klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Monday 6 November 2017

Pembaca Novel

 


"Melalui esai-esainya, Bandung bak menceritakan novel dengan mengalir. Bahasa-bahasa dalam esainya tak hendak membeberkan dan menjelaskan panjang seperti dosen di perkuliahan. Ia hendak memberikan suguhan cerita pada kita di buku ini"

Oleh Arif Yudistira*)

                Novel dibuat oleh manusia mengisahkan manusia. Ada tragedi, ada sejarah, ada pula kegetiran dan nasib bahagia di dalamnya. Di novel dapat kita temukan filsafat, sejarah, seni sekaligus. Peradaban kita bermula dari cerita. Novel itu bercerita. Dari cerita-cerita itu kita bakal diajak menari bersama kata-kata di dalamnya. Orang bisa tersentuh, hanyut, merenung bersama novel.
                Barangkali karena itulah, kesusateraan dunia melirik novel sebagai bagian dari seni yang patut memperoleh penghargaan nobel. Banyak para nobelis dunia memperoleh penghargaan dari novelnya. Gabriel Garcia Marquez, Knut Hamsun, Mo Yan, Orhan Pamuk, sampai dengan Haruki Murakami. Mereka adalah para novelis yang dibaca oleh banyak pencinta sastra di dunia. Karya-karya mereka setidaknya ikut memberikan pengaruh, dan perkembangan peradaban kita.
                Novel bak cermin yang bisa kita jadikan sebuah hiburan yang meneror. Setidaknya novel yang baik adalah novel yang mampu meneror pembacanya. Maka sering sekali novel mengangkat realitas yang terkadang menampar kehidupan di sekitar kita. Cerita Ernest Hemingway misalnya dengan novelnya Lelaki Tua dan Laut membuat kita mengerti bahwa menjadi seorang tua tak selalu ringkih, rapuh, dan lekas putus asa. Tokoh pak tua di novel ini adalah tokoh perkasa, yang menunjukkan kegagahan seorang tua yang tak mau lekas pudar.
                Buku Pemetik Cerita (2017) garapan Bandung Mawardi adalah sehimpun esai yang mengisahkan novel. Bagi pembaca novel, buku ini bisa dijadikan pembanding atau sebagai pelengkap sekaligus . Bagi yang belum membaca novel yang disuguhkan dalam esai-esai ini, tentu bisa menjadi perangsang untuk melanjutkan membaca atau sebaliknya lekas bosan dan tak percaya terhadap ulasan yang disuguhkan penulis.
                30 novel yang disuguhkan oleh Bandung Mawardi adalah pilihan dari sederet novel yang ia baca dan resensi. Kita mengingat Bandung Mawardi sebagai penulis  sekaligus pembaca novel. sebelumnya, ia pernah menerbitkan buku esai bertajuk Ralat : Sastra Bergelimang Makna (2017). Buku ini pernah terbit sebelumnya dengan judul Satra Bergelimang Makna (2010).
                Melalui esai-esainya, Bandung bak menceritakan novel dengan mengalir. Bahasa-bahasa dalam esainya tak hendak membeberkan dan menjelaskan panjang seperti dosen di perkuliahan. Ia hendak memberikan suguhan cerita pada kita di buku ini.
                Ada novel garapan Sapardi Djoko Damono berjudul Suti(2015) dan Hujan Bulan Juni(2015). Ada novel garapan Leila S. Chudori berjudul Pulang (2012), ada pula novel garapan Afrizal Malna bertajuk Kepada Apakah (2014). Mengisahkan novel memang memerlukan riwayat penulis, pembacaan terhadap isi novel hingga menautkan novel dengan jejak bigrafis karya penulis.
Koran dan Keterbatasan Ruang
                Koran memang masih memegang peranan penting dalam memberikan dan menyebarkan informasi mengenai novel dan buku-buku melalui rubrik yang dimilikinya. Sayang sekali ruang yang terbatas dari media massa ini ikut pula membatasi kreatifitas penulis ulasan novel. Ulasan kemudian menjadi terbatas, sempit, dan tak kritis.
                Hal ini juga dialami Bandung Mawardi ketika melakukan pembacaan novel. Resensi di buku ini pun menjadi contoh bagaimana Bandung memilih untuk tak kritis menanggapi novel. Ada sebuah upaya untuk mengambil sisi positif novel yang ia baca, tapi mengesampingkan kritik terhadapnya. Sebut saja di esai berjudul Selera (Pengisahan)Indonesia (h.159), Bandung hanya menyuguhkan hobi penulis yang ia nilai mempengaruhi penceritaan novel kuliner di buku Aruna dan Lidahnya (2014) karya Laksmi Pamuntjak. Ia tak memberikan kritik pada urusan seksualitas yang dihadirkan di novel itu yang mengganggu pembaca.
                Meski begitu, ada pula resensi di buku ini yang memang tak berlebihan sekaligus imbang menimbang novel. Seperti saat penulis meresensi buku Di Bawah Bendera Merah (2013) karya Mo Yan. Penulis berhasil menyuguhkan sihir Mo Yan yang mengumbar cerita biografisnya. Begitu pula saat penulis mengulas Surga Sungsang  karya Triyanto Triwikromo. Penulis memberi judul Kematian, Kematian, Kematian seperti sama dengan riwayat kematian tokoh-tokoh di novel ini sekaligus menyingkap aroma sufisme yang dikisahkan dengan gaya surealis.
                Sebagai buku ulasan tentang novel, sebenarnya penulis bisa melakukan revisi, menilai novel dari berbagai perspektif sebagaimana di buku sebelumnya Sastra Bergelimang Makna (2010). Akan tetapi penulis sepertinya memilih untuk tidak melakukan itu.
                Buku tak hendak memberikan katalog novel-novel Indonesia yang patut dibaca oleh pembaca sastra di Indonesia. Buku ini seperti hanya dijadikan monumen sekaligus pengingat serta dokumentasi pembacaan novel-novel baik dari pengarang dalam negeri maupun manca negara.
                Buku Pemetik Cerita (2017) patut dibaca sebagai sebuah suguhan cerita tentang pembacaan novel-novel baik dari manca maupun penulis Indonesia. Sebagai sebuah cerita, tentu saja ia memiliki ruang terbuka untuk kita percaya atau tidak kita percaya sepenuhnya.


*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Pengasuh MIM PK Kartasura


 Keterangan Buku


Judul buku           : Pemetik Cerita
Penulis                      : Bandung Mawardi
Tahun                        : 2017
Penerbit                  : Bilik Literasi
 Halaman                 : 167 Halaman


No comments:

Post a Comment