Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Rona Merah,tokoh perempuan dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
(2014) mirip tragedy perempuan-perempuan 65, meski Rona Merah gila, tapi ia
menjadi korban hasrat sebagaimana perempuan-perempuan yang dituduh isteri
seorang aktifis PKI. Hasrat, sexualitas dalam hal ini dekat dengan kekuasaan.
Itulah yang coba dijelaskan oleh Eka
Kurniawan meski tak tersirat, samar. Tapi setidaknya di antara kelemahan
dan ketidakberdayaan itu, perempuan mencoba melawan dengan cara lain, yakni
melalui takdir. Takdir, melalui takdir itulah Rona Merah menjawab dengan
caranya yakni dengan kematian dua polisi yang memperkosanya dan memberi hadiah
terindah bagi Ajo Kawir dengan membuat burungnya tidur dalam waktu cukup lama.
Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar
Tuntas (2014) adalah alegori. Ketidaksempurnaan
adalah bagian dari manusia bukan?. Dari Ajo kawir kita melihat
ketidaksempurnaan adalah sebuah usaha untuk melengkapi hidup dengan kasih
sayang. Dan Ajo Kawir walau dengan pahit yang tak terkira, mengantarkan ia pada
perjalanan pencarian spiritual. Sebagaimana kita, yang tak tentu dan tak selalu
menerima apa yang diberikan oleh hidup. Kita masih melakukan pencarian yang
tanpa henti, entah sampai kapan. Dari pencarian itulah kita menemukan yang
tertinggal dan tercecer dari hidup. Dari pertanyaan tentang kejantanan
(membangunkan burung) ia pun menemukan bahwa kejantanan tak selalu harus
diungkap dan diumbar sebagaimana unjuk gigi dalam perihal fisik (berkelahi). Ia
membuat peringatan dan refleksi, bahwa kekurangan adalah bagian dari hidup yang
sempurna, bukan sebaliknya; pincang.
Dan hidup memang selalu tak sempurna. Ia
adalah bagian dari rahasia dan ketetapan yang mau tak mau kita terima sebagai
bagian dari hidup itu sendiri. Apa yang dialami Ajo kawir mengisahkan bahwa
ketidaksempurnaan bukan sesuatu yang layak kita sesali, namun bukan pula
sesuatu yang harus diperjuangkan secara brutal. Sebab hidup juga tak melulu
perkara mengurusi seksualitas.Meski seksualitas adalah bagian dari kesempurnaan
hidup yang melengkapi. Seksualitas tentu menjadi bagian dari hubungan
lelaki dan perempuan. Tapi, tanpa
seksualitas sekalipun, lelaki dan perempuan bisa menjalani hubungan, ikatan dan
juga relasi antara sesamanya secara manusiawi. Disitulah, letak cinta yang
mungkin identik dengan kemustahilan.
Kita jadi ingat novel Garis Perempuan garapan Sanie B.Kuncoro
yang tak menganggap urusan keperawanan sebagai sesuatu yang ganjil dan
mengurangi nilai kemanusiaan kita. Uang miliaran rupiah pun mesti dipertaruhkan
demi urusan hidup dan keberlanjutannya. Resiko harus ditanggung dengan derita,
kepedihan dan pahit tak tertahankan. Ini juga yang dialami oleh Iteung, berkat
kebejatan dan kebengisan sang guru Iteung sendiri, ia mesti memendam hasrat
yang belum waktunya ia tanggung. Ia mesti merelakan keperawanannya direnggut
dan dikorbankan. Hidup mesti berlanjut bukan, Iteung pun mencoba melawan hasrat
dan memori buruknya, tapi tak berakhir hingga akhirnya menemukan Ajo Kawir,
lelaki pujaannya dengan segenap kekurangannya. Pada akhirnya kekurangan tetap
menjadi bagian dari kehidupan bukan?.
Ajo kawir mendefinisikan itu dengan
ketidaklengkapannya sebagai lelaki,sedang Iteung harus menerima dosa dari
ketidakmengertiannya akan tubuhnya sendiri. Sampai akhirnya ia sadar, ia telah
kehilangan keperawanannya. Keduanya dipertemukan dengan caranya sendiri. Meski
harus berpisah dalam rentang waktu yang cukup lama, ia pun disatukan dengan
segala penerimaan. Penerimaan memang susah pada awalnya, tetapi kelak akan
berbuah kebahagiaan sebagaimana akhir kisah dari novel Seperti Dendam,Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014).
Sebagaimana nasib Ajo Kawir, ketidak
sempurnaan itu pun dialami oleh Mono Ompong. Lelaki desa ini pun kelak harus
menanggung malu, karena diolok-olok Tina tokoh pelacur di desanya. Untuk
menebus ini, ia harus menjadi sopir truk yang pemberani, dan memperoleh uang
yang berlimpah untuk menebus penghinaan dan cacian yang ia terima. Ia mesti
menanggung derita pula, bertarung mati-matian dengan Si Kumbang, preman
sekaligus sopir truk yang jauh lebih besar dan lebih sangar dari dirinya.
Tetapi di balik itu, ia telah menerima, ia telah menuntaskan nasibnya. Ia
memenangkan dengan membawa berlimpah uang dan keberuntungan. Nasibnya berputar,
ia ingin kembali pulang dengan membayar rindunya.
Iteung, Kawir dan Mono Ompong sudah
menanggung duka dan deritanya masing-masing dalam lakonnya masing-masing pula.
Tetapi ia menjelaskan kepada kita semua, perjuangan, penerimaan, dan kerelaan
akan nasib serta tak berhenti pada kepasrahan, adalah sikap yang harus kita miliki
dalam hidup kita. Dan hidup bukan perkara singkat, bukan perkara seksualitas
semata. Meski seksualitas dan nasib, harus diterima dengan jalan panjang. Tapi,
Ajo kawir tak mengajari kita urusan seksualitas picisan, Ajo kawir menerima
resiko dari hidup yang ditanggungnya dengan usaha tak henti, dan berakhir
dengan ; pasrah.
Menerima adalah suatu sikap hidup , meski
sulit, dan pahit.
*)Pengajar di MIM Kartasura, Santri BILIK
LITERASI SOLO
No comments:
Post a Comment