“Apakah ia
berada diantara yang ada, ia sebenarnya ada, tapi meniada, karena ia tak sama
dengan dzat yang “ada” sifatnya”.
Kita akan menemui beragam kalimat semacam
dalam buku Makrifat Cinta (2012)
karya Candra Malik. Seorang sufi sebagaimana kata dia, adalah seorang yang
memiliki cinta, menebar cinta, dan kelak akan menyadari sifat-sifat cinta yang
diberikan padanya. Saya terkagum-kagum dengan cara Candra Malik menulis buku
ini, ia tak pernah tahu memulai dari mana tulisannya, dan tak tahu akan
mengakhirinya dimana. Buku ini memang bukan buku sufi ala William Chittick, buku
ini memberikan kepada kita semacam refleksi singkat, dan perjalanan singkat
betapa hidup tak berarti tanpa cinta. Bila cinta digambarkan oleh Rumi dengan
kata Isyq atau kerinduan mendalam,
mabuk. Maka seorang yang mencintai, ia akan berada dalam kemabukan, kegilaan,
ketertarikan tiada henti. Keinginan bertemu menjadi energy yang tiada tara
untuk menunjukkan ketaatan, kebahagiaan, dan kesukaan yang kita cintai. Orang
yang mencintai akan melakukan perbuatan yang dianggap menyenangkan pencintanya.
Kehidupan seorang pencinta, selalu digambarkan
dengan kata yang menarik ala Rabiah Al adawiyah, dalam bukunya Jiwaku adalah Wanita (1998) Annemarie
Schimmel menempatkan Rabiah sebagai seorang wanita yang dipandang dalam dunia
islam selain Fatimah dan Khatidjah. Rabiah dipandang tinggi dalam cerita-cerita
klasik karena betapa ia mampu menjelaskan bagaimana mabuknya seorang pencinta
yang mendamba Tuhannya. Ia tak lagi berurusan dengan urusan surga dan neraka
serta berpamrih lainnya, melainkan keridhoaan Tuhan sendiri yang dicintainya.
Setali tiga uang dengan ungkapan Candra Malik, bahwa neraka pun bisa dipandang
sebagai jalan kasih sayang Tuhan, agar hambaNya bersih dari dosa dan menghadap
Nya kembali dengan kesucian. Apa yang diuraikan Candra Malik adalah sebuah
cerita tentang bagaimana seorang hamba dimabuk dan disibukkan oleh kecintaan
kepada Sang Khalik. Ia tak lagi memandang bagaimana saya hidup hari
esok,melainkan ia sudah dicukupkan untuk memenuhi dan melakukan apa yang
dicintai Tuhan.
Bila dalam khazanah Islam, kita mengenali
sufi Abu Nawas atau Nasrudin Khoujjah, maka di negeri ini kita mengenali Kabayan. Kisah kabayan adalah
cerita rakyat yang terkenal sampai hari ini. Kabayan ini sering dibilang
memiliki sifat-sifat sufi. Ia mencerminkan seorang yang mati, tetapi hidup.
Orang menganggap perilaku kabayan ini sebagai hal yang gila, tidak waras dan sudah
tentu diluar kewajaran. Tetapi dibalik kisahnya itu, Kabayan mengajarkan
pelbagai hal tentang hidup manusia. Dalam bukunya Paradoks Cerita-Cerita Kabayan(2014)
Jakob Sumarjo menilai bahwa dalam cerita itu terdapat pelbagai hikmah yang bisa
kita ambil. Salah satunya adalah kebodohan dalam Kabayan sebenarnya bukan bodoh
tanpa isi, kebodohan sufi adalah pilihan sikap yang sebenarnya sangat terpelajar
dan berisi (Sumardjo,2014 :120). Namun demikian, bila orang tak memahami
perilaku sufi, ia akan memandang sebelah mata. Kabayan misalnya, bisa dipandang
dari dua sisi. Dari sudut pandang orang awam, cerita Kabayan mengandung
kelucuan, humor dan kocak. Tapi dari sisi kebudayaan, sisi falsafati, cerita
Kabayan memiliki sisi esoterik dan falsafi secara modern. Cerita dapat konyol
kalau dilihat secara realitas, namun bisa sangat falsafi-pikiran apabila
dilihat secara kesadaran (Sumardjo, 2014 :50).
Rasanya tak mungkin seorang
sufi tak berfikir, karena itulah agama islam adalah agama paling rasional. Meski
demikian, Islam memerlukan hati sebagai sebuah penerang, cahaya bagi siapa yang
mau dan dipilih untuk memilih jalan cahaya. Sebagaimana seorang pencinta, maka
cahaya tak mungkin terbuka bagi seorang yang menutup diri dari cinta. Maka meminjam
istilah Candra Malik dalam syahadatnya, “Aku bersaksi tiada cinta selain rindu,
dan aku bersaksi Engkaulah kekasihku”. Pada titik ini, Candra Malik memaknai
bahwa kesaksian bukan sekadar peristiwa yang terjadi sekarang, melainkan
sebelum penciptaan secara sempurna, hingga kita kembali padaNya pun, kita akan
bersaksi demikian. Dan perwujudan dari persaksian itu adalah kasih sayang,cinta
kasih, berbahagia jika dan hanya sesamanya bahagia(h.176). Candra Malik
mengisahkan pada kita, cara bercinta seorang sufi yang sebenarnya sama dengan
kita semua, hanya dengan mencintai dan mengamalkan sifat sang pencinta itulah,
kita layak disebut sebagai hamba, wakil, dan perwujudan dari cintaNya.
Bukankah
kita juga demikian, "siapa manusia?, apakah tubuh ini bisa disebut sebagai
manusia?, apakah ruh kita itulah yang “manusia”?, dengan menemukan hakikat kita
itulah, kita akan menemukan jalan hidup, jalan kebahagiaan "
Solo, 30 /8/14