"Melalui esai-esainya,
Bandung bak menceritakan novel dengan mengalir. Bahasa-bahasa dalam esainya tak
hendak membeberkan dan menjelaskan panjang seperti dosen di perkuliahan. Ia
hendak memberikan suguhan cerita pada kita di buku ini"
Oleh Arif Yudistira*)
Novel
dibuat oleh manusia mengisahkan manusia. Ada tragedi, ada sejarah, ada pula
kegetiran dan nasib bahagia di dalamnya. Di novel dapat kita temukan filsafat,
sejarah, seni sekaligus. Peradaban kita bermula dari cerita. Novel itu
bercerita. Dari cerita-cerita itu kita bakal diajak menari bersama kata-kata di
dalamnya. Orang bisa tersentuh, hanyut, merenung bersama novel.
Barangkali karena itulah, kesusateraan dunia melirik novel sebagai bagian dari
seni yang patut memperoleh penghargaan nobel. Banyak para nobelis dunia
memperoleh penghargaan dari novelnya. Gabriel Garcia Marquez, Knut Hamsun, Mo
Yan, Orhan Pamuk, sampai dengan Haruki Murakami. Mereka adalah para novelis
yang dibaca oleh banyak pencinta sastra di dunia. Karya-karya mereka setidaknya
ikut memberikan pengaruh, dan perkembangan peradaban kita.
Novel bak cermin yang bisa kita jadikan sebuah hiburan yang meneror. Setidaknya
novel yang baik adalah novel yang mampu meneror pembacanya. Maka sering sekali
novel mengangkat realitas yang terkadang menampar kehidupan di sekitar kita.
Cerita Ernest Hemingway misalnya dengan novelnya Lelaki Tua dan Laut
membuat kita mengerti bahwa menjadi seorang tua tak selalu ringkih, rapuh, dan
lekas putus asa. Tokoh pak tua di novel ini adalah tokoh perkasa, yang
menunjukkan kegagahan seorang tua yang tak mau lekas pudar.
Buku Pemetik Cerita (2017) garapan Bandung Mawardi adalah sehimpun esai
yang mengisahkan novel. Bagi pembaca novel, buku ini bisa dijadikan pembanding
atau sebagai pelengkap sekaligus . Bagi yang belum membaca novel yang
disuguhkan dalam esai-esai ini, tentu bisa menjadi perangsang untuk melanjutkan
membaca atau sebaliknya lekas bosan dan tak percaya terhadap ulasan yang
disuguhkan penulis.
30 novel yang disuguhkan oleh Bandung Mawardi adalah pilihan dari sederet novel
yang ia baca dan resensi. Kita mengingat Bandung Mawardi sebagai penulis
sekaligus pembaca novel. sebelumnya, ia pernah menerbitkan buku esai bertajuk Ralat
: Sastra Bergelimang Makna (2017). Buku ini pernah terbit sebelumnya dengan
judul Satra Bergelimang Makna (2010).
Melalui esai-esainya, Bandung bak menceritakan novel dengan mengalir.
Bahasa-bahasa dalam esainya tak hendak membeberkan dan menjelaskan panjang
seperti dosen di perkuliahan. Ia hendak memberikan suguhan cerita pada kita di
buku ini.
Ada novel garapan Sapardi Djoko Damono berjudul Suti(2015) dan Hujan Bulan
Juni(2015). Ada novel garapan Leila S. Chudori berjudul Pulang (2012), ada pula
novel garapan Afrizal Malna bertajuk Kepada Apakah (2014). Mengisahkan novel
memang memerlukan riwayat penulis, pembacaan terhadap isi novel hingga
menautkan novel dengan jejak bigrafis karya penulis.
Koran
dan Keterbatasan Ruang
Koran memang masih memegang peranan penting dalam memberikan
dan menyebarkan informasi mengenai novel dan buku-buku melalui rubrik yang
dimilikinya. Sayang sekali ruang yang terbatas dari media massa ini ikut pula
membatasi kreatifitas penulis ulasan novel. Ulasan kemudian menjadi terbatas,
sempit, dan tak kritis.
Hal ini juga dialami Bandung Mawardi ketika melakukan pembacaan novel. Resensi
di buku ini pun menjadi contoh bagaimana Bandung memilih untuk tak kritis
menanggapi novel. Ada sebuah upaya untuk mengambil sisi positif novel yang ia
baca, tapi mengesampingkan kritik terhadapnya. Sebut saja di esai berjudul Selera
(Pengisahan)Indonesia (h.159), Bandung hanya menyuguhkan hobi penulis yang
ia nilai mempengaruhi penceritaan novel kuliner di buku Aruna dan Lidahnya
(2014) karya Laksmi Pamuntjak. Ia tak memberikan kritik pada urusan seksualitas
yang dihadirkan di novel itu yang mengganggu pembaca.
Meski begitu, ada pula resensi di buku ini yang memang tak berlebihan sekaligus
imbang menimbang novel. Seperti saat penulis meresensi buku Di Bawah Bendera
Merah (2013) karya Mo Yan. Penulis berhasil menyuguhkan sihir Mo Yan yang
mengumbar cerita biografisnya. Begitu pula saat penulis mengulas Surga
Sungsang karya Triyanto Triwikromo. Penulis memberi judul Kematian,
Kematian, Kematian seperti sama dengan riwayat kematian tokoh-tokoh di
novel ini sekaligus menyingkap aroma sufisme yang dikisahkan dengan gaya
surealis.
Sebagai buku ulasan tentang novel, sebenarnya penulis bisa melakukan revisi,
menilai novel dari berbagai perspektif sebagaimana di buku sebelumnya Sastra
Bergelimang Makna (2010). Akan tetapi penulis sepertinya memilih untuk
tidak melakukan itu.
Buku tak hendak memberikan katalog novel-novel Indonesia yang patut dibaca oleh
pembaca sastra di Indonesia. Buku ini seperti hanya dijadikan monumen sekaligus
pengingat serta dokumentasi pembacaan novel-novel baik dari pengarang dalam
negeri maupun manca negara.
Buku Pemetik Cerita (2017) patut dibaca sebagai sebuah suguhan cerita
tentang pembacaan novel-novel baik dari manca maupun penulis Indonesia. Sebagai
sebuah cerita, tentu saja ia memiliki ruang terbuka untuk kita percaya atau
tidak kita percaya sepenuhnya.
*)
Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Pengasuh MIM PK Kartasura
Keterangan Buku
Judul
buku : Pemetik
Cerita
Penulis
: Bandung Mawardi
Tahun
: 2017
Penerbit
: Bilik Literasi
Halaman
: 167 Halaman
No comments:
Post a Comment