Menyimak novel ini, aku seperti diajari kembali cara
mengenal agama cinta yang kuyakini. Aku seperti menemukan sentuhan ruhaniah,
gairah spiritual, ada ketakjuban yang teramat ketika kita memahami jalan Tuhan.
Kita adalah wakil-Nya, surga dan neraka hanya metafora betapa perih dan
berdosanya kita, atau betapa gembira dan senangnya kita saat mampu menebar
kasih dan kebahagiaan.
Oleh Arif Yudistira *)
Mei seringkali membuat ingatan
sendu, tentang buruh, tentang pendidikan, dan kebangkitan nasional. Hari memang
selalu membawa kenangan tak usai, sejarah berputar seperti juga waktu. Meski kita
tahu, kita sering terlambat mencatat hari ini. Aku tak berharap melupakan hari
ini. Mei mengingatkanku kepada romantisme, kemesraan, dan kebahagiaan. Aku ingin
membawa mei ku ini adalah awal untuk menjejaki hidup. Di akhir mei ini,
tepatnya di tahun 2015, aku mencatatkan diri, membulatkan tekad agar hari-hari
dan kehidupanku ke depan lebih berarti, lebih bermakna dan berguna, untuk
semesta. Aku senang akhirnya menyelesaikan novel 40 Kaidah Cinta karangan Elif
Shafak. Novel ini sudah kubeli lama, tetapi baru bisa kuselesaikan hari ini.
Seperti juga wahyu, barangkali buku memerlukan hati yang lapang dan lempang
untuk kuserap dan kefahami maknanya.
Novel Elif Shafak ini membuatku
tertarik karena sebelumnya aku telah menuntaskan Kimya Sang Puteri Rumi
beberapa waktu yang lalu. Novel ini berkaitan dengan 40 Kaidah Cinta yang
kubaca, aku seperti menemukan Rumi, menemukan Syamz, menemukan Kerra. Keluarga
ini seperti kumasuki satu persatu. Aku memasuki dunia Rumi yang juga murid Al
Farabi. Aku mengingat dialog pendek di novel ini yang mengisahkan ketika Rumi
berjalan di belakang Al-Farabi, ada seorang murid Al-Farabi bertanya : “guru,
siapakah orang ini?”. Maka Al-Farabi dengan pelan menjawab bila aku danau, maka
dibelakangku adalah lautan. Waktu itu, Rumi masih berusia sangat muda dan belia
ia masih berguru kemana-mana mencari ilmu.
Mengingat kehidupan Rumi seperti
mengingat kehidupan seorang yang haus ilmu dan tak berhenti menyampaikannya.
Rumi adalah orang yang dikenal sebagai seorang yang luas dan dalam pemahaman
ilmunya. Orang-orang terpikat terhadap khotbahnya, orang banyak berguru
darinya. Ia seolah milik semua. Tetapi betapapun hebatnya laut, ia memerlukan
pasangan, memerlukan wadah, atau tanah untuk menampung airnya. Barangkali
karena itulah, Syamz hadir sebagai matahari yang melengkapinya. Ia seperti
jalan dan penunjuk bagi Rumi menemukan betapa dahsyatnya agama cinta ini.
Membaca novel ini kita memang
disuguhi kisah tentang Ella yang mendekati keretakan rumah tangganya dan
mempertanyakan makna dan hakikat cinta. Sampai pada akhirnya ia menemukan Aziz
seorang pengarang novel Sweet Blossemy.
Di novel Sweet Blossemy inilah, kita
akan menemukan kisah Rumi, Syamz dan Kerra, hingga Kimya puteri rumi, serta
anak-anak Rumi seperti Aladin dan Sultan Walad. Melalui novel Sweet Blossemy akhirnya Ella mampu
menemukan dirinya. Pada titik kegelisahan dan puncak kehausannya menemukan
cinta inilah, ia seperti menemukan Aziz sebagai teman ruhaniah. Walau pada
akhirnya Aziz ditengah perjalanan
spiritualnya yang sufistik, ia mesti mengalami benar-benar kematiannya secara
nyata, ia seperti menemui takdirnya. Kebahagiaan itulah yang sempat dirasakan
Ella mesti Cuma sebentar.
Ella seperti gambaran seorang
perempuan pasrah, dan lemah, sekaligus tabah. Melalui Ella kita tahu, bahwa
kegembiraan, kemewahan dan semua yang kita dapat, bahkan anak-anak tak melulu
membuat kita bahagia dan menemukan cinta. Ada sisi lain dari hidup yang tak
bisa direngkuh hanya dengan urusan material semata. Kaidah agama cinta ini
mengajarkan kita bahwa manusia memerlukan pencarian untuk menemukan pencapaian
dirinya. Seperti yang tertulis pada kaidah pertama agama cinta berikut : “ Bagaimana
kita memandang Tuhan merupakan cerminan langsung dari bagaimana kita melihat
diri sendiri. Bila Tuhan mengingatkan kita akan ketakutan dan tuduhan
(kesalahan), maka terlalu banyak rasa takut dan bersalah dalam diri kita. Jika
kita melihat Tuhan sebagai Kasih dan Sayang, maka demikian pulalah kita”. Tuhan
adalah jelmaan rasa kasih dan saying, karena itulah keputusasaan, rasa bersalah
dan juga mengutuk diri, saat itulah kita hanya menjadi seorang yang meratapi
kesalahan.
Aku tak mau membandingkan Ella dengan siapapun,
setidaknya banyak orang yang mirip Ella di dunia ini, utamanya sikap-sikap
ketabahan luar biasa, sikap kepasrahan dan perlawanan yang begitu pasif
mengingat apa yang telah ia lihat dengan perselingkuhan suaminya, tetapi ia
hanya memandang dan membicarakan ini lewat mata tajamnya. Bagiku, mata Ella
bukan sekadar mata yang menafsir segala, tetapi mata yang menembus sampai ke
ulu hati, sehingga perihnya pun tak tertahankan. Mata seperti ini adalah mata
batin yang dicapai pula dengan kedisiplinan dan keteguhan batin. Ingat mata
Ella ini saya jadi ingat Syamz dari Tabriz, yang memiliki mata setajam bahkan
lebih tajam dari Ella, hingga di akhir novel ini seolah ada identifikasi antara
aziz sebagai Rumi, atau Ella sebagai Syamz.
Penaklukan yang materi, penghayatan kepada setiap yang
ada di malam dan siang akan membawa seorang bukan hanya pada pencapaian
sufistik, sufisme, tetapi pembawaan kepada dunia batin yang tak terperi. Orang
yang semakin mengerti dan memahami agama dengan semakin dalam, ia akan
menemukan kekosongan, yang tak bisa diungkap dengan kata-kata. Sebab disana ada
samudera yang begitu luas dan dalam, pada titik inilah kita seperti hilang dan
tak kuasa menerima cerminan dan sifat Tuhan.
Aku jadi berfikir, berfikir ala sufistik tak hanya
dilakukan oleh seorang darwis semata, tetapi bagi kita, selaku manusia biasa
pun bisa mencapai pikiran sufistik. Memang tidak mudah bagi kita untuk melakoni
jalan sufisme yang tak setiap orang bisa dengan mulus menghilangkan penutup
atau tirai yang menghalangi kita kepada wajah Tuhan. Sebagai makhluk yang
mewakili sifat-sifat Tuhan itulah, sebenarnya manusia memiliki kedudukan tinggi
dan sempurna.
Kasih sayang, kepedulian dan cara Tuhan menuntun hambaNya
kembali padaNya seringkali tak bisa dilogika dengan akal. Bahkan dengan cara
yang tak sepenuhnya bisa difahami oleh manusia itu sendiri. Kita bisa menyimak
suguhan cerita Si Mawar Gurun pelacur yang kembali kejalan Tuhan, atau kisah
seorang pengemis yang mengutuk dan tak mempercayai Rumi, menuduh Rumi sebagai seorang
yang nyaman dan berkata seenaknya.
Jalan kepada pemenuhan diri, jalan kepada pencapaian
hakiki dan sejati penghayatan agama tidak hanya pada sisi luar ini dijelaskan
oleh Syamz melalui empat tingkatan. Empat tingkatan ini seolah memberikan
gambaran bahwa kesempurnaan pencapaian inilah yang akan menjadikan kita
dituntun dan dibimbing kembali kepada Nya.
Menyimak novel ini, aku seperti diajari kembali cara
mengenal agama cinta yang kuyakini. Aku seperti menemukan sentuhan ruhaniah,
gairah spiritual, ada ketakjuban yang teramat ketika kita memahami jalan Tuhan.
Kita adalah wakil-Nya, surga dan neraka hanya metafora betapa perih dan
berdosanya kita, atau betapa gembira dan senangnya kita saat mampu menebar
kasih dan kebahagiaan.
Solo,
Rabu, 6 Mei 2015
*) Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment