Ah, aku jadi berpikir, bahasa tubuh macam apa
yang waktu itu dipraktekkkan oleh Rosihan.
Sabtu, 15 agustus 2015, sepulang sekolah aku
termenung, pikiran agak kacau. Tulisan sudah kubuat tapi belum termuat di
media, ah ndak papa, barangkali sedang diuji. Belum juga tanggal tua, kebutuhan
berkeluarga menuntut lebih banyak uang. Sebagai guru sekaligus penulis,
setidaknya apa yang bisa dikerjakan selain menulis. Maka aku memutuskan untuk
mengisahkan buku yang sudah aku baca. Buku berjudul Belahan Jiwa (2011)
buku bagus, murah kubeli saat bazar di gramedia Solo. Waktu itu, buku kubeli
bersama buku yang lain, buku kubeli dari uang apresiasi menulis di media dari
sekolah. Uang 50.000 cukup untuk membeli empat buku. Aku bersyukur isteriku
ridho. Buku kubaca dan kukhatamkan disaat waktu senggang istirahat sekolah.
Oh, romantisnya kisah
cinta wartawan Rosihan Anwar dengan Zuraida Sanawi. Rosihan adalah wartawan
yang di masa itu tak begitu kaya. Kisah dimulai dengan pengisahan Rosihan
tentang rumah Zuraida yang digempur NICA. Setelah itu, keluarga Zuraida
memberitahukan Rosihan minta bantuan untuk mengungsi ke Jogja. Semenjak itulah
awal pertemuan mereka, semula Rosihan dengan Zuraida tak ada apa-apa. Justru
Rosihan dikabarkan dekat dengan perempuan lain. Ketika mereka berdua mau
menikah, sahabat-sahabat dekatnya terkejut, kok bisa Rosihan sama Zuraida.
Zuraida digambarkan sebagai perempuan indo-belanda dengan wajah cantik rupawan.
Rosihan menjalani
kehidupannya sebagai wartawan, sedang Zuraida waktu itu sebagai penyiar radio.
Sura Zuraida itulah yang konon membuat Rosihan terpikat, Waktu pertama kali
berbicara dengan Zuraida, Rosihan dipanggil dengan kata Tuwan. Di masa
jepang kebanyakan intelektual Indonesia yang biasa berbahasa Belanda
sekonyong-konyong mesti beralih ke bahasa Indonesia yang kurang dikuasainya.
Perkataan Tuwan itu tentu terjemahan perkataan bahasa Belanda meneer.
Perkataan Bung belum popular, Saudara dirasakan sebagai bahasa buku, Pak baru
meluas di masa Orde Baru Soeharto.
Rosihan pun memanggil ida dengan sebutan Nona sebagai terjemahan kata
Belanda Juffrouw.Sebutan mbak, den ayu, jeng, belum mode di tahun 1943.
Saya memakai sebutan Saudara kalau menyapa Ida. Dengan berkembangnya pergaulan
menjadi tidak kaku, saya menyapa Ida dengan panggilan langsung (h.16).
Ingat Rosihan saat
memanggil Ida, aku jadi teringat waktu memanggil kekasihku. Aku akhirnya
memanggilnya dengan sebutan dek. Kadang aku juga memanggilnya sayang, bahasa
menentukan perkembangan jaman. Mungkin saat ini ada yang memanggil kekasihnya
dengan sebutan mom, darling, dan sebagainya. Tentu saat ini panggilan kepada
kekasih ini lebih bervariasi seiring dengan berkembangnya jaman.
Sebagai wartawan, gaya
cerita Rosihan begitu enak, terkadang melebar, tak hanya kisah cintanya yang
dikisahkan, tetapi juga berkisah tentang apa yang terjadi di masa itu. Baik
ketika jaman penjajahan jepang, maupun kisahnya yang cekcok dengan BM Diah.
Kisahnya dengan Soekarno pun diceritakan. Yang tak kalah menarik saat
disinggung kisah Tan Malaka. Waktu itu tanggal 9 Februari 1945 ada pertemuan
PWI di solo. Ida datang dengan mobil dari Yogya bersama pemimpin redaksi Kedaulatan
Rakyat Soemantoro dan Tan Malaka,dibawa oleh Soemantoro untuk berbicara di
depan para wartawan PWI. Ia berbicara tanpa teks, lamanya hampir empat jam.
Wartawan yang baru kembali dari tugas di front kelelahan, lalu tertidur. Tan
malaka mengurai tentang Madilog, Marxisme, Dialektika, Logika. Selesai
berpidato, Soemantoro, Ida dan Tan Malaka meninggalkan ruangan. Bertahun-tahun
kemudian saya tanya pendapat Ida tentang Tan Malaka. “Apakah kau ngomong dalam
bahasa Belanda dengan dia?” Tidak, kami menggunakan bahasa Indonesia, jawab
Ida. “Macam apa orangnya?”Dia gentleman gallant, seorang yang sopan
dengan wanita, kata Ida. “Saya dengar dari Jo Abdurrahman bahwa Tan Malaka itu
jangan-jangan homoseksual,tidak tertarik kepada perempuan. Apa kau juga
mendapat kesan demikian?”. Ah itu aku tak tahu. Tapi kita jangan lupa Tan Malaa
dalam pengembaraannya sebagai wakil Komintern di Asia, tidak berada dalam
posisi untuk mengikat hubungan mesra dengan perempuan. Itu akan menghambat
perjuangannya.Karena itu, dia memilih hidup seorang diri tanpa istri, jawab Ida
(h.30). Percakapan ini tentu menarik saya selaku pengagum Tan Malaka. Sebab di
buku Adam Malik, dikisahkan bahwa Tan Malaka pernah jatuh cinta tiga kali, di
Bangkok, di Perancis, dan Di Sumatera sendiri tapi gagal. Karena itulah, ia
hidup menyendiri. Ah, Rosihan memang pandai bercerita, memikat pembaca untuk
menelusuri lebih lanjut, menantang dan memikat liputannya.
Membuka-buka halaman
buku ini, akhirnya aku menemukan kisah pertama kali Rosihan mengungkapkan
cintanya. Ini penting, sebab pada sisi ini, kita akan tahu, kejujuran Rosihan
dan pengalamannya mengungkapkan cintanya di masa itu. Tak disangka, kisah
romantic itu terjadi di taman Tirtonadi yang permai di tepi sungai. Dalam
cahaya temaram di dalam becak saya memberanikan diri buat pertama kali
menyatakan perasaan cinta saya kepada Ida. Tentu tidak saya katakana Ik houe
van jou, aku cinta engkau, sebab saya canggung amat dalam hal itu. Tapi
dengan bantuan bahasa tubuh dan gerak cukup jelas saya beritahukan isi kalbu
saya. Dan ida tampaknya mengerti,
walaupun dia tetap diam menerima curahan kalbu saya (h.34). Ah, aku jadi berpikir, bahasa tubuh macam apa
yang waktu itu dipraktekkkan oleh Rosihan.
Melalui buku ini, kita
akan menemukan kejujuran Rosihan di waktu mau menikah dengan Ida. Waktu itu,
tak banyak Rosihan memiliki uang, ia pun berterus terang, akhirnya dipilih
jalan tengah, saling membeli cincin masing-masing sebelum tunangan. Tunangan
dibarengkan saat Rosihan meliput di Yogyakarta. Rosihan akhirnya tunangan dan
menikah di 25 April 1947. Setelah menikah, mereka berbulan madu di Magelang,
setelah itu mereka langsung ke Jakarta. Kelurga Rosihan dan Ida semula harus
menyamakan persepsi, waktu itu, Ida senang tidur dengan lampu terang, Rosihan
dengan lampu gelap. Akhirnya, untuk menjembatani hal ini, Rosihan menangkupkan
celana kolornya di lampu bolam, tahu-tahu esok paginya celananya gosong.
Aduhai, tulis Rosihan, ia mengalah demi merajut cinta. Semenjak itu, Rosihan
tidur dengan lampu menyala terus (h. 85).
Ditengah kesibukannnya
sebagai wartawan, Ida tak selamanya bersama Rosihan, di saat-saat itulah Ida
yang mengurus Rosihan dan anak-anaknya. Ida adalah perempuan yang sabar dan
pengertian, ia mampu membagi antara dirinya dan keluarga. Kelak Rosihan di
akhir menjelang Ida wafat, ia baru sadar baru bisa memberi sebagian hidupnya
untuk Ida. Dua tahun sebelum Ida meninggal, Rosihan sudah tak lagi bekerja,
anak-anaknya sudah pada bekerja. Di masa-masa itu, ia merawat Ida dan mencukupi
kebutuhan Ida dengan sisa-sisa honor liputan dari luar negeri.
Di buku ini kita juga
akan menemui pengakuan Rosihan tentang betapa religiusnya Ida yang tak
meninggalkan shalat setelah menikah, berbeda dengan Rosihan yang justru sering
lupa dalam ibadah. Melalui buku ini, aku jadi menginsyafi, bahwa hidup
berkeluarga tak semulus yang kita bayangkan. Kisah Ida dan Rosihan memberi
keteladanan kepada kita, bahwa untuk membangun keluarga yang kokoh, kuat dan
langgeng perlu pengertian, saling menerima dan memberi, serta saling
pengertian.
Aku tak menemui kisah konflik
dan cekcok di rumah tangga Rosihan. Tetapi dari itulah, aku mengerti, dengan
pengertian, dan kesabaran Zuraida, Rosihan bisa sampai akhir hayatnya bertahan
menjadi wartawan sejati sebagaimana yang ditulis oleh Jakoeb Oetama. Rosihan
melalui buku ini telah menunjukkan makna menjalani hidup dengan menulis. Tentu
dengan pengertian sang istri.Bagiku, pelajaran
inilah yang patut diambil dari kehidupan Rosihan, tanpa pengertian dan rasa
cinta kasih sang istri, rasanya mustahil kita bisa melakoni hidup seperti
Rosihan. Ah, kisah Rosihan tentu membuat iri keluarga kami, aku jadi ingat
pesan di kado pernikahan kami yang kami baca berdua. Pesan itu adalah doa dari
teman-teman semua. “Semoga langgeng sampai kakek-nenek”. Aku pun mengamini
dalam hati, sebagaimana istriku pun demikian saat mata kami saling membaca
pesan itu dan saling tersenyum dan saling memandang.
Ulasan ditulis Arif Saifudin Yudistira , Pembaca Buku
Setinggil, 15/8/2015 pukul 13. 28
No comments:
Post a Comment