Arif Yudistira*)
Nama menentukan harga. Itulah
gambaran sekilas yang membedakan antara makanan tradisional, maupun modern di
era sekarang. Penyebutan istilah biner ini memang ada sejarahnya. Namun, orang
sekarang boleh dikatakan terlampau lugu mempersepsikan antara makanan modern
dengan makanan tradisional ketika mereka hanya berdasarkan nama semata tanpa
merujuk pada sejarah makanan di negeri kita. Misalnya penyebutan Q-tela dengan ketela, meski berbahan dasar sama, tetapi rasa, kemasan, hingga
harganya menjadi berbeda. Inilah pandangan yang perlu kita luruskan dalam
menyikapi perkembangan kuliner kita.
Perkembangan makanan di dunia ini
ternyata begitu cepat. Manusia tidak bisa terus menerus memakai cara lama dalam
menyikapi makanan. Makanan bertaut erat dengan sosial, ekonomi dan politik.
Perkembangan peradaban ikut serta mempengaruhi cara kita memperlakukan, dan
cara kita mengurusi makanan. Kita bisa menengok jauh kebelakang di masa kecil
kita saat ketela menjadi makanan ringan kita. Eyang kakung kita, seringsekali
menyajikannya setelah ditanak begitu saja digigit dengan tangan. Dulu, hal itu sudah begitu nikmat luar biasa.
Tentu saja hal ini berbeda dengan sekarang. Seiring dengan berkembangnya cara
penyajian dan teknologi kita, ketela pun berubah. Di sekitaran kampus misalnya
banyak menu makanan berbahan dasar ketela diolah dan dikemas menjadi
macam-macam menu makanan dengan berbagai kreasi. Ada Q-tela, ada ketela keju, Aneka gethuk
, maupun makanan ringan lainnya.
Kita akan diajak untuk bertualang,
menyusuri, hingga ke lorong sejarah paling purba untuk menelisik sejarah
perkembangan makanan di Indonesia bersama buku karya Fadly Rahman yang bertajuk
Jejak Rasa Nusantara, Sejarah Makanan
Indonesia. Di awal buku ini, Fadly memulai bukunya dengan mengisahkan
dengan kalimat tanya yang menggelitik dari seorang Schuurmans ketika
mengolok-olok makanan Indonesia. “Dimanakah adiboga Indonesia?. Tampaknya tak
ada lagi orang yang suka memasak. Sang nyonya punya juru masak yang tidak bisa
memasak”(h.4). Menurut Fadly, Schuurmans, kita belum punya cuisine yang diartikan lebih
dari seni memasak, tetapi juga sebuah kesadaran tentang bagaimana makanan
diolah dan dikonsumsi.
Dari latar belakang itulah, Fadly
merasa tertantang untuk menelisik dan mencari, serta mendedah kepustakaan
lampau untuk mengetahui sejarah makanan indonesia. Hasilnya, bahwa sejarah
makanan kita tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur penting seperti politik,
ekonomi, sosial dan budaya. Fadly menilai, perkembangan makanan dunia, termasuk
kita tidak bisa dilepaskan dari sejarah global. Makanan nusantara sebenarnya dikonstruksi semenjak abad ke-10 M seiring masuknya pengaruh citarasa
Tionghoa, India, dan Arab. Pada abad sepuluh itulah, di nusantara saat kita
masih berbentuk kerajaan, mulai muncul kolonialisme yang mengangkat simbol Gold, Glory and Gospel. Salah satu yang
mereka cari, hingga sampai ke nusantara adalah rempah-rempah. Kisah mistik
rempah-rempah ini pun berkembang menjadi sebuah eksploitasi besar-besaran
hingga nafsu untuk berkuasa di tanah jajahan.
Pencarian akan rempah itupun mulai
mengubah cita rasa makana Eropa yang semula hanya menggunakan rempah-rempah
sebagai obat, kini berubah menjadi bumbu makanan. Maka muncullah bumbu cabai,
bawang, dan aneka jenis tanaman rempah lainnya yang diangkut untuk dijadikan
bumbu makanan Eropa. Selain membawa pengaruh ke Eropa, rempah-rempah di
nusantara kala itu, juga ada pengaruh dari India yang tampak dari kerajaan
Hindu-Buddha. Bawang, ketumbar, jintan, dan jahe adalah beberapa jenis tanaman
yang diperkenalkan karena pengaruh India (h.19). Ketika di abad 15 mulai muncul
pengaruh rempah kepada hidangan makanan di Eropa di Istana dan
kerajaan-kerajaan, sedangkan di abad 16 menjadi penanda penting dalam
pergeseran budaya makan di Nusantara menuju citarasa baru. Saat itu muncul
tanaman seperti sukun di Indonesia timur yang dijadikan makanan pengganti nasi.
Pelan-pelan zaman bergerak, di abad
18 selera makan dan makanan kita tidak lepas dari pengaruh unsur politik. Kolonialisme
di era Deandels dan Raffles misalnya mengubah bagaimana orang jawa mengkonsumsi
makanan. Jawa yang begitu kaya makanan, tiba-tiba disempitkan untuk
mengkonsumsi makanan tertentu. Selain karena sawah-sawah mereka digunakan untuk
menanam komoditi ekspor di Hindia Belanda, pemerintah kolonialisme hanya
mempertimbangkan perut kenyang semata, tidak pada aspek kesehatan. Akibatnya
rakyat hanya makan seadanya, asal kenyang seperti ketela, umbi-umbian, sagu,
dan kentang. Raffles pun tak jauh beda, ia justru mengajak masyarakat kala itu
untuk menanam cengkih dan pala.
Ada yang menarik di abad 19,
yakni dimulainya tradisi cetak dalam
urusan makanan. Yakni pembukuan makanan melalui Serat Centhini yang menghimpun khazanah klasik jawa mulai dari
islam, sejarah, sampai pada urusan kuliner. Salah satu makanan unik di Serat Centhini adalah sekul lemeng. Makanan ini digambarkan
seperti “ketan yang telah ditanak, ayam panggang dicacah diberi santan kental,
ditaruh di atas daun kelapa muda yang dianyam berbentuk seperti piring besar,
sambal windu dari kemiri linemeng dalam bumbung petung (h.69). Di abad ini pula semakin muncul banyaknya
resep-resep masakan yang ikut mempengaruhi bagaimana pembaca dipengaruhi dalam
menentukan kualitas rasa kuliner mereka.
Sementara itu, di awal abad 20, Di
era Soekarno muncul istilah “makanan nasional” melalui penulisan buku resep
nasional Mustika Rasa. Di tahun
50-60-an itulah terjadi tonggak perubahan dalam hal kuliner. Buku ini kelak
merubah konsepsi makanan dan penyajian yang cukup variatif dan lebih banyak
menggali resep masakan dari negeri kita sendiri ketimbang menyajikan resep
masakan yang akulturatif. Membaca buku ini akan memperkaya pengetahuan kita
tentang sejarah kuliner dan makanan yang ada di negeri kita. Harapannya,
kesadaran kuliner itu ikut membentuk cara kita di dalam mengolah, memasak,
sampai menyajikan aneka kuliner kita menjadi lebih kreatif dan inovatif.
Sehingga potensi kuliner kita makin terangkat dalam kancah internasional. Sebab
bila ditelisik lebih jauh, ternyata kuliner kita cukup kaya dan memiliki
potensi yang besar bila dikemas, dan dikembangkan lebih baik lagi. Hanya dalam
urusan penyajian dan pengemasan, kita memang lebih banyak tertinggal dari
Thailand maupun Malaysia.
*) Penulis adalah tuan rumah Pondok
Filsafat Solo, Kontributor di bukuonlinestore.com
*) Tulisan pernah dimuat di Jawa pos 25 Desember 2016
No comments:
Post a Comment