klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Sunday 28 September 2014

Pram dan Pulau Buru




      
      --Arif Saifudin Yudistira--


         Apa yang dirasakan oleh seorang tapol,keadaan jiwanya, kesedihan, keterasingan dan jiwa yang hampa bagi seorang tapol?,semua itu dilukiskan dengan baik oleh Rudolf Mrazek(2000) dalam bukunya Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Buru. Buku ini adalah cara Rudolf Mrazek menyusun sebuah memori dan perasaan-perasaan Pramoedya yang dikaitkan dengan kehidupan yang ada di sekitar Pram. Pram sebagai seorang korban, tahanan politik mengalami dengan langsung, apa yang dimaksud dengan kebohongan, manipulasi, dan segala perlakuan yang tak adil. Pram pun sadar, bahasa-bahasa politik dibentuk melalui ruang tahanan, perenggutan kebebasan, dan hak-haknya direnggut dan dirampas. Betapa ia menderita dan mengalami kekacauan pikiran (amnesia) karena pernah dipoprol senapan kepalanya waktu mau ditangkap dan dibawa ke Buru. Hal ini terlihat tatkala Pram ditanya : “Darimana anda mendapatkan kertas untuk menulis?”, ia justru menjawab : “aku mempunyai delapan ekor ayam”.Tidak hanya itu, tetapi di dalam tahanan itu, Pram memiliki banyak teman yang mengurusnya tatkala ia sakit, dan dari teman-teman itulah ia tak lagi merasakan kesepian, lebih dari itu, Pram juga memiliki jaringan jenderal yang secara tak langsung ikut membantu Pram. Dikisahkan tatkala Pram mau dibawa ke Jakarta setelah kepulangannya dari Buru, ia pun mengenali jenderal disana, sehingga ia dibawa pulang ke rumahnya, Blora. Walaupun pada akhirnya ia akan memilih hidup ke Jakarta kelak. Pramoedya, dengan segala sifat-sifat manusiawinya, pada akhirnya ia menyadari bahwa kekagumannya terhadap barat, ia pun menuliskan kekaguman ini dengan mengatakan : “Belanda memungkinkanku melihat kecantikan sebuah masyarakat yang terorganisir, bagaimana jasa setiap orang dihargai berdasarkan prestasinya, dan bagaimana setiap orang memiliki hak memperoleh sarana untuk tetap hidup…Aku tidak bisa lagi menjadi penulis kacangan” (h.21).Pram, pada saat dia di Buru justru menemukan waktu dalam tiga dimensi sebagaimana yang ditulis Rudolf Mrazek. Pram sebagai seorang yang di tahanan mengingat-ingat apa yang telah ia alami, ia pun kemudian menyusun kenangannya sendiri. Kenang-kenangan sewaktu ia memiliki cita-cita menjadi insinyur. Ia menyukai radio, sehingga ia masuk ke Sekolah Teknik Radio. Pramoedya harus menyusun ulang tak hanya hidupnya, kenang-kenangannya, sampai pada dokumentasi dan apa saja yang pernah ia kumpulkan. Tak hanya perkara mesin ketik, tetapi melalui mesin ketik itu pula, ia menyusun kembali ingatannya, kenang-kenangan dan hidupnya. Ia pun berencana menyusun roman tentang periode kebangktia nasional (h.96).
       Buru seperti tabung inkubasi, ruang pengeraman, Pram justru menelurkan karya-karya dan suaranya, yang tak hanya berurusan dengan pribadinya, melainkan juga untuk kebesaran bangsanya sebagaimana kata Mayor Kusno waktu memberi hadiah pulpen dan kertas di Pulau Buru. Pram menyadari bahwa bangsa yang tak mengenali sejarah kebesaran bangsanya, ia tak mampu diharapkan membawa bangsa ini kepada arah yang benar. Sebagaimana yang sering disesalkan Pramoedya selama ini, bahwa kita sudah terlampau melenceng dari kebudayaan asali kita, budaya maritime. “bagaimana mungkin bangsa yang sebesar Majapahit dan Sriwijaya justru memperbesar angkatan darat, memperkuat angkatan darat?”. Apa yang ditulis Pram membuka kesadaran dan mata batin kita kembali, bahwa perjuangan, nasionalisme, pahit getir dan keterasingan yang dialami pejuang di masa itu adalah demi kemerdekaan. Kebebasan, demi cita-cita luhur bangsa kita, yakni kemerdekaan yang bebas dari kolonialisme dan penjajahan. Pram pun demikian halnya, meski ia mengalami penyiksaan dan pengasingan, Pram mampu membuktikan bahwa ia masih bisa bersuara, menulis dan mengabarkan yang benar dari kejahatan rejim.
          Rudolf Mrazek menuliskan Pram dan Kenangan Buru ini sebagai dokumentasi bahwa apa yang dialami Pram identik dengan Syahir, meski keduanya mengalami pengasingan, Rudolf Mrazek mencoba membangun narasi dari seorang tokoh yang seolah sedang memberi kesaksian sejarah, kesaksian bagi sebuah bangsa yang merdeka, sebuah bangsa yang pernah mengalami masa kelam. Melalui buku ini, kita diajak untuk merenungi kisah para tahanan, para tapol yang mengalami penyiksaan jiwa. Sehingga bekas dari siksa itu, tak bisa lekas sembuh, bahkan sulit untuk sembuh. Penyiksaan itu melampaui urusan fisik semata, lebih dari itu, ia dipisahkan dari anak-anaknya, keluarganya. Bahkan Pram pun menyurati anaknya, karena khawatir surat-suratnya tak sampai. “Surat Untuk Nen”/Ayah tidak menerima sepucukpun suratmu selama dua tahun terakhir. Barangkali surat-suratmu tidak disampaikan padaku/atau apakah kau benar-benar menulis surat pada waktu itu?.Surat Pram ini tidak hanya dibaca sebagai kesedihan Pram atas tekanan yang dialami jiwanya. Ia juga merupakan ekspresi kekecewaan dari sebuah pengasingan dan ketidakadilan yang dialaminya. Melalui buku ini, kita belajar tentang makna pengasingan, kesepian dan kesendirian sebagai seorang tapol, kenangan dan catatan itu kelak berguna untuk kita sebagai bangsa sebagai rekam jejak kejahatan dan kebrutalan rezim yang melanggengkan kekuasaan dengan genoside seperti bangsa kita. Mrazek, tak hanya mencoba mengajak kita kembali kepada masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Pelajaran yang bisa diambil dari Pramoedya Ananta Toer tak lain adalah pengasingan bukanlah proses untuk tenggelam dan mati, ia akhirnya menunjukkan bahwa perjuangan dan pengasingan akan membawa kepada masa depan yang lebih tegar,kuat dan menenteramkan meski harus ditempuh dengan kepahitan yang tak bisa dilupakan.

*) Penulis adalah Santri Tadarus BUKU BILIK LITERASI SOLO


No comments:

Post a Comment