klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Sunday 19 February 2017

Mencecap Sejarah Kuliner Indonesia


Arif  Yudistira*)

            Nama menentukan harga. Itulah gambaran sekilas yang membedakan antara makanan tradisional, maupun modern di era sekarang. Penyebutan istilah biner ini memang ada sejarahnya. Namun, orang sekarang boleh dikatakan terlampau lugu mempersepsikan antara makanan modern dengan makanan tradisional ketika mereka hanya berdasarkan nama semata tanpa merujuk pada sejarah makanan di negeri kita. Misalnya penyebutan Q-tela dengan ketela, meski berbahan dasar sama, tetapi rasa, kemasan, hingga harganya menjadi berbeda. Inilah pandangan yang perlu kita luruskan dalam menyikapi perkembangan kuliner kita.
            Perkembangan makanan di dunia ini ternyata begitu cepat. Manusia tidak bisa terus menerus memakai cara lama dalam menyikapi makanan. Makanan bertaut erat dengan sosial, ekonomi dan politik. Perkembangan peradaban ikut serta mempengaruhi cara kita memperlakukan, dan cara kita mengurusi makanan. Kita bisa menengok jauh kebelakang di masa kecil kita saat ketela menjadi makanan ringan kita. Eyang kakung kita, seringsekali menyajikannya setelah ditanak begitu saja digigit dengan tangan.  Dulu, hal itu sudah begitu nikmat luar biasa. Tentu saja hal ini berbeda dengan sekarang. Seiring dengan berkembangnya cara penyajian dan teknologi kita, ketela pun berubah. Di sekitaran kampus misalnya banyak menu makanan berbahan dasar ketela diolah dan dikemas menjadi macam-macam menu makanan dengan berbagai kreasi. Ada Q-tela, ada ketela keju, Aneka gethuk , maupun makanan ringan lainnya.
            Kita akan diajak untuk bertualang, menyusuri, hingga ke lorong sejarah paling purba untuk menelisik sejarah perkembangan makanan di Indonesia bersama buku karya Fadly Rahman yang bertajuk Jejak Rasa Nusantara, Sejarah Makanan Indonesia. Di awal buku ini, Fadly memulai bukunya dengan mengisahkan dengan kalimat tanya yang menggelitik dari seorang Schuurmans ketika mengolok-olok makanan Indonesia. “Dimanakah adiboga Indonesia?. Tampaknya tak ada lagi orang yang suka memasak. Sang nyonya punya juru masak yang tidak bisa memasak”(h.4). Menurut Fadly, Schuurmans, kita belum punya cuisine  yang diartikan lebih dari seni memasak, tetapi juga sebuah kesadaran tentang bagaimana makanan diolah dan dikonsumsi.
            Dari latar belakang itulah, Fadly merasa tertantang untuk menelisik dan mencari, serta mendedah kepustakaan lampau untuk mengetahui sejarah makanan indonesia. Hasilnya, bahwa sejarah makanan kita tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur penting seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Fadly menilai, perkembangan makanan dunia, termasuk kita tidak bisa dilepaskan dari sejarah global.      Makanan nusantara sebenarnya dikonstruksi semenjak abad  ke-10 M seiring masuknya pengaruh citarasa Tionghoa, India, dan Arab. Pada abad sepuluh itulah, di nusantara saat kita masih berbentuk kerajaan, mulai muncul kolonialisme yang mengangkat simbol Gold, Glory and Gospel. Salah satu yang mereka cari, hingga sampai ke nusantara adalah rempah-rempah. Kisah mistik rempah-rempah ini pun berkembang menjadi sebuah eksploitasi besar-besaran hingga nafsu untuk berkuasa di tanah jajahan.
            Pencarian akan rempah itupun mulai mengubah cita rasa makana Eropa yang semula hanya menggunakan rempah-rempah sebagai obat, kini berubah menjadi bumbu makanan. Maka muncullah bumbu cabai, bawang, dan aneka jenis tanaman rempah lainnya yang diangkut untuk dijadikan bumbu makanan Eropa. Selain membawa pengaruh ke Eropa, rempah-rempah di nusantara kala itu, juga ada pengaruh dari India yang tampak dari kerajaan Hindu-Buddha. Bawang, ketumbar, jintan, dan jahe adalah beberapa jenis tanaman yang diperkenalkan karena pengaruh India (h.19). Ketika di abad 15 mulai muncul pengaruh rempah kepada hidangan makanan di Eropa di Istana dan kerajaan-kerajaan, sedangkan di abad 16 menjadi penanda penting dalam pergeseran budaya makan di Nusantara menuju citarasa baru. Saat itu muncul tanaman seperti sukun di Indonesia timur yang dijadikan makanan pengganti nasi.
            Pelan-pelan zaman bergerak, di abad 18 selera makan dan makanan kita tidak lepas dari pengaruh unsur politik. Kolonialisme di era Deandels dan Raffles misalnya mengubah bagaimana orang jawa mengkonsumsi makanan. Jawa yang begitu kaya makanan, tiba-tiba disempitkan untuk mengkonsumsi makanan tertentu. Selain karena sawah-sawah mereka digunakan untuk menanam komoditi ekspor di Hindia Belanda, pemerintah kolonialisme hanya mempertimbangkan perut kenyang semata, tidak pada aspek kesehatan. Akibatnya rakyat hanya makan seadanya, asal kenyang seperti ketela, umbi-umbian, sagu, dan kentang. Raffles pun tak jauh beda, ia justru mengajak masyarakat kala itu untuk menanam cengkih dan pala.
            Ada yang menarik di abad 19, yakni  dimulainya tradisi cetak dalam urusan makanan. Yakni pembukuan makanan melalui Serat Centhini yang menghimpun khazanah klasik jawa mulai dari islam, sejarah, sampai pada urusan kuliner. Salah satu makanan unik di Serat Centhini adalah sekul lemeng. Makanan ini digambarkan seperti “ketan yang telah ditanak, ayam panggang dicacah diberi santan kental, ditaruh di atas daun kelapa muda yang dianyam berbentuk seperti piring besar, sambal windu dari kemiri linemeng dalam bumbung petung (h.69). Di abad ini pula semakin muncul banyaknya resep-resep masakan yang ikut mempengaruhi bagaimana pembaca dipengaruhi dalam menentukan kualitas rasa kuliner mereka.
            Sementara itu, di awal abad 20, Di era Soekarno muncul istilah “makanan nasional” melalui penulisan buku resep nasional Mustika Rasa. Di tahun 50-60-an itulah terjadi tonggak perubahan dalam hal kuliner. Buku ini kelak merubah konsepsi makanan dan penyajian yang cukup variatif dan lebih banyak menggali resep masakan dari negeri kita sendiri ketimbang menyajikan resep masakan yang akulturatif. Membaca buku ini akan memperkaya pengetahuan kita tentang sejarah kuliner dan makanan yang ada di negeri kita. Harapannya, kesadaran kuliner itu ikut membentuk cara kita di dalam mengolah, memasak, sampai menyajikan aneka kuliner kita menjadi lebih kreatif dan inovatif. Sehingga potensi kuliner kita makin terangkat dalam kancah internasional. Sebab bila ditelisik lebih jauh, ternyata kuliner kita cukup kaya dan memiliki potensi yang besar bila dikemas, dan dikembangkan lebih baik lagi. Hanya dalam urusan penyajian dan pengemasan, kita memang lebih banyak tertinggal dari Thailand maupun Malaysia.


*) Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Kontributor di bukuonlinestore.com
*) Tulisan pernah dimuat di Jawa pos 25 Desember 2016

           
           


No comments:

Post a Comment