Oleh
Arif Saifudin Yudistira*)
“Pandanglah untuk terakhir kalinya segala sesuatu yang pernah kau nikmati disini. Suatu jarak akan membentang antara engkau dengan peristiwa-peristiwa duniawi. Kebakaan dan kefanaan –dua kutub yang bertolak belakang.Inilah awal menuju kebakaan”, kakek melanjutkan “delapan belas tahun usiamu, suatu kurun masa yang paling peka dan ruwet dalam adat kita”
Gambaran
tentang upacara yang mistis, dan mencekam memang akan kita temui di negeri ini,
yang masih memiliki dan merawat tradisi ini. ‘Upacara’ barangkali sudah menjadi
hal yang langka di negeri ini. Dulu, di masa kecil, masyarakat Jawa masih
memiliki kedekatan cerita, dan kisah tentang bagaimana upacara dilakukan.
Upacara memang bersinggungan dengan adat, tradisi, dan kearifan local. Kearifan
local itu pula yang membuat bangsa kita makin kaya. Dalam novel Upacara (2014) garapan Korrie Layun
Rampan pun demikian halnya, diceritakan ada seorang peneliti asing yang kagum
dan terkesima tentang kehidupan masyarakat Dayak. Novel ini bisa dikatakan
sebagai novel sosiologis, karena mengungkap kehidupan dan tradisi upacara
di Dayak dengan begitu memikat. Kental
penggambaran upacara disini, tak hanya urusan antara sesaji, tetapi juga
perkara dan urusan manusianya. Upacara menginjak masa dewasa, upacara
perkawinan, sampai upacara pencarian jasad yang dimakan hewan buas atau
penunggu yang ada disana. Kabar tentang “orang sakti” masih akrab dalam
kehidupan orang Dayak. Orang sakti ini dianggap sebagai pahlawan, seorang pertapa,
seorang budiman, seorang juru selamat (h.34). Orang sakti ini pula di desa
masih dipercaya sebagai pemimpin adat, pemimpin upacara dan dimintai
pertolongan dalam banyak hal. Upacara juga mengingatkan kita tentang hubungan
antara yang gaib dan yang nyata masih ada relasi yang kuat. Kepercayaan tentang
roh dan penjaga desa, serta dewa-dewa yang lain yang dianggap masyarakat
sebagai sosok yang harus dihormati dengan sesaji masih hidup dalam masyarakat
adat di Dayak dan suku-suku lain di negeri ini. Yang jadi pertanyaan adalah
mengapa novel ini penting dihadirkan kembali di masa sekarang?. Mungkin, novel
ini adalah nostalgia bagi penulisnya sekaligus kita. Novel ini sebagai
pengingat, penuntun, bahwa masa lalu yang dulu pernah kita akrabi, kita alami,
tak boleh dihilangkan dan dilupakan begitu saja. Upacara seperti upaya untuk
mengingat yang lampau di kehidupan desa di daerah kita. Tak hanya upacara
kematian, kelahiran, bahkan pernikahan. Upacara adalah ritus, cara manusia
memperlakukan apa yang ada disekitarnya, hubungannya dengan alam dan roh.
Korrie mencatat dengan jeli, dengan imajinasi yang lihai, mengajak kita masuk
dalam dunia yang mencekam sekaligus dunia yang penuh asmara. Novel ini juga
mengangkat bagaimana dilema dan pertentangan antara orang asing dengan orang
local. Pada satu sisi orang asing dihadirkan sebagai peneliti yang memiliki
ketertarikan terhadap dunia “upacara” masyarakat sekitar. Di sisi lain, “orang
asing” pun dianggap sebagai perusak, perenggut perawan desa, dan pengeruk
kekayaan dan apa yang dimiliki oleh orang-orang suku Dayak disana. Pada posisi
ini, penulis seolah mengajak pada kita, bahwa adat istiadat, kearifan local dan
system kepercayaan masyarakat pedalaman yang kental dengan hal-hal yang berbau
mistis, tak boleh kita eksploitasi dengan iming-iming yang berbau modernitas
dan urusan kekayaan. Penulis mengajak dan memberi peringatan melalui novel ini,
bahwa apa yang ada di pikiran orang pedalaman tak bisa ditipu begitu saja. Sebagai
novel yang mengangkat kehidupan masa lampau, pengarang mampu menghadirkan
dinamika social, tradisi dan psikologi masyarakat Dayak yang ia tinggali. Novel
ini mampu memberi sentuhan dan cara bercerita yang khas. Kita diajak untuk
mengikuti kisah percintaan yang gagal berkali-kali dengan adanya kematian pasangan
dari tokoh “aku”, bahkan dua kali. Kematian disini pun tidak seperti kematian
yang wajar, dimakan buaya, sampai dengan disebabkan oleh kemarahan roh. Novel
ini memang tak terlalu mengangkat konflik yang kuat antar tokoh. Novel ini
seperti novel yang bercerita melalui ‘aku’, dan kehidupan sosialnya. Dari novel ini kita diajak untuk mengamati
dari luar apa yang ada dalam kehidupan masyarakat Dayak. Kita akan mendapati
upacara nalin taun (upacara tahunan
pesta persembahan para dewa), kewangkey
(upacara penguburan tulang-belulang manusia), sampai perlulung (upacara pernikahan). Dalam upacara itu, masyarakat
begitu terlihat kompak, antusias dan menyiapkan segala sesuatunya secara
bersama-sama. Ini tak hanya didukung oleh kesadaran dan karakteristik masyarakat
desa yang masih intim dengan gotong royong dan kekeluargaan. Bagi masyarakat
modern, kehidupan dan segala bentuk “upacara” yang digambarkan dalam novel ini
mungkin sulit dipercaya dan aneh. Namun, kehidupan dan upacara yang ada di
masyarakat pedalaman, utamanya masyarakat Dayak adalah hal yang hidup dan masih
terjaga sampai kini.
Novel ini memang seperti lanskap
kecil kehidupan suku Dayak sebagai bagian dari kekayaan yang dimiliki
Kalimantan dan Indonesia pada umumnya. Akan tetapi, dari novel ini, kita seolah
tercenung, bahwa bukankah kehidupan kita pun juga mirip upacara?. Sebagaimana
kata-kata si ‘aku’ dalam novel ini. “Yang beginikah hidup? Begitu aku bertanya
pada diriku sendiri. Hanya siklus upacara demi upacara. Atau hidup ini memang
upacara sendiri? Lalu apakah tujuan hidup ini? Datang. Ada. Lalu pergi. Hilang
tak berbekas. Inikah yang dinamai hidup?Kalau bukan, lalu bagaimanakah yang
dinamai hidup? Tetapi kalau ya?”(h.100). Dan upacara seperti peringatan, ia
adalah bagian dari hidup itu sendiri, yang tak hanya dikenal dalam kepercayaan
di dalam masyarakat kita, tetapi juga dalam kehidupan beragama kita. Yang tak
bisa kita nafikkan dan abaikan begitu saja.
*)Penulis adalah Santri Tadarus
BUKU BILIK LITERASI SOLO
No comments:
Post a Comment