Oleh
Arif Yudistira*)
Jawa tak selalu identik dengan solo,
atau jawa tengah. Jawa, adalah keseluruhan, baik jawa timur maupun jawa barat.
Baik di keraton maupun di kalangan rakyat. Baik di pegunungan maupun dipesisir.
Baik di kalangan raja maupun kawula. Di dalam dunia yang serba kompleks itulah,
ada nilai-nilai jawa. Dan tentu saja setiap orang, setiap kalangan berhak
menafsirkan tentang bagaimana mereka memaknai jawa.
Jawa juga tak melulu dimunculkan
dalam simbol-simbol kaku seperti wayang yang mengenal pakem atau aturan. Jawa
juga bisa ngeyel atau membangkang.
Jawa juga bisa “nakal”. Kalau wayang hanya menuruti pakem semata, tentu saja
wayang tak bakal berkembang. Ada wayang suket
kreasi almarhum Slamet Gundono, ada wayang kampung sebelah karya Ki Jlitheng
Suparman. Kedua jenis wayang itu adalah wayang yang memadukan yang modern
dengan yang lama. Ia berhasil membuat jawa tetap sesuai dengan laju
perkembangan zaman.
Suara itulah yang hendak diwartakan
dibuku Triyanto Triwikromo berjudul Jungkir
Balik Jagat Jawa (2016). Orang Jawa tak bisa tidak harus menyesuaikan
dengan zaman. Anak cucu kita, tidak bisa sepenuhnya menangkap kejawaan yang
kita pahami. Barangkali jawa tidak selalu bisa ditemukan di tanah jawa. Orang
bisa meresapi nilai-nilai, serta petuah orangtua kita ketika kita tak ada di
tanah jawa. Ketika kita tak ada di Indonesia, kita justru merasakan bahwa jawa
hadir di dalam diri kita. Pengalaman itu juga dialami oleh Maria Hartiningsih
yang menerbitkan buku berjudul Jalan
Pulang (2017). Ia justru menemukan Jawa seperti yang ibunya nasehatkan
justru terasa intim saat ia menziarahi Santiago.
Triyanto Triwikromo menelisik dan
membaca ulang dari referensi para indonesianis juga referensi klasik yang
berkaitan dengan Jawa serta melakukan pembacaan ulang tentang Jawa. Jungkir
balik, begitu kata Triyanto, di dalam dunia Jawa, di dalam kejawaan kita,
terkadang kita menempati berbagai posisi seperti semar yang konon samar. Semar
menempati kawula, tetapi juga menduduki sebagai dewa.
Begitu pula saat Jawa menghadirkan
satu pelajaran berharga dari kisah yang dihadirkannya melalui perang
Bharatayuda. Di esainya bertajuk “Telanjang” Triyanto mengawali dengan kutipan
menarik “Suatu kali Goenawan Mohamad bertanya, manakah yang lebih pedih : Drupadi
yang dipermalukan di balairung perjudian oleh Dursasana ataukah Dursasana yang
darahnya ditenggak oleh Bima? (h.176). Esai ini tak hendak mempertanyakan
bagaimana nilai sebuah perang, tetapi esai ini hendak menghadirkan Jawa saat
ada peribahasa Jawa : Ajining raga
gumantung saka busana (harga seseorang tergantung dari busana). Drupadi
pada akhirnya tak bisa ditelanjangi, dan ia menunjukkan kalimat Jawa tadi.
Ada ajakan untuk menengok khazanah
klasik ditafsir dengan keadaan sekarang. Ada seruan untuk menengok Jawa tak
selalu dari sudut pandang masa lampau. “Saya membayangkan dalam sastra Jawa
yang gaul akan muncul teenlit atau chicklit berbahasa Jawa atau bernuansa
kejawaan yang kental. Dalam teks mereka, tak lagi muncul lu gue yang sangat mbetawi, tetapi inyong, ingsun, aku, kowe, gedhe, banget, abot, pisan, dan
idiom-idiom Jawa yang tak kalah unik” (Jawa Gaul, h.206).
Upaya untuk mengajak orang kembali
kepada Jawa, tak selalu dengan menyerukan untuk belajar bahasa jawa semua.
Tetapi mengajak orang untuk memasukkan nilai-nilai Jawa yang selaras, identik
dengan kemajuan zaman. Mempelajari bahasa Jawa bagi orang Jawa memang penting,
tapi tak sekadar hanya jadi pelajaran anak Sekolah Dasar semata yang akhirny mandeg (berhenti) tanpa ada
kelanjutannya. Justru lebih menarik mengajarkan Jawa dari segi filosofi, dari
segi cerita, seperti bagaimana tanah Jawa diislamkan. Kita bisa menengok cerita
Syekh Siti Jenar, kita juga bisa mendengar kisah kematian Semar, atau kesucian
Sinta.
Pada akhirnya, kita bisa menyimak
metafora bagaimana menjadi manusia Jawa seperti ketika orang Jawa melakukan
shalat. Ia pun mengatakan diluar shalatnya, ia juga shalat. Saat lungguhku ya shalatku, ngadekku ya
shalatku, turuku ya shalatku (dudukku juga shalat, berdiriku juga shalat,
tidurku juga shalat).
Dunia, atau kosmologi Jawa adalah
sebuah tatanan yang tak hanya terdiri dari huruf-huruf Jawa, ia terdiri dari
mitos, tata aturan, serta nilai-nilai yang bisa dibawa manusia Jawa sampai di
masa mendatang. Barangkali, disaat kita sadar akan kejawaan kita yang kian
luntur, saat itulah kita bisa melakukan dekonstruksi, melakukan inovasi, agar
jawa menjadi dinamis, bukan statis.
*)
Alumnus UMS, Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo
*) Tulisan ini pernah dimuat di SOLOPOS Minggu, Bulan Mei 2017
No comments:
Post a Comment