Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Menulis bukanlah pekerjaan mudah. Menjadi penulis berarti siap untuk
menjadi “telanjang”. Ia harus siap membuka pikirannya, membuka diri kepada
publik, utamanya pembaca. Dari itulah, profesi sebagai seorang penulis dianggap
sebagai pekerjaan yang siap berkonfrontasi, bergulat dan berdialektika dengan
masyarakat. Di masyarakat tempat seorang penulis hidup dan tinggal itulah,
penulis menyerap dan menuangkan kembali, menggugat, menyentil, atau malah
sesekali berefleksi dan bersoliloqui. Penulis
memerlukan ketekunan dan disiplin. Disiplin disini tentu bukan sekadar
rutinitas dalam berkarya, tetapi juga penghayatan dan pendalaman.
Di buku Menggali Sumur Dengan Ujung Jarum (2015) ini kita akan menemukan
betapa seorang penulis bisa dilihat dari betapa jeli dan detailnya ia berkisah
seperti cerita yang ditulis oleh Gabriel Garcia Marquez yang berjudul Eva Dalam Tubuh Kucingnya. Di cerita
ini, selain kita menemukan detail tokoh dan ilustrasi setting yang kuat, kita juga
diajak penulis untuk berimajinasi setinggi mungkin. Dari judulnya saja terlihat
sudah subversive. Atau kita bisa membaca cerpen berbau sejarah yang ditulis
oleh Jorge Luis Borges yang berjudul Pencarian
Averroes. Di cerpen ini, kita akan menemukan nuansa sejarah yang kental
dengan masa lalu. Untuk menulis cerita pendek sekaliber mereka, tentu kita
memerlukan disiplin dan latihan yang inten. Sebut saja Gabriel Garcia Marquez,
sebagaimana dikisahkan dalam buku memoarnya yang berjudul Jalan Hidupku Sebagai Juru Kisah. Untuk menjadi penulis ia mesti
berhadapan dengan kemiskinan, ia hidup menggelandang, dan rutin berbincang dan
berdiskusi dengan teman-temannya. Dalam hidup yang ia jalani sebagai wartawan
yang berbayar sedikit itulah ia berusaha
menulis cerpen. Semula memang cerpen-cerpennya tak banyak diminati koran,
tetapi setelah melalui proses panjang, ia kini justru dikenal sebagai salah
satu dari tokoh sastra dunia beraliran realis.
Buku ini juga memuat pidato nobelis
dunia. Melalui pidato ini, kita bisa mendengar kisah mereka yang tak selalu
mulus dalam memperoleh penghargaan bergengsi tingkat dunia. Misal saja apa yang
dialami oleh Naguib Mahfouz yang menuliskan Mesir dari sudut pandangnya. Ia
menulis tentang Fir’aun bukan tentang keburukannya, tetapi tentang bagaimana
Fir’aun sebenarnya pernah membuat aturan untuk menegakkan pelajaran tentang
keadilan. Atau kisah seorang Orhan Pamuk yang membongkar-bongkar koper Ayahnya.
Dari koper Ayahnya itulah, ia tak hanya menemukan banyak tulisan Ayahnya,
tetapi juga menemukan jati dirinya sebagai seorang penulis.
Saya kira kita bisa belajar dari apa
yang ditulis oleh Orhan Pamuk dalam pidatonya Koper Ayah Saya : Saya menulis karena ia adalah kebiasaan, gairah.
Saya menulis karena takut dilupakan. Saya menulis karena saya menyukai kejayaan
dan kesenangan yang diwedarkan tulisan (h.165).
*) Penulis adalah Guru MIM PK kartasura
*) Tulisan dimuat di SOLO POS 23 Agustus 2015
Sangar.......... lanjutken
ReplyDelete