klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Saturday 30 August 2014

Kidung Cinta Candra Malik





“Apakah ia berada diantara yang ada, ia sebenarnya ada, tapi meniada, karena ia tak sama dengan dzat yang “ada” sifatnya”.

Kita akan menemui beragam kalimat semacam dalam buku Makrifat Cinta (2012) karya Candra Malik. Seorang sufi sebagaimana kata dia, adalah seorang yang memiliki cinta, menebar cinta, dan kelak akan menyadari sifat-sifat cinta yang diberikan padanya. Saya terkagum-kagum dengan cara Candra Malik menulis buku ini, ia tak pernah tahu memulai dari mana tulisannya, dan tak tahu akan mengakhirinya dimana. Buku ini memang bukan buku sufi ala William Chittick, buku ini memberikan kepada kita semacam refleksi singkat, dan perjalanan singkat betapa hidup tak berarti tanpa cinta. Bila cinta digambarkan oleh Rumi dengan kata Isyq atau kerinduan mendalam, mabuk. Maka seorang yang mencintai, ia akan berada dalam kemabukan, kegilaan, ketertarikan tiada henti. Keinginan bertemu menjadi energy yang tiada tara untuk menunjukkan ketaatan, kebahagiaan, dan kesukaan yang kita cintai. Orang yang mencintai akan melakukan perbuatan yang dianggap menyenangkan pencintanya.

Kehidupan seorang pencinta, selalu digambarkan dengan kata yang menarik ala Rabiah Al adawiyah, dalam bukunya Jiwaku adalah Wanita (1998) Annemarie Schimmel menempatkan Rabiah sebagai seorang wanita yang dipandang dalam dunia islam selain Fatimah dan Khatidjah. Rabiah dipandang tinggi dalam cerita-cerita klasik karena betapa ia mampu menjelaskan bagaimana mabuknya seorang pencinta yang mendamba Tuhannya. Ia tak lagi berurusan dengan urusan surga dan neraka serta berpamrih lainnya, melainkan keridhoaan Tuhan sendiri yang dicintainya. Setali tiga uang dengan ungkapan Candra Malik, bahwa neraka pun bisa dipandang sebagai jalan kasih sayang Tuhan, agar hambaNya bersih dari dosa dan menghadap Nya kembali dengan kesucian. Apa yang diuraikan Candra Malik adalah sebuah cerita tentang bagaimana seorang hamba dimabuk dan disibukkan oleh kecintaan kepada Sang Khalik. Ia tak lagi memandang bagaimana saya hidup hari esok,melainkan ia sudah dicukupkan untuk memenuhi dan melakukan apa yang dicintai Tuhan. 

Bila dalam khazanah Islam, kita mengenali sufi Abu Nawas atau Nasrudin Khoujjah, maka di negeri ini kita mengenali Kabayan. Kisah kabayan adalah cerita rakyat yang terkenal sampai hari ini. Kabayan ini sering dibilang memiliki sifat-sifat sufi. Ia mencerminkan seorang yang mati, tetapi hidup. Orang menganggap perilaku kabayan ini sebagai hal yang gila, tidak waras dan sudah tentu diluar kewajaran. Tetapi dibalik kisahnya itu, Kabayan mengajarkan pelbagai hal tentang hidup manusia. Dalam bukunya Paradoks Cerita-Cerita Kabayan(2014) Jakob Sumarjo menilai bahwa dalam cerita itu terdapat pelbagai hikmah yang bisa kita ambil. Salah satunya adalah kebodohan dalam Kabayan sebenarnya bukan bodoh tanpa isi, kebodohan sufi adalah pilihan sikap yang sebenarnya sangat terpelajar dan berisi (Sumardjo,2014 :120). Namun demikian, bila orang tak memahami perilaku sufi, ia akan memandang sebelah mata. Kabayan misalnya, bisa dipandang dari dua sisi. Dari sudut pandang orang awam, cerita Kabayan mengandung kelucuan, humor dan kocak. Tapi dari sisi kebudayaan, sisi falsafati, cerita Kabayan memiliki sisi esoterik dan falsafi secara modern. Cerita dapat konyol kalau dilihat secara realitas, namun bisa sangat falsafi-pikiran apabila dilihat secara kesadaran (Sumardjo, 2014 :50).

Rasanya tak mungkin seorang sufi tak berfikir, karena itulah agama islam adalah agama paling rasional. Meski demikian, Islam memerlukan hati sebagai sebuah penerang, cahaya bagi siapa yang mau dan dipilih untuk memilih jalan cahaya. Sebagaimana seorang pencinta, maka cahaya tak mungkin terbuka bagi seorang yang menutup diri dari cinta. Maka meminjam istilah Candra Malik dalam syahadatnya, “Aku bersaksi tiada cinta selain rindu, dan aku bersaksi Engkaulah kekasihku”. Pada titik ini, Candra Malik memaknai bahwa kesaksian bukan sekadar peristiwa yang terjadi sekarang, melainkan sebelum penciptaan secara sempurna, hingga kita kembali padaNya pun, kita akan bersaksi demikian. Dan perwujudan dari persaksian itu adalah kasih sayang,cinta kasih, berbahagia jika dan hanya sesamanya bahagia(h.176). Candra Malik mengisahkan pada kita, cara bercinta seorang sufi yang sebenarnya sama dengan kita semua, hanya dengan mencintai dan mengamalkan sifat sang pencinta itulah, kita layak disebut sebagai hamba, wakil, dan perwujudan dari cintaNya.


Bukankah kita juga demikian, "siapa manusia?, apakah tubuh ini bisa disebut sebagai manusia?, apakah ruh kita itulah yang “manusia”?, dengan menemukan hakikat kita itulah, kita akan menemukan jalan hidup, jalan kebahagiaan " 


Solo, 30 /8/14

Saturday 23 August 2014

Max Lane Menuliskan 65




Buku Max Lane, adalah sebaris catatan pendek tentang sejarah 65, beserta konsekuensi-konsekuensi yang ada setelahnya. Setidaknya Max Lane mencatat, setelah tragedi 65, demokrasi yang ada di negeri ini yang baru mau dibangun Soekarno justru hancur lebur
 
Pramoedya Ananta Toer. Tokoh, budayawan kiri, sekaligus salah satu jajaran pengurus lekra mengucapkan kata-kata yang menurut saya menarik : “Soeharto dan rejimnya tidak mempunyai idealism. Itulah sebabnya mengapa yang dikembangkan di bidang kebudayaan hanyalah hiburan. Hiburan yang makin lama makin tidak masuk akal. Gombal semuanya itu! Otak manusia yang normal tidak akan bias menyerap itu”. Wawancara ini diterbitkan tahun 2006. Saya mencoba mengingat apa saja tinggalan kebudayaan Orba yang sampai saat ini masih ada. Saya jadi ingat buku Kekerasan Budaya 1965 (2014) karya Wijaya Herlambang. Di buku itu dipaparkan mengenai bagaimana peran para tokoh intelektual, sejarawan, hingga pada agensi kebudayaan mencoba melakukan konspirasi dan memunculkan kebudayaan baru di bawah naungan rezim Soeharto. Dengan waktu yang begitu singkat, Soeharto memproduksi film, juga novel serta melakukan reproduksi wacana. Melalui buku-buku sejarah, juga pelajaran yang ada di sekolah-sekolah, rezim ini masih melekat dengan versi sejarah yang buram dan membingungkan. Bahkan sampai saat ini, kita tak banyak menemui karya-karya para tokoh lekra dan orang-orang kiri di masa lampau. Bahkan, Pramoedya sendiri, kalau tidak diselundupkan naskah dan karya-karyanya, kita tak bisa menemui karya-karya itu sampai hari ini. Melalui agensi kebudayaan, rezim Soeharto membangun poros bersama Amerika. Bersamaan dengan itu, masuklah kucuran dana yang cukup deras dan terumuskan upaya liberalisasi kebudayaan melalui  perumusan “Manifesto kebudayaan” yang lebih dikenal Manikebu. Memang pada akhirnya perseteruan antara Manikebu vs Lekra tak lain adalah bagian dari politik kebudayaan. Pada mulanya perdebatan mengenai kebudayaan ini teramat penting mengenai pentingnya modernisasi atau tetap mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa kita.
Lalu apa saja kebudayaan yang diciptakan oleh rezim Soeharto yang sampai saat ini masih melekat dalam pikiran kita?. Soeharto sudah cukup banyak menciptakan memori “Negara” dalam hati masyarakatnya, tidak hanya melalui penggunaan “seragam”, melalui nalar militeristik, Soeharto telah menciptakan kultur ABS (asal bapak senang) tak hanya dalam dunia militer tapi juga di dunia pendidikan. Melalui upacara bendera, tak hanya nasionalisme semu, tetapi juga nalar disiplin,tertib, patuh pada Negara ditanamkan melalui upacara bendera. Di dalam dunia pendidikan, atribut Negara di ruang kelas kita adalah buah dari ideologisasi ala rezim Soeharto. Melalui buku-buku pelajaran, diproduksi aneka cerita rakyat dan buku cerita anak, yang memuji peran Soeharto sebagai bapak pembangunan, agenda suksesi wajib belajar 9 tahun, dan aneka sosialisasi program pemerintah melalui cerita-cerita itu.
Buku Max Lane “Malapetaka di Indonesia”(2012) membantu saya membuka kembali peristiwa yang sudah puluhan tahun silam. Peristiwa 65 tak sekadar peristiwa penggulingan kekuasaan yang tersistematis, tetapi juga produksi bahasa yang secara sadar digunakan bersamaan dengan lengsernya Soekarno. Termasuk munculnya istilah Orde Baru, Orde lama, penyebutan istilah 65 dengan menggunakan kata “tragedy” misalnya. Pemakaian tragedi adalah penyelewengan sejarah dan seharusnya segera berhenti. Tragedi diambil dari bahasa inggris “tragedy” yang berarti sebuah peristiwa sedih, atau malapetaka. Memang pembantaian ini adalah malapetaka buat Indonesia dan jelas juga sesuatu kejadian yang menyedihkan. Tetapi tragedi mengesankan seolah sebuah kecelakaan (Lane, 2012:108). Melalui buku ini Max Lane juga mengulas bahwa seandainya konflik dua fraksi antara Soekarno-PKI, Soeharto-militer, dibantu dengan kelompok islam, mekanisme demokrasi tanpa pemilihan, demokrasi musyawarah dan gotong royong bisa saja dijalankan. Tahun-tahun itu memang telah lewat, namun sepertinya kita belum mampu menyibak misteri September yang memilukan itu. Buku Max Lane, adalah sebaris catatan pendek tentang sejarah 65, beserta konsekuensi-konsekuensi yang ada setelahnya. Setidaknya Max Lane mencatat, setelah tragedi 65, demokrasi yang ada di negeri ini yang baru mau dibangun Soekarno justru hancur lebur. Meski sebelumnya, demokrasi liberal yang diujicobakan Soekarno justru menemukan kegagalan dan kritik keras dari penentangnya. Demokrasi ala sosialime ini pun harus menanggung duka dan luka tatkala ia harus berakhir dengan begitu keji dan kejam. Setelah itu, ia pun harus menanggung konsekuensi tragis dari apa yang mereka perjuangkan yakni pelarangan dan penghancuran missal menggunakan tangan Negara. Max Lane pun mengkritik, setelah Indonesia merdeka, Indonesia tidak memiliki kelas feodal yang kuat, juga tak memiliki kelas borjuasi nasional yang menyatukan kekuatan Negara. Paska kemerdekaan, poros perjuangan yang dibangun dari massa rakyat yang teradikalisasi, harus mengalami posisi yang kontradiktif dengan partai borjuis dalam negeri yang belum bersifat nasional.


Komputer UMS, 23/8/14



           

Tuesday 19 August 2014

Antara Cinta, Dosa



“Terkadang, melalui dosa kita juga bisa menemukan kesadaran tentang makna ‘cinta’ sebagaimana yang dialami oleh Cecile—tokoh dalam novel ini”

 
Apa jadinya ketika cinta hanya sekadar ‘sederet sensasi independen satu sama lain’, tak ada moralitas disana, tak ada tata krama, dan segala sesuatunya?. Kehidupan itulah yang dialami oleh Cecile, gadis tujuh belas tahun. Muda belia dan begitu menggairahkan ibarat mawar yang baru memunculkan kelopak-kelopak indahnya. Cecile tumbuh dalam didikan Ayahnya-Raymond-yang memiliki selera terhadap kehidupan yang bebas dan sedikit bohemian. Raymond tertarik pada Elsa, yang sesuai dengan selera Bohemiannya, Elsa tampak sebagai seorang perempuan penggoda dan penghibur. Kehidupan mereka semula berlangsung aman, dan damai, merasa wajar dan biasa menghadapi dunia dan keseharian mereka. Jarak usia Raymond dengan anaknya membuat si gadis Cecile memikirkan bagaimana kebahagiaan Ayahnya bisa terwujud. Dan ketika sosok  perempuan cerdas, penuh standar dan kelihaian dalam soal gaya dan estetika datang, semua kehidupan mereka berubah. Kehidupan Cecile yang kekanak-kanakan dan dengan gaya percintaan yang liar pelan-pelan pun harus melengok pada pemikiran Anne. Anne diam-diam mempengaruhi pemikiran Cecile, percintaannya dengan Ciryl,yang liar, wajar dan hampir berlebihan seketika mendapatkan sentuhan dan sengatan dari kata-kata Anne. Ketika Anne memergokinya bercinta di pantai, ia harus memikirkan kata-kata Anne, lebih-lebih Ayahnya bersamanya. Anne pelan-pelan mengubah dan mengusir ketertarikan Ayahnya pada Elsa perempuan penghibur itu. Tapi bagaimanapun kisah cinta memiliki jalan ceritanya sendiri. Pada akhirnya, kisah cinta seorang gadis yang labil ini memilih untuk merdeka. Cecile memilih kemerdekaan itu, ia memilih menjalankan dosa dan keputusannya sendiri. Sebagai perempuan 17 tahun, yang masih belum banyak tahu dunia mode, tata krama, dan standar pergaulan. Ia kemudian dikenalkan Anne oleh berbagai kehidupan prancis dan semua yang berurusan dengan gaya dan bagaimana perempuan cerdas bersikap dari urusan tata krama, gaya dan juga urusan busana. Anne mengajaknya memikirkan kehidupan Ayahnya yang sudah uzur, mereka bercakap soal masa depan. Tapi Cecile seolah tak peduli, ia masih memilih jalannya sendiri.Keputusan-keputusan itulah yang pada akhirnya menuntunnya pada jalan yang membuatnya terbelit masalahnya sendiri. Upaya mengusir Anne dari kehidupannya dan juga Ayahnya akhirnya justru membuatnya menyesal. Kehidupan gadis 17 tahun ini pun berubah, ia mesti memikirkan satu kebahagiaan, kebahagiaan Ayahnya. Meski demikian, ia tak bisa menutupi penyesalannya yang mendalam saat ditinggal Anne untuk selama-lamanya. Anne sudah menancapkan dan memberikan kebahagiaan bersama apa yang telah ia alami selama ini. Karya Francoise Sagan(1935-2004), novelis Perancis yang ditulis di kala usianya 18 tahun itu jujstru melambungkan namanya karena berbicara urusan seksualitas remaja yang berani. Hingga di akhir usianya, 24 september 2004 dalam usia 69 tahun, presiden Prancis Jacques Chirac memujinya : “Perancis kehilangan salah satu penulis paling cemerlang dan paling peka terhadap sosok terkemuka dalam kehidupan sastra kita”.

Semula saya membayangkan adegan seksualitas yang substil dan menggairahkan, tapi pada akhirnya adegan seksualitas di novel ini begitu santun, dan menggigit. Tapi setidaknya novel ini memberikan pesan yang tak remeh temeh. Urusan cinta bukan urusan seksualitas dan pemenuhan nafsu liar kebinatangan semata sebagaimana yang ditunjukkan Cecile yang berusia belia dalam novel ini. Ia juga bukan urusan yang terkadang kaku, resmi, namun sedikit canggung dan penuh pertimbangan sebagaimana yang selama ini dipraktekkan Anne. Urusan percintaan sering melampaui keduanya. Urusan cinta adalah urusan kebahagiaan, sebagaimana Cecile pada akhirnya tak mencintai Cyril dan mengakuinya sebagai –teman tidur—

Sebutan ‘teman tidur’ ini mungkin bagi kita, dan dunia remaja sekarang tak begitu asing. Novel ini mencoba mengajak kita mengerti bahwa persoalan cinta dan dunianya begitu kompleks dan tak sesederhana dengan urusan tidur semata. Mungkin, ini adalah gambaran ringkas dari ucapan Oscar Wilde tentang dosa dan modernitas : Dosa adalah satu-satunya nuansa cemerlang yang tersisa di tengah dunia modern”— Oscar Wilde. Oscar Wilde benar, tapi urusan cinta justru seringkali melampaui urusan dan perkara dosa dan rasa bersalah. Penyesalannya seringkali berkepanjangan dan membuat kita tua sebelum waktunya, membuat kita terpaksa mengakui bahwa seringkali kita harus merasa perih, tersiksa dan merasa tak berdaya dengan perasaan-perasaan ‘cinta’. Dan ditengah keremajaannya yang tumbuh, Cecile pada akhirnya mengerti, cinta begitu membekas dan menyentuh teramat dalam, hingga saat-saat kehilangan Anne, ia merasa telah memiliki kenangan dan semua yang ada bersamanya meski Anne sendiri telah entah berada dimana. Novel Lara Kusappa(1954) ini memang patut dicatat sebagai novel dan bacaan penting untuk kita semua, tak hanya bagi para gadis remaja belia, tetapi juga bagi semua orang. Setidaknya gambaran tentang urusan percintaan begitu tipis bedanya dengan dosa. Terkadang, melalui dosa kita juga bisa menemukan kesadaran tentang makna ‘cinta’ sebagaimana yang dialami oleh Cecile—tokoh dalam novel ini.  


kontrakan Priyadi , 20/8/14


Thursday 14 August 2014

Pernikahan dan Kebahagiaan


 




















Bahwa hanya ada satu kebahagiaan dalam hidup—hidup untuk orang lain

(Leo Tolstoy ,A Happy Married, 1975)



Pada akhirnya kita menjalani kehidupan pun menginginkan kebahagiaan. Mengapa kebahagiaan kita justru bertaut dengan orang lain, berhubungan dengan orang lain, bahkan tak bisa dilepaskan dengan orang lain. Apalagi bila kebahagiaan bersinggungan dengan urusan dan persoalan rumah tangga. Novel Tolstoy yang diterjemahkan dengan judul Rumah Tangga Yang Bahagia sebenarnya agak berlainan dengan makna dalam judul aslinya. Bila di judul aslinya, kita bisa mengartikan “Pernikahan Yang Bahagia”,tetapi dalam terjemahan Dodong Djiwapradja dimaknai sebagai “Rumah Tangga Yang Bahagia”. Bila mengacu pada judul asli, saya jadi teringat pada novel yang mengisahkan kisah pernikahan yang gagal sebagaimana yang dialami oleh NH Dini dalam novelnya La Barca. Namun, pernikahan tentu tak semulus pula dalam gambaran kita. Konon, bila pernikahan sudah berlangsung, maka kehidupan pun berjalan dengan tenang, bahagia, dan kebersamaan pun seolah menguatkan kebahagiaan. Cerita tentang kebahagiaan dalam pernikahan memang tak bias segampang dalam bayangan kita. Seringkali kehidupan pernikahan diterpa badai cobaan entah itu cobaan berkaitan dengan komunikasi, problem rumah tangga hingga urusan kebutuhan keluarga. Dan biasanya, kita berharap dengan hadirnya anak, kebahagiaan semakin diuji. Ujian dalam rumah tangga itu pun dialami Masha  gadis remaja dalam novel ini. Gadis yang menikah di usia muda ini, tak memerlukan waktu lama, bahwa teman Ayahnya dulu, membuatnya menjadi pelindung dan pengayom semenjak ibu dan Ayahnya mati. Ibunya menyusul kemudian saat ia berusia kanak-kanak. Kehidupan Masha pada mulanya adalah ketertarikan dari seorang perempuan yang membutuhkan sosok lelaki,sebagaimana yang ada pada Sergei Mikhailich. Ketertarikannya pada Sergei Mikhailich pelan-pelan menghilangkan duka padanya, rasa berkabungnya pelan-pelan hilang. Tentu, kita tahu bagaimana seseorang yang kehilangan Ibu. Masha telah kehilangan semua, tapi Sergei Mikhailich mengatakan sebaliknya, “Tak ada maaf buat yang suka jemu,usahakanlah supaya jangan demikian, kau mengerti music, ada buku-buku dan bisa belajar.Seluruh hidupmu ada di hadapanmu, kini saatnya kau mempersiapkan diri untuk menghadapinya,supaya tak akan menyesal kelak. Tahun depan sudah terlambat”.  
             Saya jadi teringat puisi Radar Panca Dahana yang berjudul Hak : apa yang membuat wanita berhak pada lelaki/apa yang membuat lelaki berhak pada wanita. Dalam pernikahan, orang sering mengandaikan bahwa lelakilah yang kelak memimpin dan mengatur urusan rumah tangga. Kehidupan kita terlanjur menerima doktrin agama yang diplintir bahwa dalam kehidupan rumah tangga, seorang lelaki dan perempuan dibedakan. Padahal, dalam persoalan strata social, lelaki dan perempuan sebenarnya memiliki kedudukan yang sama dalam urusan rumah tangga. Apa yang dialami oleh Sergei Mikhailich adalah gambaran bahwa seorang lelaki dalam rumah tangga pada akhirnya harus saling menerima, mengerti perasaan-perasaan perempuan sebagaimana mestinya. Hal ini cukup susah, mengingat lelaki dalam novel ini adalah seorang pak tua yang berumur puluhan tahun, ia harus menuruti, membimbing, mengayomi, membuat seorang perempuan menjadi lebih dewasa dan lebih memahami keadaannya. Mikhailich pada awalnya malu, dan kaku memperlihatkan istrinya, tetapi pada akhirnya justru Masha yang tampil dalam kalangan bangsawan dengan gaya yang luar biasa. Ia menarik perhatian, dan menjadi perhatian public. Pada akhirnya Masha terjatuh juga pada rayuan lelaki.Namun, ia lebih memilih kembali pada suaminya dan menyadari kesalahannya. Masha pada akhirnya sadar, kebahagiaan yang selama ini ia impikan sebenarnya sudah ia dapatkan, justru ia mendapat sesuatu yang lebih. Pernikahannya dengan lelaki yang lebih tua tak jadi masalah, ia menerima dengan perasaan wajar dan biasa. Setelah kehadiran anaknya yang pertama, ia menyadari bahwa setelah pernikahan, kita masih perlu menyelesaikan kebahagiaan yang lain. Ia pun sadar, pernikahan adalah awal, tangga untuk mendapatkan kebahagiaan, meski sebenarnya pernikahan itu sendiri sudah merupakan kebahagiaa. Sebagaimana penutup dalam novel ini, kehidupan ini tak pernah berakhir sampai hari ini. Dan disaat itulah, Masha sadar bahwa kebahagiaannya adalah kebahagiaan rumah tangganya.


Solo, 15/8/14