Judul : Menjadi Guru
untuk Muridku
penulis : ST. Kartono
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetak :
2011
Tebal :
271 halaman
Suatu wacana sekaligus realitas yang akan
menyadarkan kita semua, terutama dalam ranah pendidikan. Kiranya, pernyataan
berbasis refleksi diri dari pembaca itu yang memang pantas disematkan dalam
buku berjudul Menjadi Guru Untuk Muridku
(2011) karya ST. Kartono.
Sekilas, buku ini merupakan kumpulan esai
(bunga rampai) refleksi ST. Kartono tentang dunia pendidikan, khususnya bagi
guru. Esai-esainya selalu menggugah perasaan pembaca, terutama bagi kalangan
pendidik dan peserta didik. Dan, dari buku ini, kita akan mengetahui bahwa tanpa
disadari guru sering menjadi guru untuk aparat pemerintah, menjadi guru untuk
dinas pendidikan, menjadi guru untuk aturan-aturan, menjadi guru untuk
kepentingan dagang di sekolah, atau menjadi guru untuk berjualan paham (hlm.
6).
Pengetahuan itulah yang menjadikan kita
turut merenung sejenak betapa ironisnya para guru yang terjebak atau mungkin
malah menjebakkan dirinya pada hal-hal yang bersifat pragmatis itu. Namun,
keironisan ini yang barangkali tidak pantas untuk dilarut-larutkan dalam
kehidupan guru, kita semua, tak terkecuali ST. Kartono sendiri.
Buku yang hadir di hadapan pembaca ini merupakan tulisan yang
penuh perefleksian diri ST. Kartono. Meskipun demikian, buku ini bisa menjadi salah
satu jalan keluar untuk menghindari, mencegah, atau mengurangi etos dan kerja
guru yang selama ini hanya menjadi ‘guru-guruan’. Di sisi lain, esai-esai yang
berbingkai refleksi dirinya, tentu tak bisa kita sepelekan saja. Sebab, bila
mengingat pernyataan dari Carl Gustav Jung
dalam bukunya yang berjudul Memories, Dreams, Reflections (1983), maka refleksi diri
merupakan tindakan spiritual yang berlawanan dengan proses alami, sebuah
tindakan dimana kita berhenti, mengingat-ingat dalam pikiran, membentuk
hubungan hingga memahami apa yang kita lihat.
Dari perefleksian diri itulah, kita
(khususnya, para guru) dapat mengintegrasikan energi transformatif dan potensi
dari dalam diri. Integrasi tersebut akan mendatangkan kesadaran. Lalu,
kesadaran mereka terhadap kondisi pendidikan kita inilah, yang nantinya mampu
mengembalikan cita-cita murni pendidikan ini: menciptakan bangsa yang cerdas,
berpendidikan, dan bisa memajukan kehidupan sesuai dengan amanat undang-undang
dasar.
Keyakinan dan konsistensi ST. Kartono terhadap konsep refleksi
diri itu tersirat lewat salah satu esai berjudul Mengajarkan hening. Bagi ST. Kartono, konsep tersebut—atau dalam
bahasanya, yakni ‘pedagogi reflektif’— justru menjadi suatu episode penting
bagi para guru untuk kembali mengolah pengalaman pelayanannya kepada para
siswa, jauh dari suasana rutinitas rapat kerja. Dan, yang lebih penting lagi
adalah, ia (pedagogi reflektif) mampu menghadirkan sentuhan manusiawi kepada
siswanya (hlm. 232).
***
“Salah satu seri tayangan acara televisi Kick Andy menampilkan para guru yang bekerja di daerah pinggiran,
bahkan terpencil. … Bagi para guru tersebut, jarak rumah dengan sekolah
tempatnya mengajar bukanlah menjadi persoalan. Keterbatasan sarana dan
kecerdasan siswa tidaklah menyurutkan semangatnya mengajar. Bagi para perintis
perpustakaan, kekurangan dana, dan ketiadaan tempat bukanlah penghalang untuk
memberikan sarana pencerdasan masyarakat di sekitarnya.” Dari menonton televisi
itulah, Kartono lagi-lagi sadar dan menemukan makna hidup guru bahwa sifat dan
sikap yang harus dimiliki para guru adalah “stop mengeluh!”
Fragmen kisah yang dialami Kartono di atas, lebih menegaskan
bahwa menjadi guru yang benar-benar guru, harus pula tahu, cermat, dan kritis
dalam memaknai dan menanggapi realitas di sekitarnya. Guru tak boleh
menyepelekan tindakan atau hal-hal kecil, yang sebenarnya itu bisa menjadi
‘senjata ampuh’ untuk mengajar, membimbing, dan membombong peserta didiknya.
Dalam buku ini, ST. Kartono memberikan pengalaman-pengalaman
sepele, yang juga tak bisa disepelekan begitu saja oleh guru maupun kita.
Beberapa diantaranya, yakni memberikan pujian terhadap siswa yang telah
berkarya; membiasakan senyum kepada siswanya; pada awal pelajaran atau hari
pertama masuk kelas, siswa dibiasakan untuk mengingat para guru yang pernah
mengajarinya, lantas menuliskan pesan dan kesannya; membiasakan berterima
kasih; dan selalu perhatian pada siswanya, yang salah satu contohnya bisa
memberi sapaan menyelidik seperti ini: “siapa belum sarapan?”
Hal ihwal yang tersebutkan di atas
itu, selain memastikan kesiapan guru dan
siswa dalam kegiatan belajar mengajar, juga berguna untuk memunculkan ‘seni
mengajar’. Artinya, kelihaian guru
menghidupkan kelas pasif atau mengendalikan kelas yang hiperaktif.
Hal yang penting lagi adalah dapat
mengenali konteks siswa. Sebab, guru yang tak pernah membaca konteks, ia akan
memperlakukan murid sama dari tahun ke tahun. Maka, yang terjadi tak ada
perkembangan sekaligus perubahan yang memajukan kualitas mental dan pikiran
peserta didik maupun gurunya sendiri. Jadi, akankah guru membiarkan hal itu
terjadi begitu saja?
Dari hal tersebut, kiranya kalau
para guru layak untuk mencontoh dan meresapi apa yang dipaparkan dan pernah
dilakukan ST. Kartono dalam buku ini. Sebab, ia sendiri masih percaya bahwa
bunga rampai yang ia dedikasikan untuk ribuan rekan guru dan para mahasiswa calon
guru itu akan menjadikan mereka sebagai aktor sekaligus faktor perubahan
pendidikan di negeri ini. Demikian.
Oleh: Budiawan Dwi santoso, penulis
tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah
No comments:
Post a Comment