klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Monday 6 November 2017

Pembaca Novel

 


"Melalui esai-esainya, Bandung bak menceritakan novel dengan mengalir. Bahasa-bahasa dalam esainya tak hendak membeberkan dan menjelaskan panjang seperti dosen di perkuliahan. Ia hendak memberikan suguhan cerita pada kita di buku ini"

Oleh Arif Yudistira*)

                Novel dibuat oleh manusia mengisahkan manusia. Ada tragedi, ada sejarah, ada pula kegetiran dan nasib bahagia di dalamnya. Di novel dapat kita temukan filsafat, sejarah, seni sekaligus. Peradaban kita bermula dari cerita. Novel itu bercerita. Dari cerita-cerita itu kita bakal diajak menari bersama kata-kata di dalamnya. Orang bisa tersentuh, hanyut, merenung bersama novel.
                Barangkali karena itulah, kesusateraan dunia melirik novel sebagai bagian dari seni yang patut memperoleh penghargaan nobel. Banyak para nobelis dunia memperoleh penghargaan dari novelnya. Gabriel Garcia Marquez, Knut Hamsun, Mo Yan, Orhan Pamuk, sampai dengan Haruki Murakami. Mereka adalah para novelis yang dibaca oleh banyak pencinta sastra di dunia. Karya-karya mereka setidaknya ikut memberikan pengaruh, dan perkembangan peradaban kita.
                Novel bak cermin yang bisa kita jadikan sebuah hiburan yang meneror. Setidaknya novel yang baik adalah novel yang mampu meneror pembacanya. Maka sering sekali novel mengangkat realitas yang terkadang menampar kehidupan di sekitar kita. Cerita Ernest Hemingway misalnya dengan novelnya Lelaki Tua dan Laut membuat kita mengerti bahwa menjadi seorang tua tak selalu ringkih, rapuh, dan lekas putus asa. Tokoh pak tua di novel ini adalah tokoh perkasa, yang menunjukkan kegagahan seorang tua yang tak mau lekas pudar.
                Buku Pemetik Cerita (2017) garapan Bandung Mawardi adalah sehimpun esai yang mengisahkan novel. Bagi pembaca novel, buku ini bisa dijadikan pembanding atau sebagai pelengkap sekaligus . Bagi yang belum membaca novel yang disuguhkan dalam esai-esai ini, tentu bisa menjadi perangsang untuk melanjutkan membaca atau sebaliknya lekas bosan dan tak percaya terhadap ulasan yang disuguhkan penulis.
                30 novel yang disuguhkan oleh Bandung Mawardi adalah pilihan dari sederet novel yang ia baca dan resensi. Kita mengingat Bandung Mawardi sebagai penulis  sekaligus pembaca novel. sebelumnya, ia pernah menerbitkan buku esai bertajuk Ralat : Sastra Bergelimang Makna (2017). Buku ini pernah terbit sebelumnya dengan judul Satra Bergelimang Makna (2010).
                Melalui esai-esainya, Bandung bak menceritakan novel dengan mengalir. Bahasa-bahasa dalam esainya tak hendak membeberkan dan menjelaskan panjang seperti dosen di perkuliahan. Ia hendak memberikan suguhan cerita pada kita di buku ini.
                Ada novel garapan Sapardi Djoko Damono berjudul Suti(2015) dan Hujan Bulan Juni(2015). Ada novel garapan Leila S. Chudori berjudul Pulang (2012), ada pula novel garapan Afrizal Malna bertajuk Kepada Apakah (2014). Mengisahkan novel memang memerlukan riwayat penulis, pembacaan terhadap isi novel hingga menautkan novel dengan jejak bigrafis karya penulis.
Koran dan Keterbatasan Ruang
                Koran memang masih memegang peranan penting dalam memberikan dan menyebarkan informasi mengenai novel dan buku-buku melalui rubrik yang dimilikinya. Sayang sekali ruang yang terbatas dari media massa ini ikut pula membatasi kreatifitas penulis ulasan novel. Ulasan kemudian menjadi terbatas, sempit, dan tak kritis.
                Hal ini juga dialami Bandung Mawardi ketika melakukan pembacaan novel. Resensi di buku ini pun menjadi contoh bagaimana Bandung memilih untuk tak kritis menanggapi novel. Ada sebuah upaya untuk mengambil sisi positif novel yang ia baca, tapi mengesampingkan kritik terhadapnya. Sebut saja di esai berjudul Selera (Pengisahan)Indonesia (h.159), Bandung hanya menyuguhkan hobi penulis yang ia nilai mempengaruhi penceritaan novel kuliner di buku Aruna dan Lidahnya (2014) karya Laksmi Pamuntjak. Ia tak memberikan kritik pada urusan seksualitas yang dihadirkan di novel itu yang mengganggu pembaca.
                Meski begitu, ada pula resensi di buku ini yang memang tak berlebihan sekaligus imbang menimbang novel. Seperti saat penulis meresensi buku Di Bawah Bendera Merah (2013) karya Mo Yan. Penulis berhasil menyuguhkan sihir Mo Yan yang mengumbar cerita biografisnya. Begitu pula saat penulis mengulas Surga Sungsang  karya Triyanto Triwikromo. Penulis memberi judul Kematian, Kematian, Kematian seperti sama dengan riwayat kematian tokoh-tokoh di novel ini sekaligus menyingkap aroma sufisme yang dikisahkan dengan gaya surealis.
                Sebagai buku ulasan tentang novel, sebenarnya penulis bisa melakukan revisi, menilai novel dari berbagai perspektif sebagaimana di buku sebelumnya Sastra Bergelimang Makna (2010). Akan tetapi penulis sepertinya memilih untuk tidak melakukan itu.
                Buku tak hendak memberikan katalog novel-novel Indonesia yang patut dibaca oleh pembaca sastra di Indonesia. Buku ini seperti hanya dijadikan monumen sekaligus pengingat serta dokumentasi pembacaan novel-novel baik dari pengarang dalam negeri maupun manca negara.
                Buku Pemetik Cerita (2017) patut dibaca sebagai sebuah suguhan cerita tentang pembacaan novel-novel baik dari manca maupun penulis Indonesia. Sebagai sebuah cerita, tentu saja ia memiliki ruang terbuka untuk kita percaya atau tidak kita percaya sepenuhnya.


*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Pengasuh MIM PK Kartasura


 Keterangan Buku


Judul buku           : Pemetik Cerita
Penulis                      : Bandung Mawardi
Tahun                        : 2017
Penerbit                  : Bilik Literasi
 Halaman                 : 167 Halaman


Sunday 27 August 2017

Sepenggal Kisah Artis Tempo Doeloe




Judul Buku      : Para Penghibur
Penulis            : Fandy Hutari
Penerbit          : BasaBasi
Tahun Terbit : Mei 2017
Tebal.              : 231
ISBN : 978-602-61246-3-0

Oleh Arif Yudistira*)

Sejarah artis tak bisa dipisahkan dari sejarah panggung hiburan di masa lalu. Artis di masa lalu erat kali dengan dunia hiburan utamanya panggung. Di panggung masa lampau, artis tampil dalam sandiwara, penyanyi, yang dilakukan berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya. Maka tak heran, di masa lalu jamak kita temui grup atau kelompok sandiwara yang begitu tenar sebelum menelorkan artis.
Buku Para Penghibur (2017) karya Fandy Hutari ini menyoroti riwayat 17 artis di masa lalu, utamanya di masa Hindia-Belanda. Buku ini ditulis menggunakan buku pijakan diantaranya Sejarah Film 1900-1950; Bikin Film di Jawa karya Misbach Yusa Biran. Buku lain yang digunakan sebagai pijakan adalah buku Katalog Film Indonesia 1926-2005 karya JB Kristanto.
Artis-artis ternama di masa itu memiliki latar belakang beragam sebelum menjadi artis. Ada yang semula berpfofesi sebagai pemutar rol film di bioskop, pemain anggar, hingga anak bangsawan. Kartolo misalnya adalah keturunan pegawai keraton di jaman Sultan Hamengku Buwono I. Yang bergabung dengan rombongan sandiwara diantaranya adalah Miss Dja, Fifi Young, maupun Miss Riboet.
Para penghibur ini tak memiliki cacat biografis sama sekali. Rekam jejak artis di masa lalu memang terkesan tenang dan damai. Gosip dan kabar burung yang negatif yang menimpa mereka seolah tak ada. Ini tentu berbeda di masa sekarang, seolah artis tanpa sensasi atau gosip menjadi sesuatu yang hambar.
Kita juga bakal menemukan artis di buku ini meski tak main di panggung hiburan. Nama-nama itu adalah Andjar Asmara yang nama aslinya Abisin Abbas. Semula merupakan wartawan kemudian beralih menjadi sutradara. Karyanya yang populer adalah Dr. Samsi(h.118). Nama lainnya adalah Ratna Asmara. Ia merupakan sutradara perempuan pertama sekaligus artis andalan JIF (h.174).
Meski hanya beberapa artis yang dikisahkan, buku ini mampu memberikan gambaran bagaimana artis di masa lampau pun penuh karya dan dedikasi. Bahkan kita bisa mengenali Miss Dja yang sempat menjadi bintang Hollywood di tahun 1950-an. Buku ini bisa memperkaya kita tentang khazanah artis di masa lampau.


*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo
*) dimuat di Tribun Jateng 27 Agustus 2017

Thursday 18 May 2017

Jawa ; Tak Ada Matinya !!!



Oleh Arif Yudistira*)

            Jawa tak selalu identik dengan solo, atau jawa tengah. Jawa, adalah keseluruhan, baik jawa timur maupun jawa barat. Baik di keraton maupun di kalangan rakyat. Baik di pegunungan maupun dipesisir. Baik di kalangan raja maupun kawula. Di dalam dunia yang serba kompleks itulah, ada nilai-nilai jawa. Dan tentu saja setiap orang, setiap kalangan berhak menafsirkan tentang bagaimana mereka memaknai jawa. 

            Jawa juga tak melulu dimunculkan dalam simbol-simbol kaku seperti wayang yang mengenal pakem atau aturan. Jawa juga bisa ngeyel atau membangkang. Jawa juga bisa “nakal”. Kalau wayang hanya menuruti pakem semata, tentu saja wayang tak bakal berkembang. Ada wayang suket kreasi almarhum Slamet Gundono, ada wayang kampung sebelah karya Ki Jlitheng Suparman. Kedua jenis wayang itu adalah wayang yang memadukan yang modern dengan yang lama. Ia berhasil membuat jawa tetap sesuai dengan laju perkembangan zaman.

            Suara itulah yang hendak diwartakan dibuku Triyanto Triwikromo berjudul Jungkir Balik Jagat Jawa (2016). Orang Jawa tak bisa tidak harus menyesuaikan dengan zaman. Anak cucu kita, tidak bisa sepenuhnya menangkap kejawaan yang kita pahami. Barangkali jawa tidak selalu bisa ditemukan di tanah jawa. Orang bisa meresapi nilai-nilai, serta petuah orangtua kita ketika kita tak ada di tanah jawa. Ketika kita tak ada di Indonesia, kita justru merasakan bahwa jawa hadir di dalam diri kita. Pengalaman itu juga dialami oleh Maria Hartiningsih yang menerbitkan buku berjudul Jalan Pulang (2017). Ia justru menemukan Jawa seperti yang ibunya nasehatkan justru terasa intim saat ia menziarahi Santiago.

            Triyanto Triwikromo menelisik dan membaca ulang dari referensi para indonesianis juga referensi klasik yang berkaitan dengan Jawa serta melakukan pembacaan ulang tentang Jawa. Jungkir balik, begitu kata Triyanto, di dalam dunia Jawa, di dalam kejawaan kita, terkadang kita menempati berbagai posisi seperti semar yang konon samar. Semar menempati kawula, tetapi juga menduduki sebagai dewa. 

            Begitu pula saat Jawa menghadirkan satu pelajaran berharga dari kisah yang dihadirkannya melalui perang Bharatayuda. Di esainya bertajuk “Telanjang” Triyanto mengawali dengan kutipan menarik “Suatu kali Goenawan Mohamad bertanya, manakah yang lebih pedih : Drupadi yang dipermalukan di balairung perjudian oleh Dursasana ataukah Dursasana yang darahnya ditenggak oleh Bima? (h.176). Esai ini tak hendak mempertanyakan bagaimana nilai sebuah perang, tetapi esai ini hendak menghadirkan Jawa saat ada peribahasa Jawa : Ajining raga gumantung saka busana (harga seseorang tergantung dari busana). Drupadi pada akhirnya tak bisa ditelanjangi, dan ia menunjukkan kalimat Jawa tadi. 

            Ada ajakan untuk menengok khazanah klasik ditafsir dengan keadaan sekarang. Ada seruan untuk menengok Jawa tak selalu dari sudut pandang masa lampau. “Saya membayangkan dalam sastra Jawa yang gaul akan muncul teenlit atau chicklit berbahasa Jawa atau bernuansa kejawaan yang kental. Dalam teks mereka, tak lagi muncul lu gue yang sangat mbetawi, tetapi inyong, ingsun, aku, kowe, gedhe, banget, abot, pisan, dan idiom-idiom Jawa yang tak kalah unik” (Jawa Gaul, h.206).

            Upaya untuk mengajak orang kembali kepada Jawa, tak selalu dengan menyerukan untuk belajar bahasa jawa semua. Tetapi mengajak orang untuk memasukkan nilai-nilai Jawa yang selaras, identik dengan kemajuan zaman. Mempelajari bahasa Jawa bagi orang Jawa memang penting, tapi tak sekadar hanya jadi pelajaran anak Sekolah Dasar semata yang akhirny mandeg (berhenti) tanpa ada kelanjutannya. Justru lebih menarik mengajarkan Jawa dari segi filosofi, dari segi cerita, seperti bagaimana tanah Jawa diislamkan. Kita bisa menengok cerita Syekh Siti Jenar, kita juga bisa mendengar kisah kematian Semar, atau kesucian Sinta.               

            Pada akhirnya, kita bisa menyimak metafora bagaimana menjadi manusia Jawa seperti ketika orang Jawa melakukan shalat. Ia pun mengatakan diluar shalatnya, ia juga shalat. Saat lungguhku ya shalatku, ngadekku ya shalatku, turuku ya shalatku (dudukku juga shalat, berdiriku juga shalat, tidurku juga shalat). 

            Dunia, atau kosmologi Jawa adalah sebuah tatanan yang tak hanya terdiri dari huruf-huruf Jawa, ia terdiri dari mitos, tata aturan, serta nilai-nilai yang bisa dibawa manusia Jawa sampai di masa mendatang. Barangkali, disaat kita sadar akan kejawaan kita yang kian luntur, saat itulah kita bisa melakukan dekonstruksi, melakukan inovasi, agar jawa menjadi dinamis, bukan statis. 


*) Alumnus UMS, Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo   
*) Tulisan ini pernah dimuat di SOLOPOS Minggu, Bulan Mei 2017

Sunday 19 February 2017

Gairah dan Petualangan Peneliti “Nias Selatan”



Oleh Arif Yudistira*)

       Alkisah di tahun 1886 tepatnya di bulan April-September, seorang antropolog asal Florence Italia, Elio Modigliani melakukan petualangan di daerah pemburu kepala manusia di Nias Selatan. Cerita bermula dari keberhasilan Vanni Puccioni mendapat buku bagus dari pendeta di Nias yang ditulis oleh Elio Modigliani yang berjudul Viaggio a Nias atau Perjalanan ke Pulau Nias (1890). Di masa penjajahan Belanda, Elio Modigliani meminta izin kepada pemerintah Belanda di waktu itu untuk menyediakan pengawal untuk melakukan ekspedisinya itu. Akhirnya setelah semua peralatan lengkap, anak buah pun disediakan, Elio berangkat mengarungi ancaman dan halangan menuju pulang Nias paling selatan yang konon susah ditaklukkan berulangkali oleh Belanda.
            Apa sebenarnya hasrat Elio sehingga ia begitu ingin meneliti dan membawa pulang hasil ekspedisinya?. Pengetahuanlah yang membawa Elio menyusuri rawa-rawa, gunung, danau dan laut. Ia hendak menyimpan apa yang ia teliti itu ke dalam museum Florence di Italia.
            Berbekal berpeti-peti tembakau dan barang antik lainnya yang memungkinkan menarik suku-suku di Nias selatan, Elio berani menyeberangi sungai, menerobos hutan dengan ancaman hewan liar sampai dengan ancaman pemburu kepala manusia. Di tahun 1886, Nias waktu itu masih merupakan daerah yang cukup tradisional. Elio menuliskan pengisahannya mengenai betapa orang Nias di masa lalu begitu sederhana  teknologinya sehingga barang-barang dan aktifitas ekonominya hanya dilakukan dengan tangan manusia.
            Begitu pula dalam hal medis, mereka hanya mengandalkan ere atau dukun yang melakukan pengobatan dengan memadukan kepercayaan mistis dengan perantara penyembelihan babi. Kita simak bagaimana Elio menuturkan perihal kebiasaan berburu kepala manusia bisa berjalan di Nias. “Setiap laki-laki di desa mempunyai tujuan menjadi prajurit yang ganas, tanpa mempedulikan bagaimana sifat aslinya. Untuk naik pangkat menjadi prajurit, mereka harus berpartisipasi menghias osale, minimal dengan sebuah tengkorak yang dibunuh dengan tangannya sendiri”. Inilah salah satu alasan mengapa perburuan kepala manusia masih dilaksanakan di tahun itu. Alasan lain adalah karena maskawin dalam pernikahan disana adalah kepala manusia. “tidak ada seorang laki-laki pun yang dapat melamar seorang perempuan tanpa membawa maskawin berupa kepala manusia [....] dan disanalah emas kurang berharga dibandingkan dengan tembaga dan kuningan (h.35).
            Elio hanya menggunakan senjata senapan modern di masa itu dengan kemampuan menembak yang sangat jauh dan akurat serta bisa menembakkan lebih dari sebelas kali. Kemampuan lain Elio hanya mengandalkan kecerdasan dan kemampuannya dalam menciptakan dialog yang konstruktif dengan suku Nias dalam situasi apapun bahkan dalam situasi paling buruk (h.128).
            Selama perjalanan ditemani anak buahnya yang cukup pengalaman dari Jawa dan dari suku setempat yang menguasai bahasa pedalaman dengan begitu lihai Elio memberanikan diri melaksanakan ekspedisi ini. Elio sendiri adalah seorang keturunan seorang bankir yang kaya raya, sehingga orangtuanya mendorong penuh kemauan Elio ini.
            Elio mengoleksi berbagai hewan mulai dari kupu-kupu, laba-laba, sampai dengan burung dan ular. Semua barang bawaannya ditaruh dalam peralatan yang cukup memadai dan diawetkan serta kelak dikemas dalam peti yang rapi. Elio juga dilengkapi dengan kamera yang cukup canggih di waktu itu, hingga mampu memotret gambar burung serta potret orang Nias di masa itu.
            Kedatangannya bermula dari Bukit Titoli di Teluk Dalam berlanjut ke Bawolowalani, Hilizihono, Hilisimaetano, Kepulauan Hinako, hingga ke Gunung Lolomatua. Di setiap tempat yang ia singgahi, ia berusaha bertemu dengan raja dari suku tersebut dan menawarkan barang yang ia bawa terutama tembakau, dan barang antik lainnya seperti pernak-pernik. Elio mengatakan maksud kedatangannya di suku-suku yang ia singgahi dan mencoba untuk mengatakan berbeda ia dengan orang kulit putih lainnya (Belanda) yang datang menjajah.
            Elio berhasil meyakinkan dan membawa hasil ekspedisinya bukan tanpa halangan. Elio bahkan hampir kehabisan beras dan hampir perang dengan penduduk setempat. Ia meyakini, bahwa dengan menjalin persaudaraan dan komunikasi yang baik, ia berhasil menaklukkan rasa takutnya sendiri serta diterima dengan baik oleh raja-raja di setiap suku yang ia singgahi. Gairah Elio Modigliani inilah yang barangkali patut kita tiru di masa sekarang. Penting bagi peneliti untuk mengetahui dan mengenal betul tempat yang akan diteliti. Mulai dari orang, kehidupan hingga latar belakang geografisnya.
            Selain kecakapan, sikap Elio yang rendah hati dan penuh persahabatan menjadikan lebih dekat dengan objek yang diteliti hingga mereka tak merasakan kecurigaan dan ancaman.

*) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
*) Dimuat di Koran Jakarta, 17/2/2017 


Cara Penulis Melawan Realitas


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
           
            Sebuah perang dimanapun itu, tetap menyisakan trauma mendalam. Ada banyak reruntuhan, bangunan yang hancur, perasaan-perasaan yang rapuh, dan harapan-harapan yang musykil balik lagi. Tapi, perang memiliki riwayat, sejarah, dan layak untuk kita kisahkan. Begitu pula perang yang ada di Palestina, perang antara muslim dengan orang Yahudi. Perang ini bukan semata mata perang fisik dan senjata, tetapi juga perang ideologi, perang sejarah, dan perang mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan.
            Menjadi manusia yang tumbuh dan besar diantara perang memang bukanlah sesuatu yang mudah. Edgar Keret seorang penulis Yahudi yang lahir 20 Agustus 1967 pun mengalami ketakutan-ketakutan itu. Rasanya tak mudah menjadi seorang Yahudi, yang boleh dibilang dikecam orang seluruh dunia karena membantai Palestina.
            Amat susah, itulah yang dirasakan Keret untuk menjelaskan kepada anaknya tentang sebuah dunia yang dihadapinya. Tapi, keret mengatasi hal ini dengan cara yang alamiah. Ia mengajak anaknya mendengar deru bom, suara mesiu, hingga dentuman senjata di kanan-kirinya dengan biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa.
            Memoar yang ditulisnya bukanlah memoar yang bersifat keluar, tetapi lebih bersifat ke dalam. Dalam memoar yang ditulisnya, kita justru menemukan bagaimana keseharian penulis di eksplorasi lebih. Tak hanya itu, kita bakal mendapati cerita-cerita yang tak ada kaitannya dengan perang, tapi ada di sekitar penulis.
            Dalam nukilan esainya berikut misalnya “Dia benar-benar hidup di masa sekarang : Dia tidak pernah mendendam,tidak pernah takut akan masa depan. Dia benar-benar tidak punya ego. Dia tidak pernah mempertahankan kehormatannya atau mengambil keuntungan”. Dalam esai yang bertajuk Bayi Besar , ada perasaan-perasaan yang bernada khawatir, tetapi juga berupaya menenangkan.
            Ada ketakutan besar, tapi hendak dilawan dengan optimisme, bahwa kelak anaknya tak boleh memiliki sikap pesimis, apalagi takut akan masa depan. Mengingat negara yang terus-menerus dalam keadaan perang, cenderung susah membayangkan masa depan. Inilah sebagian dari cara Keret untuk menghadapi realitas yang ia alami.
            Bila anda berharap menemukan rumus dan cara menghadapi perang, anda tak bakal menemukannya disini. Tetapi bila anda hendak mencari bagaimana cara Keret menghadapi situasi dan pengalaman berkesan dalam hidupnya, kita bakal menemukan kisahnya di buku ini. Seperti di esai bertajuk Dengan (tidak) hormat, dikisahkan pengalaman Keret selama pekan buku diberbagai negara.
            Keret dulu di masa kecilnya sering meminta tanda tangan kepada penulis idolanya, tetapi kini ia berubah, ia harus menandatangani buku-buku dari penggemarnya. Dan sesekali menuliskan pesan yang diminta pembaca bukunya di halaman awal buku itu. Ia mulai mencoba eksperimen ketika buku-buku itu hendak dimintakan tanda tangan dan kata-kata dari Keret, ia mencoba untuk menuliskan kalimat-kalimat fiksi.
            Setiap kalimat yang dituliskan di buku mereka, macam-macam dan hampir semua imajinasi. Misalnya “untuk Tziki. Aku mengakui kalau aku bertingkah seperti bajingan. Tetapi, kalau adikmu bisa memafkanku, kamu juga bisa”. Kalimat-kalimat itu justru berbuah tamparan dan kemarahan dari seorang pembaca yang tak terima dengan kalimat yang dituliskan Keret. Akhirnya, di setiap pekan buku ia hanya bisa menarik napas dalam-dalam dan menuliskan “Semoga sukses”, meski membosankan, tulisnya tapi aman untuk wajahnya.
            Di esainya bertajuk Pembela Kaum kita bakal mendapati pengakuan mengejutkan bagaimana kisah seorang Yahudi dan kehidupan kanak-kanak mereka. “Dari hari pertamamu dilahirkan di Israel, kau akan diajari apa yang terjadi di Eropa selama ratusan tahun adalah sebuah serial penganiayaan dan pembunuhan besar-besaran untuk membersihkan etnis Yahudi. Meskipun mendikte akal sehat, pelajaran dari pendidikan itu berlanjut sampai membusuk di dalam ususmu. Ini perasaan yang kurang menyenangkan, tapi entah mengapa selalu ditegaskan oleh kenyataan”.
            Keret melukiskan bagaimana seorang anak keturunan Yahudi bahkan semenjak kecil sudah diajari bagaimana menjadi Yahudi yang ideal. Tapi Keret seperti melawan hal itu, dengan menjadi seorang manusia biasa, meski ia juga seorang Yahudi. Dan hal ini tak mudah, karena tak setiap orang bisa menerimanya dengan mudah. Orang ketika mendengar kata “Yahudi’, yang digambarkan di pikiran mereka adalah pikiran bahwa Yahudi adalah kaum yang dihabisi, kaum yang membantai Palestina, dan sebagianya.
            Perasaan-perasaan itulah yang terbesit saat hendak mengunjungi Indonesia. Dalam esai berjudul Orang Tidur Yang Aneh, Keret menuliskan perasaan itu. Orangtuaku tidak ingin aku datang.Mereka takut aku akan diculik atau dibunuh. Lagi pula, di Indonesia adalah negara Muslim yang sangat anti-Israel, bahkan anti-Semit—beberapa mengatakan. Aku berusaha menenangkan mereka dengan mengirim sebuah tautan dari halaman Wikipedia, yang mengatakan bahwa mayoritas penduduk di Bali beragama Hindu. Tidak membantu. Dad berkeras bahwa tidak perlu pilihan mayoritas untuk menembakkan peluru ke kepalaku. Dulu, bendera Israel dibakar di depan kedutaan Israel di Jakarta, tetapi sejak hubungan diplomatiknya putus, bendera-bendera tersebut dibakar di depan Kedutaan Amerika. Orang Israel yang hidup dan bernapas akan menjadi santapan lezat bagi mereka”.
            Dunia yang hendak dihadirkan Keret adalah dunia yang sebenarnya merupakan negasi dunia di sekitarnya. Ia melakukan penolakan, perlawanan terhadap diri, untuk meyakinkan kepada semua orang bahwa hidup dalam lingkungan perang, tak sepenuhnya mesti dihadapi dengan ketakutan. Ia merasa nyaman, hidup sebagai penulis dengan terus menorehkan perlawanannya kepada apa yang ia anggap salah. Cara yang paling dekat adalah menuliskan apa yang ia alami, keluarganya, anaknya, sampai dengan menuliskan pengalamannya sendiri menjadi penulis yang mengunjungi beberapa negara di dunia.
            Saat itulah, tanpa sadar, ia telah melakukan perlawanan yang lebih dahsyat daripada sekadar dentuman bom dan mesiu. Ia membuktikan, menjadi manusia seutuhnya, tetap akan diterima dengan baik, oleh lawan maupun kawan. Melalui tulisan dan pengalamannya tentang popok, anak-anak, hingga kisah kematian Ayahnya, ia telah menuliskan bukan hanya identitasnya, tetapi juga memberikan suaranya pada dunia.
            Sayang sekali judul di buku ini terlampau keterlaluan dengan mencantumkan tagline yang menurut saya kurang pas. Tapi barangkali inilah cara penerbit mengajak para pembaca untuk tak melulu percaya pada judul tanpa membaca seluruh isi bukunya.



*) Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat Solo, guru MIM PK Kartasura    
*) Pernah dimuat di Koran Jakarta 

Mencecap Sejarah Kuliner Indonesia


Arif  Yudistira*)

            Nama menentukan harga. Itulah gambaran sekilas yang membedakan antara makanan tradisional, maupun modern di era sekarang. Penyebutan istilah biner ini memang ada sejarahnya. Namun, orang sekarang boleh dikatakan terlampau lugu mempersepsikan antara makanan modern dengan makanan tradisional ketika mereka hanya berdasarkan nama semata tanpa merujuk pada sejarah makanan di negeri kita. Misalnya penyebutan Q-tela dengan ketela, meski berbahan dasar sama, tetapi rasa, kemasan, hingga harganya menjadi berbeda. Inilah pandangan yang perlu kita luruskan dalam menyikapi perkembangan kuliner kita.
            Perkembangan makanan di dunia ini ternyata begitu cepat. Manusia tidak bisa terus menerus memakai cara lama dalam menyikapi makanan. Makanan bertaut erat dengan sosial, ekonomi dan politik. Perkembangan peradaban ikut serta mempengaruhi cara kita memperlakukan, dan cara kita mengurusi makanan. Kita bisa menengok jauh kebelakang di masa kecil kita saat ketela menjadi makanan ringan kita. Eyang kakung kita, seringsekali menyajikannya setelah ditanak begitu saja digigit dengan tangan.  Dulu, hal itu sudah begitu nikmat luar biasa. Tentu saja hal ini berbeda dengan sekarang. Seiring dengan berkembangnya cara penyajian dan teknologi kita, ketela pun berubah. Di sekitaran kampus misalnya banyak menu makanan berbahan dasar ketela diolah dan dikemas menjadi macam-macam menu makanan dengan berbagai kreasi. Ada Q-tela, ada ketela keju, Aneka gethuk , maupun makanan ringan lainnya.
            Kita akan diajak untuk bertualang, menyusuri, hingga ke lorong sejarah paling purba untuk menelisik sejarah perkembangan makanan di Indonesia bersama buku karya Fadly Rahman yang bertajuk Jejak Rasa Nusantara, Sejarah Makanan Indonesia. Di awal buku ini, Fadly memulai bukunya dengan mengisahkan dengan kalimat tanya yang menggelitik dari seorang Schuurmans ketika mengolok-olok makanan Indonesia. “Dimanakah adiboga Indonesia?. Tampaknya tak ada lagi orang yang suka memasak. Sang nyonya punya juru masak yang tidak bisa memasak”(h.4). Menurut Fadly, Schuurmans, kita belum punya cuisine  yang diartikan lebih dari seni memasak, tetapi juga sebuah kesadaran tentang bagaimana makanan diolah dan dikonsumsi.
            Dari latar belakang itulah, Fadly merasa tertantang untuk menelisik dan mencari, serta mendedah kepustakaan lampau untuk mengetahui sejarah makanan indonesia. Hasilnya, bahwa sejarah makanan kita tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur penting seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Fadly menilai, perkembangan makanan dunia, termasuk kita tidak bisa dilepaskan dari sejarah global.      Makanan nusantara sebenarnya dikonstruksi semenjak abad  ke-10 M seiring masuknya pengaruh citarasa Tionghoa, India, dan Arab. Pada abad sepuluh itulah, di nusantara saat kita masih berbentuk kerajaan, mulai muncul kolonialisme yang mengangkat simbol Gold, Glory and Gospel. Salah satu yang mereka cari, hingga sampai ke nusantara adalah rempah-rempah. Kisah mistik rempah-rempah ini pun berkembang menjadi sebuah eksploitasi besar-besaran hingga nafsu untuk berkuasa di tanah jajahan.
            Pencarian akan rempah itupun mulai mengubah cita rasa makana Eropa yang semula hanya menggunakan rempah-rempah sebagai obat, kini berubah menjadi bumbu makanan. Maka muncullah bumbu cabai, bawang, dan aneka jenis tanaman rempah lainnya yang diangkut untuk dijadikan bumbu makanan Eropa. Selain membawa pengaruh ke Eropa, rempah-rempah di nusantara kala itu, juga ada pengaruh dari India yang tampak dari kerajaan Hindu-Buddha. Bawang, ketumbar, jintan, dan jahe adalah beberapa jenis tanaman yang diperkenalkan karena pengaruh India (h.19). Ketika di abad 15 mulai muncul pengaruh rempah kepada hidangan makanan di Eropa di Istana dan kerajaan-kerajaan, sedangkan di abad 16 menjadi penanda penting dalam pergeseran budaya makan di Nusantara menuju citarasa baru. Saat itu muncul tanaman seperti sukun di Indonesia timur yang dijadikan makanan pengganti nasi.
            Pelan-pelan zaman bergerak, di abad 18 selera makan dan makanan kita tidak lepas dari pengaruh unsur politik. Kolonialisme di era Deandels dan Raffles misalnya mengubah bagaimana orang jawa mengkonsumsi makanan. Jawa yang begitu kaya makanan, tiba-tiba disempitkan untuk mengkonsumsi makanan tertentu. Selain karena sawah-sawah mereka digunakan untuk menanam komoditi ekspor di Hindia Belanda, pemerintah kolonialisme hanya mempertimbangkan perut kenyang semata, tidak pada aspek kesehatan. Akibatnya rakyat hanya makan seadanya, asal kenyang seperti ketela, umbi-umbian, sagu, dan kentang. Raffles pun tak jauh beda, ia justru mengajak masyarakat kala itu untuk menanam cengkih dan pala.
            Ada yang menarik di abad 19, yakni  dimulainya tradisi cetak dalam urusan makanan. Yakni pembukuan makanan melalui Serat Centhini yang menghimpun khazanah klasik jawa mulai dari islam, sejarah, sampai pada urusan kuliner. Salah satu makanan unik di Serat Centhini adalah sekul lemeng. Makanan ini digambarkan seperti “ketan yang telah ditanak, ayam panggang dicacah diberi santan kental, ditaruh di atas daun kelapa muda yang dianyam berbentuk seperti piring besar, sambal windu dari kemiri linemeng dalam bumbung petung (h.69). Di abad ini pula semakin muncul banyaknya resep-resep masakan yang ikut mempengaruhi bagaimana pembaca dipengaruhi dalam menentukan kualitas rasa kuliner mereka.
            Sementara itu, di awal abad 20, Di era Soekarno muncul istilah “makanan nasional” melalui penulisan buku resep nasional Mustika Rasa. Di tahun 50-60-an itulah terjadi tonggak perubahan dalam hal kuliner. Buku ini kelak merubah konsepsi makanan dan penyajian yang cukup variatif dan lebih banyak menggali resep masakan dari negeri kita sendiri ketimbang menyajikan resep masakan yang akulturatif. Membaca buku ini akan memperkaya pengetahuan kita tentang sejarah kuliner dan makanan yang ada di negeri kita. Harapannya, kesadaran kuliner itu ikut membentuk cara kita di dalam mengolah, memasak, sampai menyajikan aneka kuliner kita menjadi lebih kreatif dan inovatif. Sehingga potensi kuliner kita makin terangkat dalam kancah internasional. Sebab bila ditelisik lebih jauh, ternyata kuliner kita cukup kaya dan memiliki potensi yang besar bila dikemas, dan dikembangkan lebih baik lagi. Hanya dalam urusan penyajian dan pengemasan, kita memang lebih banyak tertinggal dari Thailand maupun Malaysia.


*) Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Kontributor di bukuonlinestore.com
*) Tulisan pernah dimuat di Jawa pos 25 Desember 2016