Oleh Arif Saifudin Yudistira
Buku setebal 200 halaman ini
mengajak kita menelusuri tempat-tempat di seluruh karesidenan
Surakarta, terlebih khusus daerah Solo. Melalui buku ini, kita diajak
untuk menziarahi masa lampau, mengingat ulang, melalui kisah dan
penuturan dari buku teks maupun dari wawancara.
Sebagai sebuah liputan jurnalistik yang
berbau sejarah, tentu saja wartawan tak bisa sekadar berhenti percaya
pada narasumber yang diwawancarai. Boleh jadi narasumber hanya dijadikan
sebagai saksi hidup, dan untuk mengecek kebenaran informasi dari buku
maupun yang berkembang dari masyarakat. Cara kerja yang seperti itu
pulalah yang nampak dalam penulisan buku ini.
Maka tak heran dalam menelusuri
asal-usul nama satu tempat misalnya, wartawan tak hanya mengutip buku
dari Babad, atau bahkan wawancara langsung dengan seorang keturunan
keraton untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai cerita di balik
nama suatu kampung.
Kita bisa menyimak bagaimana cerita di
balik nama Jebres. Dahulu, di masa PB IX berkuasa, ada seorang warga
Belanda yang membuka usaha susu sapi untuk memenuhi kebutuhan minuman
dan pembuatan keju PB IX. Warga tersebut bernama Yeppers. Yeppers
memilih lokasi usaha susu dengan membuka peternakan di daerah sebelah
utara Keraton Surakarta di dekat aliran Kali Anyar. “Nama Tuan Yeppers
dikenal masyarakat sehingga ketika mereka ingin membeli susu maka
langsung menyebut nama Yeppers” ungkap Mufti Raharjo Kurator Museum
Radya Pustaka. Maka ketika terbentuk pemukiman penduduk yang semakin
ramai, daerah tersebut dikenal dengan nama Yeppers yang diucapkan warga
setempat sebagai Jebres (hlm.4).
Membaca buku ini, kita akan banyak
menemukan sejarah nama tempat yang ternyata berbeda dengan persepsi
publik sebelumnya. Misalnya nama sekarpace, bukanlah diambil dari
tanaman pace yang banyak tumbuh di daerah itu, tetapi diambil dari
seorang para normal kerajaan yang berasal dari Prancis yang bernama
Monsieur Schapentier (hlm.12).
Hampir setiap desa di Solo memiliki
cerita tersendiri mengenai asal-usul dari nama itu. Dari rubrik Asale
yang hadir di koran Solopos di tiap minggunya, buku ini dikumpulkan dan
didokumentasikan. Banyak diantaranya kita bisa menemukan nama desa
Jagalan yang dulu merupakan tempat para jagal hewan keraton. Nonongan,
yang dulunya merupakan tempat para pembuat kenong, Gladak dulu merupakan
tempat hewan berontak.
Dari buku ini, kita juga akan memperoleh
informasi mengenai bagaimana kisah kraton Surakarta yang dulunya
sebelum seperti sekarang ini adalah rawa-rawa. Kita juga dibawa untuk
menelusuri asal-usul kata “pengemis”. Yang menurut cerita orang-orang
berasal dari aksi kaum miskin yang sering meminta-minta di hari kamis.
Di bab terakhir buku ini, kita akan
mendapati pengisahan tentang asal-usul nama tempat yang tak bisa
dilepaskan begitu saja dari mitos. Sebut saja kota Salatiga, yang
berasal dari kisah Ki Ageng Pandanaran dengan Sunan Kalijag. Ponorogo
yang dulunya merupakan tempat orang bertapa. Kudus misalnya, merupakan
kata yang diambil dari Al-Quddus. Jatinom, merupakan tempat Ki Ageng
Gribig bersemedi.
Nama-nama dan kisah kampung itu kini
barangkali sudah dilupakan oleh generasi kita sekarang. Bila generasi
kita ke depan tak mendapati cerita tentang riwayat kampung halamannya
sendiri, maka kepada siapakah mereka akan menemukan jawabannya kalau
bukan kepada buku.
Buku ini juga menjadi pembuka dan awalan
yang bagus bagi orang-orang di luar kota Solo bila baru pertama kali
datang ke kota Solo. Dari buku ini, orang luar Solo bisa mengetahui
lebih jauh mengenai cerita, sejarah dan riwayat penamaan kampung di kota
ini yang kini sebagian besar telah berubah menjadi nama desa. [*]
Oleh: Arif Saifudin Yudistira
Tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
Tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
Dimuat di koran madura 17/6/2016