klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Thursday 18 May 2017

Jawa ; Tak Ada Matinya !!!



Oleh Arif Yudistira*)

            Jawa tak selalu identik dengan solo, atau jawa tengah. Jawa, adalah keseluruhan, baik jawa timur maupun jawa barat. Baik di keraton maupun di kalangan rakyat. Baik di pegunungan maupun dipesisir. Baik di kalangan raja maupun kawula. Di dalam dunia yang serba kompleks itulah, ada nilai-nilai jawa. Dan tentu saja setiap orang, setiap kalangan berhak menafsirkan tentang bagaimana mereka memaknai jawa. 

            Jawa juga tak melulu dimunculkan dalam simbol-simbol kaku seperti wayang yang mengenal pakem atau aturan. Jawa juga bisa ngeyel atau membangkang. Jawa juga bisa “nakal”. Kalau wayang hanya menuruti pakem semata, tentu saja wayang tak bakal berkembang. Ada wayang suket kreasi almarhum Slamet Gundono, ada wayang kampung sebelah karya Ki Jlitheng Suparman. Kedua jenis wayang itu adalah wayang yang memadukan yang modern dengan yang lama. Ia berhasil membuat jawa tetap sesuai dengan laju perkembangan zaman.

            Suara itulah yang hendak diwartakan dibuku Triyanto Triwikromo berjudul Jungkir Balik Jagat Jawa (2016). Orang Jawa tak bisa tidak harus menyesuaikan dengan zaman. Anak cucu kita, tidak bisa sepenuhnya menangkap kejawaan yang kita pahami. Barangkali jawa tidak selalu bisa ditemukan di tanah jawa. Orang bisa meresapi nilai-nilai, serta petuah orangtua kita ketika kita tak ada di tanah jawa. Ketika kita tak ada di Indonesia, kita justru merasakan bahwa jawa hadir di dalam diri kita. Pengalaman itu juga dialami oleh Maria Hartiningsih yang menerbitkan buku berjudul Jalan Pulang (2017). Ia justru menemukan Jawa seperti yang ibunya nasehatkan justru terasa intim saat ia menziarahi Santiago.

            Triyanto Triwikromo menelisik dan membaca ulang dari referensi para indonesianis juga referensi klasik yang berkaitan dengan Jawa serta melakukan pembacaan ulang tentang Jawa. Jungkir balik, begitu kata Triyanto, di dalam dunia Jawa, di dalam kejawaan kita, terkadang kita menempati berbagai posisi seperti semar yang konon samar. Semar menempati kawula, tetapi juga menduduki sebagai dewa. 

            Begitu pula saat Jawa menghadirkan satu pelajaran berharga dari kisah yang dihadirkannya melalui perang Bharatayuda. Di esainya bertajuk “Telanjang” Triyanto mengawali dengan kutipan menarik “Suatu kali Goenawan Mohamad bertanya, manakah yang lebih pedih : Drupadi yang dipermalukan di balairung perjudian oleh Dursasana ataukah Dursasana yang darahnya ditenggak oleh Bima? (h.176). Esai ini tak hendak mempertanyakan bagaimana nilai sebuah perang, tetapi esai ini hendak menghadirkan Jawa saat ada peribahasa Jawa : Ajining raga gumantung saka busana (harga seseorang tergantung dari busana). Drupadi pada akhirnya tak bisa ditelanjangi, dan ia menunjukkan kalimat Jawa tadi. 

            Ada ajakan untuk menengok khazanah klasik ditafsir dengan keadaan sekarang. Ada seruan untuk menengok Jawa tak selalu dari sudut pandang masa lampau. “Saya membayangkan dalam sastra Jawa yang gaul akan muncul teenlit atau chicklit berbahasa Jawa atau bernuansa kejawaan yang kental. Dalam teks mereka, tak lagi muncul lu gue yang sangat mbetawi, tetapi inyong, ingsun, aku, kowe, gedhe, banget, abot, pisan, dan idiom-idiom Jawa yang tak kalah unik” (Jawa Gaul, h.206).

            Upaya untuk mengajak orang kembali kepada Jawa, tak selalu dengan menyerukan untuk belajar bahasa jawa semua. Tetapi mengajak orang untuk memasukkan nilai-nilai Jawa yang selaras, identik dengan kemajuan zaman. Mempelajari bahasa Jawa bagi orang Jawa memang penting, tapi tak sekadar hanya jadi pelajaran anak Sekolah Dasar semata yang akhirny mandeg (berhenti) tanpa ada kelanjutannya. Justru lebih menarik mengajarkan Jawa dari segi filosofi, dari segi cerita, seperti bagaimana tanah Jawa diislamkan. Kita bisa menengok cerita Syekh Siti Jenar, kita juga bisa mendengar kisah kematian Semar, atau kesucian Sinta.               

            Pada akhirnya, kita bisa menyimak metafora bagaimana menjadi manusia Jawa seperti ketika orang Jawa melakukan shalat. Ia pun mengatakan diluar shalatnya, ia juga shalat. Saat lungguhku ya shalatku, ngadekku ya shalatku, turuku ya shalatku (dudukku juga shalat, berdiriku juga shalat, tidurku juga shalat). 

            Dunia, atau kosmologi Jawa adalah sebuah tatanan yang tak hanya terdiri dari huruf-huruf Jawa, ia terdiri dari mitos, tata aturan, serta nilai-nilai yang bisa dibawa manusia Jawa sampai di masa mendatang. Barangkali, disaat kita sadar akan kejawaan kita yang kian luntur, saat itulah kita bisa melakukan dekonstruksi, melakukan inovasi, agar jawa menjadi dinamis, bukan statis. 


*) Alumnus UMS, Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo   
*) Tulisan ini pernah dimuat di SOLOPOS Minggu, Bulan Mei 2017

No comments:

Post a Comment