klik disini untuk dapatkan dollar secara gratis!

Friday 12 September 2014

‘Upacara’ dan Kita




Oleh Arif Saifudin Yudistira*)


“Pandanglah untuk terakhir kalinya segala sesuatu yang pernah kau nikmati disini. Suatu jarak akan membentang antara engkau dengan peristiwa-peristiwa duniawi. Kebakaan dan kefanaan –dua kutub yang bertolak belakang.Inilah awal menuju kebakaan”, kakek melanjutkan “delapan belas tahun usiamu, suatu kurun masa yang paling peka dan ruwet dalam adat kita”





Gambaran tentang upacara yang mistis, dan mencekam memang akan kita temui di negeri ini, yang masih memiliki dan merawat tradisi ini. ‘Upacara’ barangkali sudah menjadi hal yang langka di negeri ini. Dulu, di masa kecil, masyarakat Jawa masih memiliki kedekatan cerita, dan kisah tentang bagaimana upacara dilakukan. Upacara memang bersinggungan dengan adat, tradisi, dan kearifan local. Kearifan local itu pula yang membuat bangsa kita makin kaya. Dalam novel Upacara (2014) garapan Korrie Layun Rampan pun demikian halnya, diceritakan ada seorang peneliti asing yang kagum dan terkesima tentang kehidupan masyarakat Dayak. Novel ini bisa dikatakan sebagai novel sosiologis, karena mengungkap kehidupan dan tradisi upacara di  Dayak dengan begitu memikat. Kental penggambaran upacara disini, tak hanya urusan antara sesaji, tetapi juga perkara dan urusan manusianya. Upacara menginjak masa dewasa, upacara perkawinan, sampai upacara pencarian jasad yang dimakan hewan buas atau penunggu yang ada disana. Kabar tentang “orang sakti” masih akrab dalam kehidupan orang Dayak. Orang sakti ini dianggap sebagai pahlawan, seorang pertapa, seorang budiman, seorang juru selamat (h.34). Orang sakti ini pula di desa masih dipercaya sebagai pemimpin adat, pemimpin upacara dan dimintai pertolongan dalam banyak hal. Upacara juga mengingatkan kita tentang hubungan antara yang gaib dan yang nyata masih ada relasi yang kuat. Kepercayaan tentang roh dan penjaga desa, serta dewa-dewa yang lain yang dianggap masyarakat sebagai sosok yang harus dihormati dengan sesaji masih hidup dalam masyarakat adat di Dayak dan suku-suku lain di negeri ini. Yang jadi pertanyaan adalah mengapa novel ini penting dihadirkan kembali di masa sekarang?. Mungkin, novel ini adalah nostalgia bagi penulisnya sekaligus kita. Novel ini sebagai pengingat, penuntun, bahwa masa lalu yang dulu pernah kita akrabi, kita alami, tak boleh dihilangkan dan dilupakan begitu saja. Upacara seperti upaya untuk mengingat yang lampau di kehidupan desa di daerah kita. Tak hanya upacara kematian, kelahiran, bahkan pernikahan. Upacara adalah ritus, cara manusia memperlakukan apa yang ada disekitarnya, hubungannya dengan alam dan roh. Korrie mencatat dengan jeli, dengan imajinasi yang lihai, mengajak kita masuk dalam dunia yang mencekam sekaligus dunia yang penuh asmara. Novel ini juga mengangkat bagaimana dilema dan pertentangan antara orang asing dengan orang local. Pada satu sisi orang asing dihadirkan sebagai peneliti yang memiliki ketertarikan terhadap dunia “upacara” masyarakat sekitar. Di sisi lain, “orang asing” pun dianggap sebagai perusak, perenggut perawan desa, dan pengeruk kekayaan dan apa yang dimiliki oleh orang-orang suku Dayak disana. Pada posisi ini, penulis seolah mengajak pada kita, bahwa adat istiadat, kearifan local dan system kepercayaan masyarakat pedalaman yang kental dengan hal-hal yang berbau mistis, tak boleh kita eksploitasi dengan iming-iming yang berbau modernitas dan urusan kekayaan. Penulis mengajak dan memberi peringatan melalui novel ini, bahwa apa yang ada di pikiran orang pedalaman tak bisa ditipu begitu saja. Sebagai novel yang mengangkat kehidupan masa lampau, pengarang mampu menghadirkan dinamika social, tradisi dan psikologi masyarakat Dayak yang ia tinggali. Novel ini mampu memberi sentuhan dan cara bercerita yang khas. Kita diajak untuk mengikuti kisah percintaan yang gagal berkali-kali dengan adanya kematian pasangan dari tokoh “aku”, bahkan dua kali. Kematian disini pun tidak seperti kematian yang wajar, dimakan buaya, sampai dengan disebabkan oleh kemarahan roh. Novel ini memang tak terlalu mengangkat konflik yang kuat antar tokoh. Novel ini seperti novel yang bercerita melalui ‘aku’, dan kehidupan sosialnya.     Dari novel ini kita diajak untuk mengamati dari luar apa yang ada dalam kehidupan masyarakat Dayak. Kita akan mendapati upacara nalin taun (upacara tahunan pesta persembahan para dewa), kewangkey (upacara penguburan tulang-belulang manusia), sampai perlulung (upacara pernikahan). Dalam upacara itu, masyarakat begitu terlihat kompak, antusias dan menyiapkan segala sesuatunya secara bersama-sama. Ini tak hanya didukung oleh kesadaran dan karakteristik masyarakat desa yang masih intim dengan gotong royong dan kekeluargaan. Bagi masyarakat modern, kehidupan dan segala bentuk “upacara” yang digambarkan dalam novel ini mungkin sulit dipercaya dan aneh. Namun, kehidupan dan upacara yang ada di masyarakat pedalaman, utamanya masyarakat Dayak adalah hal yang hidup dan masih terjaga sampai kini.
            Novel ini memang seperti lanskap kecil kehidupan suku Dayak sebagai bagian dari kekayaan yang dimiliki Kalimantan dan Indonesia pada umumnya. Akan tetapi, dari novel ini, kita seolah tercenung, bahwa bukankah kehidupan kita pun juga mirip upacara?. Sebagaimana kata-kata si ‘aku’ dalam novel ini. “Yang beginikah hidup? Begitu aku bertanya pada diriku sendiri. Hanya siklus upacara demi upacara. Atau hidup ini memang upacara sendiri? Lalu apakah tujuan hidup ini? Datang. Ada. Lalu pergi. Hilang tak berbekas. Inikah yang dinamai hidup?Kalau bukan, lalu bagaimanakah yang dinamai hidup? Tetapi kalau ya?”(h.100). Dan upacara seperti peringatan, ia adalah bagian dari hidup itu sendiri, yang tak hanya dikenal dalam kepercayaan di dalam masyarakat kita, tetapi juga dalam kehidupan beragama kita. Yang tak bisa kita nafikkan dan abaikan begitu saja.

*)Penulis adalah Santri Tadarus BUKU BILIK LITERASI SOLO

No comments:

Post a Comment