 2013). 
            Buku puisi Nyanyian Akar Rumput (2014) adalah buku yang menghimpun kumpulan lengkap puisi Thukul sejak pertama hingga terakhir yang diterbitkan oleh Majalah Tempo(2013) yang berjudul Para Jenderal Marah-Marah. Buku ini sekaligus sebagai penanda bahwa suara Thukul masih tetap didengar dan didendangkan. Asean Literary Festival (2014)mengangkat Thukul dan Nyanyian Akar Rumput sebagai tema utama. Apa yang diserukan Thukul, layak diapresiasi dan diangkat dalam kesusasteraan kitadan dunia. Sebagaimana karya-karya Pramoedya yang jujur dan mengangkat tema-tema kemanusiaaan, karya Widji Thukul adalah suara-suara kemanusiaan yang tak patut dibungkam. Puisi-puisi Widji Thukul menunjukkan bahwa suara akar rumput (kaum bawah) adalah suara yang layak didengarkan dan diperhitungkan. Lebih dari itu, Widji Thukul justru mengangkat tema-tema yang sebenarnya jarang diangkat oleh penyair-penyair di masanya.    Puisi Widji Thukul menunjukkan kepada kita bahwa seorang penyair mesti menangkap dan memperhatikan gejala dan fenomena di sekitarnya, merenungkan dan menyuarakan melalui puisi-puisinya. Bagi Thukul berpuisi adalah berfihak. Ini jelas terlihat pada sajak-sajaknya. Ia mengatakan dalam salah satu puisinya : jika kau menghamba pada ketakutan/kita memperpanjang barisan perbudakan. Thukul melalui buku Nyanyian  Akar Rumput (2014) ini menjelaskan bagaimana kehidupan keluarganya, kehidupan lingkungannya, kemiskinan yang dideranya, nasibnya sebagai buruh. Kemarahan dan ketidakpuasan terhadap kebijakan penguasa yang berefek bagi buruknya nasibnya. Semua itu ia luapkan pada puisi-puisinya.
            Buku Puisi Widji Thukul  Nyanyian Akar Rumput (2014) adalah wujud dan bukti bahwa kesusasteraan melampaui bidang-bidang yang lain. Ia melampaui persoalan ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan manusia. Thukul menunjukkan kepada kita bahwa suara akar rumput adalah kejujuran, keterbukaan, dan suara kemanusiaan.  Puisi Thukul meski identik dengan tragisme, kemiskinan, dan nasib yang apes, menunjukkan kepada kita bahwa melalui kata-kata dan puisinya itulah, ia bersuara dan menyuarakan dirinya dan nasibnya yang sering diidentikkan dengan suara akar rumput (kalangan bawah).

*)Penulis adalah Penyuka Puisi, bergiat di Bilik Literasi SOLO