Yang lebih mengenaskan ketika melihat para arsiparis menjual koleksi yang mereka punya demi melanjutkan hidup tanpa kepedulian dari pemerintah. Barangkali kita bisa bercermin dari negeri-negeri seperti Belanda maupun Amerika, kerja arsip sudah pada taraf maju. Mereka bahkan mendirikan universitas Javanologi dan lembaga KITLV yang mengurusi kerja arsip dalam bidang sejarah dan kebudayaan yang berkaitan dengan Indonesia dan Belanda. Di Amerika, Cornell University adalah wujud dari kampus yang mengurusi arsip tentang Indonesia dan Asia Tenggara
Arsip masih asing bagi kita. Dunia
kearsipan seolah dipandang hanya milik para kolektor, pustakawan atau kerja
para sejarawan. Dunia arsip seringkali identik dengan dunia yang cukup susah,
butuh ketekunan dan kerja keras. Tidak hanya itu, para arsiparis di negeri ini
memang kurang mendapat apresiasi dan penghargaan yang layak. Kerja arsip di
Indonesia cenderung berhenti bergerak. Padahal, sejatinya, kerja arsip tak
cukup berhenti pada kerja mengarsipkan semata. Lebih dari itu, arsip masih
perlu digerakkan sebagai dokumen untuk berkaca bagi apa yang ada di masa depan
dari masa lalu yang kita jalani. Kerja arsip adalah bagian dari kerja sejarah
dan kerja kebudayaan. Bila Yoshi Fajar Kresno dalam pengantar buku ini menilai
bahwa “yang menarik dari kerja arsip di dalam praktik pembacaan arsip dan kerja
pengarsipan tidak lagi terpukau pada perkara arsipnya, tetapi pada keragaman
cara membaca dan untuk kepentingan apa praktik pembacaan tersebut dikerjakan”.
Sebab selama ini kita cukup banyak memiliki pelbagai arsip baik sebagai artefak
kebudayaan dalam bentuk dokumentasi film, tari, hingga musik, maupun
dokumentasi tulisan yang begitu berharga di negeri ini, namun belum cukup
popular dalam kerangka kerja pemanfaatan arsip tersebut. Muhidin M.Dahlan dalam
tulisan di buku ini menguraikan bahwa kerja arsip, melalui kliping adalah
bagian dari kerja menyusun dan mengeja Indonesia. Muhidin juga menguraikan
bahwa kerja kliping yang selama ini ia jalani adalah sebagai counter wacana bagi dokumen sejarah yang
pernah ada. Muhidin menulis trilogy Lekra
tak membakar buku sebagai wacana tandingan dari buku Prahara Budaya yang ditulis Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto.
Muhidin menerangkan lebih jauh, bahwa apa yang dilakukannya dengan mengkliping
juga pernah dilakukan oleh H.B.Jassin dan Pramoedya Ananta Toer, mengutip
pernyataan Pramoedya, bahwa hampir semua karya Pram adalah hasil dari kerja
kliping yang dia lakukan. Buku Arsipelago(2014) ini bisa dikatakan sebagai
dokumen penting sebagai alat untuk membaca bagaimana kerja arsip dan artefak
budaya di negeri ini. Di dalam buku ini, kita akan mengetahui potret dan kerja
arsip dalam hal kliping koran, tari,musik dan film. Dari kesemua hal itu, kita
memang belum memiliki gambaran utuh mengenai kerja kearsipan di negeri ini.
Setidaknya, kerja arsip di negeri ini masih jauh dari sempurna. Bila melihat
potret dan sejarah masa kolonialisme, kerja arsip kita di masa paska
kemerdekaan, terbilang belum terlalu difikirkan. Meskipun beberapa kerja arsip
dari perseorangan berjalan mandiri dan berlanjut
bahkan sampai sekarang, perhatian pemerintah masih minim.
Merawat ingatan
Di
negeri ini, artefak kebudayaan sisa-sisa kolonialisme lebih sering diabaikan
dan disepelekan. Kita patut miris, bahwa terbitan Babad Diponegoro justru
hadir dan terbit di Malaysia. Sejarawan Pater Carey menyayangkan, bahwa arsip
yang ada di perpustakaan nasional sudah rusak dan tak terawatt. Padahal,
didalam babad Diponegoro, tak hanya diwariskan perkara sejarah, tapi juga
warisan agung sosok Diponegoro dengan pelbagai khazanah dan teladan bagi rakyat
Indonesia, juga bagi orang Jawa pada khususnya. Ingatan erat tentang Diponegoro
seringkali hanya sebatas gambar dan fotonya yang dipajang merana di ruang-ruang
kelas kita. Padahal, lebih dari itu, Diponegoro di dalam bukunya Kuasa Ramalan(2011) karya Pater Carey
dianggap sebagai tokoh dan teladan bagi kita semua. Teladan itu tak hanya
perkara kepemimpinannya yang kharismatik, tetapi juga karena sifat dan gayanya
yang arisrokrat tapi juga merakyat. Ia memiliki pengetahuan yang cukup tentang
barat dan timur dan memadukannya dalam penampilan dan laku hidupnya. Yang
menarik adalah bagaimana ia mengidentifikasikan sebagai sosok ratu adil
(euracakra). Dari arsip Babad Diponegoro
itulah, Pater Carey mampu mengurai kisah Diponegoro di masa lalu untuk masa
kini. Dari merawat arsip, menggerakkan
melalui penerbitan buku, pengabaran kepada publik, diskusi dan penelitian yang
mendalam, arsip tak hanya mampu dijadikan sebagai budaya tanding, sebagai
kekayaan kultural, tetapi juga sebagai identitas nasional kita.
Refleksi
Kerja
arsip di negeri ini memang masih asing dan terlambat dibanding Negara lain.
Kerja arsip di bidang tari dan music misalnya, kita minim kritikus, minim
penulis yang mampu menjelaskan bagaimana tradisi musik dan sejarah musik di
negeri ini. Begitupun dalam bidang film, kita belum banyak memiliki tokoh yang
memiliki kepakaran dan konsentrasi mengurusi sejarah film di negeri ini.
Institut Seni di negeri ini pun cenderung tak mengurusi terlalu dalam urusan
musik, tari, dan juga dalam hal film. Universitas selama ini cenderung mencipta
produksi seni yang bisa dimodifikasi dan dikomersialisasi. Universitas seperti
tak memiliki visi panjang dalam mengurusi arsip yang mereka punya. Tiba-tiba
kita jadi terbelalak, dan merasa kecolongan tatkala kesenian dan artefak budaya
kita(tari, dan kesenian daerah) diklaim oleh Negara lain. Yang lebih
mengenaskan ketika melihat para arsiparis menjual koleksi yang mereka punya
demi melanjutkan hidup tanpa kepedulian dari pemerintah. Barangkali kita bisa
bercermin dari negeri-negeri seperti Belanda maupun Amerika, kerja arsip sudah
pada taraf maju. Mereka bahkan mendirikan universitas Javanologi dan lembaga
KITLV yang mengurusi kerja arsip dalam bidang sejarah dan kebudayaan yang
berkaitan dengan Indonesia dan Belanda. Di Amerika, Cornell University adalah
wujud dari kampus yang mengurusi arsip tentang Indonesia dan Asia Tenggara.
Dari buku inilah, kita bisa melihat rekam jejak sejauh mana kerja arsip dan
pengarsipan dalam bidang seni dan budaya di negeri ini.
*) Arif Saifudin Yudistira Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
No comments:
Post a Comment