Oleh
Arif Saifudin Yudistira*)
Sejarah kolonialisme selalu menciptakan mitos. Terkadang mitos itu lebih dipercaya ketimbang
fakta sejarah. Sebut saja ketika Amerika menyerang habis-habisan Vietnam di
kala itu, meskipun Amerika sempat kalah, tetapi sampai sekarang Amerika tetap
menciptakan mitos sebagai pemenang. Tak beda dengan peristiwa kolonialisme di
negeri ini. Bahkan indonesia di jajah Belanda begitu lama pun tetap diyakini
hanya 350 tahun saja.
Pada akhirnya fakta sejarah pun ditulis, disusun dan
dikisahkan untuk menerangkan realitas kolonialisme di masa itu. Akan tetapi
sebagus apapun fakta sejarah ditulis, kepercayaan orang atau masyarakat kita
kepada mitos lebih dominan ketimbang mempercayai fakta sejarah. Begitu pula
dengan kisah yang dituturkan oleh Hannigan di bukunya Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa(2015) ini.
Buku ini pada dasarnya lahir dari kegelisahan untuk
membantah mitos dan kepercayaan orang indonesia sendiri yang sering mengatakan
bahwa mereka dengan mudahnya mengatakan :”Pasti akan lebih baik seandainya kami
dijajah inggris ketimbang Belanda”.
Buku yang disusun Hannigan ini tak hanya dikisahkan
dengan bahasa yang apik, sehingga membuat kita seperti menonton film dan
menyaksikan apa yang ada di masa lampau. Buku ini juga didukung dengan
ketekunan menggali referensi yang tajam mengenai apa yang terjadi selama lima
tahun penjajahan inggris (1811-1816).
Hannigan melancarkan kritik tajamnya mengenai betapa
Inggris yang dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles ternyata menunjukkan watak
yang selama ini tak banyak diketahui oleh kita. Raffles yang dikenal sebagai
seorang liberal, visioner, dan ahli botani ternyata jauh beda dengan apa yang
digambarkan oleh Hannigan di buku ini.
Sebelum sampai di Batavia, Raffles lebih dulu tiba di
Malaka. Disini ia menyusun dan merencanakan strateginya. “ Pekerjaan paling
penting di Malaka menurut Raffles adalah memulai korespondensi dengan
istana-istana pribumi Indonesia. Dia yakin bahwa istana-istana pribumi tersebut
akan menjadi sekutu alami melawan orang Belanda yang jahat” (h. 59).
Sesampainya di Batavia, Raffles pun berkorespondensi
dengan Sultan badarudin untuk mengusir Belanda dan komunitas Eropa kecil di
Palembang. Dengan mengirim senjata dan peralatan perang modern, Raffles
pelan-pelan merayu Sultan Badarudin agra mau mengusir Belanda. Di saat itulah
Raffles melakukan kejahatan yang keji pada masa ia menginjakkan kaki di jawa.
Kekejaman Raffles pun berlanjut tatkala ia mengutus
utusannya untuk berunding menalkukkan dua kerajaan yakni Surakarta dan
Yogyakarta. Surakarta sendiri lebih memilih untuk berkompromi. Sedangkan
Yogyakarta sendiri susah sekali untuk ditundukkan dengan cara diplomasi.
Akhirnya pada 20 Juni 1812, Yogyakarta berada dalam kekuasaan Raffles. Keraton
yang dikenal sebagai simbol kekuasaan Jawa itu pun ditaklukkan dengan cara yang
begitu kejam. Bahkan kolonialisme sebelum Inggris tak berani melakukan
sebagaimana yang dilakukan oleh Inggris.
Penaklukkan Yogyakarta bahkan sampai pada mempermalukan
Sultan Hamengku buwono dua untuk mencium kaki Raffles. Barang berharga,
dokumen, arsip dan senjata serta pusaka keraton dijarah dan disita Raffles.
Barang-barang itu pun menjadi bahan dan kajian Raffles untuk menyusun buku The History of Java yang
disanjung-sanjung itu.
Semasa lima tahun itu pula Raffles pada kenyataannya
digambarkan oleh Hannigan sebagai sosok yang tak semulus pendahulunya. Ia harus
berhadapan dengan konflik internal antara Crawfurd, dan Gillespie. Disamping
itu, Raffles sendiri terlihat kurang tekun dalam urusan keuangan sehingga
banyak tanah dijual ke pengusaha tanpa sepengetahuan banyak orang.
Hal ini kelak mengakibatkan Raffles harus menghadapi
kenyataan pahit di akhir kepemimpinannya menghadapi pemberontakan dari rakyat
di satu sisi, dan konflik dengan para pegawainya di sisi lain.
Dengan menempatkan Raffles sebagai tokoh utama di buku
ini, Hannigan mencoba untuk menampik apa yang telah ditulis oleh para sejarawan
sebelumnya yang menyembunyikan, menutup-nutupi kekejaman dan kekejian Raffles.
Buku ini tak hendak mengajukan kesimpulan tentang sosok Raffles, tetapi buku
ini memberikan gambaran utuh mengenai bagaimana kekejaman dan kekejian Inggris
selama ia berada di wilayah jajahannya utamanya Indonesia.
Pada akhirnya buku ini hendak
membantah mitos kuno tentang pernyataan yang sembrono mengenai “lebih enak
dijajah siapa”. Kolonialisme tetaplah sebuah kenyataan pahit yang menyisakan
trauma dan tragedi yang akibatnya bisa berdampak lama sebagaimana penyerbuan
Inggris ke Yogyakarta yang dampaknya bisa kita lihat sampai sekarang. *) Resensi dimuat di SOLO POS Minggu 13 Desember 2015, versi lengkapnya.
No comments:
Post a Comment