Serat Centhini dikenal sebagai karya sastra masyur yang memuat berbagai ensiklopedia tentang Jawa. Isinya urusan kerajaan, dongeng, berbagai falsafah tentang tanaman dan hewan di Jawa. Ada juga nasihat, pitutur, dan ajaran kebijaksanaan. Sayang, serat Centhini hanya disentuh dan dipelajari sedikit orang. “Kuhitung siapa yang mampu menguraiku: hanya beberapa ratus orang di muka bumi ini (hal 5).”
Centhini sejatinya semacam suluk, tembang yang dikarang pujangga kerajaan yang dihimpun dari khazanah dan pengembaraan panjang. Serat Centhini disusun pujangga Jawa masa itu seperti Sastranagara, Ranggasutrasna, dan Sastradipura. Sebagaimana kisah Centhini yang dilahirkan dari pengembaraan, tokoh-tokoh di dalamnya tak pernah berhenti dari sebuah pengembaraan spiritual.
Generasi saat ini tidak banyak mengenal Centhini, apalagi mereka juga asing dengan bahasa ibu. Centhini jadi semacam karya sastra sepi dan sunyi di ruang perpustakaan. Beruntung Elizabeth D Inandiak menerjemahkan ulang.
Centhini lahir kembali sebagai sebuah serat yang tak hanya ditembangkan dan dipentaskan, tetapi juga menjadi teks dan bacaan sastrawi. Meski menjadi teks sastra, Serat Centhini yang dihadirkan Elizabeth D Inandiak tak mengurangi aura mistisisme ceritanya. Serat Centhini mengajak pembaca berkelana dalam pengembaraan spiritual yang tak terperi. Melalui tokoh-tokohnya, pembaca tak hanya melihat karakteristik sufistik, tetapi juga sifat orang linglung, yang mencari jati diri.
Sebagaimana kisah Cebolang dalam jilid satu sampai empat, dikenal sebagai suluk tembang raras, dia lebih
dikenal sebagai suluk yang penuh cerita erotis. Tetapi di tangan
Elizabeth, penggambaran Cebolang menjadi demikian normal dan tampak
biasa. Hal ini tak hanya karena Cebolang hadir dengan karakter mirip manusia biasa, di mana masa remaja penuh pencarian jati diri dan spiritual. Kisah Cebolang diakhiri dengan pertobatan kembali ke jalan ilahi.
Serat Centhini yang penuh simbol
dan tafsir menjadikannya sebuah suluk yang akrab dan enak dibaca.
Bahasa Indonesia menjadikan anak muda lebih dekat dan membuat Centhini
bisa dijangkau lebih banyak orang sekarang. Serat Centhini hadir dengan kisah wayang, Sunan Giri, perjalanan ke hutan, dan kosmologinya yang membuat pembaca belajar lebih banyak tentang kehidupan.
Menurut Elizabeth, dalam sebuah diskusi di Balai Soedjatmoko (19/9/15), “Serat Centhini mengajarkan untuk tidak lekas menilai seseorang sebelum mati.” Hal ini ada dalam Centhini yang digambarkan melalui tokoh Cebolang yang akhirnya bertobat. Berbeda dengan Amongraga yang semula tokoh sufistik, tetapi berakhir secara menyedihkan tatkala titisannya menjelama sebagai raja dan memerintah membunuh semua kiai.
Semua patut hormat pada upaya Elizabeth membawa Centhini ke Festival buku di Frankfurt, Jerman 2015. Semua berharap
Centhini menemui banyak pembaca agar lebih banyak dimengerti. Melalui
bahasa yang puitik, serta referensi mutakhir dari berbagai buku dan
karya klasik, Elizabeth berhasil menghadirkan kembali tafsir Centhini
masa sekarang. Meski karya ini sudah memasuki usia yang lebih dari
seabad, daya tariknya tetap mempesona.
Dimuat di Koran Jakarta Rubrik Perada 22 September 2015
sangat mengagumkan
ReplyDelete