Oleh Arif Saifudin Yudistira*)
Sebuah perang dimanapun itu, tetap menyisakan
trauma mendalam. Ada banyak reruntuhan, bangunan yang hancur, perasaan-perasaan
yang rapuh, dan harapan-harapan yang musykil balik lagi. Tapi, perang memiliki
riwayat, sejarah, dan layak untuk kita kisahkan. Begitu pula perang yang ada di
Palestina, perang antara muslim dengan orang Yahudi. Perang ini bukan semata
mata perang fisik dan senjata, tetapi juga perang ideologi, perang sejarah, dan
perang mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan.
Menjadi manusia yang tumbuh dan
besar diantara perang memang bukanlah sesuatu yang mudah. Edgar Keret seorang
penulis Yahudi yang lahir 20 Agustus 1967 pun mengalami ketakutan-ketakutan
itu. Rasanya tak mudah menjadi seorang Yahudi, yang boleh dibilang dikecam
orang seluruh dunia karena membantai Palestina.
Amat susah, itulah yang dirasakan
Keret untuk menjelaskan kepada anaknya tentang sebuah dunia yang dihadapinya.
Tapi, keret mengatasi hal ini dengan cara yang alamiah. Ia mengajak anaknya
mendengar deru bom, suara mesiu, hingga dentuman senjata di kanan-kirinya
dengan biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa.
Memoar yang ditulisnya bukanlah
memoar yang bersifat keluar, tetapi lebih bersifat ke dalam. Dalam memoar yang
ditulisnya, kita justru menemukan bagaimana keseharian penulis di eksplorasi
lebih. Tak hanya itu, kita bakal mendapati cerita-cerita yang tak ada kaitannya
dengan perang, tapi ada di sekitar penulis.
Dalam nukilan esainya berikut
misalnya “Dia benar-benar hidup di masa sekarang : Dia tidak pernah
mendendam,tidak pernah takut akan masa depan. Dia benar-benar tidak punya ego.
Dia tidak pernah mempertahankan kehormatannya atau mengambil keuntungan”. Dalam
esai yang bertajuk Bayi Besar , ada
perasaan-perasaan yang bernada khawatir, tetapi juga berupaya menenangkan.
Ada ketakutan besar, tapi hendak
dilawan dengan optimisme, bahwa kelak anaknya tak boleh memiliki sikap pesimis,
apalagi takut akan masa depan. Mengingat negara yang terus-menerus dalam
keadaan perang, cenderung susah membayangkan masa depan. Inilah sebagian dari
cara Keret untuk menghadapi realitas yang ia alami.
Bila anda berharap menemukan rumus
dan cara menghadapi perang, anda tak bakal menemukannya disini. Tetapi bila
anda hendak mencari bagaimana cara Keret menghadapi situasi dan pengalaman
berkesan dalam hidupnya, kita bakal menemukan kisahnya di buku ini. Seperti di
esai bertajuk Dengan (tidak) hormat, dikisahkan
pengalaman Keret selama pekan buku diberbagai negara.
Keret dulu di masa kecilnya sering
meminta tanda tangan kepada penulis idolanya, tetapi kini ia berubah, ia harus
menandatangani buku-buku dari penggemarnya. Dan sesekali menuliskan pesan yang
diminta pembaca bukunya di halaman awal buku itu. Ia mulai mencoba eksperimen
ketika buku-buku itu hendak dimintakan tanda tangan dan kata-kata dari Keret,
ia mencoba untuk menuliskan kalimat-kalimat fiksi.
Setiap kalimat yang dituliskan di
buku mereka, macam-macam dan hampir semua imajinasi. Misalnya “untuk Tziki. Aku
mengakui kalau aku bertingkah seperti bajingan. Tetapi, kalau adikmu bisa
memafkanku, kamu juga bisa”. Kalimat-kalimat itu justru berbuah tamparan dan
kemarahan dari seorang pembaca yang tak terima dengan kalimat yang dituliskan
Keret. Akhirnya, di setiap pekan buku ia hanya bisa menarik napas dalam-dalam
dan menuliskan “Semoga sukses”, meski membosankan, tulisnya tapi aman untuk
wajahnya.
Di esainya bertajuk Pembela Kaum kita bakal mendapati
pengakuan mengejutkan bagaimana kisah seorang Yahudi dan kehidupan kanak-kanak
mereka. “Dari hari pertamamu dilahirkan di Israel, kau akan diajari apa yang
terjadi di Eropa selama ratusan tahun adalah sebuah serial penganiayaan dan
pembunuhan besar-besaran untuk membersihkan etnis Yahudi. Meskipun mendikte
akal sehat, pelajaran dari pendidikan itu berlanjut sampai membusuk di dalam
ususmu. Ini perasaan yang kurang menyenangkan, tapi entah mengapa selalu
ditegaskan oleh kenyataan”.
Keret melukiskan bagaimana seorang
anak keturunan Yahudi bahkan semenjak kecil sudah diajari bagaimana menjadi
Yahudi yang ideal. Tapi Keret seperti melawan hal itu, dengan menjadi seorang
manusia biasa, meski ia juga seorang Yahudi. Dan hal ini tak mudah, karena tak
setiap orang bisa menerimanya dengan mudah. Orang ketika mendengar kata
“Yahudi’, yang digambarkan di pikiran mereka adalah pikiran bahwa Yahudi adalah
kaum yang dihabisi, kaum yang membantai Palestina, dan sebagianya.
Perasaan-perasaan itulah yang
terbesit saat hendak mengunjungi Indonesia. Dalam esai berjudul Orang Tidur Yang Aneh, Keret menuliskan
perasaan itu. Orangtuaku tidak ingin aku datang.Mereka takut aku akan diculik
atau dibunuh. Lagi pula, di Indonesia adalah negara Muslim yang sangat
anti-Israel, bahkan anti-Semit—beberapa mengatakan. Aku berusaha menenangkan
mereka dengan mengirim sebuah tautan dari halaman Wikipedia, yang mengatakan
bahwa mayoritas penduduk di Bali beragama Hindu. Tidak membantu. Dad berkeras
bahwa tidak perlu pilihan mayoritas untuk menembakkan peluru ke kepalaku. Dulu,
bendera Israel dibakar di depan kedutaan Israel di Jakarta, tetapi sejak
hubungan diplomatiknya putus, bendera-bendera tersebut dibakar di depan
Kedutaan Amerika. Orang Israel yang hidup dan bernapas akan menjadi santapan
lezat bagi mereka”.
Dunia yang hendak dihadirkan Keret
adalah dunia yang sebenarnya merupakan negasi dunia di sekitarnya. Ia melakukan
penolakan, perlawanan terhadap diri, untuk meyakinkan kepada semua orang bahwa
hidup dalam lingkungan perang, tak sepenuhnya mesti dihadapi dengan ketakutan.
Ia merasa nyaman, hidup sebagai penulis dengan terus menorehkan perlawanannya
kepada apa yang ia anggap salah. Cara yang paling dekat adalah menuliskan apa
yang ia alami, keluarganya, anaknya, sampai dengan menuliskan pengalamannya
sendiri menjadi penulis yang mengunjungi beberapa negara di dunia.
Saat itulah, tanpa sadar, ia telah
melakukan perlawanan yang lebih dahsyat daripada sekadar dentuman bom dan
mesiu. Ia membuktikan, menjadi manusia seutuhnya, tetap akan diterima dengan
baik, oleh lawan maupun kawan. Melalui tulisan dan pengalamannya tentang popok,
anak-anak, hingga kisah kematian Ayahnya, ia telah menuliskan bukan hanya identitasnya,
tetapi juga memberikan suaranya pada dunia.
Sayang sekali judul di buku ini
terlampau keterlaluan dengan mencantumkan tagline
yang menurut saya kurang pas. Tapi barangkali inilah cara penerbit mengajak
para pembaca untuk tak melulu percaya pada judul tanpa membaca seluruh isi
bukunya.
*) Penulis adalah tuan rumah
Pondok Filsafat Solo, guru MIM PK Kartasura
*) Pernah dimuat di Koran Jakarta
No comments:
Post a Comment