klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Tuesday 23 June 2015

Pelajaran Hidup dari Nelayan Tua




The Old Man dan the Sea, mengajarkan kepada kita bahwa prinsip hidup dan kesadaran hidup mesti dipertahankan bahkan sampai tua. Kita bisa belajar dari Santiago tokoh yang dikisahkan oleh Hemingway ini. Barangkali, bila nelayan tua dalam cerita ini masih hidup, tentu ia akan bercerita lebih heroik dibanding dengan novella ini

 
Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Apa yang berharga dari sebuah kisah atau cerita?. Barangkali pertanyaan ini bisa dijawab dengan membaca novella karya Ernest Hemingway ini. The Old Man and The Sea menunjukkan kepada kita betapa kehidupan ini adalah kitab penuh pelajaran. Kisah klasik ini begitu memukau meskipun dibaca berulangkali sampai sekarang. Meskipun cerita ini populer di tahun 1952 dan membawa penulisnya memperoleh hadiah nobel di tahun 1954, tetapi tetap tak menghilangkan pesona kisah ini sampai saat ini. Selain dipuji karena bahasanya yang begitu lugas, pesan dalam kisah ini seperti tak lekang oleh waktu. Kisah ini tak hanya membuka mata kita tentang betapa luas dan dalamnya lautan. Di lautan itu pula berbagai kehidupan terhampar luas. Kita manusia seperti ditantang untuk tak sekadar menaklukkan laut, tetapi kita bisa dan mampu bertahan menghadapi laut. Pada titik terendah dalam hidup kita, kita diajak untuk percaya bahwa ditengah laut dan samudera yang luas, ada tangan Tuhan yang tetap ada. Pada kekuasaan Tuhan itu pula kita ditunjukkan kuasa-Nya, kita manusia tak layak untuk menyombongkan diri.
            Kisah ini dibuka dengan pengalaman seorang tua yang tak mendapatkan ikan hingga delapan puluh empat hari, hingga ia dijuluki sebagai salao bentuk terburuk dari ketidakberuntungan. Tetapi dari ketidakberuntungan itu, ia seperti membaca pesan alam. Ia merenungi kehidupan laut dan makhluk yang ada di sekitarnya. Misal saja burung Tern yang dikatakan oleh Pak Tua sebagai burung gelap yang kecil dan lemah yang selalu terbang, mencari , namun hampir tak pernah menemukan apa yang dicarinya. Ia berpikir, burung-burung memiliki kehidupan yang lebih sulit dibandingkan manusia (h. 36). Ia merasa kehidupan yang dijalani selama ini, selama delapan puluh empat hari tak mendapatkan ikan adalah lebih ringan bila dibandingkan dengan burung Tern yang terbang kesana-kemari menunggu waktu yang tepat bagi ikan yang muncul ke permukaan air laut.
            Kesadaran dan percakapan Pak Tua dengan alam itulah yang kemudian membawa Pak Tua tetap bertahan dan memiliki keyakinan kuat bahwa kelak ia akan berhasil memperoleh ikan. Di tengah kesabarannya yang hampir habis, hampir saja ia menuruti omongan orang-orang mengenai nasibnya, ia pun bergumam : “Aku menjaganya dengan persis. Hanya saja aku tak lagi punya keberuntungan. Tapi siapa tahu?. Mungkin hari ini. Setiap hari adalah hari yang baru. Memang lebih baik kalau beruntung. Tetapi aku lebih suka menjadi tepat. Sehingga saat keberuntungan datang, kau sudah siap”(h. 39-40). Bagi nelayan tua ini, kehidupan yang ia jalani benar-benar keras dan kejam. Di lautan selama delapan puluh empat hari itu, ia mengalami kram, kelaparan, hingga makan daging mentah untuk mengganjal perutnya. Ia pun harus melawan kesepian yang begitu mencekam di tengah lautan yang gelap, ia juga harus melawan kesendirian di tengah lautan.
Rasa keputusasaan terkadang sesekali menyelinap ditengah lautan yang luas. Akan tetapi rasa keputusasaan yang ia alami pun disambut dengan kesadaran akan takdirnya sebagai manusia, sebagai seorang nelayan. Dalam lamunannya ia berbicara “ Mungkin aku seharusnya tak menjadi seorang nelayan, pikirnya. Tapi, itulah tujuan hidupku, untuk itulah aku dilahirkan” (h.63). Tetapi kesabarannya berbuah berkah. Ia pun mendapati ikan yang begitu besar, setelah hari ke delapan puluh lima.
            Di hari kedelapan puluh lima itulah, nelayan tua ini seperti mendapati kegembiraan yang luar biasa, meski ia sadar tenaganya hampir saja habis menghadapi terpaan angin laut dan ujian kelaparan. Setelah mendapatkan ikan besar yang memakan kailnya, ia pun tak berhenti begitu saja. Ia harus menghadapi tekanan dan dorongan kuat dari ikan marlin yang sangat besar. Di tengah usahanya yang semakin gigih itulah, ia kemudian berdo’a pada Tuhan. Ia mengucapkan do’anya “Aku memang tak taat agama”, katanya. “Tapi aku akan mengucapkan sepuluh Bapa Kami dan sepuluh Salam Maria karena aku harus menangkap ikan ini. Aku berjanji akan menempuh perjalanan ibadah ke Virgin of Cobre jika aku berhasil menangkapnya. Itu adalah janjiku”.
            Pada akhirnya Nelayan tua inipun tak mampu untuk membawa ikan besar yang ditangkapnya, ia harus melawan hiu-hiu yang bersiap memangsa ikan tangkapannya. Tetapi, ketika ia melukai dan berusaha membunuh ikan marlin raksasa itu, Pak nelayan tua itu teringatkan akan dosa. Dalam hatinya berkata kau tidak hanya membunuh ikan hanya agar tetap hidup dan untuk menjual makanan, pikirnya. Kau membunuhnya untuk harga dirimu, dan karena kau adalah nelayan. Kau mencintainya saat ia hidup, dan kau mencintainya sesudahnya. Jika kau mencintainya, maka tak berdosa jika membunuhnya” (h.136). Di akhir kisah ini, kita menemukan nelayan tua ini selamat dan mendapatkan perawatan dari anak kecil yang tak sabar mendengarkan kisahnya.  
           The Old Man dan the Sea, mengajarkan kepada kita bahwa prinsip hidup dan kesadaran hidup mesti dipertahankan bahkan sampai tua. Kita bisa belajar dari Santiago tokoh yang dikisahkan oleh Hemingway ini. Barangkali, bila nelayan tua dalam cerita ini masih hidup, tentu ia akan bercerita lebih heroik dibanding dengan novella ini.


*) Pegiat Tadarus Buku Bilik Literasi SOLO ALUMNUS UMS
*) Resensi di muat di SOLO POS 21 juni 2015