klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Wednesday 16 December 2015

Meruntuhkan Mitos Kolonialisme




Oleh Arif Saifudin Yudistira*)

              Sejarah kolonialisme selalu menciptakan mitos.  Terkadang mitos itu lebih dipercaya ketimbang fakta sejarah. Sebut saja ketika Amerika menyerang habis-habisan Vietnam di kala itu, meskipun Amerika sempat kalah, tetapi sampai sekarang Amerika tetap menciptakan mitos sebagai pemenang. Tak beda dengan peristiwa kolonialisme di negeri ini. Bahkan indonesia di jajah Belanda begitu lama pun tetap diyakini hanya 350 tahun saja.
              Pada akhirnya fakta sejarah pun ditulis, disusun dan dikisahkan untuk menerangkan realitas kolonialisme di masa itu. Akan tetapi sebagus apapun fakta sejarah ditulis, kepercayaan orang atau masyarakat kita kepada mitos lebih dominan ketimbang mempercayai fakta sejarah. Begitu pula dengan kisah yang dituturkan oleh Hannigan di bukunya Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa(2015) ini. 
         Buku ini pada dasarnya lahir dari kegelisahan untuk membantah mitos dan kepercayaan orang indonesia sendiri yang sering mengatakan bahwa mereka dengan mudahnya mengatakan :”Pasti akan lebih baik seandainya kami dijajah inggris ketimbang Belanda”.
            Buku yang disusun Hannigan ini tak hanya dikisahkan dengan bahasa yang apik, sehingga membuat kita seperti menonton film dan menyaksikan apa yang ada di masa lampau. Buku ini juga didukung dengan ketekunan menggali referensi yang tajam mengenai apa yang terjadi selama lima tahun penjajahan inggris (1811-1816).
            Hannigan melancarkan kritik tajamnya mengenai betapa Inggris yang dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles ternyata menunjukkan watak yang selama ini tak banyak diketahui oleh kita. Raffles yang dikenal sebagai seorang liberal, visioner, dan ahli botani ternyata jauh beda dengan apa yang digambarkan oleh Hannigan di buku ini.
            Sebelum sampai di Batavia, Raffles lebih dulu tiba di Malaka. Disini ia menyusun dan merencanakan strateginya. “ Pekerjaan paling penting di Malaka menurut Raffles adalah memulai korespondensi dengan istana-istana pribumi Indonesia. Dia yakin bahwa istana-istana pribumi tersebut akan menjadi sekutu alami melawan orang Belanda yang jahat” (h. 59).
           Sesampainya di Batavia, Raffles pun berkorespondensi dengan Sultan badarudin untuk mengusir Belanda dan komunitas Eropa kecil di Palembang. Dengan mengirim senjata dan peralatan perang modern, Raffles pelan-pelan merayu Sultan Badarudin agra mau mengusir Belanda. Di saat itulah Raffles melakukan kejahatan yang keji pada masa ia menginjakkan kaki di jawa.
            Kekejaman Raffles pun berlanjut tatkala ia mengutus utusannya untuk berunding menalkukkan dua kerajaan yakni Surakarta dan Yogyakarta. Surakarta sendiri lebih memilih untuk berkompromi. Sedangkan Yogyakarta sendiri susah sekali untuk ditundukkan dengan cara diplomasi. Akhirnya pada 20 Juni 1812, Yogyakarta berada dalam kekuasaan Raffles. Keraton yang dikenal sebagai simbol kekuasaan Jawa itu pun ditaklukkan dengan cara yang begitu kejam. Bahkan kolonialisme sebelum Inggris tak berani melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh Inggris.
            Penaklukkan Yogyakarta bahkan sampai pada mempermalukan Sultan Hamengku buwono dua untuk mencium kaki Raffles. Barang berharga, dokumen, arsip dan senjata serta pusaka keraton dijarah dan disita Raffles. Barang-barang itu pun menjadi bahan dan kajian Raffles untuk menyusun buku The History of Java yang disanjung-sanjung itu.
            Semasa lima tahun itu pula Raffles pada kenyataannya digambarkan oleh Hannigan sebagai sosok yang tak semulus pendahulunya. Ia harus berhadapan dengan konflik internal antara Crawfurd, dan Gillespie. Disamping itu, Raffles sendiri terlihat kurang tekun dalam urusan keuangan sehingga banyak tanah dijual ke pengusaha tanpa sepengetahuan banyak orang.
            Hal ini kelak mengakibatkan Raffles harus menghadapi kenyataan pahit di akhir kepemimpinannya menghadapi pemberontakan dari rakyat di satu sisi, dan konflik dengan para pegawainya di sisi lain.
            Dengan menempatkan Raffles sebagai tokoh utama di buku ini, Hannigan mencoba untuk menampik apa yang telah ditulis oleh para sejarawan sebelumnya yang menyembunyikan, menutup-nutupi kekejaman dan kekejian Raffles. Buku ini tak hendak mengajukan kesimpulan tentang sosok Raffles, tetapi buku ini memberikan gambaran utuh mengenai bagaimana kekejaman dan kekejian Inggris selama ia berada di wilayah jajahannya utamanya Indonesia.
            Pada akhirnya buku ini hendak membantah mitos kuno tentang pernyataan yang sembrono mengenai “lebih enak dijajah siapa”. Kolonialisme tetaplah sebuah kenyataan pahit yang menyisakan trauma dan tragedi yang akibatnya bisa berdampak lama sebagaimana penyerbuan Inggris ke Yogyakarta yang dampaknya bisa kita lihat sampai sekarang. 


*) Resensi dimuat di SOLO POS Minggu 13 Desember 2015, versi lengkapnya. 

No comments:

Post a Comment