Oleh Arif Yudistira*)
Alkisah di tahun 1886 tepatnya di bulan April-September, seorang
antropolog asal Florence Italia, Elio Modigliani melakukan petualangan di
daerah pemburu kepala manusia di Nias Selatan. Cerita bermula dari keberhasilan
Vanni Puccioni mendapat buku bagus dari pendeta di Nias yang ditulis oleh Elio
Modigliani yang berjudul Viaggio a Nias
atau Perjalanan ke Pulau Nias (1890). Di masa penjajahan Belanda, Elio
Modigliani meminta izin kepada pemerintah Belanda di waktu itu untuk
menyediakan pengawal untuk melakukan ekspedisinya itu. Akhirnya setelah semua
peralatan lengkap, anak buah pun disediakan, Elio berangkat mengarungi ancaman
dan halangan menuju pulang Nias paling selatan yang konon susah ditaklukkan
berulangkali oleh Belanda.
Apa sebenarnya hasrat Elio sehingga
ia begitu ingin meneliti dan membawa pulang hasil ekspedisinya?. Pengetahuanlah
yang membawa Elio menyusuri rawa-rawa, gunung, danau dan laut. Ia hendak
menyimpan apa yang ia teliti itu ke dalam museum Florence di Italia.
Berbekal berpeti-peti tembakau dan
barang antik lainnya yang memungkinkan menarik suku-suku di Nias selatan, Elio
berani menyeberangi sungai, menerobos hutan dengan ancaman hewan liar sampai
dengan ancaman pemburu kepala manusia. Di tahun 1886, Nias waktu itu masih
merupakan daerah yang cukup tradisional. Elio menuliskan pengisahannya mengenai
betapa orang Nias di masa lalu begitu sederhana
teknologinya sehingga barang-barang dan aktifitas ekonominya hanya
dilakukan dengan tangan manusia.
Begitu pula dalam hal medis, mereka
hanya mengandalkan ere atau dukun
yang melakukan pengobatan dengan memadukan kepercayaan mistis dengan perantara
penyembelihan babi. Kita simak bagaimana Elio menuturkan perihal kebiasaan
berburu kepala manusia bisa berjalan di Nias. “Setiap laki-laki di desa
mempunyai tujuan menjadi prajurit yang ganas, tanpa mempedulikan bagaimana
sifat aslinya. Untuk naik pangkat menjadi prajurit, mereka harus berpartisipasi
menghias osale, minimal dengan sebuah
tengkorak yang dibunuh dengan tangannya sendiri”. Inilah salah satu alasan
mengapa perburuan kepala manusia masih dilaksanakan di tahun itu. Alasan lain
adalah karena maskawin dalam pernikahan disana adalah kepala manusia. “tidak
ada seorang laki-laki pun yang dapat melamar seorang perempuan tanpa membawa
maskawin berupa kepala manusia [....] dan disanalah emas kurang berharga
dibandingkan dengan tembaga dan kuningan (h.35).
Elio hanya menggunakan senjata
senapan modern di masa itu dengan kemampuan menembak yang sangat jauh dan
akurat serta bisa menembakkan lebih dari sebelas kali. Kemampuan lain Elio
hanya mengandalkan kecerdasan dan kemampuannya dalam menciptakan dialog yang
konstruktif dengan suku Nias dalam situasi apapun bahkan dalam situasi paling
buruk (h.128).
Selama perjalanan ditemani anak
buahnya yang cukup pengalaman dari Jawa dan dari suku setempat yang menguasai
bahasa pedalaman dengan begitu lihai Elio memberanikan diri melaksanakan
ekspedisi ini. Elio sendiri adalah seorang keturunan seorang bankir yang kaya
raya, sehingga orangtuanya mendorong penuh kemauan Elio ini.
Elio mengoleksi berbagai hewan mulai
dari kupu-kupu, laba-laba, sampai dengan burung dan ular. Semua barang
bawaannya ditaruh dalam peralatan yang cukup memadai dan diawetkan serta kelak
dikemas dalam peti yang rapi. Elio juga dilengkapi dengan kamera yang cukup
canggih di waktu itu, hingga mampu memotret gambar burung serta potret orang
Nias di masa itu.
Kedatangannya bermula dari Bukit
Titoli di Teluk Dalam berlanjut ke Bawolowalani, Hilizihono, Hilisimaetano,
Kepulauan Hinako, hingga ke Gunung Lolomatua. Di setiap tempat yang ia
singgahi, ia berusaha bertemu dengan raja dari suku tersebut dan menawarkan
barang yang ia bawa terutama tembakau, dan barang antik lainnya seperti
pernak-pernik. Elio mengatakan maksud kedatangannya di suku-suku yang ia
singgahi dan mencoba untuk mengatakan berbeda ia dengan orang kulit putih
lainnya (Belanda) yang datang menjajah.
Elio berhasil meyakinkan dan membawa
hasil ekspedisinya bukan tanpa halangan. Elio bahkan hampir kehabisan beras dan
hampir perang dengan penduduk setempat. Ia meyakini, bahwa dengan menjalin
persaudaraan dan komunikasi yang baik, ia berhasil menaklukkan rasa takutnya
sendiri serta diterima dengan baik oleh raja-raja di setiap suku yang ia
singgahi. Gairah Elio Modigliani inilah yang barangkali patut kita tiru di masa
sekarang. Penting bagi peneliti untuk mengetahui dan mengenal betul tempat yang
akan diteliti. Mulai dari orang, kehidupan hingga latar belakang geografisnya.
Selain kecakapan, sikap Elio yang
rendah hati dan penuh persahabatan menjadikan lebih dekat dengan objek yang
diteliti hingga mereka tak merasakan kecurigaan dan ancaman.
*)
tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
*) Dimuat di Koran Jakarta, 17/2/2017
No comments:
Post a Comment