klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Thursday 2 July 2015

Hidup adalah Penerimaan




Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

Rona Merah,tokoh perempuan dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014) mirip tragedy perempuan-perempuan 65, meski Rona Merah gila, tapi ia menjadi korban hasrat sebagaimana perempuan-perempuan yang dituduh isteri seorang aktifis PKI. Hasrat, sexualitas dalam hal ini dekat dengan kekuasaan. Itulah yang coba dijelaskan oleh Eka Kurniawan meski tak tersirat, samar. Tapi setidaknya di antara kelemahan dan ketidakberdayaan itu, perempuan mencoba melawan dengan cara lain, yakni melalui takdir. Takdir, melalui takdir itulah Rona Merah menjawab dengan caranya yakni dengan kematian dua polisi yang memperkosanya dan memberi hadiah terindah bagi Ajo Kawir dengan membuat burungnya tidur dalam waktu cukup lama. Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014) adalah alegori. Ketidaksempurnaan adalah bagian dari manusia bukan?. Dari Ajo kawir kita melihat ketidaksempurnaan adalah sebuah usaha untuk melengkapi hidup dengan kasih sayang. Dan Ajo Kawir walau dengan pahit yang tak terkira, mengantarkan ia pada perjalanan pencarian spiritual. Sebagaimana kita, yang tak tentu dan tak selalu menerima apa yang diberikan oleh hidup. Kita masih melakukan pencarian yang tanpa henti, entah sampai kapan. Dari pencarian itulah kita menemukan yang tertinggal dan tercecer dari hidup. Dari pertanyaan tentang kejantanan (membangunkan burung) ia pun menemukan bahwa kejantanan tak selalu harus diungkap dan diumbar sebagaimana unjuk gigi dalam perihal fisik (berkelahi). Ia membuat peringatan dan refleksi, bahwa kekurangan adalah bagian dari hidup yang sempurna, bukan sebaliknya; pincang. 

Dan hidup memang selalu tak sempurna. Ia adalah bagian dari rahasia dan ketetapan yang mau tak mau kita terima sebagai bagian dari hidup itu sendiri. Apa yang dialami Ajo kawir mengisahkan bahwa ketidaksempurnaan bukan sesuatu yang layak kita sesali, namun bukan pula sesuatu yang harus diperjuangkan secara brutal. Sebab hidup juga tak melulu perkara mengurusi seksualitas.Meski seksualitas adalah bagian dari kesempurnaan hidup yang melengkapi. Seksualitas tentu menjadi bagian dari hubungan lelaki  dan perempuan. Tapi, tanpa seksualitas sekalipun, lelaki dan perempuan bisa menjalani hubungan, ikatan dan juga relasi antara sesamanya secara manusiawi. Disitulah, letak cinta yang mungkin identik dengan kemustahilan. 

Kita jadi ingat novel Garis Perempuan garapan Sanie B.Kuncoro yang tak menganggap urusan keperawanan sebagai sesuatu yang ganjil dan mengurangi nilai kemanusiaan kita. Uang miliaran rupiah pun mesti dipertaruhkan demi urusan hidup dan keberlanjutannya. Resiko harus ditanggung dengan derita, kepedihan dan pahit tak tertahankan. Ini juga yang dialami oleh Iteung, berkat kebejatan dan kebengisan sang guru Iteung sendiri, ia mesti memendam hasrat yang belum waktunya ia tanggung. Ia mesti merelakan keperawanannya direnggut dan dikorbankan. Hidup mesti berlanjut bukan, Iteung pun mencoba melawan hasrat dan memori buruknya, tapi tak berakhir hingga akhirnya menemukan Ajo Kawir, lelaki pujaannya dengan segenap kekurangannya. Pada akhirnya kekurangan tetap menjadi bagian dari kehidupan bukan?.

Ajo kawir mendefinisikan itu dengan ketidaklengkapannya sebagai lelaki,sedang Iteung harus menerima dosa dari ketidakmengertiannya akan tubuhnya sendiri. Sampai akhirnya ia sadar, ia telah kehilangan keperawanannya. Keduanya dipertemukan dengan caranya sendiri. Meski harus berpisah dalam rentang waktu yang cukup lama, ia pun disatukan dengan segala penerimaan. Penerimaan memang susah pada awalnya, tetapi kelak akan berbuah kebahagiaan sebagaimana akhir kisah dari novel Seperti Dendam,Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014).

Sebagaimana nasib Ajo Kawir, ketidak sempurnaan itu pun dialami oleh Mono Ompong. Lelaki desa ini pun kelak harus menanggung malu, karena diolok-olok Tina tokoh pelacur di desanya. Untuk menebus ini, ia harus menjadi sopir truk yang pemberani, dan memperoleh uang yang berlimpah untuk menebus penghinaan dan cacian yang ia terima. Ia mesti menanggung derita pula, bertarung mati-matian dengan Si Kumbang, preman sekaligus sopir truk yang jauh lebih besar dan lebih sangar dari dirinya. Tetapi di balik itu, ia telah menerima, ia telah menuntaskan nasibnya. Ia memenangkan dengan membawa berlimpah uang dan keberuntungan. Nasibnya berputar, ia ingin kembali pulang dengan membayar rindunya. 

Iteung, Kawir dan Mono Ompong sudah menanggung duka dan deritanya masing-masing dalam lakonnya masing-masing pula. Tetapi ia menjelaskan kepada kita semua, perjuangan, penerimaan, dan kerelaan akan nasib serta tak berhenti pada kepasrahan, adalah sikap yang harus kita miliki dalam hidup kita. Dan hidup bukan perkara singkat, bukan perkara seksualitas semata. Meski seksualitas dan nasib, harus diterima dengan jalan panjang. Tapi, Ajo kawir tak mengajari kita urusan seksualitas picisan, Ajo kawir menerima resiko dari hidup yang ditanggungnya dengan usaha tak henti, dan berakhir dengan ; pasrah.
Menerima adalah suatu sikap hidup , meski sulit, dan pahit.

*)Pengajar di MIM Kartasura, Santri BILIK LITERASI SOLO