Oleh Arif Saifudin Yudistira *)
Dari
catatan Karim Raslan inilah, kita juga disadarkan bahwa menulis bukan sekadar
bagian dari cara orang mencatat peristiwa, tetapi dari suara-suara orang bawah
itu kita menemukan kebenaran dan kejernihan.
Rabu pagi, tepatnya 22 April 2015,
sehari setelah hari Kartini. Aku penuhi pagiku dengan menuntaskan Esai-Esai
dari Karim Raslan bertajuk Ceritalah Indonesia. Cerita-cerita ini
pula yang menurutku banyak pelajaran yang bisa kita petik dari catatan-catatan
Karim Raslan yang ia dapat dari negeri ini. Negeri yang aku tinggali, negeri
yang semangat rakyatnya tak pernah pudar. Sebagaimana yang kulihat di kantin
Koperasi Mahasiswa. Entah mengapa aku suka sekali nongkrong disana, sembari
menyimak pelajaran dari ibu-ibu dan karyawan disana. Mereka adalah ibu-ibu
tangguh, ditengah ketidaksadaran mereka bekerja seharian penuh, mereka kemudian
mengucap kesadaran di pagi ini tadi “Hariku kok seperti sedikit ya di rumah, hampir
setiap hari aku seperti tinggal di kantin ini, aku seperti pulang hanya untuk
tidur”. Dari mereka aku mengerti, mereka tak pernah sedikitpun mengeluh, hidup
bagi mereka seperti laku yang harus dijalani dengan iklas. Mereka sering
berkisah tentang rumah, tentang anak-anak mereka dan terkadang berkisah tentang
kehidupan yang semakin sulit. Tetapi mereka tak pernah mengeluh, apalagi
kemudian lelah dan kurang semangat. Kerja mereka seperti tanpa ampun, kehidupan
mereka seperti dalam satu ruang, tetapi dalam ruang itu pula mereka seperti
menemukan nafas bersama para mahasiswa-mahasiswa yang terkadang sering
terlampau enak, dari mereka dan cerita-cerita mereka aku belajar banyak hal.
Begitupun ketika saya membaca
Esai-Esai Karim Raslan (2010) yang diterbitkan oleh KPG. Ada kisah menarik
tatkala Karim Raslan mengunjungi Bali, di Bali ada catatan tak hanya tentang
Bom Bali, tetapi juga orang-orang bawah yang merasa keadilan dan ketenangan
mereka diusik. Ada pihak yang tak suka dengan persatuan dan kesatuan mereka.
Karim mewawancarai Haji Bambang, Haji Bambang berkomentar mengenai Bom Bali ini
: “Banyak yang bertanya-tanya, kenapa saya bisa ikut menolong malam itu. Saya
bilang pada mereka, saya tidak takut sama mayat. Itu kan pekerjaan saya
sehari-hari”, lebih lanjut Bambang mengatakan : “ Di Bali sini saya termasuk
kaum minoritas, tapi saya dihormati sama orang Hindu. Kenapa? Karena saya juga
menghormati mereka. Saya tidak pernah memandang rendah mereka. Saya tahu kita
semua harus berusaha menjadi yang terbaik. Baik Kristen, Budha, maupun Islam, istri
saya dulu orang Hindu, Sebelum kami menikah, ayahnya bilang sama dia, kamu
harus mengikuti agama suamimu. Mereka toleran sekali sama saya. Sekarang
giliran saya membalas toleransi itu. Tiap lebaran, mereka mengunjungi rumah
saya. Kalau hari raya Galungan dan Kuningan, saya membawa keluarga saya
mengunjungi mertua. Kalau semua orang tidak toleran dan harus darah seperti
Imam Samudra, bisa gawat. Saya tidak mungkin setuju sama tindakan ekstrem
seperti itu. Kita semua kan dipersatukan oleh kemanusiaan” (h.41).
Karim Raslan tak hanya mencatat
kehidupan dari pinggir, tetapi ia melihat politik, persoalan bangsa dan juga
persoalan konflik antara Indonesia dan Malaysia dari orang-orang bawah.
Barangkali dengan cara itulah, ia masih bisa menemukan kejernihan dari sebuah
persoalan dan jawabannya. Ketimbang ia mengikuti arus pemberitaan yang begitu
deras tanpa henti. Sebut saja ketika ia meliput cerita tentang Gus Dur,
Megawati maupun SBY. Ada suara dari bawah yang tak sepakat kepada Megawati yang
harus ditunjukkan oleh mereka, meski secara sejarah, Bali adalah daerah yang
tak bisa dilupakan merupakan daerah yang memiliki riwayat tentang Soekarno.
Tetapi, ketika Megawati tak mampu menunjukkan dan meyakinkan rakyat, maka saat
itulah, ia tak mampu menang melawan SBY di masa itu. Begitupun ketika Karim
mengangkat masalah Gus Dur yang dinilai oleh masyarakat bawah terlalu sering
diplomasi ke luar negeri untuk mengurusi masalah perpecahan, sedangkan
persoalan rakyatnya dan gejolak politik dalam negeri kurang diperhitungkan.
Ada suara dan harapan bahwa laju
rakyat yang dianggap tenang, tetapi bergerak pelan-pelan kearah perubahan
senantiasa menunggu pemimpin yang bisa tak hanya menenangkan hati rakyat tetapi
membawa bukti dan janji kearah perubahan bisa membawa negeri ini semakin maju.
Selain itu, Karim juga melihat hubungan Indonesia- dan Malaysia yang memiliki
sejarah satu “rumpun” ini memiliki hubungan yang semakin kuat selama
masalah-masalah social dan ketenagakerjaan. Disamping itu, Karim melihat ada
hal yang bisa diperbaiki melalui hubungan religiositas antar kedua Negara yang
disatukan oleh kesamaan memiliki jumlah penduduk muslim terbesar.
Dari catatan Karim Raslan inilah,
kita juga disadarkan bahwa menulis bukan sekadar bagian dari cara orang
mencatat peristiwa, tetapi dari suara-suara orang bawah itu kita menemukan
kebenaran dan kejernihan.
*) Penulis adalah Pengelola
doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment