Oleh Arif Saifudin
Yudistira*)
Berpuisi
ibarat melewati hari-hari yang kita lalui tanpa harus melewatkannya. Penyair
tentu tak ingin melewatkan rutinitas dan aktifitas keseharian menjadi terlewat
begitu saja. Di setiap peristiwa dan keseharian itulah, penyair mencoba untuk
berhenti sejenak dan menuliskannya ke dalam sajak. Bagi seorang penyair, setiap hari adalah
pelajaran yang luar biasa. Menulis puisi berarti mengambil pelajaran dari hari-hari
itu. Seperti itulah yang dilakukan oleh Didik Siswantono. Didik Siswantono
melalui buku puisinya berjudul Pelajaran
Berlari(2015) mengajak kita untuk sejenak merenungi dan memunguti hari-hari
yang sudah terlewati begitu cepat.
Bila judul
puisi ini diberi judul Pelajaran Berlari,
Joko Pinurbo justru menafsirkan bahwa apa yang ditulis oleh Didik
Siswantono adalah sebuah pelajaran berhenti. Sebab Didik tak mau melewatkan
hari-harinya yang cepat dan begitu lekas berubah dalam setiap detiknya
menghilang tanpa bekas. Sebagai seorang yang hidup di perkotaan, amat sangat
sulit menangkap segala yang cepat dan riuh, dan tak tentu. Tetapi, dari
keseharian seorang manusia kota, kita justru diajak untuk berhenti dan mencatat
dari apa yang terlewat itu melalui puisi. Kita bisa mengutip sajak Tidur Siang : Pukul delapan pagi, seorang teman bergegas absen di pinggir pintu/
sambil matanya kuyu : habis macet. Pukul dua belas siang/ piring dan sendok
bersahutan/ mengisi perut teman-teman yang kelaparan. Pukul tujuh malam/ semua
teman berhamburan ke jalan/ mencari angkutan pengantar tidur malam. Pukul
Sembilan malam/ aku termangu/ mengenang semua temanku yang hatinya tak bisa
tidur siang. Sajak ini adalah sajak yang kental dengan aroma rutinitas.
Penyair mencatat peristiwa-peristiwa yang berhubungan dunia kerjanya dengan
tekun. Tetapi ia mencoba memposisikan “aku” sebagai sesuatu yang lain,
mengambil jarak dan mencoba menangkap peristiwa itu untuk kita renungi. Kalimat
‘hatinya tak bisa tidur siang’ menunjukkan bahwa kerja memang sesuatu yang
menguras tak hanya tenaga tetapi juga pikiran, sering kehidupan kota yang
begitu cepat ini, membuat hati kita tak bisa istirahat sejenak untuk
menenangkan diri dan merenungi hari.
Waktu
Pada buku puisi ini, kita akan menemukan
bagaimana waktu begitu diungkap dengan berbagai gambaran. Waktu disini
berkaitan dengan kosmologi seorang pekerja kota yang berada di kota yang selalu
membuat jantung kita terpacu kencang. Kita bisa menengok pada sajak berikut : kita manusia berbaju rapi/ ditakdirkan
berkejaran dalam angka/ terus berlarian melipat waktu/ memacu pagi yang hujan/
menunggangi petang menjadi malam tanpa bintang (Pelajaran Melipat Waktu).
Tentu dari sajak ini kita bisa mengerti bahwa sebagai seorang pekerja, waktu
begitu singkat, sempit dan serasa tak ada hentinya, pagi yang hujan, sampai malam tanpa bintang adalah penggambaran
betapa waktu begitu berlalu tetapi kosong. Di sajak yang lain kental terasa
bahwasannya ada tubuh (fisik) yang tersiksa sekaligus tubuh (jiwa) ikut
merasakan luka, kita bisa menyimak bait berikut : Waktu pernah seperti meja di restoran/ semua hidangan terasa enak
dimakan… lalu waktu seperti pisau di tanganku/ berkilat tajam mengiris nadi
ingatan/ darahnya merobek kenangan(Merobek Kenangan). Waktu seolah
memberangus ingatan, kenangan seolah berlalu begitu saja. Tanpa terasa, ada
kekosongan dan keheningan yang kemudian timbul begitu saja saat menyadari bahwa
waktu telah merenggut sisi ruhani kita.
Ada narasi
dan kritik yang tajam dari cara penyair mengurusi urusan profesi. Baginya,
pekerjaan diam-diam telah membuat orang menjadi begitu lupa akan kesadaran
kemanusiaannya. Kita bisa melihat satire dan kritik itu di bait berikut : Ia datang mencari uang-uang/ sudah kuduga,
ia kelelahan/ tinggal menjadi tua dan sia-sia (Balada Seorang Pegawai).
Kemuliaan hidup memang perlu dikejar,
tetapi bukan menjadi seorang pegawai yang hanya mengejar kenikmatan uang dan
kepuasan material. Kita bisa menemukan bagaimana kritik penyair di sajak
berikut : aku takut menjelma bagai
mereka/ yang rela melipat hati/ demi sesuap simpati (Sajak Kaum Berdasi).
Bagi dunia kerja, simpati dari atasan seringkali dicari dengan berbagai cara,
untuk memuaskan pimpinan atau atasan kita.
Di dunia
profesinya yang ramai, berisik dan begitu cepat, penyair justru ingin menampik
dan membuat afirmasi dengan caranya yang ganjil. Ia justru ingin melawan arus
dan kegaduhan profesi yang penuh dengan kecurangan, intrik, dan juga penuh
dengan sesuatu yang materiil. Penyair menuliskan puisi ini sebagai cara lain
mengungkapkan betapa tak mengenakkannya ikut arus yang dangkal, dan membuat
hidup kita menjadi membosankan. Beginilah do’a penyair ketika menghadapi hari
yang berlari : Musim lari yang
melelahkan/ semoga jadi suluh segala do’a/ jadi silih semua derita. Do’a
itu adalah ungkapan yang bisa dituliskan penyair untuk menghadapi hari yang
kental dengan dunia materiil yang diukur dengan kecepatan harus mencapai lima puluh ribu per hari.
Penyair pun
seperti meringkas ruang dan waktu yang ada dalam profesinya dengan kalimat
singkat yang terdengar tragis. Hidup
adalah pelajaran berlari tanpa henti/ kadang berhenti mengatur hati/ lalu
berlari lagi/ dan berlari lagi/ sampai mati (Pelajaran Hari Ini). Bila
Jokpin memuji puisi Didik menawarkan visi hidup yang dalam dan lebih matang,
saya rasa benar adanya. Dunia profesi tak melulu urusan uang, kekayaan dan
kepuasan. Tapi melalui sajak-sajaknya Didik Siswantono seperti memberi
peringatan bahwa berlari sampai mati hanya meninggalkan luka yang parah dan
mendalam. Disinilah kekuatan sajaknya, ia menangkap nuansa kegetiran dan
tragisme profesi (kerja) dan menyuguhkannya kepada kita. Agar kita tak terlelap
dan terlena mengikuti arus kerja yang demikian parahnya membuat nurani kita
menjadi hilang. Kerja jangan sampai menghilangkan kemanusiaan kita. Itulah
peringatan yang hendak disampaikan oleh penyair melalui buku puisinya.
*) Peresensi Buku dan Pegiat
Tadarus Buku Bilik Literasi, menulis di doeniaboekoe.blogspot.com
*) dimuat di www.bukuonlinestore.com pada tanggal 6 September 2015
No comments:
Post a Comment