The Old Man dan the Sea, mengajarkan kepada kita bahwa prinsip hidup dan kesadaran hidup mesti dipertahankan bahkan sampai tua. Kita bisa belajar dari Santiago tokoh yang dikisahkan oleh Hemingway ini. Barangkali, bila nelayan tua dalam cerita ini masih hidup, tentu ia akan bercerita lebih heroik dibanding dengan novella ini
Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Apa
yang berharga dari sebuah kisah atau cerita?. Barangkali pertanyaan ini bisa
dijawab dengan membaca novella karya Ernest Hemingway ini. The Old Man and
The Sea menunjukkan kepada kita betapa kehidupan ini adalah kitab penuh
pelajaran. Kisah klasik ini begitu memukau meskipun dibaca berulangkali sampai
sekarang. Meskipun cerita ini populer di tahun 1952 dan membawa penulisnya
memperoleh hadiah nobel di tahun 1954, tetapi tetap tak menghilangkan pesona
kisah ini sampai saat ini. Selain dipuji karena bahasanya yang begitu lugas,
pesan dalam kisah ini seperti tak lekang oleh waktu. Kisah ini tak hanya
membuka mata kita tentang betapa luas dan dalamnya lautan. Di lautan itu pula
berbagai kehidupan terhampar luas. Kita manusia seperti ditantang untuk tak
sekadar menaklukkan laut, tetapi kita bisa dan mampu bertahan menghadapi laut.
Pada titik terendah dalam hidup kita, kita diajak untuk percaya bahwa ditengah
laut dan samudera yang luas, ada tangan Tuhan yang tetap ada. Pada kekuasaan
Tuhan itu pula kita ditunjukkan kuasa-Nya, kita manusia tak layak untuk
menyombongkan diri.
Kisah
ini dibuka dengan pengalaman seorang tua yang tak mendapatkan ikan hingga
delapan puluh empat hari, hingga ia dijuluki sebagai salao bentuk
terburuk dari ketidakberuntungan. Tetapi dari ketidakberuntungan itu, ia
seperti membaca pesan alam. Ia merenungi kehidupan laut dan makhluk yang ada di
sekitarnya. Misal saja burung Tern yang dikatakan oleh Pak Tua sebagai burung
gelap yang kecil dan lemah yang selalu terbang, mencari , namun hampir tak
pernah menemukan apa yang dicarinya. Ia berpikir, burung-burung memiliki
kehidupan yang lebih sulit dibandingkan manusia (h. 36). Ia merasa kehidupan
yang dijalani selama ini, selama delapan puluh empat hari tak mendapatkan ikan
adalah lebih ringan bila dibandingkan dengan burung Tern yang terbang
kesana-kemari menunggu waktu yang tepat bagi ikan yang muncul ke permukaan air
laut.
Kesadaran
dan percakapan Pak Tua dengan alam itulah yang kemudian membawa Pak Tua tetap
bertahan dan memiliki keyakinan kuat bahwa kelak ia akan berhasil memperoleh
ikan. Di tengah kesabarannya yang hampir habis, hampir saja ia menuruti omongan
orang-orang mengenai nasibnya, ia pun bergumam : “Aku menjaganya dengan persis.
Hanya saja aku tak lagi punya keberuntungan. Tapi siapa tahu?. Mungkin hari
ini. Setiap hari adalah hari yang baru. Memang lebih baik kalau beruntung.
Tetapi aku lebih suka menjadi tepat. Sehingga saat keberuntungan datang, kau
sudah siap”(h. 39-40). Bagi nelayan tua ini, kehidupan yang ia jalani
benar-benar keras dan kejam. Di lautan selama delapan puluh empat hari itu, ia
mengalami kram, kelaparan, hingga makan daging mentah untuk mengganjal
perutnya. Ia pun harus melawan kesepian yang begitu mencekam di tengah lautan
yang gelap, ia juga harus melawan kesendirian di tengah lautan.
Rasa keputusasaan terkadang sesekali menyelinap
ditengah lautan yang luas. Akan tetapi rasa keputusasaan yang ia alami pun
disambut dengan kesadaran akan takdirnya sebagai manusia, sebagai seorang
nelayan. Dalam lamunannya ia berbicara “ Mungkin aku seharusnya tak menjadi
seorang nelayan, pikirnya. Tapi, itulah tujuan hidupku, untuk itulah aku
dilahirkan” (h.63). Tetapi kesabarannya berbuah berkah. Ia pun mendapati ikan
yang begitu besar, setelah hari ke delapan puluh lima.
Di
hari kedelapan puluh lima itulah, nelayan tua ini seperti mendapati kegembiraan
yang luar biasa, meski ia sadar tenaganya hampir saja habis menghadapi terpaan
angin laut dan ujian kelaparan. Setelah mendapatkan ikan besar yang memakan
kailnya, ia pun tak berhenti begitu saja. Ia harus menghadapi tekanan dan
dorongan kuat dari ikan marlin yang sangat besar. Di tengah usahanya yang
semakin gigih itulah, ia kemudian berdo’a pada Tuhan. Ia mengucapkan do’anya
“Aku memang tak taat agama”, katanya. “Tapi aku akan mengucapkan sepuluh Bapa
Kami dan sepuluh Salam Maria karena aku harus menangkap ikan ini. Aku berjanji
akan menempuh perjalanan ibadah ke Virgin of Cobre jika aku berhasil
menangkapnya. Itu adalah janjiku”.
Pada
akhirnya Nelayan tua inipun tak mampu untuk membawa ikan besar yang
ditangkapnya, ia harus melawan hiu-hiu yang bersiap memangsa ikan tangkapannya.
Tetapi, ketika ia melukai dan berusaha membunuh ikan marlin raksasa itu, Pak
nelayan tua itu teringatkan akan dosa. Dalam hatinya berkata kau tidak hanya
membunuh ikan hanya agar tetap hidup dan untuk menjual makanan, pikirnya. Kau
membunuhnya untuk harga dirimu, dan karena kau adalah nelayan. Kau mencintainya
saat ia hidup, dan kau mencintainya sesudahnya. Jika kau mencintainya, maka tak
berdosa jika membunuhnya” (h.136). Di akhir kisah ini, kita menemukan nelayan
tua ini selamat dan mendapatkan perawatan dari anak kecil yang tak sabar
mendengarkan kisahnya.
The
Old Man dan the Sea,
mengajarkan kepada kita bahwa prinsip hidup dan kesadaran hidup mesti
dipertahankan bahkan sampai tua. Kita bisa belajar dari Santiago tokoh yang
dikisahkan oleh Hemingway ini. Barangkali, bila nelayan tua dalam cerita ini
masih hidup, tentu ia akan bercerita lebih heroik dibanding dengan novella ini.
*) Pegiat Tadarus Buku Bilik Literasi SOLO ALUMNUS UMS
*) Resensi di muat di SOLO POS 21 juni 2015
No comments:
Post a Comment