klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Wednesday 3 September 2014

Pelacur, Buku, Manusia





 Kesepian, lebih tepatnya “hening” yang digambarkan oleh Kawabata, membawa kita memasuki dunia batin manusia dengan ceruk yang dalam, yang tak bisa dengan mudah digambarkan oleh seorang penulis lain selain ia sendiri

Komako, seorang Geisha itu melahap novel dan cerita pendek semenjak umur lima belas tahun. Sepuluh buku catatan itu menampung judul dan pengarang serta tokoh-tokoh dalam cerpen dan novel yang pernah ia baca. Apa yang dilakukan komako mengejutkan, saya kira ini tak ada atau belum ada dalam tradisi kita. Karena itulah, Jepang patut mendapat pujian sebagai Negara yang memanusiakan manusia, bahkan seorang pelacur. Apa yang saya dapat ini adalah petilan kisah dari Snow Country(2009) garapan Yasunari Kawabata. Kawabata bercerita seperti terbang dengan satu kaki, ia pelan-pelan melangkahkan kaki satunya terbang pelan-pelan, dan tak mau menganggap enteng tanah yang sudah dilewatinya. Gunung dalam tafsiran Kawabata mengingatkanku pada masa kecil. Gunung tak hanya meninggalkan jejak pada kaki-kaki ini, tapi juga kenangan dan pemandangan indah yang tak bisa hilang begitu saja. Kawabata mengajak kita merenungi gunung dengan pemandian air panasnya, dengan kesederhanaan orang-orangnya dan juga keindahan perempuan-perempuan disana bagai kelopak bunga sakura yang gugur di musim semi. Memang musim yang dikisahkan dalam Snow Country adalah musim salju. Salju adalah tangis dan kesedihan yang ritmis, melodic, dan penuh irama. Shimamura, lelaki tua yang sudah beristri, tak lagi mengerti tentang apa yang ia jalani. Ia justru beralih ke gunung, beralih ke alam, di saat itu pula, ia menemukan keindahan yang melebihi gunung, yakni Yoko dan Yamako.
Yamako, melebihi apa yang saya tahu selama ini tentang Geisha, Geisha adalah bagian dari kesadaran cultural, saya termasuk asing menemui kisah Geisha. Saya merasa tertolong dengan Kawabata, ia mengisahkan Geisha sebagai seorang malaikat yang tak bisa disepelekan begitu saja. Kehadirannya tak hanya urusan hiburan dan seksualitas semata. Kawabata menghadirkan emosi, menghadirkan sejarah, biografi dan riwayat keluarga dengan segala lika-likunya. Saya jadi ingat apa yang dikatakan Komako saat ia bilang :  “Aku orang yang paling susah, dan tuan belum pernah merasakan apa yang saya rasakan”. Kalimat pendek itu adalah penggalan perasaan dari Komako, Geisha yang memenuhi lakunya dengan : kerja! Kerja! Kerja!. Kisah Komako akhirnya harus diselesaikan dengan indah, saat ia mengalami perpisahan justru dengan keluarganya sendiri. Yoko dalam hal ini adalah bagian dari keluarga Geisha, meski ia tak menjadi Geisha. Dalam hidup Komako, Yoko memiliki makna penting, tak sekadar sebagai teman, sebagai pelayan dan juga rekan kerja meski berbeda pekerjaan. Shimamura pun demikian, seorang tua yang sudah punya isteri, sudah beranak, pada akhirnya harus memilih tempat untuk meredakan kembali hari dan hatinya yang sedang gundah. Di saat-saat itulah, ia melakukan pengabaian kepada Komako meski ia menaruh cinta padanya. Ia justru menaruh gairah, ketertarikan pada Yoko. Yang menarik dari novel Kawabata ini, adalah bagaimana ia mengisahkan kehidupan, kesepian, seorang yang sudah berumur, sudah berkeluarga, yang ingin menemukan kembali apa yang telah hilang dari hidupnya.
Apa yang dihadirkan oleh Kawabata mengajak saya merenungkan kembali sajak yang ditulis oleh Rendra, Bersatulah Pelacur Jakarta. Sajak itu seolah mengembalikan dan membalikkan pengertian kita selama ini tentang pelacur. Ia melampaui cerita dan kisah serta dogma-dogma agama yang cenderung menganggap pelacur sebelah mata. Ia manusia, ia hidup seperti kita, dan ia pun berhak memiliki emosionalitas seperti kita, dan tak jarang ia merasakan putus asa dan lemah dengan ketidakberdayaannya. Simaklah betapa Komako mampu menghadirkan pertanyaan yang tajam kepada Shimamura. “Manusia itu rapuh,kan?” kata Komako pagi itu. “Hancur jadi bubur dari kepala hingga ke tulang-tulang. Tapi seekor beruang bisa jatuh dari tempat yang tinggi dan tidak terluka sama sekali”. Kalimat-kalimat ini adalah tamparan bagi Shimamura, pun bagi Komako sendiri. Shimamura, lelaki ini pun adalah lelaki tua takberdaya, rapuh, dan begitu ringkih, hingga ia memerlukan tempat, memerlukan perempuan untuk mengembalikan dirinya seperti sediakala. Begitupun Komako, ia begitu jatuh, dan merasa menjalani hidup dengan tertatih-tatih, meskipun ia merasa sudah  menemukan cintanya, Komako perlu waktu untuk bisa berdiri tegak dan tegap berjalan dengan tenang.Kesepian, lebih tepatnya “hening” yang digambarkan oleh Kawabata, membawa kita memasuki dunia batin manusia dengan ceruk yang dalam, yang tak bisa dengan mudah digambarkan oleh seorang penulis lain selain ia sendiri. Kawabata mampu untuk mengisahkannya pada kita tentang dunia pelacur, dunia buku, dan kisah manusiawi di sekitarnya. Bila Komako menghabiskan novel dan cerpen yang cukup dalam, dan menuliskannya dengan indah, maka kita seperti di tampar oleh cermin besar, disana ada perempuan, disana ada riwayat dan kehidupan yang sering diremehkan. Komako, seolah mengingatkan kepada kita, dalam dunia dan kebudayaan Jepang, pelacur adalah manusia yang sadar akan posisi, kebudayaan, sastra, yang tak boleh diperlakukan sebagai penghibur semata. Ia adalah sosok perempuan yang mengaduk-aduk perasaan, emosi dan juga menelanjangi kehidupan para tetamunya, sebagaimana yang dialami oleh Shimamura dalam novel ini. Saya jadi teringat dengan apa yang dituturkan Pramoedya mengenai gundik, Pram mengangkat Ontosoroh sebagai seorang perempuan Jawa dengan segala kelebihan dan kehebatannya, ia tak sekadar gundik semata, ia adalah wujud perlawanan yang meskipun pada akhirnya harus kalah.


Kartasura, 4/ 9/14

No comments:

Post a Comment