klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Sunday 31 January 2016

Catatan Renungan dan Motivasi





Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Media sosial kini tak sekadar menjadi ruang narsisme, tetapi juga sebagai ruang komunikatif yang efektif. Di media sosial itu pula, kita tak hanya menuliskan dan mengungkapkan sesuatu, tetapi juga gagasan dan permenungan. Dalam permenungan itulah, kita bisa menemukan ada motivasi atau motif berbagi. Saya rasa itulah yang kita bisa temukan di buku Celoteh Rumput Liar (2015).
            Buku Celoteh Rumput Liar (2015) ini lahir dari kegelisahan penulis, permenungan dan cara penulis membagi apa yang ia pikirkan dan rasakan. Kita bisa mengutip kalimat puitik berikut : “Meraih langit tidak semudah memandangnya saja/ Mau terbang dengan sayap manusia tidak dibekali dengan sayap/Mau meloncat kaki manusia tak kuat/ Lakukanlah yang bisa sesuai dengan kemampuanmu sebagai manusia “ (h.16).
            Hampir di buku ini, kita akan menemukan tulisan kedua penulis bernada motivasi. Pada kalimat lain yang ditulis oleh Sugeng Riyanto misalnya kita bisa menemukan kalimat bernada permenungan : “kita tidak pernah tahu sejauh mana kaki melangkah/ dan sampai kapan/ tetapi setidaknya kita nikmati setiap langkah kaki itu meski dengan keadaan papun”(h.17).
            Kalimat-kalimat dihadirkan, ungkapan-ungkapan disuguhkan kepada pembaca. Penulis berminat ingin membagi, menyapa kita dengan kata-kata. Begitu banyaknya motivator di layar kaca, tentu akan percuma dan sia-sia bila tak dibukukan dan disuguhkan kepada pembaca.
            Kita akan menemukan kalimat lain yang bernada permenungan dan hasil reflektif dari kisah hidup penulis yang bisa kita ambil hikmahnya. “hidup pada jeruji  masa lalu sama halnya berjalan tanpa arah dan tujuan/ Anda berhak galau / tapi tidak lantas membiasakan hidup dalam gurita masa lalu” (h. 57).
            Melalui buku ini, kita bisa merenungi kembali, menyimak sentuhan perasaan dan kata-kata yang restropektif. Bersama buku ini, kita diajak untuk tak melewatkan yang telah lampau dalam hidup ini. Kedua penulis ini berusaha mengekalkan apa yang telah lampau dan menghadirkannya kepada kita.
            Buku ini tak dihadirkan dengan kalimat menggurui, tetapi dengan kalimat bernada kontemplatif dan reflektif. Buku ini tak lain adalah catatan renungan yang memotivasi kita semua.


*) Penulis adalah Santri Bilik Literasi SOLO, Pengasuh MIM PK kartasura

*) Resensi dimuat pada tanggal 31 Januari 2015 di Kedaulatan Rakyat 

Tuesday 26 January 2016

Bahagia Membaca Karya Sastra





Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Salah satu kelebihan karya sastra adalah membuat batin pembacanya menjadi lebih kaya. Pembaca bisa merasa senang, ikut berempatik, bersimpatik atau bahkan ikut merasakan kesedihan si tokoh yang dikisahkan dalam karya sastra. Pembaca juga diajak menelusuri imajinasi yang coba dihadirkan oleh penulis karya sastra melalui novel, puisi atau cerita pendek.
            Apa yang dirasakan oleh kritikus sastra tak beda dengan apa yang dirasakan pembaca pada umumnya. Yang jadi berbeda adalah tatkala kritikus mesti menelusuri, menjelajahi dan menyibak misteri yang ada di karya sastra. Sehingga apa yang ada di dalam karya sastra bisa secara utuh oleh sang kritikus. Maka tak heran dalam kalangan masyarakat pembaca, kritikus dianggap sebagai seorang yang seram, sekaligus sosok pembawa kejutan. Dianggap menyeramkan karena ia bisa mendedah sampai di relung terdalam karya sastra, sedangkan dianggap sebagai pembawa kejutan karena terkadang kritiknya membuat kita terkejut, terkesima.
            Membaca buku Petualangan Yang Mustahil (2015), kita diajak untuk pelan-pelan menelusuri, menduga-duga, sampai pada kesimpulan yang membuat kita takjub. Melalui pelbagai referensi dan khazanah yang dimiliki oleh kritikus, kita seperti diajak untuk menautkan karya sastra dengan film, teori dan juga pelbagai bacaan yang ada dalam pikiran kritikus.
            Pada puisi Ahda Imran Rusa Berbulu Merah(2014) misalnya, kita diajak untuk membaca dengan konsep mythopoeia yang diartikan sebagai penciptaan mitos, atau dianggap menggemakan kembali mitologi (h.7). Tia juga mengajak kita untuk menyaksikan film Platoon yang dianggapnya menggambarkan belantara rimba yang tak putus-putus menampilkan ular, semburan darah, yang menggambarkan imajinasi visual, hal ini dianggap mirip dengan sajak-sajak Ahda.
            Di esai yang lain, kita juga diajak untuk menelusuri evolusi sajak Taufik Ismail yang bernada kritik dan sindiran kemudian beralih kepada sajak yang restropektif dan bernada kelakar. Kita juga akan menemui bagaimana penulis menyibak pelan-pelan tafsir sajak Afrizal Malna di kumpulan puisinya bertajuk Teman-Temanku dari Atap Bahasa. Yang mengejutkan adalah ketika sajak Afrizal yang biasa ditafsir sebagai sajak berbau urban, kita dikejutkan oleh bagaimana Tia membuat tafsir lain. Ia meneroka sajak Afrizal dianggap bernada sufistik. “Membaca beberapa sajak Afrizal dalam kumpulan “Teman-Temanku dari Atap Bahasa”ini saya merasakan nafas sufistik itu, ruh transendental itu  kembali menghembus sayup-sayup penaka gema musik yang melantun dari jauh. Tidak, bukan berarti Afrizal kembali menggunakan simbol-simbol sajak sufistik konvensional seperti semula, melainkan berhembusnya tenaga transendental itu sebagai “jiwa” dalam beberapa sajaknya”(h.83).
            Melalui 7 esai di buku ini, kita juga akan menemukan bagaimana penulis mengajak kita menyimak tembang yang dihadirkan oleh Iman Budhi santosa dalam buku puisinya berjudul Ziarah Tanah Jawa. Sementara itu, kita juga akan disuguhi bagaimana penulis mengajak kita bertamasya religi bersama sajak-sajak Acep ZamZam Noor. Buku ini ditutup dengan esai yang mencoba meneroka gerak gunung es cerpen Triyanto Triwikromo dalam buku kumcernya Celeng Satu Celeng Semua(2013) dan meneroka novel Lauh Mahfuhz karya Nugroho Sukmanto.
            Sebagai karya kritik sastra yang pernah terbit di media massa, tentu saja kritik sastra yang dihadirkan Tia Setiadi akan terasa biasa. Tetapi bagi pembaca khalayak yang ingin belajar kritik sastra, kumpulan esai ini bisa dijadikan referensi dan gambaran bahwa kritik sastra tak melulu terkesan rumit, dan memusingkan.
            Melalui buku kritik sastra ini, kita justru diajak untuk bahagia, bahagia karena telah membaca dan menelusuri rimba dan berpetualang bersama karya sastra. Membaca karya sastra akan membuat kita takjub dan bahagia, itulah pesan yang ada di buku ini.


*) Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com, Pengasuh MIM PK Kartasura

*) Resensi di muat di SOLO POS Minggu 24 Januari 2016 
           

Yang Lampau dan Yang Pinggir






Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Majalah, berita, ataupun surat kabar terlanjur dianggap sebagai sebuah kebaruan. Yang aktual, yang sekarang tentu menjadi perhatian banyak pihak. Karena itulah, orang jarang menengok apa yang lampau, yang lalu. Untuk itulah, media cetak utamanya majalah atau koran menyediakan ruang untuk sesuatu yang lampau, dan lawas menjadi aktual melalui rubrik : opini di setiap harinya.
            Barangkali disinilah kekuatan esai, ia mampu memadukan antara yang lampau, dan yang sekarang. Antara yang lawas dengan yang baru. Tetapi tak mudah bagi seorang penulis untuk memadukan antara yang lampau, dengan yang sekarang. Orang tak hanya memerlukan referensi berlimpah, tetapi juga memerlukan ketekunan untuk menggarap perpaduan dua hal ini dalam satu esai yang memikat pembaca.
            Diantara sekian penulis indonesia misalnya, kita bisa menyebut GM, Ignas Kleden, atau Seno Gumira Adji Darma. Mereka adalah orang-orang yang tak hanya mengurusi sesuatu yang aktual, yang sekarang, tetapi melalui olah tubuh, pengalaman, dan juga pembacaan mendalam para penulis ini mampu menghadirkan sesuatu yang lampau, yang lawas menjadi suguhan yang memikat.
            Tentu saja kerja penulis yang semacam ini tergolong “minor” dalam jagad kepenulisan di negeri ini. Bandung Mawardi adalah satu dari sekian orang yang mencoba untuk melakukan kerja semacam itu. Melalui ketekunannya membaca dan mengulas buku-buku lawas, kita bisa menemukan bagaimana yang lampau dan yang aktual bisa menjadi satu dalam satu sajian esai.
            Kita bisa menyimak bagaimana BM di esainya yang bertajuk “nisan” cukup menggebrak dengan kalimat pembuka memukau mengisahkan yang aktual : “Para penggerak hak asasi manusia bakal melakukan pemasangan nisan di kuburan massal di Plumbon, Wonosari, Semarang, Jawa Tengah. Selama puluhan tahun, kuburan itu tak beridentitas tapi mengingatkan malapetaka 1965”. Penggunaan kata “bakal” tentu merujuk kepada berita, informasi dan peristiwa yang sedang direncanakan. Kemudian disusul kalimat berikutnya yang mencoba mengajak kita untuk mengingat memori masa silam dengan menggunakan kalimat  pendek  “selama puluhan tahun” dipadukan dengan kalimat akhir yang  “mengingatkan malapetaka 1965”.
            Dari paragraf pembuka ini, kita sudah bisa menebak bagaimana cara penulis mencoba untuk mengaitkan, menautkan yang sekarang, yang aktual dengan yang lampau. Tetapi bukan berarti yang lampau tak memerlukan dalil, atau pengesahan.    Melalui referensi, sumber berita, koran, majalah lawas sampai buku-buku lawas, BM melakukan kerja untuk memberikan pengesahan atas gagasannya. BM mencoba melakukan perunutan, pelacakan dan penyusunan argumentasi yang kokoh di esainya meski terkadang terlampau susah untuk mengajak kita untuk lekas percaya. Kita bisa menilik dari kutipan esainya yang mencoba menautkan antara “nisan dalam latar politik”, dengan “nisan dalam puisi”. “Joko Pinurbo dalam puisi berjudul Sedang Apa (2006) memberi cerita kecil mengenai nisan: Sedang apa, penyair, malam-malam/ masih sibuk menempa dan memahat kata?/ Sedang membuat patung dirimu?// Sedang membuat batu nisan untukmu. Kemunculan “batu nisan” mengesankan ada pengekalan kerja berpuisi. Gubahan puisi diharapkan melampaui usia pujangga, hadir sebagai ingatan atas biografi dan arus perkembangan sastra”(h.10).
            Membaca esai pembuka di buku ini kita jelas tak menemukan aroma yang pas antara perpaduan “nisan berlatar politik” dengan “nisan berlatar puisi” atau biografi penyair. Ajakan dan metafora boleh saja dipaparkan, tetapi tetap membuat pembaca tak lekas percaya. Tarikan antara puisi dengan nisan barangkali muncul karena kerja literasi BM menautkan antara sastra dengan urusan sejarah dan referensi. BM memang mengajak kita tak mengabaikan puisi. Tetapi kemauan BM tentu tak selalu bisa berterima dengan kemauan pembaca. Di sisi ini, barangkali kelebihan sekaligus kekurangannya. 

Pinggir 

               Esai-esai BM memang terkadang membuat kita tergelitik dan membuat kita tersentil. BM tak hanya mengurusi urusan dan tema-tema besar. Ia bergerak mengurusi tema-tema sepele diangkat kepada urusan  tafsir politik, sejarah, sosial, ekonomi dan politik. Meski di mata kita, tema-tema kecil ini suah lazim dan jamak, tapi BM tak lekas menganggap tema-tema ini sebagai tema yang klise apalagi basi.
            Di buku ini misalnya kita bisa melihat tema-tema  remeh disulap menjadi tema yang penting dan aktual di depan kita seperti “beras”, “rezeki”, “pohon”, “lampu”, “foto”, “bulu tangkis” dan lain-lain. Keseriusan menggarap yang pinggir, yang remeh, dan tak banyak digagas orang menjadi cara kerja tersendiri baginya. Bagi BM, tema-tema seperti itulah yang akrab di sekitar kita, tak terlepas dari kehidupan kita, ikut dalam keseharian kita.
            Karena itulah, urusan menulis esai baginya tak beda dengan urusan melakukan aktifitas sehari-hari. Pada sisi itulah, ia tak hendak menyusun sesuatu yang muluk-muluk, mendalam dan serius. Bisa jadi karena itulah kumpulan esai ini diberi judul “cuilan” (potongan). Lalu siapa yang bakal menggenapinya?, tentu BM tak mengurusi itu. Ia hanya hendak mengabarkan, dan menyiarkan bahwa melalui kerja literasi yang ia jalani, ia ingin menghadirkan yang sepotong itu, yang tak utuh itu, meski terkadang terkesan lucu dan wagu. Begitu.


 *) Penulis adalah Pengasuh MIM PK kartasura, Nyantrik di BILIK LITERASI SOLO

Tuesday 5 January 2016

Berita, Cerita, Kita






Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

            Membaca cerita konon bisa dianggap lebih ringan daripada membaca berita. Orang sering beranggapan berita lebih serius, berkaitan dengan fakta dan aktualitas. Tetapi cerita bisa lain. Cerita memberi ruang bagi kita untuk berdiam sejenak, merenung, dan bermeditasi walau sejenak. Tetapi, dunia jurnalisme memberi kemungkinan lain, memberikan ruang bertemu antara berita dan cerita. Apa yang kita kenal sebagai jurnalisme sastrawi memberi ruang pertemuan antara berita dan cerita. Catatan Linda Chirstanty yang diberi judul seekor burung kecil biru di Naha mempertemukan antara dunia berita dan dunia cerita. Masa lalu dan masa depan, yang aktual dan yang lampau seolah bertaut jadi satu jadi sebuah liputan yang kian menarik. Linda mengolah berita tak sekadar pengungkapan kebenaran dan liputan yang actual. Linda mengajak tokoh-tokoh dalam peristiwa dalam berita ikut diberi ruang berbicara mengenai segala hal. Kebetulan di buku ini Linda mencoba menarik benang merah liputannya menjadi tiga hal penting yakni : konflik, tragedy, dan rekonsiliasi. Dari tema itu, Linda tak lupa mencoba menarik garis simpul antara liputannya dengan pengalaman biografisnya. Dari kisah tentang Ayahnya, keluarganya sampai kepada peristiwa di tanah kelahirannya (Aceh).
            Melalui jurnalisme sastrawi, berita tak sekadar menjadi sebuah kisah yang hanya berumur satu sampai lima menit. Tetapi bisa berumur panjang dan tetap menarik dibaca sampai kapanpun. Tak hanya persoalan bahasa yang bermain, judul dan cara bertutur mengisahkan berita jadi sesuatu yang bernilai menjadi salah satu keunggulan dari reportase jurnalisme sastrawi. Melalui liputan-liputan dalam buku ini, kita bisa mengerti bahwa Linda tak mencoba memisahkan jarak antara pembaca dengan apa yang dikisahkannya. Pembaca diajak untuk memasuki latar tempat, bahkan emosi sang tokoh yang dituturkan melalui wawancara dengan sumber berita. Hal itulah yang membuat liputan ini tak sekadar liputan, tetapi ada intimitas dan emosionalitas. Simak saja liputan yang berjudul Berdamai Dari Bawah. Pada liputan ini Linda menyoroti bagaimana proses dan sejarah panjang perjuangan perdamaian yang terjadi di Aceh semenjak era Soeharto sampai sekarang. Kita tahu, perang dan konflik tak bisa disembuhkan begitu saja dalam waktu yang singkat. Karena itulah, para anak muda di Aceh sadar akan konsekuensi itu, dengan membangun museum HAM pertama di Asia tenggara. Melalui sumber berita Linda menuliskan pendapat para anak muda ini yang ingin perdamaian. Tetapi juga dengan dibangunnya museum, orangtua dan semua generasi muda semakin mengerti bahwa perang begitu kejam dan keji. Bahkan tak jarang merenggut korban dari keluarga kita sendiri.
            Membaca buku Seekor Burung Kecil Biru di Naha (2015) kita seolah seperti mendengarkan dan menyimak cerita Linda. Linda mengisahkan orang-orang dengan segala lika-likunya, menyoroti dari sudut paling dalam, menyentuhnya dan mengajak orang-orang itu bersuara. Di dalam buku ini, Linda berperan ganda sekaligus sebagai seorang Wartawan sekaligus Sastrawan. Bahasa Linda begitu memikat, menyentuh dan menyentil. Ia tak hanya bertutur tentang peristiwa perang dan konflik, ada kegetiran yang dikisahkan dari kesepian seorang nenek dan orang-orang jompo, ada kesepian dan keterkucilan seorang waria, sampai pada cerita dan kehidupan perempuan di Jepang yang memilih karier.
           Berita jadi tak sekadar peristiwa di tangan Linda, ia bisa menjadi sebuah kisah yang mengesankan, menyentuh dan membuat kita merenungi makna kejadian-kejadian di sekitar kita. Peristiwa jadi bahan untuk kita insafi, bukan sebagai sesuatu yang berlalu dan menghilang. Tetapi sebagai kisah dan pelajaran bagi nurani dan kemanusiaan kita. Dari berita yang disuguhkan Linda, kita bisa memetik pelajaran berharga dari segala peristiwa di berbagai belahan dunia. Ketidakadilan yang mengatasnamakan suku, ras, agama, maupun ideology akan membuat kita menjadi manusia yang nista. Begitu.

*) Penulis adalah Peresensi Buku, tinggal di kartasura, Sukoharjo