klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Thursday 19 March 2015

Cerita Pendek, Cerita Saya


Cerpen Emha bukan cerpen yang asing, tetapi sebaliknya cerita yang akrab di kehidupan pengarang, juga di kehidupan di sekitar kita.

Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

       Cerita pendek di negeri ini (modern) lebih banyak mengangkat model-model cerita pendek berbau surealis. Penulis cerita pendek sekarang ini teramat jarang yang seperti Sori Siregar yang mengejutkan yang menulis cerita pendek berbau realis. Penulis-penulis cerita pendek kita selain mengambil setting barat, mereka juga lebih tertarik dengan gaya surealis yang tak jelas, absurd, dan membuat pembaca bingung. Akan sangat berbeda ketika kita membaca cerita pendek garapan Emha Ainun Najib. Di buku kumpulan cerpennya Yang Terhormat Nama Saya(1992) Emha Ainun Najib lebih banyak menulis cerita pendek dengan tokoh, latar, dan karakter khas lingkungan Emha. Sebagai seorang yang pernah mencicipi dunia kuliah, ia pun menulis cerpen Ijazah. Di cerpen ini, dikisahkan betapa seorang penulis muda harus mengirim ijazahnya kemana-mana ketika ingin tulisannya dimuat. Ijazah seolah digambarkan sebagai kertas yang ikut memberi pengabsahan terhadap kualitas tulisan orang. Ia seperti membuat afirmasi terhadap dirinya sendiri yang notabene tak lulus dan tak memperoleh ijazah.
    Di cerita Yang Terhormat Nama Saya, kita seperti melihat nama sebagai sebuah keberuntungan yang beruntun. Nama dikisahkan membawa peruntungan hingga menancap ke berbagai kenangan. Karena nama, si tokoh dipertemukan banyak orang, dan dari banyak orang itu, begitu terpikat kepada si tokoh, akhirnya anak-anak dari teman-teman si tokoh diberi nama serupa dengan tokoh utama di cerita itu. Hal ini mengingatkan ketika jaman Soekarno, Soeharto, kedua nama itu cukup memberikan pengaruh bagi orang di negeri ini. Orang akan senang memberi nama itu karena berpengharapan ingin menjadi presiden atau tokoh terkenal.
    Di cerpen pembuka podium, Emha berkisah mengenai kharisma seorang yang tiba-tiba didaulat menjadi kiai. Seorang yang dulunya bejat kini bertobat dan didapuk oleh seorang kiai. Tapi ada ironi disana ketika sang kiai ini pada akhirnya memikat semua penduduk kampong, kampong jadi hidup dan penuh cahaya. Mereka pun menurut dan mengikuti jejak kiai Gus Noor. Gus Noor ini di akhir ceritanya dikisahkan sempat pingsan, tapi setelah sadar Gus Noor jadi lupa segalanya. Cerita ini mengingatkan kita tentang bagaimana mitos ratu adil masih dan hidup di lingkungan kita. Dari kepercayaan masyarakat tentang “ratu adil” inilah, masyarakat kita menjadi ikut memuja sosok yang dianggap bisa membawa jalan keselamatan.
     Emha pun mampu berkisah secara puitik di cerita Anak-Anakku Yang Tercinta. Di cerita ini, kegetiran seorang ibu dan kebimbangan seorang ibu dikisahkan dengan apik. Emha seolah mengajak pembaca hanyut, bahwa seorang ibu pun berhak memiliki rasa jatuh cinta selayaknya orang muda, meski usianya sudah tua. Meski ia sudah memiliki anak-anak, rasanya hidup tak lengkap tanpa pasangan hidup. Sang Janda ini pun harus membuat hati anaknya tenang, dan mengerti perasaannya. “Anak-anakku tentu saja memahami perasaanku sebagai seorang ibu, tetapi mereka belum mampu mengerti perasaanku sebagai seorang perempuan. Buku-buku bisa member tahu mereka perihal apapun tetapi perasaan perempuan harus direguknya, seperti juga hidup ini”(halaman.24). Emha menunjukkan kepada kita, bahwa jatuh cinta, perasaan rindu dan kesepian tak bisa disembuhkan dengan hanya ditemani seorang anak. Disini, Emha menunjukkan sisi lainnya, ia seolah ingin mengatakan bahwa seorang janda tua berhak untuk bersuami kembali, berhak jatuh cinta lagi.
            Bahasa yang digunakan Emha adalah bahasa yang terang, jernih, tak muluk-muluk dan realis. Sebagai seorang yang hidup dan lekat dengan khazanah Jawa, Emha akrab dengan wayang. Hal ini dibuktikan dengan cerita “Padang kurusetra”. Di cerita ini, Emha mencoba memainkan tak hanya tokoh, tetapi juga jalan cerita saat memberikan penolakan kepada Arjuna untuk tak maju ke dalam perang karena membunuh saudaranya sendiri adalah hal yang tak bisa ia lakukan begitu saja. Emha seolah tak hanya merombak cerita Mahabarata ini, tetapi ia menyentuh kita dengan kebimbangan seorang manusia yang membunuh demi keadilan. Barangkali kita pun juga demikian ketika dihadapkan harus membunuh saudara sendiri untuk menegakkan keadilan.
            Kemampuan Emha memikat pembaca dengan bahasa yang lugas dan tetap mempesona. Kejujuran dan kelugasan yang ada di cerita-cerita Emha tak menghilangkan sosok Emha sebagai pemikir. Di cerpen-cerpennya Emha tak meninggalkan watak dan karakter tokohnya sebagai pemikir, tetapi di sisi lain, Emha juga menunjukkan bagaimana tokoh-tokohnya menampilkan emosi yang hidup seperti kesedihan, kebimbangan, juga kesadaran yang menjadi watak dasar manusia. Emha di cerpen-cerpennya tetap menampakkan sebagai pemikir, dan seorang budayaawan yang menggali nilai-nilai kemanusiaan melalui cerita.
            Maka tak heran, ketika di pengantar buku cerita ini, Emha makin sulit dirumuskan ‘siapa dianya’ melalui format status baku seperti apakah ia penyair, sastrawan, budayawan, mubaligh, cendekiawan, atau apa saja. Ini karena keterlibatannya begitu total. Tak heran, sebagai sastrawan, ia pun pernah ikut memberi warna sastra kita ketika di bawah asuhan Umbu Landu Paranggi. Kepiawaiannya sebagai sastrawan hadir saat ia menuliskan cerita-ceritanya tanpa terikat aturan-aturan baku, ia bercerita seperti bertutur. Tapi dicerpen-cerpennya, kita bisa memetik sesuatu yang berharga di cerpennya. Cerpen Emha bukan cerpen yang asing, tetapi sebaliknya cerita yang akrab di kehidupan pengarang, juga di kehidupan di sekitar kita.

*) 19/3/2015
*) Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

Tuesday 17 March 2015

Penyair Menafsir Hidup





Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
           
Di buku Langit Pilihan(2012) ini, Eka mengajak pembaca untuk berpetualang, merefleksikan, dan juga membuat hidup menjadi lebih berarti. Kita diajak untuk menafsirkan hidup dengan pandangan penyair yakni hidup yang berbuat dan melakukan sesuatu, terlibat. Seperti kata-kata penyair berikut : jangan biarkan aku jadi pembiar sekali saja

 Hari senin (16/3/15) aku menuntaskan buku Langit Pilihan (2012) karya Eka Budianta. Eka Budianta adalah alumnus International Writing Program Lowa Amerika Serikat. Ia juga seorang budayawan. Aku mengenali buku ini dari penerbit. Penerbit kosa kata kita sering menerbitkan puisi dan karya sastra. Puisi-puisi Eka Budianta lebih sering terang dan gamblang, tanpa metafora dan membuat pembaca bimbang. Puisi-puisinya jernih, liris. Ia mengurai tak hanya urusan perjalanannya ke kota-kota, tapi ia juga menuliskan bagaimana hubungan manusia dan tuhan dalam puisinya. Keprihatinan, do’a dan perasaan sebagai manusia. Singkatnya, puisi Eka tak jauh beda dengan bagaimana pemikiran penyair berada dalam puisinya. Penyair mencoba menelisik kerinduan terhadap masa kecil yang kini mulai jauh. Ia membuat gambaran masa kecil seperti jembatan dari masa silam ke masa sekarang. Aku bikin jembatan dari masa kecilku/ setelah tua, jembatan itu jalan sendiri ke laut/ disambungnya pulau demi pulau/ disatukannya benua demi benua. Perasaan kehilangan dan kerinduan yang tak bisa diraih itu diungkap pula pada bait puisi yang lain : di langit, hanya di langit pilihan/ aku dapat menemukan kembali sungai/ kampung halaman dan surga yang mudah hilang(h.17). Ia seperti mengajak pembaca memasuki betapa perih dan kejam ketika penyair mencoba merawat apa yang ada di masa kecil ke dalam puisi. Kata-kata kampung halaman dan surga yang mudah hilang menjelaskan betapa susahnya kembali merawat memori yang telah hilang. Di sini, biografi penyair ikut memberi penjelasan ada pergeseran biografis dan pergeseran geografis tempat penyair tinggal.  Puisi bagi penyair mirip kesaksian dan batu sejarah. Yang tak hanya sebagai prasasti dan jejak dan riwayat penyair. Penyair menganggap puisi adalah cara merawat diri, sejarah dan biografi. Aku harus menulis untukmu, hidup ini lebih dari kalah dan menang/ kalau tidak percaya tanyakan pada langit/ atau pada pohon (h. 36).
Puisi dan penyair memang tak bisa dipisahkan. Eka seolah mengajak puisinya menyapa kita sebagai ajakan untuk melakukan refleksi dan permenungan kepada hidup. Hidup yang luas ini digambarkan sebagai langit dan setiap kita tentu memiliki hak untuk memilih pada dunia dan langit macam apakah kita sekarang ini. Di kata pembuka di buku ini, ia menuliskan : ‘karena itulah, sebelum terlambat marilah kita pilih langit pilihan kita’. Sapardi mengatakan bahwa Eka tak memilih bahasa yang ruwet, ia memilih bahasa yang sederhana untuk menguraikan apa yang ingin ia ungkapkan di puisi-puisinya. Penyair juga membuat metafor Indonesia sebagai langit yang penuh warna-warni :aku berjanji memilih langitku: langit kepercayaan/ langit kristen/ langit islam/ langit Budha/ langit Hindu/ semua terkembang dengan tetang/ cerah maupun hujan(h.55). 
Di buku Langit Pilihan(2012) ini, Eka mengajak pembaca untuk berpetualang, merefleksikan, dan juga membuat hidup menjadi lebih berarti. Kita diajak untuk menafsirkan hidup dengan pandangan penyair yakni hidup yang berbuat dan melakukan sesuatu, terlibat. Seperti kata-kata penyair berikut : jangan biarkan aku jadi pembiar sekali saja. Maka hidup bagi penyair tak sekadar hidup untuk kalah dan menang, tetapi melampaui itu, ia ingin mengatakan bahwa sebagaimana kata Riris K Sarumpaet, penyair ingin mengatakan bahwa : “hidup ini bukan untuk merangkak.....”.

*) Solo, 17/3/15
*) Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

Monday 9 March 2015

Hidup…




ia adalah perkara seberapa mampu kita berbuat dan melakukan sesuatu untuk menjadikan hidup kita benar-benar berharga


            Siang ini aku mendapat komentar pendek tentang novel Yu Hua Hidup dari Budiawan Dwi santoso, ia mengirim pesan, “sendu, mengingatkan banyak hal”. Aku puas membaca tuntas novel itu, sesuai dengan tekadku aku selesai. Aku ingat benar bagaimana kisah di novel itu begitu miris berkisah tentang kegetiran revolusi. Aku mengirim resensi ke Jawa pos. Malam sebelumnya aku mengobrol banyak dengan Budiawan. Di siang ini aku ngobrol bersama muridku, berkisah tentang novel itu. Aku merasa senang membaca buku. Aku seperti mendapati kisah, dan banyak hal bersama buku. Buku mengingatkanku kepada hidup yang aku jalani itu sendiri. Aku tak mengutuki aku dilahirkan dari mana dan oleh siapa, aku senang dan bersyukur hidup seperti sekarang. Setidaknya aku jadi termangu, hidup tak mesti harus direnungkan dan dipikirkan terus-menerus, hidup mesti dijalani.
            Saya tak banyak memiliki cita-cita seperti kebanyakan orang. Hidup yang sampai sekarang aku alami inipun bukan merupakan hasrat dan ambisi yang coba aku dapatkan sebagaimana orang berhasrat mengejar hidup. Aku bukan tipe orang yang terlampau lelah menguras tenaga dan pikiran yang oleh orang jawa sering disebut: ngoyo. Tetapi bukan berarti aku tak memiliki rencana hidup sebagaimana yang orang tuduhkan. Aku memiliki harapan-harapan, namun aku tak mau mati dengan harapan, aku ingin hidup dijalani dengan mengalir, santai kalau orang boleh bilang sebagaimana kritik Giddens soal modernitas yang terlampau pasti dengan rencana-rencana, aku tak ingin seperti itu.
            Mengingat novel Yu Hua, To live (hidup) ini, aku seperti diingatkan betapa perjuangan terhadap hidup adalah perjuangan tanpa lelah mengurusi perut mengurusi rumah, sampai mengurusi tanah, dan bahkan sang tokoh ini hidup seperti kerja tanpa henti. Tetapi mereka membawa alasan dan sebab mengapa ia harus hidup dengan begitu keras. Ia mesti mempertahankan nyawa dan setiap kesempatan yang diberikan Tuhan padanya. Fu gui seperti menolak dan melawan kematian, isterinya pun demikian halnya, saya jadi ingat tatkala melihat orang-orang dan teman-teman di sekitar kita sakit, sering mereka tak masuk kerja bahkan lebih memilih diam dan tidur. Bagi Fu gui ini adalah kesalahan,  bagaimana mungkin tangan dan kaki masih bisa bergerak dan masih bisa bekerja harus dibiarkan untuk diam. Bagi Fu gui hidup adalah gerak yang tak pernah henti sampai pada titik penghabisan.
            Tetapi ia melihat keluarga, melihat kebahagiaan dan melihat orang-orang disekitarnya tersenyum dan menaruh hormat pada sikap hidupnya. Disinilah, seorang yang memiliki etos hidup tentu akan demikian halnya. Ia mampu menyelesaikan urusan keluarga dan dukungan dari keluarga mengalir bak mata air. Fu gui berlimpah kasih sayang dari sang isteri, saat dia diatas ataupun saat ia jatuh. Isterinya yang memberi mata air keteladanan kepada hidup yang ia jalani. Isterinya tak menolak, tak marah, tak menuntut, ia hanya ingin tangan yang ia punya bisa membantu suaminya mencapai apa yang belum didapat dari hidup. Akhirnya mereka memiliki itu, memeluknya dan tak melepaskannya yakni : kebahagiaan. Kebahagiaan inilah yang pada akhirnya harus direnggut dan direlakan dengan kematian.
            Tetapi Fu gui, Jiangzhen, mereka adalah orang-orang yang tak pernah mengeluh dengan kematian anak-anaknya. Mereka hanya berfikir mengapa anak-anak mereka harus mati dengan kematian yang setragis ini. Tapi pilihan Youqing justru membuat bapak mereka bangga pada satu sisi, anaknya mati untuk menolong nyawa orang lain. Begitupun ketika melihat kematian Fengxia anak perempuannya yang tuli dan bisu harus mati ketika melahirkan anaknya. Fu gui dan Jiangzhen menerima takdir hidupnya dengan tabah.
            Bukankah begitu pula kita sebagai manusia menyikapi hidup. Ini bukan sekadar kisah yang tak mengenali ibadah dan religiusitas. Meski kisah ini tak mengutip kisah tentang ibadah, tentang Tuhan. Novel ini benar-benar memberikan gambaran detail bagaimana kita mesti menghadapi hidup ini. Hidup adalah alasan kenapa kita dilahirkan, karena itulah, sebelum mati merenggut, alangkah baik dan alangkah bijaknya kita memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Saya jadi ingat kisah seorang penulis yang hampir mati berkali-kali Radar Panca Dahana, ia mengatakan “selama saya belum digedok, dipukul waktunya, saya akan hidup dan menolak mati”. Merinding saya ketika ingat kata-kata itu. Tubuhnya sudah penuh dengan suntikan, tetapi hidup bukan perkara itu, ia adalah perkara seberapa mampu kita berbuat dan melakukan sesuatu untuk menjadikan hidup kita benar-benar berharga.

Selasa, 10 Maret 2015

Friday 6 March 2015

Hidup…



 


hidup harus bahagia dan menyenangkan bukan, agar kemiskinan tak terasa pahit seperti pesan Ibu Fugui dalam novel “Hidup”

Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Jumat. Pagi benar aku mulai bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Mengajar, tapi sebenarnya lebih banyak aku belajar dan diajar oleh sekolah. Aku beranjak ke loper Koran. Kubaca tulisan Setyaningsih, disana ada secuil esai pendeknya tentang “Siluman”, ia menautkan kata siluman dengan film-film horror, tetapi menurutnya Siluman lebih mengerikan tatkala ia menempel di dana siluman, pemilih siluman, dan sebagainya. Orang sering memunculkan kata-kata yang ia sendiri belum lengkap dan belum utuh untuk memahaminya. Aku membeli kompas, disana ada liputan pendek tentang penulis buku Dreamlest ia menuturkan bahwa anak-anak memerlukan cerita, guru-guru perlu memahami itu. Aku merasa mendapat ujaran dari liputan itu, dari penulis buku itu. Maka aku membeli “kompas”, berharap suatu hari aku menemui buku penulis itu dan membacanya. Di tasku masih ada beberapa buku yang belum kubaca. Pagi hari aku bercakap dengan murid-muridku, memegangi, memegang mukanya, dan mengucap sebaris do’a. Aku naik ke menara, tempat biasa ku membaca buku. Jumat seperti hari berkah, aku seperti mendapat hidayah. Kubuka halaman-halaman buku YU HUA, berjudul To Live (HIDUP). Aku membaca sampai halaman 71. Setelah itu kututup lagi buku itu, buku itu seperti memberikan gambaran tentang hidup. Terkadang aku berfikir, apa ia hidupku selama ini baru berjalan biasa-biasa saja. Yugui tokoh dalam novel itu begitu miris. Ia adalah tuan muda, anak seorang yang kaya raya. Aku ingat kata-katanya “Hidup itu asalkan kau menjalaninya dengan senang, kemiskinan tak akan terasa”. Aku jadi berfikir, tokoh itu seperti menjalani karma dengan tegar dan mendongak ke atas. Ia seperti tak merasakan lagi pahit dan sakit kehidupan yang ia jalani. Ia mesti menjalani hidup tak seperti dulu ketika ia jadi tuan muda. Kini, pelayannya pada pergi, terkadang kangen terhadapnya, para pelayannya berfikir apa ia sanggup menghadapi kehidupan yang begitu terbalik 180 derajat. Punggungnya lecet-lecet, sering terkena arit dan cangkul karena ia tak terbiasa menggunakannya, dulu ia tuan muda, kini ia jadi petani biasa dengan tanah sewaan seadanya. Semula karena dalam tradisi cina isterinya dibawa lagi oleh menantunya, ia merasa hidup begitu sepi. Untunglah ada anak gadisnya, Feng Xia masih ada menemaninya. Akhirnya Feng Xia si gadis lucu ini yang membuatnya bertahan dan menyadari kesalahan masa lalunya. Ketika  Feng Xia belum begitu besar, ia harus menghadapi ujian baru. Isterinya akhirnya pulang ke rumah dan membawa anak lelakinya yang waktu itu masih dalam kandungan. 

Aku jadi ingat ibu, ia kini mungkin di sawah, menanam padi, atau sedang memasak. Ia tak pernah mengeluh menjalani hidup. Hidup baginya adalah laku yang teramat sangat perih. Pahit manis ia jalani, hidup bagi ibu adalah kebahagiaan anak-anaknya. Semakin jauh jarak antara aku dan ibu membuatku seperti menyesali hari-hari yang telah berlalu. Semenjak aku duduk di SMP, jarang sekali aku mencium tangannya ketika mau berangkat sekolah. Kini, ketika melihat anak-anakku di sekolah ini menciumi tangan dan pipi ibunya dan memeluknya sebelum berlarian menyalamiku, aku jadi sadar, seperti ada waktu yang hilang. Dan benar saja, aku hanya berkirim pesan, tapi ibu justru membuatku haru. Begitupun Ayah, meski terkadang pikirannya tak bisa selalu kami mengerti, kami selalu sadar, Ayah bukan hanya membanting tulang, tetapi tubuh dan peluh ia kerahkan agar kelak kami tahu, keras dan kejamnya hidup bakal kami lalui. Seringkali Ayah ajarkan betapa miris dan pedihnya perjuangan, ia tak hanya bercerita tentang masa lalunya, tetapi juga orang-orang yang ia lihatnya di manapun. Mungkin Ayah tahu, lewat cerita aku bakal menyimak apa yang ia kisahkan, dan kelak ceriat-cerita itu yang bakal aku alami. Kini, setelah mengajar dan hidup sendiri bersama Bapak kosku,aku jadi sadar betapa berharganya cerita Ayah itu. 

Ayah tak lagi cerita seperti dulu, ceritanya kini sudah menguap jadi cerita-ceritaku yang kukisahkan kepada murid-muridku, mungkin. Hidup tak selamanya ada dalam putaran diatas, tapi kita harus bersiap untuk mengatakan, kita menerima apa yang ditakdirkan saat kita berada di bawah, begitu pula sebaliknya. Aku jadi ingat pesan Ayah Fugui, yang bercerita kepada anaknya “ dulu keluarga ini, pelan-pelan memelihara ayam, ayam jadi angsa, angsa jadi kambing, kambing jadi sapi, lalu sapi jadi berpetak-petak sawah”. Tetapi dua keturunan keluarga Xu mengubahnya menjadi Sapi, lalu kambing, lalu ayam, dan kini ayam pun tak ada”. Saat itupula Fugui harus bersiap menghadapi hari-hari penuh penderitaan. Ia harus belajar memegang arit, memegang cangkul. Aku jadi ingat saat kecil diajari Ayah untuk mencari makan sapi. Di sawah, aku tak mencari rumput, tetapi justru berkelahi dengan adikku,. Ayah selalu tertawa ketika ingat kisah itu, aku jadi malu, serasa hidupku tak bakal kuat menghadapi masa-masa sulit. Ayah selalu berdoa agar kelak aku tak mengalami masa-masa sulit. Tetapi apa daya, masa sulit tak selalu berbuah pada satu kejadian, bisa jadi kejadian-kejadian yang sering Ayah pesankan itu kini mulai hadir pelan-pelan. 

Aku jadi ingat guruku SMA yang di usia 23 sudah menikah, aku kini 26 tahun belum menikah. Bagiku bukan urusan menikahnya, tetapi bagaimana kelak ia harus bertarung dan belajar untuk menjadi mandiri dan berhasil seperti sekarang, guruku kini punya biro wisata dan mengajar. Aku hanya diam sejenak ketika mengingat kisah itu, hidup berkecukupan itupun aku merasa lebih dari cukup. Aku merasakan masa-masa kekurangan, harus hutang sana-sini, dan aku merasa diriku tak lagi bisa berdiri tanpa bantuan dari banyak orang. Bukuku terbit pun karena belas kasihan percetakan, kini, aku masih tersendal-sendal mengembalikan utang itu. Tapi hidup harus bahagia dan menyenangkan bukan, agar kemiskinan tak terasa pahit seperti pesan Ibu Fugui dalam novel “Hidup”.
Aku belum selesai membaca novel “Hidup” ini, tetapi aku merasakan bahwa aku seperti dipecut, dicambuk kencang, ada sisi dan banyak sisi kehidupan lain yang perlu aku lihat dan rasakan. Barangkali hidup di solo benar seperti yang dikatakan Radar Panca Dahana, hidup di Solo terlalu tenang, setali tiga uang yang dikatakan Afrizal Malna. Hidup harus berjalan, sembari membaca aku mendapat pesan dari teman kuliah yang memintaku untuk mengisi pelatihan menulis. Aku menyaguhi saja, hidup harus dilalui dengan senang dan tersenyum, meski kemiskinan kadang terasa pahit. Aku menumpahkan air mata, bagiku tangis lelaki tak melulu urusan picisan, tetapi aku menangis karena hidup kadang perlu menangis, bisa jadi jiwa dan mental kita kuat, tetapi mata tak punya bendungan untuk membendung banjir di dalamnya.
Aku jadi ingat pesan temanku di handphoneku, “Segera selesaikan”, aku akan menyelesaikannya dengan segera kisah ini, karena membaca novel hidup kalau tak selesai seperti membaca hidup yang tak utuh.


*) Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

Thursday 5 March 2015

Kota…





Oleh Arif Saifudin Yudistira*) 

            Sudah hampir sepuluh tahun aku tinggal di kota ini, kota Solo. Tepatnya di perbatasan Solo, Sukoharjo, di Kartasura. Selama dua tahun aku mengajar disini, aku menyaksikan pagi yang berseliweran dengan kecepatan yang cukup kencang. Mobil-mobil seperti bergoyang dengan luwesnya di jalan raya. Jalan raya ibarat panggung bagi para musisi dan para awak dangdut. Para awak dangdut dan musisi itu terdiri dari mobil, sepedar motor, dan truk yang hampir tiap pagi memadati jalan di dekat sekolahku. Sekolahku memiliki pohon, sesuatu yang jarang dimiliki bagi sekolah modern. Terkadang aku berfikir apa jadinya manusia tanpa pohon, lalu bila sekolah tanpa pohon, apa itu mungkin?. Dan nyatanya sekolah di kota-kota besar tetap menamakan dirinya sekolah, meski pohon-pohonnya artificial.
            Sore ini, anak-anak sudah mulai pulang. Kebetulan ini bukan jadwal piketku, hingga aku sempatkan menulis. Hari-hari di sekolah tak hanya menguras otak, tetapi juga menguras emosi. Terkadang guru perlu banyak belajar bersabar menghadapi murid yang sedikit “unik”. Anak-anak tak suka sekali diancam, ancaman justru membuat mereka semakin panik dan ketakutan. Aku merasa cuaca di sekolahku terasa begitu aneh, membuat tubuh lemas begitu saja. Aku bangun tadi pagi jam tiga, aku selesaikan buku Kota-Kota Imajiner(2006) garapan Italo Calvino. Ia lahir di kuba dan tumbuh besar di Italia. Ia adalah Esais, Jurnalis, dan Novelis. Novel ini bagiku terlampau tinggi. Ia tak hanya memadukan urusan imajinasi surealis. Ia menghidupkan kota begitu sublime dan subtil. Kota-kota tak hanya merupakan gambaran sebuah hasrat manusia, tetapi semacam cara terburuk untuk membangun dan memugar sebuah tempat. Dari kota itulah, dikisahkan bahwa Kaisar Kublai Khan ingin Marcopolo mengisahkan kota-kota yang dilewatinya agar kelak Kublai Khan memiliki hasrat untuk membangun kota-kota itu. Tetapi ada yang ganjil dari cara mengisahkan kota yang dilakukan oleh Marcopolo. Kota seperti adegan kata-kata yang suatu ketika bisa runtuh dengan sekejap.
            Penggambaran kota sebagai sesuatu yang hidup, perlu dipertimbangkan dengan matang nampak dalam percakapan antara Marcopolo dengan Kublai Khan yang ditulis di novel ini. Kublai bertanya pada Marco : “ketika kau kembali ke Barat, akankah kau ulangi cerita yang sama yang kau sampaikan kepadaku, kepada masyarakatmu?”. Marco menjawab : “Hambar bertutur dan bertutur, tapi para pendengar hanya mencerna kata-kata yang ia harapkan. Uraian tentang dunia yang kini paduka dengarkan berbeda dari uraian yang akan menular dari mulut-ke mulut kelompok-kelompok kerani; dan para pemain gondola di jalan-jalan luar rumah hamba di hari kepulangan hamba; dan juga berbeda dengan uraian-uraian yang suatu hari akan hamba sampaikan di masa menjelang akhir masa hidup hamba, jika hamba di tahan para bajak laut Genoa dan dijebloskan ke penjara berjeruji besi bersama seorang penulis cerita perjalanan. Bukanlah suara yang memegang kendali cerita : namun, telinga”. Ingat kalimat pendek Marcopolo ini, aku jadi teringat ketika membaca cerpen Yudhi Herwibowo Kucing Buku yang dimuat di Koran tempo, aku merasai saat mas Yudhi menulis ini, ia seperti tak lagi menggunakan tangan dan mata semata. Saat membaca cerita itu, aku harus menggunakan indera pendengaranku untuk menyimak dongeng seekor kucing yang tak sekadar mengisahkan novel dan dunia penulis, tetapi ada fragmen-fragmen cerita tentang rencana pembunuhan. Kita diajak untuk berpindah dari satu ruang internal ke eskternal dalam satu cerita. Kita bisa keluar masuk rumah, rumah itu adalah cerpen Kucing Buku. Tetapi aku tak ingin terlalu jauh mengurusi kucing buku, aku hanya mengaitkan bagaimana indera pendengaran kita bekerja utamanya telinga untuk meresapi apa yang dituliskan Italo Calvino.
Kita bisa mendengar dengan baik-baik penggalan pernyataan dalam novel ini yang menurutku hanya bisa dinikmati dengan menyimaknya baik-baik : “sesungguhnya kaum yang matilah yang membangun kota Eusapia, sesuai dengan cerita mereka. Dalam kota kembar itu, tak lagi bisa dibedakan siapa yang hidup dan siapa yang mati” (h. 124). Kita bisa menyimak pernyataan lain dari Marcopolo yang menurut saya mengajak ingatan tentang kota-kota yang ia kunjungi menjadi sebuah dunia yang lain. Ia menautkan dunia dan kota-kota yang ia singgahi dalam tautan kerajaan yang ia singgahi di masa itu. “segala yang hamba lihat dan lakukan mengandaikan makna  dalam sebuah ruang mental di mana, sama seperti di sini, sebuah pemerintahan, yang tenang berdaulat, dan bayang-bayang yang sama, keheningan yang sama, diusik oleh gemerisik dedaunan. Ketika hamba memusatkan perhatian dan berfikir, hamba mendapati diri hamba, selalu kembali berada di taman ini, di waktu malam seperti ini, dalam kehadiran paduka yang penuh keagungan,kendati hamba terus beranjak, tanpa waktu jeda sesaatpun, mengarungi sungai hijau penuh buaya atau menghitung tong-tong ikan asin yang diturunkan ke palka”. Kota-kota yang digambarkan Calvino seperti makhluk hidup yang akan mengalami perasaan duka, senang, dan juga perasaan-perasaan yang menyedihkan dan membuat kita terheran-heran menyimaknya. Calvino tak hanya membawa benda mati dan apa yang ada di kota itu, ia pun membawa manusia, perempuan, dan laki-laki, muda-mudi, dan sebagainya. Gang-gang, pabrik, cerobong asap, pengendara unta, sampai pada pantai dan laut. Kota seolah ada yang tumbuh dan tenggelam di laut. Dari sini, kota seperti sebuah imajinasi yang rapuh dan lemah. Ia seperti sebuah khayalan dan perpaduan sebuah hasrat yang pada akhirnya kembali kepada sebuah angan-angan kaisar Kublai, atau wali kota tertentu.
Menyimak uraian Calvino dan cara ia menafsirkan kota, kita seperti diajak untuk kembali kepada sebuah cita-cita manusia yang ingin membangun kota. Di sisi lain, kota adalah sebuah gambaran absurditas yang nampak nyata yang mereduksi pelan-pelan dan menghilangkan makna dari sebuah bangunan, jalan, tempat public dan sebagainya.Kita seperti melihat tayangan industrial di masa depan justru lewat kota. Melalui baliho, pamphlet dan juga videotron, kota –kota adalah perpaduan kebisingan dan sebuah teater kapitalistik yang berlomba di jalanan-jalanan merebut ruang kita.
Kota memang telah menjadi perpaduan hasrat dan konsumerisme. Dari hasrat dan kesekrahan manusia itulah, manusia menghabisi dan membangun “kota”. Nafas dan mentalitas kota bisa dicipta dari sebuah nurani dan nalar manusia yang membangun kota. Dengan novel ini, Italo Calvino telah bersuara dengan mengisahkan kepada kita bagaimana mestinya menciptakan kota yang begitu imajinatif dan seperti nyata di belahan dunia kita, tetapi dunia yang dibangun Italo Calvino adalah gambaran kota yang terlalu indah untuk kota-kota di masa depan.


*) Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com