Oleh Arif Saifudin
Yudisira*)
Sudah
selama ribuan tahun, bahwa kebudayaan kita adalah kebudayaan yang luhur, adiluhung
dan mumpuni. Tetapi selama ribuan tahun itu pula, kita seperti melupakan
jejak-jejak sejarah dan kultural yang kita miliki. Kejayaan dan kedigdayaan
nenek moyang kita hanya menjadi memori dan pelajaran sejarah tanpa kita tahu
bagaimana mengembangkan dan mewujudkan kembali masa kejayaan yang sudah lewat
puluhan tahun itu. Maka kita seperti sempoyongan, berjalan ngelantur seolah tanpa fondasi kokoh. Sudah menjadi
fakta sejarah, bahwa bangsa yang mau mengambil pelajaran dari sejarahnya akan
menjadi bangsa yang jaya. Dari refleksi itulah, penulis sekaligus budayawan
Radar Panca Dahana mencoba mengurai bagaimana nasib bangsa kita yang direnggut
dan dirampok oleh budaya korupsi, budaya menipu dan kong-kalikong,yang
kehilangan orientasi kemanusiaannya.
RPD
melalui buku Ekonomi Cukup(2015) menilai bahwa kerusakan dan kemerosotan
sistem ekonomi kita adalah karena kita terlampau memuja sistem ekonomi daratan.
Sistem ekonomi ini menurutnya membuat manusia tak pernah puas, rakus dan
serakah terhadap apa saja. Melalui sistem ekonomi ini, terjadi kompromi dan
kerjasama yang tak bisa dielakkan antara Trio “P”. Trio “P” inilah yang menurut
Radar ikut memberikan fondasi kokoh terhadap sistem ekonomi yang berorientasi
kepada kekayaan dan kemaslahatan pemodal dan para cukong saja. Menurut penulis,
trio “pemeras” inilah yang membuat rakyat kita semakin sengsara
(pengusaha-pemerintah-parlemen)(h.16).
Penulis
menilai bahwa kita sebenarnya memiliki kekuatan kultural dan daya hidup yang
bertahan selama ribuan tahun. Budaya itu adalah budaya gotong-royong, budaya
kejujuran yang dijunjung jauh sebelum munculnya kerajaan-kerajaan di negeri
ini. Di nusantara inilah, dahulu pernah hidup sistem kebudayaan maritim. Kebudayaan
yang tak berorientasi kepada perut semata, tetapi lebih kepada budaya yang
memandang luas cakrawala, budaya yang tak berorientasi kepada hidup yang
serakah dan mengeksploitasi alam. Tetapi sebaliknya hidup yang mencukupi dan
dicukupi oleh alam.
Kapitalisme
Buku ini memberikan kritik tajam mengenai betapa
bergelimangan harta dan triliunan rupiah demokrasi kita selama ini. Ini tak
hanya terlihat dalam urusan pemilu dan politik kita, tetapi lebih dari itu,
kita selama ini ditipu dan dijadikan korban dalam segala kebijakan yang konon
mengatasnamakan “rakyat”. Logika kapitalistik yang identik dengan capital dan
keuntungan yang besar telah merambah kepada berbagai sector. Penulis menyoroti
salah satu sector yang tidak masuk akal adalah sector jasa. Dalam buku ini
dicontohkan betapa kita tak bisa menerima dengan akal sehat bagaimana kita
ditarik iuran parkir yang semestinya menjadi tanggungjawab pemilik Mall, atau
fasilitas public lainnya.
Dari
liberalisasi pada sector jasa itulah, kapitalisme juga merambah kepada sector energi
yang berdampak besar kepada sector lainnya, misalnya masalah BBM (Bahan bakar
minyak). Dampak dari liberalisasi ini langsung mengena kepada rakyat kecil.
Sementara sistem ekonomi ilusif dan bersifat fluktuatif dimainkan melalui pasar
modal. Pada sisi inilah, ekonomi kita benar-benar telah menyimpang dari
cita-cita ekonomi founding fathers kita, yang pernah dirumuskan oleh
Mohammad Hatta dahulu.
Alternatif
Berbagai pemikiran dan kritik ekonomi kapitalisme
sudah banyak dicetuskan mulai dari ekonomi pancasila yang dicetuskan oleh Prof.
Mubyarto maupun Prof. Sarbini. Radar mencoba mengajak kita menelusuri
jejak-jejak warisan kultural kita yang memiliki daya tahan dan daya saing
khususnya dalam bidang ekonomi. Menurut penulis, kita memerlukan paradigma baru
sebagai cara melawan kapitalisme ini. Menurut penulis, kita memerlukan bukan
hanya CSR (Corporate Sosial Responsibility) yang hanya kamuflase dan legitimasi
semata untuk menunjukkan bahwa ada kepedulian sosial dari lembaga-lembaga korporasi
besar. Tetapi lebih dari itu, kita memerlukan Cultural Social Responsibility
dimana setiap usaha materiil manusia harus mengindahkan, melaksanakan,
tanggungjawab dan obligasi kebudayaannya (h. 193). Bukan sekadar kamuflase dan
karikatif semata.
Sistem
ekonomi cukup ini bukan sistem ekonomi yang bermalas-malasan, tetapi sebaliknya
sistem ekonomi yang dilandasi kerja keras dan etos kerja kultural. Yang tak
hanya berorientasi kepada hidup serakah dan lebih, tetapi hidup yang makmur,
sejahtera dan berkecukupan. Sistem ekonomi cukup inilah yang diyakini penulis
sebagai bentuk dan strategi baru untuk melawan kapitalisme dari sisi budaya.
Sebab sejatinya sifat-sifat dari kapitalisme berupa sikap rakus, korup dan
destruktif ada dalam diri manusia. Melalui buku ini, RPD hendak menawarkan
solusi dan alternative kebudayaan sebagai sebuah strategi untuk menaklukkan
watak manusia yang destruktif, dan kembali kepada sisi-sisi manusia yang lebih
beradab.
*) Pegiat Tadarus Buku Bilik Literasi Solo, Pengelola
doeniaboekoe.blogspot.com
*)Tulisan termuat di koran jakarta
No comments:
Post a Comment