klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Monday, 18 May 2020

Kisah Hidup Mangkunegara VI


Oleh Arif Yudistira*)



Mangkunegara VI adalah salah satu dari sekian raja yang moncer hingga kini. Namanya sering disebut karena membawa kemajuan di berbagai bidang di Mangkunegaran. Ia memimpin Mangkunegaran selama 19 tahun 1 bulan 22 hari. Kepemimpinannya berakhir di tahun 1914 masehi ia meminta berhenti dari tampuk kekuasaan pemerintahannya. Lahir di bulan Maret 1857 tanggal 17 di Puro Mangkunegaran. Semenjak kecil dibekali pendidikan yang amat baik. Usia sepuluh tahun ia sekolah di ELS (Europe Lagere School) di Surakarta. Sebelum tamat ia dipindah ke Sekolah  Pamongsiswo milik pemerintah Mangkunegaran sendiri. Ia juga belajar bahasa Belanda di rumah sambil lalu.

Selayaknya pangeran Jawa, ia juga dididik di luar sekolah tentang berbagai keterampilan seperti kesusasteraan dan kebudayaan Djawa, kehalusan budi, tata susila sampai perihal : kebatinan kawidjajan. Ingat cerita tentang Pangeran Mangkunegara VI ini saya jadi ingat temanku kuliah, ia juga konon mewarisi ilmu kebatinan kawidjajan ini. Hal ini juga dikarenakan ibu temanku itu adalah keturunan keraton. Barangkali karena ilmu semacam itu sudah akrab di lingkungan keraton dan bagian dari ciri kejawaan.

Sesuai dengan adat keraton, di usia 16 tahun, ia mulai mengikuti latihan menjadi perdjurit Legiun, dalam golongan infanteri. Hal ini juga diteliti oleh Ann Kumar di bukunya Legiun Mangkunegaran yang meneliti betapa perkasanya prajurit perempuan Jawa di Keraton Mangkunegaran. Sebelum menjadi raja, Mangkunegara VI seperti ditempa baik latihan fisik maupun non fisik. Baik pengalaman maupun melalui pembinaan keterampilan. Hingga kita bisa melirik hasil dari kepemimpinannya selama 19 tahun.

Karena diangkat di masa krisis, ia pun memilih strategi penghemtan anggaran. Semasa dia memimpin, ia memiliki karakter sebagai berikut : bertindak dan berbuat serba sederhana, pertjaja kepada keteguhan batin diri sendiri, menetapi djanji, lumuh lampah lelamisan artinya tak mau berpura-pura, tjermat, teratur dan memegang teguh garis-garis jang sudah ditentukan (h.19).

Salah satu yang dilakukan oleh Mangkunegara VI adalah memperluas pabrik gula Tasik madu dan Tjolomadu. Dalam hal pendidikan, ia berhasil membangun sekolah Pamongsiswa atau setingkat SD. Sekolah dikenal dengan nama HIS, serta anak-anak perempuan diberi nama Sisworini serta mengadakan kursus diwaktu sore.

Dari sisi tata susila, kita melihat ada aturan yang lebih ringan daripada sebelumnya. Misalnya menjederhanakan upatjara, mempertinggi deradjat rakjat dalam upatjara, mempertinggi deradjat rakjat dalam tataran jang sama, menghilangkan djongkok, mengurangi sembah, meniadakan duduk dibawah, dengan menyediakan bangku, dan kursi. 
Selain bab-bab diatas kita disuguhi cerita keberhasilan Mangkunegaran. Perihal kebudayaan diantaranya adalah Mengintensifkan penanggalan, dan kesusasteraan jawa. Mengadakan kursus laku dodok dan perihal leladen (pelajanan). Dalam hal tatanan agama ; menggelar pelatihan kenaiban, menchitankan mengadakan tempat ibadah,  menambah keretanya jenazah. 
Dalam hal pertanian, Mangkunegara VI berhasil memajukan bercocok tanam, serta mengikhtiarkan meringankan beban rakyatnya, serta menyediakan bibit sapi dan kambing yang kemudian diberikan kepada rakyat. 

Di masa kepemimpinan Mangkunegara VI tak hanya pertanian dan peternakan yang dimajukan, dalam bidang kebudayaan dan juga bidang-bidang lainnya pun berkembang maju. Mangkunegara VI juga memiliki watak rendah hati, yang rela untuk tak memakai gelar dan pakaian kebesaran saat keadaan memang tak memungkinkan memakai kendaraan dari kerajaan. Sehingga rakyat pun tak mengenali secara langsung Mangkunegara VI. 

Raja Mangkunegara VI wafat pada tanggal 25 Juni 1928. Ia telah membawa Mangkunegara harum di tanah jawa maupun luar negeri. Di tahun 1898 tepatnya, Mangkunegara VI memperoleh penghargaan dari Puteri Wilheimina sebagai Ridder in de Orde van den Nederlanschen Leeuw, di tahun yang sama juga memperoleh ucapan terimakasih dari pemerintah Hindia Belanda dalam hal memegang keuangan, dan pengamatan-pengamatan oleh Penguasa Gupermen(h.17).
Itulah secuil riwayat Mangkunegara VI yang ditulis oleh R.M.S. Hadisoebroto. 

Buku bersampul mahkota raja bergambar bunga dan padi memang cukup untuk merayu pembaca. Selain itu juga sesuai dengan isinya yang menggambarkan harumnya nama Mangkunegara VI dan identik dengan kemakmuran yang diciptakan oleh Mangkunegaran di masa itu. 


*) Penulis adalah Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola Doeniaboekoe.blogspot.com 


Judul buku  : Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunagoro jang ke VI
Penulis          : R.M.S. Hadisoebroto 
Halaman : 36 halaman 
Penerbit : Stensilan 
Kisah Hidup Mangkunegara VI


Wednesday, 8 August 2018

Berbagi Pengalaman Menjadi Traveler



Oleh Arif Yudistira*)

            Bumi selalu menyuguhkan hal memukau di setiap jengkalnya. Barangkali karena itulah, manusia diberi perintah untuk melihat dan memahami setiap keindahan dan kebesaran Tuhan melalui perjalanan. Seorang pejalan tahu, bagaimana menikmati perjalanan sekaligus menangkap momen di setiap tempat yang ia singgahi. Kita bisa mengenali seorang Bondan Winarno (Almarhum), seorang pakar kuliner, sekaligus seorang petualang tempat dan makanan. Apa yang Bondan alami, boleh jadi membuat iri kita semua. Sebuah pekerjaan enak sekali, makan, pindah tempat, menginap di hotel bintang, tinggal ngoceh sana-sini tentang makanan, dan dibayar lagi.
Trinity, penulis buku perjalanan The Naked Traveler berbagi pengalaman kepada pembaca melalui buku bertajuk 69 Cara Traveling Gratis (2018). Dari pengalamannya menulis blog perjalanan, banyak para pembaca bertanya mengenai bagaimana cara menjadi traveler tapi tidak terkendala urusan biaya yang tak murah. Karena itulah, buku ini seolah menjadi jawaban sekaligus cara penulis berbagi pengalaman mengenai macam-macam pekerjaan yang memungkinkan kita mendapat fasilitas atau menjadi traveler tanpa harus ribet memikirkan biaya.
Ada beragam profesi atau usaha yang disarankan. Dari profesi anggota DPR yang bisa mendapat fasilitas plesir gratis dan sering melancong keluar negeri, sampai dengan asisten rumah tangga orang kaya. Selain kedua profesi itu, ada pula peneliti, wartawan, blogger, sampai dengan official team olahraga. Pekerjaan, rutinitas, serta aktifitas kita sehari-hari kadang membuat kita jenuh. Karena itulah, plesir, atau menjadi wisatawan menjadi kebutuhan psikologi kita untuk mengurangi rasa penat dan kesibukan yang menumpuk.
Pengalaman-pengalaman yang dibagi penulis untuk menjadi traveler gratis benar adanya. Sebut saja bagi seorang staf Asean Games misalnya, selain menginap di hotel berbintang, mereka bisa dapat fasilitas jalan-jalan gratis di negara asean. Teman saya seorang official atlet Asean Games, mendapat fasilitas beragam mulai dari penginapan sampai jalan-jalan waktu di Singapura. Begitu pula tatkala penulis menyebut jurnalis. Teman saya yang menjadi wartawan media wilayah Jawa Tengah bercerita kerap mendapati fasilitas meliput di wilayah Jakarta sampai dengan Papua. Di sela-sela kesibukannya itu pula, ia mendapat fasilitas berkeliling kota sekaligus menjelajahi tempat yang dituju, gratis!.
            Apa yang dikatakan Gratis oleh Trinity bukan berarti sepenuhnya gratis tanpa usaha. Trinity maupun Yasmin menulis di buku ini hampir semua strategi atau cara untuk mendapatkan fasilitas traveling, dimulai dari usaha. Sebut saja saat penulis menyebutkan ;Lomba. “Caranya gimana? Coba asah skill yang kamu punya dan rajin mencari informasi tentang lomba-lomba yang berkaitan. Supaya terus updated dengan berbagai informasi yang berhubungan dengan skill dan minatmu, bergabunglah dengan komunitas terkait dan perluas jaringan di bidang itu.”(h.57).
            Bagi kita yang masih pelajar atau mahasiswa, Trinity punya saran yang pas buat kita bila ingin jadi traveler gratis. Pertukaran Pelajar Luar Negeri adalah salah satu peluang yang bisa diambil agar kita bisa berbagi pengalaman tentang negara luar sekaligus menikmati fasilitas jalan-jalan gratis. Bagaimana caranya?, simak penuturan penulis berikut ini : “Cobalah cek informasi tentang Kennedy-Lugar Youth Exchange and Study Program (KL-YES) di situs yesprograms.org, program Youth For Understanding (YFU) di situs yfu.or.id, dan AFS Intercultural Program di afsindonesia.org atau afs.org.” (h.100).
            Pada prinsipnya, apa yang dibagi penulis di buku ini memerlukan usaha dari kita. Bila ingin gratis mendapatkan fasilitas perjalanan di Indonesia ataupun luar negeri, semua itu tak bakal didapat tanpa usaha. Salah satu usaha kita adalah dengan mengembangkan kemampuan kita dan juga sebanyak mungkin mencari informasi dari setiap peluang yang mungkin. Undian misalnya, bila kita tak banyak mengirim undian berhadiah, tentu mustahil kita menang dan dapat hadiah gratis jalan-jalan keluar negeri.
            Selain bisa mengunjungi tempat indah di berbagai belahan nusantara dan dunia, apa yang dibagi Trinity menambah referensi kita sebagai pembaca dan membuka cakrawala lebih luas tentang cara menjadi traveler. Bagi kita-kita yang tak pengen tahu lebih jauh tentang buku-buku Trinity bisa melengkapi koleksinya dengan membuka link berikut www.bentangpustaka.com


*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Kepala Sekolah SMK Citra Medika Sukoharjo

Judul Buku                 : 69 Cara Travelling Gratis
Penulis                        : Trinity & Yasmin
Tahun Terbit             : Mei 2018
Penerbit                      : B First (PT Bentang Pustaka)
Halaman                     : 146 Halaman
ISBN                            : 978-602-426-096-5
Harga                          : Rp. 79.000,00



           

Monday, 19 March 2018

Pendidikan Dan Life Skil



Oleh Arif Yudistira*)

       Pendidikan pada dasarnya adalah modal penting untuk menghadapi hidup. Dalam hidupnya, manusia selalu belajar terhadap banyak hal. Dari belajar banyak hal itulah, manusia bisa mengatasi segala persoalan hidup. Inilah fungsi pendidikan sejatinya. Ia adalah alat untuk memahami dan mengatasi berbagai persoalan hidup. Ada rentang waktu yang panjang dan berbeda antara generasi sekarang dengan generasi di masa lalu. Di era yang serba cepat ini, anak-anak kita dihadapkan pada tantangan yang lebih berat di satu sisi, tapi di sisi lain ia menikmati kerja keras hasil usaha dari generasi di masa lalu. Tantangan generasi milenial tak sekadar pada persoalan-persoalan teknologi, tapi juga merambah pada persoalan mentalitas dan karakter.
            Buku Strawberry Generation (2017) menghimpun dan mengurai tantangan generasi sekarang dan upaya untuk menemukan solusi terbaik. Generasi sekarang menurut Rhenald tak sekadar memerlukan kecerdasan kognitif dalam menghadapi persoalan hidupnya, tapi juga memerlukan pembelajaran berbasis realita.
            Kita bisa menengok pengalaman Rhenald saat menugaskan mahasiswanya untuk pergi ke luar negeri. Ada yang berusaha sebisa mungkin untuk pergi ke luar negeri dan mengisahkan pengalamannya berhadapan dengan dunia yang asing dan orang asing. Tapi ada pula mahasiswa yang masih mengandalkan orangtuanya. Anak muda yang mengandalkan orangtuanya tersebut adalah cermin dari generasi yang meski pintar, tapi gagap menghadapi realitas.
            Cerdas secara akademik, tapi lemah secara mentalitas dan kesiapan hidup. Pendidikan, selama ini lebih membebani anak-anak kita dengan berbagai beban pelajaran, tapi lupa memunculkan skill atau bakat mereka. Pendidikan yang sebenarnya bukan sekadar pendidikan yang memindahkan isi buku. Menurut UNESCO, bangsa yang maju dan perekonomiannya memiliki daya saing adalah bangsa yang menanamkan life skills sedari dini (h.110).
            Selain persoalan skill yang belum optimal dikembangkan, pendidikan kita juga menghadapi masalah lain. Pendidikan kita masih diskriminatif dan condong menjadikan sekolah sebagai komoditas. Perang harga dimana-mana, terutama untuk memperebutkan murid atau mahasiswa baru (h.224).
            Sekolah-sekolah tak boleh sekadar memompa potensi anak dalam bidang akademik semata, sekolah harus memupuk dan mengembangkan keterampilan hidup mereka. Mereka perlu dilatih menggerakkan tangan, tubuh dan pikiran mereka dengan maksimal. Sehingga kelak mereka dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang harus diselesaikan dengan kecerdasan intuitif mereka dari pengalaman yang mereka dapat.
            Ajaklah anak-anak kita untuk terus melatih nalar dan pikiran mereka. Jangan seperti yang disinggung oleh Rhenald Kasali “Anak-anak yang belum pintar di sekolah belum tentu pintar di masyarakat. Dan kegagalan terbesar justru terjadi pada anak-anak yang dibesarkan dalam persekolahan menghafal. Padahal, memorizing is not a good thinking. Menghafal bukanlah cara berpikir yang baik (h.252).
            Di masa sekarang, anak-anak lebih banyak menghadapi segala sesuatu dengan bantuan teknologi. Keadaan ini mestinya membuat mereka lebih mandiri dan siap menghadapi tantangan. Sayang sekali, yang terjadi justru sebaliknya, orangtua terasa masih ingin membuat kandang bagi seekor elang. Artinya, orangtua justru memberi ruang kepada anak untuk terus tergantung pada orangtua. Tentu saja hal ini makin membuat kemandirian mereka terbelenggu.
            Akibatnya, mereka tak biasa menghadapi kesulitan-kesulitan baru dalam hidup saat orangtua tak ada atau tak dekat dengan mereka. Orangtua perlu mengajari anaknya terbang bak seekor elang yang mengajari anaknya terbang. Mereka perlu diberi ruang belajar lebih banyak. Sedangkan tugas kita hanya sekadar mendampingi dan mengarahkan mereka.
             Buku Strawberry Generation adalah potret dan gambaran persoalan generasi kita saat ini. Membaca buku ini, kita diajak mendidik anak-anak kita menjadi generasi tangguh, tak lembek seperti strawberry.

*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Kepala Sekolah di SMK Kesehatan Citra Medika Sukoharjo

*) Resensi dimuat di Koran Jakarta Edisi 13 Maret 2018 



Keterangan buku


Judul Buku                             : Strawberry Generation
Penulis                                     : Rhenald Kasali, Ph.D.
Penerbit                                   : Mizan
Tahun                                       : September 2017
Halaman                                  : 284 Halaman
ISBN                                         : 978-602-441-029-2