klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Saturday 2 July 2016

Sastra Dunia dan Kita Dalam Lembaran Esai


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

               Apa yang bisa kita simpulkan dari berlembar-lembar esai yang ditulis oleh penulis di buku Mencari Setangkai Daun Surga(2016)?. Barangkali kita bisa mengatakan dalam sebaris kalimat pendek : Sastra itu penting, dan tak bisa dilepaskan dari peristiwa keseharian. Anton Kurnia bekerja sebagai seorang penerjemah buku-buku sastra dunia di negeri ini. Namanya tak asing bagi pembaca sastra kita. Ia telah menerjemahkan banyak cerpen dan buku dari penulis dunia untuk pembaca Indonesia. Sebagai penerjemah, tentu saja apa yang ia terjemahkan tak bisa berhenti menjadi sebuah buku semata. Ia tak mau hanya sekadar menjadi penerjemah professional seperti kebanyakan orang.

Dari latar belakang itulah barangkali Anton Kurnia menuliskan esai. Ia menautkan peristiwa keseharian, fakta yang ada di negeri ini dengan bacaan yang ia baca. Ia menghubungkan simpul antara novel, cerita pendek, kalimat-kalimat dari pengarang besar dunia untuk dibenturkan kepada realitas yang ada di negeri ini. Kita  bisa menilik judul salah satu esainya  Gabo, Sastra Amerika Latin dan Kita. Kata kita sendiri seperti sebuah ajakan untuk menautkan diri dengan sastra dunia. Ia menyebut Gabo memiliki pengaruh positif terhadap proses kreatif para penulis Indonesia mutakhir yang jejaknya antara lain tampak pada karya-karya Eka Kurniawan, Triyanto Triwikromo, atau AS Laksana(h.129).

Pada kenyataannya memang demikian, sastra kita tak bisa lepas dari keterpengaruhan bacaan dan referensi yang dibaca oleh para sastrawan kita. Mau tidak mau, bacaan itu ikut memberi pengaruh kuat pada sastrawan kita. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer menuliskan pengakuannya  Teknik yang dihadiahkan Steinbeck padaku tampaknya akan menjadi milik tetap Steinbeck menderetkan kata-kata sederhana bermuatan padat, kalimat-kalimat apik dan utuh (h.46).

Kita akan diajak untuk tamasya sekaligus dikenalkan dengan berbagai tulisan dan nilai yang dibawa dari sastrawan dunia seperti Italo Calvino, Orhan Pamuk, Naguib Mahfouz, Nadine Gordimer, Kafka, juga Haruki Murakami dan Mo Yan. Sederet nama sastrawan dunia itu memberikan inspirasi sekaligus menjadi catatan penting bukan hanya karena mereka adalah nama-nama pemenang nobel, tetapi karena daya juang dan karya-karyanya ikut memberikan pencerahan pada banyak orang.

              Buku Mencari Setangkai Daun Surga dibagi menjadi tiga bagian yang pertama Dari Praha Ke Hindia Lama berisi tulisan-tulisan tentang sastra baik dari pengarang dunia sampai pada isu sastra mutakhir di dalam dan luar negeri. Sedangkan di bagian kedua Melawan Lupa, Menolak Mitos berisi tentang isu-isu perbukuan dan sastra kita. Seperti isu tentang kampanye, isu tentang buku kiri, sampai dengan tragedy munir, Ahok dan Jokowi. Isu-isu itu dikemas dengan apik oleh penulis, diendapkan dan dimunculkan kembali dalam bentuk esai yang enak dibaca dan terasa segar. Sedangkan di bagian tiga Rubah Gurun dan hantu Komunis lebih menekankan isu-isu politik seperti korupsi, sepak bola, sensor film, sampai pada persoalan nama orang Indonesia.

Sebagai sebuah kumpulan esai, tentu saja penulis tak bisa menyajikan bahasan yang lebih dalam dan rinci dari tema-tema yang diangkat penulis. Tetapi penulis mencoba untuk mengaitkan apa yang ia tulis dengan referensi dan pelbagai bacaan yang ia baca terutama tentang karya sastra.

Membaca Esai-esai Anton Kurnia di buku ini kita akan mendengarkan pengisahan para tokoh sastrawan dunia dan juga karya-karyanya yang disajikan secara menarik, cerdas dan jernih. Anton mengajak kita merenungi kembali bahwa karya sastra bukan sekadar bacaan semata, ia ikut serta memberi pengaruh bagi kehidupan kita. Satra pada dasarnya bukan membuat orang terlena dengan dunia imajinasinya, tetapi sebaliknya, melalui sastra kita akan melihat dunia di sekeliling kita dengan cara yang lebih arif dan bijak.


*) Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com, Koordinator Pondok Filsafat SOLO, tulisan dimuat di koran madura, 1 juli 2016

Monday 27 June 2016

Merawat ingatan

 

Oleh Arif Saifudin Yudistira
Buku setebal 200 halaman ini mengajak kita menelusuri tempat-tempat di seluruh karesidenan Surakarta, terlebih khusus daerah Solo. Melalui buku ini, kita diajak untuk menziarahi masa lampau, mengingat ulang, melalui kisah dan penuturan dari buku teks maupun dari wawancara.
Sebagai sebuah liputan jurnalistik yang berbau sejarah, tentu saja wartawan tak bisa sekadar berhenti percaya pada narasumber yang diwawancarai. Boleh jadi narasumber hanya dijadikan sebagai saksi hidup, dan untuk mengecek kebenaran informasi dari buku maupun yang berkembang dari masyarakat. Cara kerja yang seperti itu pulalah yang nampak dalam penulisan buku ini.
Maka tak heran dalam menelusuri asal-usul nama satu tempat misalnya, wartawan tak hanya mengutip buku dari Babad, atau bahkan wawancara langsung dengan seorang keturunan keraton untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai cerita di balik nama suatu kampung.
Kita bisa menyimak bagaimana cerita di balik nama Jebres. Dahulu, di masa PB IX berkuasa, ada seorang warga Belanda yang membuka usaha susu sapi untuk memenuhi kebutuhan minuman dan pembuatan keju PB IX. Warga tersebut bernama Yeppers. Yeppers memilih lokasi usaha susu dengan membuka peternakan di daerah sebelah utara Keraton Surakarta di dekat aliran Kali Anyar. “Nama Tuan Yeppers dikenal masyarakat sehingga ketika mereka ingin membeli susu maka langsung menyebut nama Yeppers” ungkap Mufti Raharjo Kurator Museum Radya Pustaka. Maka ketika terbentuk pemukiman penduduk yang semakin ramai, daerah tersebut dikenal dengan nama Yeppers yang diucapkan warga setempat sebagai Jebres (hlm.4).
Membaca buku ini, kita akan banyak menemukan sejarah nama tempat yang ternyata berbeda dengan persepsi publik sebelumnya. Misalnya nama sekarpace, bukanlah diambil dari tanaman pace yang banyak tumbuh di daerah itu, tetapi diambil dari seorang para normal kerajaan yang berasal dari Prancis yang bernama Monsieur Schapentier (hlm.12).
Hampir setiap desa di Solo memiliki cerita tersendiri mengenai asal-usul dari nama itu. Dari rubrik Asale yang hadir di koran Solopos di tiap minggunya, buku ini dikumpulkan dan didokumentasikan. Banyak diantaranya kita bisa menemukan nama desa Jagalan yang dulu merupakan tempat para jagal hewan keraton. Nonongan, yang dulunya merupakan tempat para pembuat kenong, Gladak dulu merupakan tempat hewan berontak.
Dari buku ini, kita juga akan memperoleh informasi mengenai bagaimana kisah kraton Surakarta yang dulunya sebelum seperti sekarang ini adalah rawa-rawa. Kita juga dibawa untuk menelusuri asal-usul kata “pengemis”. Yang menurut cerita orang-orang berasal dari aksi kaum miskin yang sering meminta-minta di hari kamis.
Di bab terakhir buku ini, kita akan mendapati pengisahan tentang asal-usul nama tempat yang tak bisa dilepaskan begitu saja dari mitos. Sebut saja kota Salatiga, yang berasal dari kisah Ki Ageng Pandanaran dengan Sunan Kalijag. Ponorogo yang dulunya merupakan tempat orang bertapa. Kudus misalnya, merupakan kata yang diambil dari Al-Quddus. Jatinom, merupakan tempat Ki Ageng Gribig bersemedi.
Nama-nama dan kisah kampung itu kini barangkali sudah dilupakan oleh generasi kita sekarang. Bila generasi kita ke depan tak mendapati cerita tentang riwayat kampung halamannya sendiri, maka kepada siapakah mereka akan menemukan jawabannya kalau bukan kepada buku.
Buku ini juga menjadi pembuka dan awalan yang bagus bagi orang-orang di luar kota Solo bila baru pertama kali datang ke kota Solo. Dari buku ini, orang luar Solo bisa mengetahui lebih jauh mengenai cerita, sejarah dan riwayat penamaan kampung di kota ini yang kini sebagian besar telah berubah menjadi nama desa. [*]

Oleh: Arif Saifudin Yudistira
Tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
Dimuat di koran madura 17/6/2016 

Tuesday 17 May 2016

Mengurusi Bahasa!!!



  
Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

Urusan bahasa memang cenderung diabaikan oleh sebagian besar orang. Bahasa hanya dianggap sebagai sesuatu hal yang lewat begitu saja. Padahal urusan berbahasa tak bisa dipisahkan dari kehidupan keseharian kita. Mengurusi bahasa itu mengurusi diri, mengurusi kita yang sering dan terlampau kelewat “ngawur” dalam berbahasa.
Barangkali karena itulah, muncul para pemerhati bahasa, peminat kajian bahasa, sampai para pakar bahasa. Seberapa peran mereka dalam menjaga marwah bahasa Indonesia?. Kita tak tahu, yang sering terlihat adalah tatkala para pakar bahasa itu diundang dalam sidang perkara, seperti saat sidang etik Setya Novanto(mantan ketua DPR) misalnya.
Dalam urusan berbahasa, kita sering mengenali dua aspek ini. Antara yang baku dan tak baku, antara yang benar (sesuai dengan kaidah kebahasaan) dan yang salah (tak sesuai dengan kaidah kebahasaan). Sebagai kaum beriman, kita tentu punya pegangan yakni kitab. Sedang sebagai insane berbahasa, tentu saja pedoman kita adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Bisakah kita menyimpulkan bahwa kebenaran berbahasa hanya sebatas teori (wacana). Bagaimana posisi kita selaku seorang pengkhotbah bahasa tatkala kembali kedalam realitas (masyarakat di sekitar kita). Pada akhirnya, kita tak bisa sepenuhnya “kolot“dan “ngotot”.  Mau tak mau kita berkompromi, sebab kita berada pada wilayah kultural yang menggunakan bahasa keseharian bukan bahasa baku.
Lalu dapatkah kita membuat semacam kesepakatan bahwa bahasa Indonesia yang baik dan benar hanya digunakan saat-saat resmi saja?. Tentu saja kita tak bisa berkesimpulan demikian. Inilah salah satu problem bahasa yang paling nampak di sekitar kita. Di satu sisi idealisme berbahasa kita ingin kita tegakkan, sedang di sisi lain, masyarakat di sekitar kita lebih sering dan akrab menggunakan bahasa yang “seenaknya” dalam bahasa jawa “sak karepe dewe”.


Baiklah, mari kita kutip pendapat Soenjono Dardjowidjojo dalam buku bertajuk Bahasa! yang diterbitkan oleh Pusat Data dan Analisa Majalah Tempo (2008) ia menuliskan demikian “bahasa adalah produk sejarah pertumbuhan manusia dan bahasa hidup serta berkembang berdasarkan kreativitas para pemakainya. Selama pemakai ini manusia, selama itu pula ada variasi yang berbeda dari satu manusai ke manusia lain dan tidak perlu risau!”.
Kita berhak untuk menolak pendapat Soenjono, dengan terus menuliskan kegelisahan dan mengurusi bahasa. Pada akhirnya, memang banyak kebrengsekan kita dalam berbahasa yang memang perlu kita koreksi. Seperti buku yang ditulis oleh Encep Abdullah Pontang yang berjudul Cabe-Cabean (2015).
Puluhan esai dihadirkan, dikirim ke koran, berharap mendapati respon publik pembaca. Esai pun terbit dan hadir di koran Pikiran rakyat. Koran ini tentu saja memiliki oplah besar, dan si penulis setidaknya berharap pembaca jadi ikut “waras” saat berurusan dengan bahasa.
Kamus pun dihadirkan, realitas pun dibaca, banyak gejala berbahasa yang cenderung “ngawur”, tak hanya mencontohkan kesalahan ucap, Encep juga banyak menuliskan kesalahan tulis yang sering terjadi di sekitar kita. Seperti kata Ustadz yang seharusnya ustaz, Romadon, yang mestinya ditulis Ramadan, atau bahasa gaul yang sering diucap dan jamak di masyarakat di sekitar kita seperti : wakwaw, Ok, Fix, Woles aja keles, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Penutur bahasa gaul itu rata-rata artis, boleh jadi para artis ini yang perlu kita beri kursus bahasa. Agar bahasa Indonesia tak kian rusak, pasalnya, sebagai public figur, mereka mestinya menggunakan bahasa yang baik dan benar, tetapi sebaliknya, mereka justru berlomba untuk saling mempopulerkan bahasa gaul yang cenderung “ngawur” dan “salah kaprah”.
Sebagai makhluk gelisah, tentu saja kita semua boleh bersepakat dengan ajakan Encep Abdullah untuk terus gelisah dan mengurusi bahasa. Maka terpujilah dan terpilihlah kita yang masih mau bertekun dan mengurusi bahasa. Meski terkadang kita masih perlu mengucap doa dan minta maaf pada Tuhan saat kembali ke realitas masyarakat kita yang jamak, lalu kita ikut serta terjebak menjadi manusia yang lalai dalam berbahasa.


*) Penulis adalah Alumnus UMS, tuan rumah Pondok Filsafat SOLO
           

Wednesday 16 March 2016

Satire Pendidikan Indonesia




Essai-essai di dalam buku ini sejatinya adalah cerminan dan satire pendidikan yang ada di negeri ini. J.Sumardianta justru ingin keluar dari persoalan pelik pendidikan Indonesia yang cenderung masih meributkan kurikulum, UN, dan carut-marut lainnya. Ia ingin bersuara lirih, ia ingin mengkritik dengan cara yang santun. Ia mengajak kita merenung, menyelam dan merenungkan kembali bahwa tugas guru yang berat ini mesti diatasi dengan senyum dan kelakar

Oleh Arif saifudin yudistira*)

            Guru Gokil Murid Unyu. Sekilas judul itu akan membawa kita pada persepsi bahwa gurunya saja gokil, mestinya muridnya lebih gokil. Tapi sebaliknya, gurunya gokil, muridnya masih unyu-unyu. Kalau dalam pikiran saya , guru gokil itu guru yang suka ngelawak, suka lelucon dan tak monoton bila mengajar. Tapi bayangan saya dengan murid “unyu” tak beda dengan murid yang bergaya ala Cherry belle. Pendapat saya ini bisa anda bantah tentunya. Tapi kita akan menemui bagaimana maksud J. Sumardianta ini lebih dalam ketika memasuki essai-essai kontemplatif nan renyah dalam buku ini. Sebagaimana pengakuan penulis buku ini, essai-essai ini adalah cara penulis merefleksikan pengalaman mengajar dan pengalaman hidupnya selama 20 tahun. Mengajar sebagaimana penulis tuturkan sebenarnya adalah cara terbaik untuk belajar lebih jauh. Penulis justru menemukan banyak hal dari mengajar, ia merasa menjadi manusia haus pengetahuan dan keranjingan buku. Melalui buku-buku yang ia baca itu pula, ia tak hanya meraup berkah yang melimpah. Essai-essai yang ia tuliskan di pelbagai media adalah celengan untuk memoles hidupnya. Guru satu ini memang tak seperti Oemar Bakri, tapi guru ini setidaknya adalah guru yang kreatif untuk mengelola hidup dan memanfaatkan semua potensinya untuk belajar. Ia justru lebih mirip murid yang unyu-unyu yang tak memiliki apa-apa, dengan gaya yang menggemaskan.
            Melalui mata pelajaran yang ia ampu yakni sosiologi, ia memasukkan nilai-nilai sosial, kehidupan di luar sekolah, dan masyarakat luas. Melalui forum di sekoahannya ia undang para penulis buku, untuk berbagi. Ia ingin muridnya belajar tidak hanya dari buku tapi juga dari pengalaman para penulisnya langsung. Pembelajaran guru ini pun variatif, ia memadukan bagaimana murid mencintai buku dan ia juga belajar dari murid yang tak doyan buku. Singkatnya, sosok guru ala J. Sumardianta ini adalah antitesa guru masa lampau. Model pembelajaran, komunikasi, kisah-kisah bijaksana dari buku dan dari kebudayaan dari Negara-negara luar kerap menghiasi nuansa kelasnya. Para siswa diajak berimajinasi tentang china, tentang India melalui Rabrindanath Tagore dan tokoh-tokoh dunia lainnya. Kelas yang mengajak muridnya berselancar kemana-mana dan kelas yang mengajari muridnya melalui kisah inilah yang kini langka. Murid-murid sekolah kita memang cenderung jauh dari kisah-kisah. Kebiasaan mendongeng dan bercerita dianggap oleh guru-guru masa kini sebagai kegiatan di luar pelajaran dan diluar pembelajaran. Padahal guru yang tidak bisa memikat dan merayu siswa melalui cerita itulah guru yang masih unyu dan belum jadi guru gokil.
            J. Sumardianta setidaknya adalah salah satu dari guru di Indonesia yang bisa menikmati kegiatannya mengajar. Mengajar bagi J.Sumardianta justru saat-saat menyenangkan baginya sekaligus saat-saat serius. Saat-saat seriusnya adalah ketika ia harus belajar dari siswa yang mengantuk, tidak memperhatikan, malas, dan tak tekun. Ia tak semata-mata menyalahkan muridnya, justru sebaliknya ia malah mengoreksi dirinya dan menginstropeksi dirinya. Apa yang salah dari pembelajaran dan metodenya, dan model yang ia gunakan. Jaman sekarang mencari guru yang demikian memang susah. Guru yang harus mengerti dan memahami model anak-anak yang jadi didikan tablet, i-pad, dan model i-phone dan smart phone. Mereka lebih kreatif dan lebih mengerti dari gurunya, guru sekarang bukan lagi model guru masa lalu yang harus menjadi raja dalam kelas. Justru guru di masa sekarang mesti lebih banyak mendengar, lebih banyak menyerap dan mencercap. Sebagaimana ungkapan Paulo Coelho : “Kaca bilang : sebelum bertindak lihatlah dirimu sendiri, karpet bilang : sujudlah!pengetahuan suka bicara, kearifan cenderung mendengarkan”. Guru gokil mesti banyak mendengar dan memperhatikan muridnya.

Menjadi guru= menjadi murid

            J. Sumardianta mengajarkan menjadi guru sejatinya adalah menjadi murid yang sebenarnya. Sebagaimana yang diungkapkan MH Ainun najib “guru itu kan sebenarnya murid yang sebenarnya, lah orang gurunya satu, muridnya bisa empat puluhan, guru yang untung bisa memperoleh ilmu dari empat puluh orang”. Karena menjadi murid itulah mestinya guru tak boleh lelah, tak boleh merasa puas oleh kerjanya. Bila kita mengenal bahwa belajar itu seumur hidup, guru justru belajar setiap hari melalui berbagai fenomena, percobaan dan eksperimennya yang ia lakukan tiap hari. Sekolah layaknya laboratorium kehidupan bagi guru. Di dalam buku ini J. Sumardianta belajar dari murid yang kehilangan orang tua, kehilangan semangat, sang murid pun sebaliknya ia belajar dari cerita yang diuraikan J.Sumardianta bahwa kehilangan anggota keluarga tak boleh memupus harapan.
            Uraian yang ada dalam Essai-essai yang dibagi menjadi Enam bab ini mengajak kita untuk mengingat bahwa ajaran dan essensi guru tak lain adalah mencintai dan belajar lebih banyak dari murid. Bila guru mau menjadi murid(pembelajar) yang tekun, ia akan dikelilingi berkah dan kebahagiaan yang tak putus. Murid lebih sering mengingat apa yang dilakukan oleh guru daripada pelajaran yang diberikan guru. Oleh karena itu, guru yang menyatu dengan cara belajar murid itulah yang bisa menyesuaikan perkembangan jaman. Bukan sebaliknya guru yang memaksakan model pembelajarannya kepada murid-muridnya.
            Essai-essai di dalam buku ini sejatinya adalah cerminan dan satire pendidikan yang ada di negeri ini. J.Sumardianta justru ingin keluar dari persoalan pelik pendidikan Indonesia yang cenderung masih meributkan kurikulum, UN, dan carut-marut lainnya. Ia ingin bersuara lirih, ia ingin mengkritik dengan cara yang santun. Ia mengajak kita merenung, menyelam dan merenungkan kembali bahwa tugas guru yang berat ini mesti diatasi dengan senyum dan kelakar. Dengan kalimat sederhana Guru Gokil, Murid Unyu inilah ia mencoba menawarkan bagaimana menjadi guru yang lentur di abad teknologis ini. Selamat menyelami!.



*)Penulis adalah Alumnus UMS, Pegiat di Bilik Literasi SOLO

Monday 7 March 2016

Sejarah Islam Puritan dan Perkembangannya


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
     Saat ini, banyak gerakan Islam yang mencoba mengembalikan Islam kepada preseden jaman Nabi dan Rasul mulai marak. Gerakan ini menilai bahwa Islam yang ada saat ini sudah kehilangan ruhnya, sudah rusak. Karena itulah, gerakan ini menilai bahwa apa yang mereka bawa dengan panji-panji Islam puritan itulah yang diyakini kebenarannya. Gerakan Islam puritan ini memiliki sifat keras, kaku dan intoleran. Mereka membawa dalil dan menafsirkan teks secara kaku sebagai legitimasi untuk mengabsahkan dan membenarkan apa yang mereka lakukan. Salah satu contoh gerakan Islam puritan ini yang nampak di eras sekarang adalah ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Gerakan ini mencoba menggali kembali nilai-nilai Islam yang meyakini adanya tanah yang diramalkan akan menjadi tempat kejayaan Islam. Dari keyakinan itulah, mereka mencona mendirikan negara yang diidentikkan dengan negara madinah ala nabi di masa itu. Dengan perekrutan massif, dan melakukan perang, mereka mencoba mendirikan negara madinah ala nabi dulu.
            Perkembangan gerakan Islam puritan saat ini mengalami berbagai modifikasi dan juga evolusi strategi yang lebih terlihat lebih halus. Mereka membuat program dan jaringan yang kuat tak hanya didukung oleh system ekonomi dan pendanaan yang kuat. Tetapi di sisi lain, mereka menampakkan dengan wajah lembut dan politis untuk menggalang dukungan. Maka tak heran, kita bisa melihat adanya gerakan Islam puritan ini terkadang merupakan bentuk persaingan eksistensial. Khaled Aboe El Fadl menyebut dalam buku ini bahwa di awal abad 20, gerakan puritan ini mulai mencari dukungan dan bantuan mulai dari Amerika, untuk mempertahankan eksistensi mereka dari rong-rongan yang mencoba menggulingkan pemerintahan mereka (h.113).
            Gerakan Islam puritan ini tak sekadar membawa narasi teks sebagai dasar, tetapi secara sepihak menggugurkan narasi atau perbandingan teks lain. Klaim kebenaran dari gerakan ini menuntut semacam kesetiaan yang menganggap lawan atau golongan diluar mereka wajib diberantas dan diperangi. Buku Sejarah Wahabi&Salafi (2015) ini mengurai bagaimana sejarah gerakan Wahabi dan Salafi yang semula berseberangan menjadi bergandengan untuk mempertahankan visi mereka. Tetapi, pada perkembangan selanjutnya, gerakan salafi yang dibawa oleh Muhammad Rashid Ridho dan Jamaluddin Al Afghani ini mengalami penyesuaian dan modifikasi yang lentur. Sehingga gerakan purifikasi Islam ini membawa islam yang lebih teduh dan menenteramkan. Gerakan salafi ini kemudian dibawa oleh K.H.Ahmad Dahlan menjadi gerakan berbau social kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui perombakan dan evolusi pemikiran Ahmad Dahlan inilah, kita mengenali islam puritan dengan model Muhammadiyah.
            Tetapi berbeda dengan gerakan Islam puritan yang tak mengenal kompromi dan mediasi. Gerakan Islam puritan ini membawa satu model keyakinan bahwa Islam bisa lebih maju melalui negara (teokrasi). Sistem teokrasi ini kemudian membawa singgungan dan konflik dan terror yang seringkali mengusik eksistensi sebuah negara. Sebagai negara pancasila, negeri ini punya keyakinan dan cara tersendiri dalam menanggapi faham Islam puritan ini. Karena itulah, gerakan Islam puritan yang melawan eksistensi negara dan mengobarkan faham teokrasi ini seringkali dinilai tidak sesuai dengan visi kebangsaan kita.
            Buku Sejarah Wahabi&Salafi (2015) ini juga menjelaskan bagaimana ciri gerakan Islam puritan yang ditengarai berbahaya bagi persatuan dan kesatuan kita. Menurut penulis, kaum puritan membesarkan peran teks dan memperkecil peran aktif manusia yang menafsirkan teks keagamaan (h.98).Lebih lanjut menurut kaum puritan ini, wawasan, estetika, dan pengalaman moral manusia yang menafsir teks dinilai tidak relevan dan tidak berguna.
            Dari ciri-ciri inilah kita bisa memahami bahwa gerakan Islam puritan yang selama ini membawa nama islam tak memahami peran islam sebagai rahmatan lil ngalamiin (rahmat bagi seluruh alam). Selain itu, mereka juga tak menyadari bahwa otoritas tafsir dan preseden-preseden Islam ala nabi yang mereka bawa tanpa pemikiran yang jernih membuat persatuan dan kesatuan umat justru semakin terpecah belah. Gerakan Islam puritan inilah yang kini sedang menyusun kekuatan untuk membangkitkan semangat Islam yang anti kritik. Mereka mengkampanyekan Islam dengan senjata dan perang, kini gerakan mereka lebih halus dan lebih massif. Membaca buku ini, kita semakin mengerti, bahwa pemahaman Islam yang tak menggunakan akal akan membuat kita semakin tak memahami esensi Islam sebenarnya. Dari buku ini, kita semakin bisa mengerti sejauh mana dan seperti apa jenis Islam puritan yang dianggap radikal yang kini marak dan kerap melakukan perekrutan sampai ke negeri ini. Tentu agama Islam bukanlah seperti yang digambarkan sebagaimana yang ada dalam pemahaman kaum puritan yang memaksakan keyakinan dan melakukan kekerasan untuk menjalankan dan memperjuangkan keyakinannya itu. Bukankah Islam kita adalah islam yang toleran, membawa kedamaian dan tak memaksakan keyakinan kita dalam praktek keagamaan?.





*) Penulis adalah Pegiat Tadarus Buku Bilik Literasi SOLO, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
           




Wednesday 24 February 2016

Kisah Pencarian Jati Diri Seniman


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Membaca novel grafis memang menjadi lebih indah daripada membaca novel tanpa sentuhan grafis. Novel grafis mampu memberi sentuhan melalui tatapan visual. Kita tak banyak disuguhi kata-kata, tetapi kita diajak untuk terdiam sejenak menatap dan menyelami gambar. Melalui ilustrasi yang ada di novel grafis, kita bisa menatap tokoh sekaligus menyaksikan bagaimana emosi digambar dan diilustrasikan oleh penulis.
            Buku novel grafis berjudul Mantra (2011), membuat pembaca dibuai dengan coretan- coretan grafis penulis yang dipadu dengan dialog yang tak bertele-tele. Buku karya R.Amdani dan komikus muda Aziza Noor ini mengisahkan tentang tokoh perempuan Ratri seorang pelukis muda berbakat yang berada di bawah bimbingan gurunya Ibu Wid.
            Si tokoh dikisahkan berhasil mengadakan pameran tunggal, dari pameran solo itu pula ia berhasil untuk lebih jauh mengenal pelukis-pelukis pendahulunya. Pameran solonya membawa “nama” nya ikut besar. Tetapi publik yang hadir di pameran itu membuatnya menjadi bimbang dan ragu. Salah satu pengunjung yang datang pun menilai bahwa karyanya masih berada dalam bayang-bayang gurunya “Ibu Wid”.
            Singkat cerita, di tengah kebimbangan dan tantangan untuk membuat karya yang lebih personal dan lebih berkarakter, Ratri membaca buku di rumah temannya. Disana ia membaca buku Mantra Aji Raga Sukma. Setelah membaca mantra itulah, Ratri akhirnya sadar bahwa ia telah berada di Padepokan Tari Sandhikala.
            Di Padhepokan itulah, ia bertemu sosok misterius bernama Rangga. Sosok Rangga yang pandai menari topeng itulah yang akhirnya membawanya menemukan inspirasi dari karyanya kembali. Ketika Ratri sadar, akhirnya ia pun seperti tergerak untuk melukis kembali.
            Di saat itulah, ia mampu melukis sesuatu yang benar-benar lain dari karakter Ibu Wid, gurunya. Di Pameran tunggalnya yang kedua itulah, banyak pujian datang. Di saat itulah, Ratri kembali menemukan jati diri pada karya-karyanya. Kisah ini diakhiri dengan kedatangan Rangga, yang datang ke pameran tunggalnya yang kedua. Tokoh Rangga inilah yang membuat cerita ini nampak menggantung.
            Meski cerita ini begitu ringkas, tetapi sentuhan grafis Aziza Noor membuat cerita ini menjadi lebih hidup. Di halaman depan kita akan menemui pujian dari Fusami Ogi asisten Professor  Chikushi Jogakuen University Japan. Menikmati cerita di novel grafis kolaborasi penulis dan komikus ini membuat kita tercenung dan diajak untuk tak berhenti hingga kisah ini selesai. Dan saya pun senang bisa menuntaskan kisah ini dengan penuh girang.

*) Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com


Monday 22 February 2016

Al-Qur’an Sebagai Penyembuh


 Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Kisah Al-Qur’an sebagai mukjizat memang sudah sering kita dengar. Tetapi, tidak setiap orang mampu mengilhami dan memaknai apa makna dibalik mukjizat Alloh tersebut. Dalam sebuah hadist kita sering mendengar, bahwa al-qur’an dan al-hadist adalah pedoman hidup manusia bila ingin selamat di dunia dan akhirat. Kitab ini pun sudah dikenal kemurniannya semenjak jaman dahulu sampai sekarang, bahkan Tuhan sendiri yang berjanji menjaga kemurniannya. Meski demikian, banyak orang tak faham, dan sering menyalahgunakan fungsi Al-qur’an itu sendiri. Melalui huruf-huruf dalam Al-qur’an, ada banyak orang mempercayai faedah Al-qur’an secara mistis. Mereka mempercayai, dengan ayat-ayat dalam surah Al-qur’an mereka bisa mendapat berkah, mendapat rejeki melimpah dan menolak balak atau musibah. Al-qur’an dalam hal ini pun berubah, ia tak lagi menjadi bacaan, ia kemudian menjadi stiker dan tempelan dalam rumah-rumah mereka untuk mengusir setan. Ia ditempel di tempat-tempat dagang sebagai jimat dan penglaris. Kisah demikian tak susah dijumpai di sekitar kita. Dalam posisi inilah, fungsi Al-qur’an sebagai mukjizat disalahgunakan. Kitab Al-qur’an pada sisi lain, juga digunakan sebagai bacaan yang berlebihan, ada yang menggunakannya sebagai program “One day One juz”. Mereka membaca dan berlomba-lomba satu hari satu juz. Pembacaan Al-qur’an tanpa pemahaman dan pengilhaman saya pikir tak lebih dari sekadar ucapan di mulut semata. Lalu bagaimana memfungsikan Al-qur’an sebagai mukjizat?. Buku Saku Terapi Baca Al-Qur’an(2014) karya Dr. Jamal Elzaky ini membantu kita memahami kembali fungsi Qur’an sebagai mukjizat. Dalam buku ini, al-qur’an memiliki fungsi dan pengaruh tak hanya secara fisik, tetapi juga ruhaniah. Secara fisik, orang yang membaca Al-qur’an akan menyegarkan kembali sel-sel tubuh, menenangkan jantung dan memiliki rangsangan terhadap kulit. Sedangkan bagi janin, Al-qur’an akan membuat janin sehat dan semakin mudah dalam mengenali ayat-ayat qur’an ketika bayi lahir.
Iman
                Al-qur’an tak bisa tidak, ia mesti difahami dengan iman. Karena itulah, Al-qur’an akan berfungsi dengan baik dan memiliki efek bagi pembaca dan pendengarnya yang memiliki iman. Sebagaimana firman Alloh dalam surat Al-isra :82 : “Dan kami turunkan dari Al-qur’an sesuatu sebagai penyembuh dan rahmat bagi orang yang beriman dan Al-qur’an itu tidaklah menambah kepada orang yang dzalim selain kerugian”. Menurut tafsir Ibnu Katsir ayat ini dimaknai bahwa Al-qur’an memiliki kekuatan untuk menghilangkan penyakit hati berupa kemunafikan, keraguan, sikap berlebih-lebihan, dan melampaui batas kepada keburukan. Dari membaca Al-qur’an itulah, hati, yang disentuh, fikiran kita menjadi tenang. Biasanya kita melupakan masalah-masalah duniawi kita. Ruhaniah kita seperti terisikan energy yang menyegarkan dan menenangkan. Karena itulah, al-qur’an menjadi bacaan sekaligus sebagai penyembuh bagi jiwa yang kotor dan tak tenang. Dari membaca nya, kita memiliki efek psikologis yang terasa benar. Melalui lantunan firmanNya, mengilhami isinya, kita diajak untuk meneteskan air mata sebagai tanda bahwa kita tersentuh oleh panggilan dan seruan, kabar gembira dan juga peringatan di dalamNya. Buku ini juga menjelaskan dengan dalil dan hadist shahih fungsi surah-surah pendek seperti Al-Iklas, surah al-baqarah, sampai dengan surah An-nas. Begitu pula fungsi surah Yasin dan Ayat kursi yang sering kita dengar. Surah Yasin memang memiliki efek ketenangan dan menenangkan apalagi tatkala dibacakan ketika orang sedang sakaratul maut. Begitupun dengan ayat kursi, kabar bahwa syaitan akan menjauh dan tak mendekat rumah yang dibacakan ayat kursi adalah benar adanya sesuai dengan hadis Rosululloh. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “jika kau beranjak menujut tempat tidur, bacalahj Ayat Kursi hingga tuntas. Dengan begitu Engkau akan tetap berada dalam penjagaan Alloh hingga pagi hari”. Selain itu, buku ini juga menandaskan pada penelitian para peneliti dibarat yang menyimpulkan bahwa Al-qur’an memiliki pengaruh pada sel-sel, pada air, dan pada lingkungan yang dibacakan Al-qur’an.     Karena itulah, fungsi Al-qur’an sebagai mukjizat tak hanya berlaku bagi kaum muslim dan mukmin semata, tetapi bagi umat manusia. Dengan demikian, Al-Qur’an memang bekal kita untuk mengarungi kehidupan duniawi dan kehidupan akhirat. Qur’an adalah pedoman, ia juga merupakan obat bagi penyakit-penyakit kita, baik jasmaniah maupun ruhaniah. Membacanya membawa kita pada keberkahan dan kebahagiaan, ketenangan jiwa dan ketenteraman.


*) Penulis adalah Santri Tadarus BUKU di BILIK LITERASI SOLO, Pengasuh MIM PK Kartasura   

Sunday 21 February 2016

Cerpen, Helvy dan Dunianya


Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Cerita pendek adalah kehidupan itu sendiri, kehidupan yang pendek. Maka seorang penulis cerita pendek adalah sang sutradara, bisa dikatakan penulis cerita pendek adalah Tuhan bagi tokoh, bagi cerita dan bagi apa yang akan ia tuliskan sebelum menjadi sebuah cerita pendek. Cerita pendek, dalam kesusasteraan Indonesia begitu penting, sebab ia menandakan denyut nafas sastra Indonesia selain novel dan puisi tentunya. Cerita pendek hadir di ruang-ruang seperti Koran dan majalah sastra di Indonesia. Hampir di setiap hari minggu atau di setiap bulan di majalah-majalah sastra kita menjumpai cerita pendek. Setiap penulis cerita pendek tentu memiliki pengalaman dan cirri khas nya masing-masing dalam bercerita. Membaca cerita pendek membuat kita masih bisa membayangkan yang khayali dari sebuah kehidupan. Dari cerita pendek kita tahu, bahwa kehidupan ini melampaui apa yang kita harapkan, atau kadang-kadang malah jauh dari harapan. Helvy Tiana Rosa adalah satu dari sederet penulis cerita pendek di negeri ini. Helvy dikenal sebagai pegiat sastra yang membidani FLP (Forum Lingkar Pena). Kita tahu, semenjak kemunculan FLP, sastra diharapkan menjadi ruang (medium) bagi seorang penulis untuk menyampaikan nilai-nilai(pesan) religiusitas maupun pesan moral yang lebih mendalam. Meski mengalami beberapa kontroversi antara ambiguitas “sastra-islami”, geliat kepenulisan dan literasi dari kelompok ini tak bisa dinafikkan ikut membentuk tradisi kepengarangan di negeri ini. Buku kumpulan cerpen Juragan Haji(2014) ini sebelumnya pernah diterbitkan dengan judul Bukavu(2008).

            Kumcer ini dihadirkan kembali di tahun 2014, enam tahun berselang setelah tahun itu, kita diajak untuk mengingat kembali nama Helvy Tiana Rosa dengan kekhasan cara berceritanya. Cerita-cerita pendek penulis Indonesia memang cenderung mengalami cetak ulang. Tidak hanya kumcer dari Helvy, kumcer Leila S.Chudori, Kumcer Linda Christanty, kumcer dari Eka Kurniawan, dan pengarang Indonesia lain. Helvy memiliki cara bercerita yang liris, puitis, tapi tak picisan. Beberapa cerpen dalam kumcer ini begitu kuat. Ia tak hanya bersinggungan dengan persoalan sejarah, kultur dan juga kehidupan di sekitar kita. Cerpen Darahitam adalah cerpen yang digarap dengan hati-hati dan sungguh-sungguh. Ia tak hanya mengisahkan kegetiran seorang warga Kalimantan, tetapi juga mengisahkan persoalan identitas seorang Madura. Membaca cerpen ini kita seolah diajak untuk melihat lebih dalam persoalan kebangsaan, yang mesti melampaui urusan etnisitas dan kesukuan. Helvy berhasil menjadikan cerpen ini sebagai tanda untuk mengingat dan merenungi sejarah kelam kita. Selain itu kita bisa melihat cerpen Ze Akan Mati Ditembak!. Setali tiga uang dengan cerpen Darahitam ,cerpen ini mengisahkan seorang pemuda yang tak memihak, tak suka perpecahan, tak suka konflik, pada akhirnya harus menanggung akibat dari konflik dan perpecahan di tanah airnya yang sama sekali tak ia inginkan. Cerita ini  berlatar konflik antara Timor-Timur sebelum lepas dari Indonesia. Helvy mengajak kita untuk bersuara dan berimbang memposisikan keberfihakan kita. Dalam ruang konflik dan perpecahan, seringkali kita timpang dan tak adil dalam bersikap. Tampaknya Helvy sadar posisi sebagai seorang cerpenis yang sering diberi cap “islami”. Di kumcer ini, sering kita akan menjumpai kata-kata Alloh, do’a atau rintihan sang tokoh yang dihadirkan Helvy. Saya tak terlalu menggubris perkara itu. Saya akan lebih mengakui Helvy sebagai seorang cerpenis saja, cukup seorang “cerpenis”. Pada cerpennya, kita akan menemukan kisah yang sebenarnya ada di realitas keseharian kita. Kita seperti diajak untuk bersuara dan berada di posisi yang adil. Sebut saja cerpen Lelaki Semesta yang mengisahkan seorang pemuda yang shalih, tiba-tiba harus mendapatkan perlakuan tak adil, dianiaya, dan dikucilkan akibat pemberitaan yang tak benar, akibat ulah pemburu teroris. Pada posisi ini, kita diajak Helvy, untuk melihat dengan lensa lebih besar, bahwa realitas yang selama ini dihadirkan oleh isu terorisme di Indonesia sering tak berimbang dalam pemberitaan.

Sebagai Pengarang

            Helvy sebagai seorang pengarang, pun menuliskan cerita yang tak jauh-jauh dengan kehidupan pengarang. Sebut saja cerpen Pertemuan Di Taman Hening, kita  bisa menyimak kata-kata sang tokoh dalam cerpen tersebut : “Aku tetap menulis. Bukan untuk membantumu atau  keuangan kita, tapi untuk diriku sendiri. Dan kamu, Mas,…., adalah inspirasiku yang tak pernah habis”(h.13). Kalimat ini seolah adalah kalimat penulis sendiri yang menjadikan keluarganya sebagai inspirasinya. Di cerpen Peri Biru kita akan menemukan bahwa dunia penulis yang mengidolakan penulis idolanya. Ini menyiratkan kekaguman Helvy sendiri pada Taufiq Ismail dan Asma Nadia : Aku masih ingin sekolah.Sebentar lagi SMP-ku selesai. Aku ingin kenal Taufiq Ismail dan Asma Nadia. Aku ingin seperti mereka. Dan itu artinya aku harus pintar. Membaca membaca. Menulis menulis.Sekolah!(h.115) Dalam cerpen-cerpennya sekalipun, Helvy begitu jujur dan begitu terus terang mengungkapkan identitasnya.  Helvy sebagai pengarang memang lebih terbuka, jujur dan tanpa menutupi dunia dan kehidupannya sebagai pengarang. Ia mengungkap dan membuka itu dalam cerpen-cerpennya. Cerpen-cerpen yang ditulis Helvy bisa dikatakan memiliki keunikan sendiri-sendiri, tapi menurut saya Helvy lebih berhasil menuliskan cerpen dengan tema bebas ketimbang tema-tema islami. Karena itulah, saya menganggap cerpen Juragan Haji sebagai cerpen yang biasa saja, meskipun diambil sebagai judul kumcer. Helvy sudah menorehkan catatan dan karyanya sebagai cerpenis di negeri ini, entah dengan label apa, setidaknya Helvy sudah menunjukkan cara dia berfihak pada apa yang ia yakini sebagai kebenaran.


*) Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com