klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Tuesday 21 April 2015

Pelajaran dari Karim Raslan



 
Oleh Arif Saifudin Yudistira *)

Dari catatan Karim Raslan inilah, kita juga disadarkan bahwa menulis bukan sekadar bagian dari cara orang mencatat peristiwa, tetapi dari suara-suara orang bawah itu kita menemukan kebenaran dan kejernihan.

            Rabu pagi, tepatnya 22 April 2015, sehari setelah hari Kartini. Aku penuhi pagiku dengan menuntaskan Esai-Esai dari Karim Raslan bertajuk  Ceritalah Indonesia. Cerita-cerita ini pula yang menurutku banyak pelajaran yang bisa kita petik dari catatan-catatan Karim Raslan yang ia dapat dari negeri ini. Negeri yang aku tinggali, negeri yang semangat rakyatnya tak pernah pudar. Sebagaimana yang kulihat di kantin Koperasi Mahasiswa. Entah mengapa aku suka sekali nongkrong disana, sembari menyimak pelajaran dari ibu-ibu dan karyawan disana. Mereka adalah ibu-ibu tangguh, ditengah ketidaksadaran mereka bekerja seharian penuh, mereka kemudian mengucap kesadaran di pagi ini tadi “Hariku kok seperti sedikit ya di rumah, hampir setiap hari aku seperti tinggal di kantin ini, aku seperti pulang hanya untuk tidur”. Dari mereka aku mengerti, mereka tak pernah sedikitpun mengeluh, hidup bagi mereka seperti laku yang harus dijalani dengan iklas. Mereka sering berkisah tentang rumah, tentang anak-anak mereka dan terkadang berkisah tentang kehidupan yang semakin sulit. Tetapi mereka tak pernah mengeluh, apalagi kemudian lelah dan kurang semangat. Kerja mereka seperti tanpa ampun, kehidupan mereka seperti dalam satu ruang, tetapi dalam ruang itu pula mereka seperti menemukan nafas bersama para mahasiswa-mahasiswa yang terkadang sering terlampau enak, dari mereka dan cerita-cerita mereka aku belajar banyak hal.
            Begitupun ketika saya membaca Esai-Esai Karim Raslan (2010) yang diterbitkan oleh KPG. Ada kisah menarik tatkala Karim Raslan mengunjungi Bali, di Bali ada catatan tak hanya tentang Bom Bali, tetapi juga orang-orang bawah yang merasa keadilan dan ketenangan mereka diusik. Ada pihak yang tak suka dengan persatuan dan kesatuan mereka. Karim mewawancarai Haji Bambang, Haji Bambang berkomentar mengenai Bom Bali ini : “Banyak yang bertanya-tanya, kenapa saya bisa ikut menolong malam itu. Saya bilang pada mereka, saya tidak takut sama mayat. Itu kan pekerjaan saya sehari-hari”, lebih lanjut Bambang mengatakan : “ Di Bali sini saya termasuk kaum minoritas, tapi saya dihormati sama orang Hindu. Kenapa? Karena saya juga menghormati mereka. Saya tidak pernah memandang rendah mereka. Saya tahu kita semua harus berusaha menjadi yang terbaik. Baik Kristen, Budha, maupun Islam, istri saya dulu orang Hindu, Sebelum kami menikah, ayahnya bilang sama dia, kamu harus mengikuti agama suamimu. Mereka toleran sekali sama saya. Sekarang giliran saya membalas toleransi itu. Tiap lebaran, mereka mengunjungi rumah saya. Kalau hari raya Galungan dan Kuningan, saya membawa keluarga saya mengunjungi mertua. Kalau semua orang tidak toleran dan harus darah seperti Imam Samudra, bisa gawat. Saya tidak mungkin setuju sama tindakan ekstrem seperti itu. Kita semua kan dipersatukan oleh kemanusiaan” (h.41).
            Karim Raslan tak hanya mencatat kehidupan dari pinggir, tetapi ia melihat politik, persoalan bangsa dan juga persoalan konflik antara Indonesia dan Malaysia dari orang-orang bawah. Barangkali dengan cara itulah, ia masih bisa menemukan kejernihan dari sebuah persoalan dan jawabannya. Ketimbang ia mengikuti arus pemberitaan yang begitu deras tanpa henti. Sebut saja ketika ia meliput cerita tentang Gus Dur, Megawati maupun SBY. Ada suara dari bawah yang tak sepakat kepada Megawati yang harus ditunjukkan oleh mereka, meski secara sejarah, Bali adalah daerah yang tak bisa dilupakan merupakan daerah yang memiliki riwayat tentang Soekarno. Tetapi, ketika Megawati tak mampu menunjukkan dan meyakinkan rakyat, maka saat itulah, ia tak mampu menang melawan SBY di masa itu. Begitupun ketika Karim mengangkat masalah Gus Dur yang dinilai oleh masyarakat bawah terlalu sering diplomasi ke luar negeri untuk mengurusi masalah perpecahan, sedangkan persoalan rakyatnya dan gejolak politik dalam negeri kurang diperhitungkan.
            Ada suara dan harapan bahwa laju rakyat yang dianggap tenang, tetapi bergerak pelan-pelan kearah perubahan senantiasa menunggu pemimpin yang bisa tak hanya menenangkan hati rakyat tetapi membawa bukti dan janji kearah perubahan bisa membawa negeri ini semakin maju. Selain itu, Karim juga melihat hubungan Indonesia- dan Malaysia yang memiliki sejarah satu “rumpun” ini memiliki hubungan yang semakin kuat selama masalah-masalah social dan ketenagakerjaan. Disamping itu, Karim melihat ada hal yang bisa diperbaiki melalui hubungan religiositas antar kedua Negara yang disatukan oleh kesamaan memiliki jumlah penduduk muslim terbesar.
            Dari catatan Karim Raslan inilah, kita juga disadarkan bahwa menulis bukan sekadar bagian dari cara orang mencatat peristiwa, tetapi dari suara-suara orang bawah itu kita menemukan kebenaran dan kejernihan.



*) Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com



No comments:

Post a Comment